Lukisan Fritz Thaulow, The River
Ada itu indah, baik dan menawan karena substansi dan aksiden-aksidennya
Ada sebagai ens commune (ada ciptaan) memiliki substansi-aksiden yang mana kedua prinsip tersebut tersatukan dan saling melengkapi ada. Maka, substansi-aksiden membangun cara mengada yang paling fundamental dari ada ens commune karena substansi-aksiden adalah struktur ada. Sebuah pohon cemara yang menghiasi taman kota menjulang tinggi dengan daun-daunnya yang lebat, warnanya hijau dan bentuknya yang tinggi. Yang disebut dengan substansi adalah pohon sementara warnanya, tingginya merupakan aksiden.
Substansi
Eksistensi substansi: evidensi langsung
Predikat ada yang terjadi bukan secara transendental pasti merujuk kepada ada secara kategorial. Ada kategorial menjelaskan cara mengada ada yang bermacam-macam. Cara mengada ada kategorial yang paling mendasar adalah substansi yang dapat diartikan sebagai itu yang mengada di dalam dirinya sendiri dan melalui dirinya sendiri.[1]
Substansi menunjukkan kondisi definitif dan mutlak dari setiap realitas ada. Ada sebagaimana dikatakan adalah itu yang memiliki esse dan esensi dan hal yang demikian tentu adalah substansi[2]. Konsekuensinya, substansi selalu lebih dahulu daripada aksiden baik di dalam tatanan ontologis maupaun di dalam tatanan logika: di dalam tatanan ontologis karena substansi adalah kondisi dari dan bagi ada aksidental. Artiya itu yang mana semua aksiden merujuk pasti merupakan substansi. Sebab segala kategori (aksiden) selalu melibatkan substansi. Misalnya, ada dikatakan quantitas karena merupakan ukuran substansi, ada dikatakan sebagai qualitas karena suatu disposisi tertentu dari substansi dan seterusnya. Jadi dalam tatanan ontologis substansi adalah elemen yang paling penting di dalam setiap hal. Kemudian di dalam tatanan logika karena sesuatu tidak memiliki konsep akan ens in alio (ada yang lain) tanpa memliki konsep bahwa aliud (sesuatu) tersebut adalah itu yang ada melalui dirinya sendiri sendiri (per se) yaitu substansi. Dengan demikan eksistensi substansi jelas merupakan evidensi secara langsung sehingga tak perlu lagi mempersoalkan eksistensi substansi. Substansi pun bukan melulu ide, sensasi, imajinasi dari data-data indrawi yang mana substansi dapat dibicarakan ketika hanya dapat dialami[3].
Konsep substansi
Substansi berasal dari bahasa latin substare yang secara literal berarti berdiri ke bawah. Dalam metafisika, substansi adalah esensi yang bersesusaian dengan esse melalui dirinya sendiri (essentia cui competit per se esse). Terminologi melalui dirinya sendiri (per se) memiliki arti logika dan dibedakan dengan per accidens. Arti logika per se menjelaskan bahwa per se merupakan milik esensi dari sesuatu hal atau per se berasal dari esensi secara niscaya dan esensi itu sendiri adalah esensi dari suatu qualitas[4]. Panas per se milik dari api dan api per se memiliki panas. Jadi tidak mungkin ada panas tanpa api. Di sini api adalah substansi karena api memiliki panas yang merupakan esensi suatu qualitas. Tidak demikian dengan arti per accidens. Misalnya, panas adalah per accidens dari lampu ataupun pemanas karena ia dapat menjadi panas bisa jadi bukan berasal dari pemanas ataupun lampu. Dalam konteks ini pula, per se hanyalah suatu cara predikat dan bukan cara mengada ada. Per se substansi sebaliknya adalah cara mengada ada.
Maka, konsep substansi dapat menjadi predikat dan non predikat. Substansi adalah predikat ketika substansi menyatakan distingsi antara esensi dan esse, ketika essentia cui competit esse sungguh berbeda dengan esse. Dalam koridor ini, konsep substansi membangun suatu kategori dan tidak dapat diaplikasikan kepada Tuhan. Substansi adalah non predikat ketika substansi tidak menyatakan pembedaan antara esse dan esensi, maka substansi dapat dirujukan kepada Tuhan.
