Prinsip Metafisika

 

Lukisan Vincent Van Gogh, Still Life: Pink Roses In A Vase, 1890

“Metafisika adalah usaha akal budi untuk bangkit berdiri melampaui akal budi itu sendri”

Thomas Carcyle

Ada selalu sesuatu (aliquid) dan adalah satu (unum) serta memiliki arti dan esensi yang dapat diketahui. Ada bukanlah non ada. Maka, ada dengan segala aktivitas dan atributnya melahirkan prinsip pertama Metafisika:

  1. Prinsip identitas

Prinsip identitas mengatakan bahwa setiap ada adalah dirinya sendiri atau ada adalah determinasi; yang ada adalah ada, yang tidak ada adalah tidak ada. Maka setiap ada memiliki suatu natura determinatif yang membangun ada sebagaimana adanya. Konsekuensinya ada adalah dirinya sendiri dan bukan yang lain (indivisum in se et divisum a quolibet alio). Ada dua hal yang harus dijelaskan berkaitan dengan prinsip identitas ini:

  1. Ada pada umumnya adalah suatu universal, oleh karena itu tidak ada ada yang seperti itu sebagai ada murni, tetapi yang ada adalah ada-ada individual dan konkret. Individu berarti tak terbagi dari dirinya sendiri dan terbagi dari yang lain sementara universal adalah satu di dalam dirinya sendiri tetapi dijumpai di dalam banyak hal pada saat yang bersamaan. Universal memiliki kesatuan tetapi tidak memiliki individualitas karena universalitas berarti satu di dalam banyak. Faktanya yang ada adalah ada-ada individual sehingga universal hanyalah konsep abstrak yang berada di dalam pikiran. Ada juga bukanlah seolah-olah seperti kain yang seragam yang darinya dapat dipotong-potong menjadi segala hal atau juga suatu realitas yang sama yang menghasilkan multisiplitas, tetapi ada hanya suatu aspek terdeterminasi yang darinya kita mendapatkan multiplisitas hal dan fakta ini merupakan kebenaran realitas[1].  Maka, ketika dikatakan bahwa ada adalah satu dan ada adalah dirinya sendiri bukan berarti bahwa yang ada hanyalah suatu ada unik dan bukan berarti pula bahwa segala multisiplitas dan variasi ada merupakan ilusi sebagaimana yang digagas oleh Parmenides; tetapi mau mengatakan bahwa setiap ada dengan segala konkretisasinya dan individualitasnya adalah suatu determinasi dan dirinya sendiri[2].
  1. Konsep ada adalah suatu analogi. Artinya tidak ada hanya suatu ada real yang unik, tidak ada pula suatu konsep satu dan identik setepat-tepatnya; sebab konsep universal ada menyatakan bahwa ada itu sendiri menyertakan multisiplitas, memiliki actu implicite perbedaan, cara mengada ada yang berbeda-beda dan di dalam ada itu sendiri dibedakan[3]. Esensi tidak mengada sebagai sesuatu yang umum dan abstrak, tetapi yang terjadi adalah adanya multiplisitas. Jadi tidak mungkin berpikir suatu ada murni dan ada melulu tanpa memikirkan secara implisit ada yang lain.

  

Prinsip identitas melahirkan prinsip individuasi

Prinsip identitas menandaskan bahwa setiap ada memiliki suatu natura determinatif yang membangun ada sebagaimana adanya. Prinsip identitas mengacu dan identik dengan definisi unum: setiap ada adalah satu dan bukan yang lain; indivisum in se et divisum a quolibet alio. Prinsip identitas membentuk juga prinsip individuasi. Jordi adalah sebuah ada karena esse, seorang manusia karena forma. Lalu apa yang membuat Jordi sebagai Jordi bukan sebagai Luis? Tentu karena prinsip individuasi. Prinsip individuasi merupakan lawan dari universalitas karena prinsip individuasi mengkonkretkan segala yang ada.

Universalitas memproduksi suatu konsep. Sebagai contoh konsep tentang manusia. Konsep manusia menyatakan satu di dalam dirinya sendiri, tetapi tidak terbagi bagi seluruh manusia; konsep manusia ditemukan di dalam semua manusia. Universalitas memiliki unitas tetapi tidak memiliki individualitas.  Sementara individualitas berarti satu dan dan terbagi dari segala sesuatu yang lain –baca unik. Jordi dan Luis memang manusia secara universal tetapi Jordi dan Luis memiliki keunikan masing-masing: misalnya kulit jordi yang coklat, tubuhnya yang tinggi, kepribadiannya yang periang sementara Lusi kulitnya hitam, tubuhnya pendek dan seterusnya. Prinsip individuasi menghasilkan multiplikasi esensi dan singularisasi esensi.