Substansi menggambarkan dan mendeskripsikan apakah sesuatu hal itu. Ketika kita menjawab pertanyaan apakah hal itu, kita tidak mengatakan bahwa itu adalah putih atau panas yang menyatakan kualitas atau 5 kg yang adalah quantitas, tetapi kita mengatakan bahwa itu adalah manusia; itu adalah rumah; itu adalah tanaman; yang semuanya itu berarti substansi.
Suatu substansi dapat menjadi lebih substantif jika dibandingkan dengan substansi lain. Misalnya substansi manusia dibandingkan dengan substansi batu maka substansi manusia lebih sempurna karena substansi manusia terdiri dari jiwa dan tubuh. Namun di dalam satu substansi yang sama tidak mengenal adanya tingkatan[5]. Seorang manusia tidak dapat menjadi lebih manusia daripada dirinya sendiri atau daripada manusia yang lain pada suatu waktu secara substantif. Tentu hal ini berbeda dengan aksiden yang dapat menjadi kurang atau lebih daripada dirinya sediri atau daripada aksiden yang lain pada suatu waktu. Misalnya, suatu pakaian yang menjadi putih: pakaian tersebut bisa dikatakan lebih putih suatu waktu daripada sebelumnya. Air yang menjadi hangat, air tersebut dikatakan lebih hangat atau kurang hangat di suatu waktu. Tetapi substansi tidak bisa dikatakan kurang atau lebih daripada dirinya sendirinya: suatu manusia tidak dapat menjadi lebih manusia pada suatu waktu daripada sebelumnya, air tidak bisa menjadi lebih air daripada sebelumnya atau sesudahnya, karena substansi selalu tetap substansi. Tidak mungkin di dalam suatu substansi yang sama mengenal variasi tingkatan.
Walaupun demikian, substansi selagi secara numerik adalah satu dan sama misalnya substansi manusia, substansi air, substansi meja tetapi ia memiliki potensi untuk berubah menjadi substansi lain, perubahan kayu yang terbakar menjadi arang. Perubahan itu terjadi karena perubahan substansi itu sendiri. Aksiden tak pernah dapat mengubah substansi. Substansi yang sama dapat pula menerima qualitas yang sifatnya oposisi-bertentangan, misalnya. Anton sehat kemudian sakit atau air menjadi panas kemudian menjadi dingin.
Substansi dan materi quantitas
Fisika modern yang bergulat dengan fenomen–fenomen fisik menyimpulkan bahwa fenomen fisik tak lain hanyalah aspek quantitatif. Tidak ada makna qualitatif; segala kualitas direduksi pada aspek quantitatif. Bagi Galielo Galilei sebagai pioner fisika modern memahami gerakan gravitasi sebagai properti dari korpus-korpus yang berasal dari kecepatan gerakan jatuhnya korpus-korpus tersebut. Dengan demikian segala realitas korpus hanyalah soal ekstensi dan pergerakan. Pemikiran Galileo disetujui oleh Cartesian. Mengapa eksistensi qualitas disangkal? Menurut mereka qualitas tidak pernah ada karena dari gagasan qualitas tidak mungkin terbangun suatu ilmu yang sifatnya deduktif. Keabsahan terjadi ketika segala realitas direduksi kepada obyek fisika matematik. Itu berarti bahwa substansi hanyalah quantitas materi.
Pemikiran ini juga disetujui oleh Immanuel Kant. Kata Kant di dalam Analogia Pertama bahwa di dalam segala perubahan fenomena substansi selalu tetap dan quantum substansi tidak bertambah besar ataupun menjadi mengecil di dalam natura. Lalu di dalam Principi metafisica della scienza della natura Kant menegaskan bahwa di dalam segala perubahan natura korporal quantitas materi tetap identik, tidak bertambah maupun berkurang.
Pemikiran Kant yang demikian merupakan buah dari suatu induksi. Induksi berasal dari pengalaman dan pengalaman itu ditemukan dan bersifat subyektif bahkan pengalaman itu sendiri lebih luas karena ada pengalaman yang tak bisa jelaskan pada soal fisika dan kalkulasi. Dengan demikian substansi bukan hanyalah soal materi quantitas atau direduksi kepada materi quantitas karena ada substansi yang melampaui substansi materi quantitas. Pereduksian itu juga berakibat kita menjawab ada hanya secara quantitas. Apa itu? Gajah dengan berat 70 kg tanpa ada kategori-kategori yang lain. Yang terjadi malah memburamkan dan mengkerdilkan pengetahuan akan ada.
Substansi sebagai esensi dan natura
- Esensi
Substansi juga dapat dikatakan sebagai esensi. Mengapa? Karena substansi adalah suatu realitas yang esensinya berasal dari dirinya sendiri dan bukan di dalam subyek yang lain. Misalnya seekor bebek adalah suatu substansi dalam konteks esensinya karena seekor bebek sebagai individu unik berbeda dengan subyek-subyek lain yang ada di sekitarnya. Di sini esensi pun menjadi hal yang penting untuk mendefinisikan dan mengerti substansi. Maka, karena esensi komposisi terdiri dari materi dan forma, tentu saja substansi komposisi terdiri dari materi dan forma.
Esensi di dalam substansi adalah yang benar dan sesuai sementara esensi yang ada di dalam aksiden terjadi dengan suatu qualifikasi. Dengan demikian suatu hal adalah substansi oleh karena esensinya, bukan aksidennya dan bukan pula karena esse-nya karena esensi adalah prinsip diversikasi esse. Jadi esensi sama dengan substansi dalam konteks sebagai cara mengada ada: esensi merupakan cara mengada ada dan substansi sebagai cara mengada ada berarti itu yang mengada dari darinya sendiri.
Namun juga bahwa esensi dan substansi tidak sepenuhnya sama artinya. Esensi memang merupakan cara mengada ada di dalam kategori dan species sementara substansi merupakan cara mengada ada dari dirinya sendiri dan menopang aksiden karena substansi menerima esse dan menjadikan esse sebagai aksinya seutuhnya.
- Natura
Pemahaman bahwa substansi sama dengan natura merujuk kepada pemahaman bahwa substansi merupakan prinsip aktivitas. Hal ini berkiblat kepada definisi substansi yang digagas oleh Aristoteles: prinsip intrinsik dan prinsip pertama dari aktivitas dan sekaligus tak bergerak yang bersesuaian dengan ada dikarenakan oleh esensinya dan bukan karena aksidennya. Konsekuensinya substansi dan natura merupakan hal yang sama: substansi adalah prinsip aktivitas, diatur oleh aktivitas sementara aktivitas mensyaratkan substansi dan merupakan manifestasi dari substansi. Segala substansi determinatif pasti memiliki aktivitas uniknya dan setiap aktivitas determinatif pasti berasal dari substansi determinatif. Setiap substansi adalah natura[6]. Dengan demikian, substansi korporal bukanlah suatu materia pasif –mati ataupun suatu ekstensi tanpa qualitas yang nantinya ditambahkan suatu aktivitas dari luar melainkan adalah natura-natura determinatif, spesifik, qualitatif dan pusat aktivitas. Tentu saja kenyataan ini menjelaskan lagi bahwa substansi tidak bisa direduksi melulu kepada aspek quantitatif.
Substansi pertama dan substansi kedua
Substansi pertama adalah substansi individu yang ada di dalam realitas, di dalam suatu ada tunggal, sedangkan substansi yang kedua adalah konsep universal tentang substansi. Misalnya Dani Alves adalah substansi pertama karena ia seorang individu yang nyata sedangkan manusia adalah substansi kedua. Substansi pertama merupakan substansi yang sebenarnya karena segala sesuatu selalu dapat dipredikatkan dari substansi pertama atau ada di dalam substansi pertama. Substansi pertama adalah akar dan subyek dari segala sesuatunya. Jika substansi pertama tidak ada, tentu mustahil segala yang lain untuk mengada. Sedangkan substansi kedua karena merupakan konsep universal maka substansi kedua hanya mengada di dalam intelek kita. Jadi, substansi pertama berasal dari suatu subyek dan berada di dalam subyek sedangkan substansi kedua adalah itu yang bukan di dalam subyek tetapi dipredikatkan dari suatu subyek.