                Multiplikasi  esensi

Ada bermacam-macam manusia. Bagaimana multiplikasi terjadi di dalam species yang sama? Individu-individu yang ada membedah suatu fakta bahwa aktus dimultiplikasikan oleh potensi. Lalu, hal ini bisa dimaknai bahwa di dalam ranah ada korporal, materi adalah prinsip yang menggandakan forma. Mekanisme forma membentuk keunikan dari hal-hal yang sama karena forma mendeterminasi suatu ada yang umum menjadi ada yang unik. Misalnya berkat forma, manusia menjadi manusia, anjing menjadi anjing. Sementara materi menciptakan pluraritas di dalam ada yang satu dan sama. Berkat materi, maka ada banyak manusia, banyak anjing. Dengan demikian pluralitas individu yang sama membuktikan bahwa esensi terdiri dari materi dan forma yang saling terkait satu sama lain dengan perannya sendiri-sendiri seperti halnya aktus dan potensi. Forma berfungsi mengindividukan suatu individu tetapi forma tidak menggandakan individu; forma mengunikkan individu. Materi menggandakan individu-individu sehingga membuat eksistensi banyak individu dari species yang sama berlangsung. Materi adalah prinsip tak terdeterminasi sementara forma adalah prinsip determinasi. Jadi materi merupakan prinsip multiplikasi secara numerik sejauh subyek memiliki forma yang dapat digandakan.  Dengan demikian suatu hal dapat digandakan melalui satu dari tiga cara yang ada:

  1. Seperti suatu genus yang digandakan ke dalam spesicesnya yaitu dengan cara menambahkan perbedaan, sebagai contoh genus binatang digandakan ke dalam species manusia dengan cara menambahkan perbedaan rasional.
  1. Seperti spesies yang digandakan menjadi individu-individu melalui ada yang tersusun dengan materi, sebagai contoh spesies manusia digandakan menjadi berbagai individu melalui ada yang diterima di dalam materi-materi yang bervariatif.
  1. Seperti suatu hal yang absolut yang dibagikan melalui hal-hal partikular, misalnya seandainya terdapat api yang absolut maka dari api absolut tersebut api-api lain berasal. Jadi di sini ada-ada itu berpartisipasi sehingga dibagikan. Dalam contoh api, api-api merupakan individu-individu yang digandakan dengan cara api absolut dibagikan menjadi api-api kecil. Api-api semata-mata berbagi di dalam realitas tunggal yang absolut.

Apakah ada Tuhan digandakan atau mengalami perubahan?

Ada yang esensinya adalah ekistensinya tidak dapat digandakan dengan menambahkan perbedakan karena jika menambahkan perbedaan maka esensinya bukan eksistensinya sehingga eksistensinya ditambah dengan perbedaan, juga tidak dapat digandakan melalui ada yang diteriman di dalam materi karena jika demikian tidak akan menjadi subsistens. Kesimpulannya ada yang esensinya dan eksistensinya sama adalah ada yang unik dan satu-satunya ada yang demikian, di luar itu hanya ada yang mana esensinya dan eksistensinya berbeda.

                Individualisasi esensi

Persoalan selanjutnya adalah apa yang membuat itu menjadi konkret, dapat berada di sana atau bukan di sini. Tentu saja quantitas. Quantitas adalah itu yang menetapkan materi secara konkret; itu yang memiliki posisi sehingga memampukan materi diatur; memberi materi suatu dimensi yang diperluas dan dibedakan dengan yang lain. Namun, quantitas itu sendiri tidak dapat mengada oleh dirinya sendiri, quantitas haruslah menjadi quantitas dari sesuatu karena quantitas hanyalah aksiden. Oleh sebab itu quantitas membutuhkan sesuatu yang disebut dengan materi. Dengan demikian, prinsip individuasi adalah materi yang dikuantitaskan (materia quantitate signata). Itulah mengapa anak mirip dengan orang tua karena individualitas anak ditentukan oleh materi yang dikonkretkan oleh orang tua.

Terminologi individualitas menjangkau tidak hanya substansi tetapi juga aksiden, misalnya warna, berat, dan seterusnya. Dalam kontek aksiden, aksiden-aksiden diindividualkan bukan dengan materi utama tetapi oleh subjeknya yang sudah menjadi aktus yaitu substansi. Melalui substansi, seluruh aksiden-aksiden material melekat di dalam substansi. Dari sebab itu, semua aksiden yang lain digandakan di dalam tataran bahwa aksiden-aksiden dipengaruhi oleh quantitas. Dengan demikian, quantitas memiliki peran membedakan suatu karakter dengan karakter yang lain.