Memang segala substansi adalah individu real dan unik. Di dalam substansi pertama, jika substansi dikatakan sebagai suatu individu maka adalah benar secara definitif karena sesuatunya adalah suatu unit. Namun tidak demikian di dalam substansi yang kedua. Sebagai contoh ketika kita berbicara mengenai manusia, binatang tentu fakta ini juga menunjukan itu yang individu tetapi impresi ini tidak sepenuhnya benar karena substansi yang kedua bukanlah suatu individual, tetapi suatu kelas dengan suatu qualifikasi definitif, sebab substansi kedua bukan satu dan tunggal seperti substansi pertama, terminologi manusia, binatang dipredikatkan kepada lebih dari satu subyek.
Substansi simple dan substansi komposisi
Terdapat substansi simple dan substansi komposisi yang disertai dengan esensinya masing-masing. Esensi di dalam substansi simple tentu lebih benar dan lebih agung sehingga memiliki eksistensi yang sempurna. Substansi simple adalah causa pertama yang adalah Tuhan dan substansi pertama yang juga merupakan causa dari segala substansi komposisi. Tetapi esensi dari substansi pertama lebih tersembunyi bagi kita sehingga untuk sampai kepada substansi simple ini, kita memulainya dari esensi substansi komposisi dan justru dari esensi dari substansi komposisi kita maju dalam pembelajaran yaitu dari apa yang paling mudah agar sampai kepada substansi simple[7].
Pluraritas substansi
Realitas bukan hanya satu substansi tetapi terdiri dari pluraritas substansi. Lalu dari mana kita bisa mengatakan adanya pluraritas substansi? Kita mengamatinya dari diri kita sendiri bahwa aku ini dibedakan dari substansi-substansi yang ada di luar diriku. Ketika aku melihat sebuah pohon yang hijau tentu aku tidak mengatakan bahwa aku adalah pohon hijau; ketika aku merasakan gula yang manis, aku tidak bisa mengatakan bahwa aku adalah gula. Maka, pohon hijau, gula yang manis, pasti adalah sesuatu dan mereka adalah bukan aku; sesuatu yang berbeda denganku. Justru sebagai aku, aku berbeda dari yang lain. Kesadaran ini tercapai terjadi karena ada konfrontasi dengan yang lain. Lalu dari konstalasi yang demikian dapat disimpulkan bahwa setidaknya ada dua substansi: aku dan suatu dunia eksternal yang bukan aku; bahwa aku dikelilingi pluraritas substansi yang berbeda dari aku. Mereka itu masing-masing seperti saya sendiri dan juga memiliki keutuhan dan kesendirian otonom. Realitas bukanlah suatu substansi raksasa melainkan suatu realitas kolektif yang meliputi banyak substansi. Jadi ada kolektivitas substansi tetapi kolektivitas substansi bukan berarti keremukan total, bukan ibarat pasir atau debu. Realitas justru terdiri dari kebersamaan unit-unit jelas dan utuh yang berdikari sebagai substansi[8].
Aksiden
Konsep aksiden
Aksiden dapat didistingsi dalam makna logika dan makna fisik. Makna fisik menyangkut modus ada sedangkan makna logika menyoal modus predikat. Suatu realitas adalah aksiden secara fisik dalam kaitannya dengan yang lain ketika realitas itu mengada sebaga determinasi, modifikasi. Suatu realitas adalah aksiden secara logika di hadapan yang lain ketika dipredikatkan dan sifat predikat itu bukanlah suatu keharusan atau niscaya. Sebagai contoh, akal budi adalah aksiden fisik dari manusia tetapi yang ada faktanya bukanlah akal budi melainkan manusia yang berakal budi; jadi akal budi adalah aksiden fisik tetapi bukan aksiden logika karena akal budi dipredikatkan dari manusia secara niscaya[9].
Aksiden adalah suatu realitas yang esensinya berada di dalam sesuatu yang lain atau di dalam determinasi yang lain yaitu di dalam subyeknya. Pengertian aksiden demikian karena eksistensinya tergantung kepada substansi. Kalau karakter utama substansi adalah subsistere, maka karakter utama aksiden adalah ada di dalam yang lain (inesse). Misalnya berpikir (aksiden) tidak mengada di dalam dirinya sendiri (berpikir) tetapi sebagai determinasi dari aku (substansi) yang sedang berpikir.
Substansi sebagaimana dikatakan memiliki natura atau esensi sehingga substansi dapat ditempatkan di dalam spesies. Aksiden pun memiliki natura atau esensinya yang membedakan dirinya dengan aksiden yang lain dan yang mana dia tergantung kepada substansi. Misalnya berat dan warna; keduanya memiliki esensi yang berbeda dan tidak mungkin keduanya berdiri sendiri tetapi selalu berada di dalam suatu substansi tertentu. Maka, ketika aksiden hanya dianggap dan dimengerti sebagai sesuatu yang eksternal dan terlepas dari substansi terjadi kekeliruan karena aksiden selalu terkait dengan substansi. Definisi aksiden selalu menyertakan substansinya sebagai contoh di dalam definisi pesek-mancung (aksiden) niscaya melibatkan hidung (substansi)[10]
Pengetahuan akan substansi-aksiden
Manusia secara spontan memiliki pengetahuan akan substansi-aksiden walaupun pengetahuan tentang substansi-aksiden kadang terbatas. Pengetahuan manusia tentang substansi-aksiden yang paling mendasar dapat dibuktikan dari perubahan realitas yang mencakup perubahan substansial maupun perubahan aksidental. Perubahan substansial misalnya perubahan air menjadi uap; binasanya suatu organisme hidup. Perubahan aksidental misalnya ketika air berubah warnanya dari biru menjadi hijau. Maka, kita sampai pada konsep substansi-aksiden ataupun kita memperoleh pemahaman tentang substansi-aksiden bukan melalui imajinasi atau dugaan tetapi melalu induksi dan abstraksi. Artinya bahwa dari apa yang kita alami secara real lewat indra-indra kita menarik suatu konsep sesuatu hal yang terdiri dari substansi-aksiden. Distingsi antara substansi-aksiden hanya dapat ditangkap melalui intelek bukan oleh indra-indra karena indra-indra hanya menangkap aksiden-aksiden. Sementara intelek menangkap substansi secara menyeluruh melalui aksiden-aksiden. Jelas bahwa di dalam pengetahuan, yang ditangkap intelek pertama adalah substansi baru kemudian aksiden-aksiden.
Tiga tahapan pengetahuan untuk sampai pada konsep substansi-aksiden:
Substansi-aksiden diketahui melalui intelek yang menangkap data yang berasal dari indra-indra. Jadi pada prinsipnya, mengetahui ada secara spesifik berlangsung pada pengetahuan pertama akan substansi kemudian aksiden lalu demikian sebaliknya. Mekanisme pengetahuan dari substansi ke aksiden dan aksiden ke substansi merupakan mekanisme intelek memahami ada secara utuh. Maka pengetahuan akan substansi-aksiden dapat diuraikan sebagai berikut:
- Pada mulanya pengetahuan kita akan sesuatu hal adalah pengetahuan yang tak terbedakan antara substansi dan aksiden. Misalnya ketika bertemu dengan suatu obyek yang tak dikenal maka yang kita lihat, rasakan, dengar hanyalah aksiden (warnanya, rasanya, bentuknya) tetapi juga bahwa aksiden-aksiden itu tersatukan dengan suatu substansi dan aksiden tentu tidak berdiri sendiri. Jadi,yang ditangkap mula-mula adalah kesatuan substansi dan aksiden oleh intelek. Namun yang ditangkap pada mulanya oleh indra-indra manusia adalah aksiden, bukan substansi; misalnya: warnanya, bunyinya, beratnya, dan seterusnya karena aksiden merupakan cara manifestasi sesuatu hal. Jadi indra-indra kita tidak langsung menangkap substansi karena substansi bersatu dengan aksidennya (warnanya, beratnya) yang kita lihat dan kita rasakan. Hal ini mungkin aksiden-aksiden menyatakan substansi. Dengan kata lain, realitas ini bukan berarti bahwa intelek kita menambahkan konsep substansi kepada data-data indra karena substansi secara implisit sudah tertangkap di dalam fakultas-fakultas kita (penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan). Sebab aksiden tidak mungkin ada tanpa substansi dan yang diketahui pertama oleh intelek adalah ada dan ada di dalam arti yang ketat adalah substansi.