Proses individuasi terdiri dari tiga hal yaitu materi, quantitas, dan forma substansial. Ketiga hal ini menciptakan individu-individu secara serentak dan bersamaan bukan dengan suksesi atau kelanjutan[4]:

  1. Forma substansial memberi bentuk kepada materi sekaligus mengaktualkan materi sehingga forma substansial dari ada korporal menyebabkan aksiden quantitas di dalam materi. Quantitas membentuk korpus menjadi sedemikan rupa[5].
  1. Quantitas memberi dimensi kepada materi, menjadikan materi berbeda satu dengan yang lainnya[6]. Quantitas dikatakan sebagai konsekuensi dari materi karena materi masuk ke dalam komposisi fisik. Forma yang secara spesifik sama diindividukan secara numerik oleh materi yang diquantitaskan.
  1. Materi yang disingularisasikan oleh quantitas (materi signata) mengindividukan forma yang unik[7]. Causa formal dikatakan satu di dalam pengertian bahwa causa formal hanya dapat eksis di dalam efek sebagai kesatuan forma dan materi. Forma ternyata berbeda baik secara spesifik dan numerik. Forma dikatakan berbeda secara spesifik dalam arti bahwa forma berlangsung di dalam tatanan kesempurnaan yang bervariasi yaitu dari causa forma elemen yang sederhana dan tertinggi sampai dengan causa forma elemen yang lebih rendah dan komposisi. Forma Tuhan dan forma ada ciptaan tentu berbeda secara spesifik. Forma berbeda secara numerik di dalam spesies yang sama karena differensiasi yang didasarkan akan resepsi forma di dalam materi yang diquantitaskan (materi signata).

 

  1. Prinsip non kontradiksi

Prinsip non kontradiksi merupakan prinsip metafisika atau hukum ada yang tertinggi. Dasarnya adalah bahwa prinsip non kontradiksi memainkan suatu peran yang amat penting dan menentukan di dalam segala pegetahuan manusia baik secara teoritis maupun praktis karena prinsip non kontradiksi mendorong kita untuk menghindari inkosistensi di dalam pemikiran, pengetahuan dan aktivitas.  Aristoteles memformulasikan  prinsip non kontradiksi dalam dua formula:

  • Formula ontologi: tidaklah mungkin bahwa hal yang sama menjadi dan tidak menjadi pada saat yang bersamaan dan dengan makna yang sama. Dengan kata lain mustahil bahwa ada dan non ada terjadi bersamaan. Formula ontologi tersebut menggaris-bawahi perihal kesatuan dan konsistensi ada obyektif dan mempresentasikan hukum ada serta oposisinya terhadap non ada. Formula ontologi dapat disimak pada penilaian (judgement). Bagaimana terjadinya prinsip ini di dalam penilaian? Mari kita melihat dua operasi intelek yang pertama yaitu operasi intelek untuk pembentukan konsep dan operasi intelek yang mengafirmasi dan menyangkal[8].
  • Dalam operasi intelek pertama, pikiran membentuk gagasan ada yang mana tanpa gagasan ada segala sesuatunya tidak dapat dipikirkan. Jadi, ide pertama adalah ada; hal pertama yang masuk ke dalam intelek adalah ada. Kita mengetahui orang ini, gunung ini, gajah itu dengan mempersepsikan mereka sebagai ada.
  • Yang kedua, setelah gagasan ada ditangkap oleh intelek, selanjutnya adalah negasi: non ada. Anjing coklat ini adalah ada tetapi anjing coklat ini bukanlah anjing yang lain. Jadi, ketika kita mengetahui ada yang partikular kita juga membentuk gagasan negatif yang pertama yaitu non ada. Lalu apa itu non ada? Non ada mengacu kepada tiga pemahaman; yang pertama berarti ketiadaan atau pernyataan atau penilaian yang keliru, yang kedua adalah sebuah potensi dan yang ketiga merupakan sesuatu yang lain[9]. Non ada sebagai bagian dari prinsip pertama tentu mengacu kepada sesuatu yang lain.
  • Pemahaman non ada sebagai sesuatu yang lain ditentukan oleh separasi yang dilakukan intelek. Itu adalah anjing coklat. Intelek melakukan separasi atau memilah bahwa ada bukanlah non ada; bahwa anjing coklat itu bukanlah hal yang lain atau bukanlah batu. Jadi ada itu berbeda dari ada yang lain. Perbedaan dan separasi yang terjadi memainkan peran yang amat vital karena membuka intelek untuk pemikiran yang selanjutnya. Intelek tidak lagi terbatas pada pengetahuan umum yang luas tetapi intelek membandingkan ada-ada dan memiliki kesadaran akan content Di sini kita melompat pada operasi intelek yang kedua yaitu kita membuat penilaian yang pertama bersamaan dengan divisi atau separasi. Pada tahapan ini, kita mengobservasi bahwa kontradiksi tidaklah mungkin karena berdasarkan realitas itu sendiri: tidak mungkin anjing coklat ini bukan anjing coklat ini pada saat kita melakukan penilaian. Kita mengerti bahwa suatu ada tidak dapat menjadi ada dan non ada pada saat yang bersamaan dan dengan makna yang sama. Jelas bahwa prinsip non kontradiksi menyatakan suatu radikal incompatibility antara ada dan non ada yang didasarkan pada fakta bahwa esse menyatakan suatu kesempurnaan nyata pada setiap ada yang secara absolut bertentangan dengan privasi kesempurnaan. Dengan demikian, prinsip non kontrakdisi menegaskan terminologi pada saat yang bersamaan karena tidak ada sama sekali kontradiksi misalnya pada pagi hari matahari terbit di timur dan terbenam di barat di sore hari; jadi tidak mungkin matahari terbit dan terbenam di pagi hari atau di sore hari. Prinsip ini juga menambahkan poin makna yang sama karena tidak ada kontradiksi sama sekali dalam makna; matahari terbit timur dan tenggelam di barat; tidak mungkin matahari terbit di sebelah timur dan barat.
  • Formula logika: tidak mungkin menegasi dan mengafirmasi sesuatu hal yang sama secara bersamaan. Formula logika menjelaskan hukum pemikiran dan logika yang mensyaratkan ada dan menjadi pertimbangan bagi ada. Formula logika ini dapat dibuktikan dari definisi kebenaran dan kesalahan. Kebenaran terjadi ketika orang mengatakan yang ada adalah ada, yang tidak ada adalah tidak ada. Tetapi kesalahan terjadi ketika orang mengatakan apa yang ada adalah tidak ada atau yang tidak ada adalah ada. Jelaslah bahwa ketika afirmasi benar maka negasi salah karena apa yang ada dikatakan tidak ada -negasi salah- dan ketika negasi benar maka afirmasi salah karena apa yang tidak ada dikatakan ada -afirmasi salah-. Konsekuensinya mustahil kita menegasi dan mengafirmasi secara bersaman. Menerima kontradiksi sebagai kebenaran pada yang saat bersamaan maka yang terjadi adalah mengafirmasi definisi kesalahan: mengatakan yang tidak ada menjadi ada atau mengatakan yang ada menjadi tidak ada.

  

Evidensi prinsip non kontradiksi

Kita mengetahui prinsip non kontradiksi secara alamiah dan spontan melalui pengalaman. Bermula dari pengalaman, kita melihat kebenaran realitas dan dari efeknya terbuktilah prinsip non kontradiksi. Efek  mau mengatakan bahwa prinsip non kontradiksi bersifat induktif (dari efek menuju causa). Maka, prinsip non kontradiksi jelas dengan sendirinya dan memiliki evidensi secara langsung. Fakta ini ibarat kita melihat suatu keseluruhan dan suatu bagian: kita tahu secara langsung dan pasti bahwa keseluruhan lebih besar daripada bagian.

Ketika kebenaran jelas dengan sendirinya tidaklah mungkin dan tidak perlu untuk membuktikannya. Hanya sesuatu yang tidak jelas dengan sendirinya yang perlu pembuktian. Evidensi secara langsung prinsip non kontradiksi juga menyatakan bahwa prinsip non kontradiksi bukanlah suatu axioma pikiran: tidak berakar dan didasarkan pada pikiran, tetapi pada ada dan realitas. Dua terminologi ada dan non ada yang kita bentuk, misalnya buku ini berbeda dengan gelas itu,  menjadikan dan mengantar segala manusia secara niscaya, intuitif dan langsung mengetahui hukum non kontradiksi: tidaklah mungkin sesuatu hal yang sama menjadi dan tidak menjadi secara bersamaan dan dalam makna yang sama.