- Aksiden-aksiden yang ditangkap oleh indra mengantar kita sampai kepada substansi. Aksiden jelas menyatakan dan membuka substansi. Maka sekali aksiden ditangkap dan dipahami, substansi akan tertangkap juga. Misalnya aksiden dari tumbuhan (warnanya, bentuknya, tingginya) lalu kita sampai esensinya yaitu makhuk hidup yang vegetatif. Jadi dari properti-properti sesuatu hal kita sampai kepada substansinya. Tanpa aksiden, kita juga mengalami kesulitan untuk sampai kepada substansi.
- Pengetahuan substansi mengantar kita kembali lagi kepada aksiden. Sekali substansi ataupun esensi sesuatu ditangkap, semakin terang dan jelas sesuatu itu sehingga aksiden-aksiden semakin terang pula. Konsekuensinya pengetahuan kita akan sesuatu semakin spesifik dan membantu kita untuk menangkap arti sebenarnya dari sesuatu hal tersebut. Misalnya dengan mengetahui tumbuhan adalah makhuk hidup vegetatif, maka aktivitas tumbuhan seperti fotosintesis merupakan hasil akitivitas yang berasal dari esensinya.
Dengan demikian pengetahuan manusia yang fluktuatif yaitu dari aksiden menuju substansi dan dari substansi menuju aksiden membuka suatu fakta bahwa pengetahuan terus diperdalam baik lewat substansi maupun lewat aksiden.
Ada, substansi, aksiden
Ada tentu digunakan di dalam banyak arti, tetapi di antara banyak arti ada yang paling utama dan pertama dari makna ada adalah ke-apa-an (whatness) dari suatu ada dan ke-apa-an suatu ada merujuk substansi. Substansi adalah suatu ada di dalam arti yang tak terkualifikasi serta mengada untuk dirinya sendiri sementara ada aksidental adalah adalah ada di dalam makna kualifikasi dan mengada karena substansi. Misalnya ketika air menjadi panas tentu kita tidak mengatakan bahwa air tanpa kualifikasi tetapi dengan kualifikasi tertentu. Atau ketika Maria dikatakan sebagai seorang manusia tentu di sini Maria tanpa kualifikasi tetapi ketika Maria adalah cantik tentu adalah ada dengan makna kualifikasi. Walaupun demikian makna kualifikasi selalu terkait dan terhubung dengan substansi yang tanpa makna kualifikasi. Dengan kata lain aksiden adalah kesempurnaan-kesempurnaan multiplikatif yang melekat di dalam suatu ada. Substansi meja dengan aksidennya seperti warnanya, bentuknya, beratnya, locusnya, dan seterusnya.
Ada adalah itu yang memiliki esse dan esensi. Maka, hanya substansilah yang per se memiliki esse dan esensi sehingga substansi dapat dikatakan sebagai ada yang sejati dan sesungguhnya. Segala sesuatu disebut ada oleh karena substansi. Oleh karena itulah substansi adalah ada yang pertama dan utama[11]. Thomas Aquinas, mengutip Aristoteles menjelaskan substansi sebagai ada yang pertama karena tiga hal[12]:
- Tatanan pengetahuan
Di dalam tatanan pengetahuan substansi adalah hal yang pertama karena segala sesuatu diketahui dan dipahami jika substansi dikenali lebih dahulu daripada kategorinya. Kita mengetahui dengan baik misalnya manusia, anjing (substansi) daripada mengetahui hitam, 70 kg. Artinya kategori-kategori itu diketahui setelah substansi diketahui dipahami lebih dahulu yaitu ke-apa-an dari suatu hal. Ketika kita tahu ada (substansi) dalam konteks beratnya kita tahu akan quantitas, ketika megetahui tipe ada kita mengerti qualitas.
- Definisi
Segala definisi aksiden pasti mencakup definisi substansi. Tanpa definisi substansi, aksiden tak memiliki makna. Misalnya hitam, tanpa ada substansinya aksiden hitam tidak dapat mengerti. Namun ketika ada substansi misalnya kucing hitam maka definisi aksiden terpahami. Konsekuensinya substansi lebih dahulu dari aksiden di dalam definisi.
- Waktu
Substansi lebih dahulu ada di dalam waktu. Segala aksiden tak mungkin dapat mengada tanpa substansi; tidak pernah dijumpai aksiden tanpa suatu substansi. Namun substansi dapat mengada tanpa harus ada aksiden. Ketergantungan eksistensi aksiden kepada substansi atau kemandirian substansi membuktikan bahwa substansi pasti lebih dahulu ada daripada substansi.
Pertanyaan selanjutnya apakah aksiden adalah ada? Tentu aksiden adalah ada sejauh aksiden bagian dari substansi dan menetapkan substansi. Tak mungkin aksiden lepas dari substansi dan karena bagian dari substansi aksiden adalah sesuatu yang nyata, real sehingga aksiden tidak bisa disebut sebagai yang tidak ada. Aksiden disebut ada karena ia memiliki esse bukan dari dirinya sendiri tetapi karena substansi. Katakanlah sebuah apel dengan beratnya 5 kilo dan warnanya yang merah. Berat 5 kilo tak mungkin ada karena dirinya sendiri tetapi karena apel; warna merah tak mungkin disebut ada tanpa apel. Oleh karena ketergantungannya kepada substansi dan selalu bagian dari substansi atau tak mampu mengada tanpa substansi, aksiden selalu menyatakan ketidaksempurnaan. Akibatnya, aksiden-aksiden disebut dengan ada-ada dari ada (entis entia). Ada adalah substansi secara absolut dan ada adalah aksiden sesudah (posterior) substansi.
Dalam ranah generasi-korupsi, substansi menjadi ada karena generasi atau binasa karena korupsi. Hal itu dikarenakan karena substansi adalah ada yang sesungguhnya-mengada dari dirinya sendiri. Tetapi tidak demikian dengan aksiden. Kemerahan tidak dapat mengalami generasi maupun korupsi. Aksiden mengalami generasi dan kebinasaan sejauh ia bersama dengan substansi yaitu ketika substansi mengalami generasi maupun ketika substansi mengalami kebinasaan.
Substansi-aksiden sebagai struktur ada
Substansi dan aksiden sebagai struktur ada komposisi berarti suatu ada tersusun dari suatu substansi dan aksiden-aksiden. Dalam konteks ada ciptaan, tak mungkin ada substansi tanpa aksiden juga tak mungkin ada aksiden tanpa substansi. Substansi-aksiden sebagai struktur ada mematri bahwa substansi dan aksiden adalah dua prinsip yang berbeda satu sama lain tetapi berada di dalam satu kesatuan dan berelasi satu sama lain.
- Substansi-aksiden: dua prinsip yang distingtif
Substansi dan aksiden merupakan hal yang berbeda satu sama lainnya walaupun mereka merupakan ada secara kategorial. Perbedaan distingtif antara substansi-aksiden dapat dibuktikan dengan mengobservasi perubahan aksidental dan perubahan substansial. Perubahan aksidental, misalnya air danau yang biru berubah menjadi air danau yang berwarna hijau. Perubahan warna air danau dari biru ke hijau tidak mengubah air danau; air danau tetap air danau. Perubahan warna air itu terjadi karena aksiden berbeda dengan substansi. Jadi, perubahan aksidental tidak mengubah substansi. Sebaliknya perubahan substansial tentu mempengaruhi aksidennya, misalnya kayu terbakar menjadi arang. Kayu (substansi) berubah menjadi arang (substansi) sehingga aksidennya berubah pula, misalnya dari bentuknya yang padat berubah menjadi bentuk abu.
Perbedaan antara substansi dan aksiden juga dapat dilihat dari esensinya. Misalnya aksiden quantitas secara natural bersifat terbagi tetapi substansi secara essensial bersifat satu dan tak terbagi. Qualitas bersifat menetapkan, mendeterminasi aspek-aspek ada sementara substansi mendeterminasi isi dasariah dan menjadikan ada sebagaimana adanya.
- Esse adalah penyebab kesatuan substansi-aksiden
Walaupun substansi-aksiden adalah hal yang berbeda tetapi merupakan kesatuan ada. Perbedaan substansi dan aksiden tidak menghancurkan kesatuan suatu ada. Jadi tetap ada satu ada yaitu substansi dalam pengertian yang ketat dan aksiden-aksiden menjadi bagian dari ada. Artinya, aksiden-aksiden bukanlah suatu realitas otonom yang ditambahkan kepada substansi melainkan aspek-aspek yang mendeterminasi ada dan bukan pula suatu kesejajaran dengan substansi.
Substansi dan aksiden bersatu secara nyata dan kesatuan substansi-aksiden di dalam ada terjadi karena esse. Jelasnya sebagai berikut: suatu ada memiliki satu esse yang adalah substansi. Aksiden tidak memiliki esse secara otonom tetapi aksiden memiliki esse karena esse dari substansi. Jadi setiap ada memiliki aksiden-aksiden yang berbeda dengan realitas substansial tetapi juga bahwa ada memiliki aksiden-aksiden karena satu esse yang menjadi milik substansi[13]
.
- Relasi substansi-aksiden
Substansi-aksiden adalah dua prinsip dari suatu ada yang secara timbal balik mensyaratkan satu sama lain dan tidak dapat saling meniadakan dan memisahkan satu sama lainnya. Keduanya saling mendeterminasi. Jelaslah bahwa substansi dan aksiden memiliki relasi dan relasi mereka bersifat paradoks. Artinya di satu sisi, substansi adalah causa untuk aksiden-aksiden tetapi di saat yang sama pula substansi adalah potensi untuk menerima aksiden. Relasi mereka yang sifatnya paradoks itu terjadi karena substansi-aksiden adalah struktur ada. Hubungan substansi dan aksiden dapat dijelaskan dalam tiga hal berikut ini:
- Substansi adalah dasar dari aksiden; subyek yang menopang dan mendukung aksiden karena substansi memberikan esse kepada aksiden dan mendukung dan menopang aksiden itu sendiri. Tanpa substansi tidak mungkin ada aksiden karena aksiden merupakan itu yang mengada dari yang lain dan dari yang lain itu adalah substansi.
- Substansi adalah penyebab aksiden-aksiden yang muncul dari substansi itu sendiri. Oleh sebab itu aksiden-aksiden selalu bereferensi dan diatributkan kepada substansi. Substansi memiliki peran yang demikian karena substansi adalah itu yang mengada dari dirinya sendiri (subsistere). Dengan demikian dalam setiap definisi aksiden definitif menyertakan substansi sebagai subyek mereka.
- Substansi adalah potensi terhadap aksiden dalam arti bahwa substansi disempurnakan oleh aksiden-aksidennya sendiri. Sebagai contoh operasi (tindakan) menyempurnakan substansi. Thomas Alva Edison dikenal dengan baik karena tindakannya menemukan bola lampu.
[1] Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I q. 3, art. 5
[2] Ibid., XII Metaphysics, lec. 1, no. 2419
[3] Emperisme (John Locke dan David Hume) mereduksi substansi kepada data-data sensibilis (indrawi) sehingga substansi hanyalah suatu qualitas saja. Padahal faktanya kita juga memiliki ide-ide yang tidak hanya berasal dari impresi-impresi indrawi.
[4] Vanni Rovighi, Vanni Rovighi, Elementi Di Filosofia (Brescia:Editrice La Scuola, 1999) hal 49
[5] Aristoteles, The Categories, part. 5
[6] Thomas Aquinas, De Ente et Essentia no. 10
[7] Ibid., De Ente et Essentia, no.13
[8] Anton Bakker, Kosmologi dan Ekologi (Yogyakarta: Kanisius, 1995) hal 54-55
[9] Vanni Rovighi, Elementi Di Filosofia (Brescia:Editrice La Scuola, 1999) hal 52
[10] Thomas Aquinas, IX Metaphysics, Lec. 1, no. 1768
[11] Thomas Aquinas, VII Metaphysics, lect. 1, no. 1248.
[12] Ibid., VII Metaphysics, lec. 1, no. 1257
[13] Tomas Alvira, Luis Clavell, Tomas Melendo, Metaphysics (Manila: Sinag-Tala, 1991) hal 53-55
Copyright © 2017 ducksophia.com. All Rights Reserved