Pertanyaannya apakah masih mungkin membuktikan prinsip ini? Jawabannya mungkin tetapi secara tidak langsung yaitu dengan reduksi kepada absurditas bahwa penolakan prinsip ini adalah tidak mungkin. Menyangkal prinsip ini, maka seseorang tidak akan dapat memberikan suatu makna akan apa yang dikatakan karena apa yang dikatakan selalu memiliki arti determinatif dan non kontradiktif.  Seandainya seseorang mengatakan misalnya sesuatu itu adalah manusia dan secara bersamaan bukan manusia, yang terjadi adalah ia akan menghilangkan arti manusia sementara selagi berpikir tentang manusia, dia tidak berpikir sesuatu pun tentang determinasi. Dia kehilangan makna segala bahasa. Akibatnya komunikasi antar manusia tidaklah mungkin terjadi. Jelaslah bahwa ketika seseorang mengatakan suatu kata, dia sudah mengenali prinsip non kontradiksi karena secara pasti bahwa apa yang dia katakan pastilah sesuatu yang definitif dan berbeda dengan lawannya. Jika tidak demikian dia tidak akan berbicara. Maka, penyangkalan prinsip ini menghancurkan kebenaran dan pemikiran dan meninggalkan segala hasrat tanpa isi karena ibarat tidak ada titik tolak keberangkatan maupun kedatangan. Segala ilmu pengetahuan menjadi sia-sia dan mereduksi eksistensi manusia menjadi eksistensi vegetatif[10].

 

Penolakan terhadap prinsip kontradiksi

Walaupun prinsip kontradiksi jelas dengan sendirinya, tetapi tidak semua paham filsafat menerima dan mengakui prinsip non kontradiksi. Heraklitus mengatakan bahwa afirmasi dan negasi adalah benar pada saat yang bersamaan dan kiranya ada jalan tengah antara afirmasi dan negasi. Afirmasi dan negasi yang bersamaan itu terjadi karena merupakan bagian dari perubahan. Konsekuensi dari pemikiran ini  bahwa setiap preposisi adalah keliru karena tidak ada afermasi dan negasi yang benar.

Heraklitus, Hegel dan Marx merupakan filsuf-filsuf yang menolak prinsip non kontradiksi. Ada satu benang merah pemikiran yang dapat ditarik dari paham yang menolak prinsip non kontradiksi: mereduksi realitas menjadi sesuatu yang berubah, realitas adalah perubahan murni, segalanya sesuatunya berubah sehingga tidak ada perbedaan antara ada dan non ada. Non ada adalah perubahan. Mereka menolak juga esse sehingga tidak ada kebenaran yang absolut.

Maka yang terjadi adalah relativisme yaitu ada realitas disempitkan menjadi ada untukku. Akulah yang menentukan kebenaran dan menjadi kebenaran. Tentu relativisme memporak-porakdakan kehidupan. Salah satu akibatnya bahwa perbedaan antara kebaikan dan kejahatan dieliminasi. Aku melakukan segala sesuatunya berdasarkan aku yang absolut sehingga moral obyektif disingkirkan. Mendefinisikan kebenaran hanya kepada pemikiran tanpa mengacu kepada ada atau realitas.

 

  1. Prinsip eksklusi tengah

Prinsip eksklusi tengah menegaskan bahwa tidak ada ruang tengah antara ada dan non ada atau tidak ada ruang tengah antara afirmasi dan negasi. Ruang tengah antara afirmasi dan negasi tidaklah mungkin karena akan menjadi ada dan non ada secara bersamaan. Ada di dalam potensi tampaknya berada di tengah antara ada dan non ada. Namun, ada di dalam potensi merupakan hal yang valid dalam kaitannya dengan prinsip potensi karena tidak ada sesuatu yang bisa menjadi aktus dan potensi pada saat yang bersamaan dan dalam makna yang sama; tidak ada ruang tengah antara ada di dalam potensi dan non ada di dalam potensi.

 

 

Prinsip pertama ada dan prinsip menjadi: sebuah sintesis

Segala ada tentu tidak kontradiktif sehingga ada dapat dipikirkan dan bersifat intelegibel. Tetapi  berdasarkan pengalaman, terdapatlah proses atau prinsip yang kiranya bertentangan dengan prinsip non kontradiksi: perubahan atau menjadi yang digagas oleh Hegel. Hegel mengatakan: ketiadaan (non ada), dalam kelangsungannya, identitas pada dirinya sendiri juga adalah ada[11]. Kebenaran ada, demikan juga ketiadaan merupakan kesatuan ada dan kesatuan antara ada dan tiada disebut menjadi. Konsekuensinya pula adalah ada ruang tengah antara ada dan tiada pada saat yang bersamaan dan dalam makna yang sama. Itu bearti pula bahwa realitas merupakan realitas yang tak determinasi karena terus menjadi. Sebagi contoh adalah apa yang kita sebut sebagai permulaan (yang merupakan bentuk dari menjadi). Hal–hal pada permulaanya masih belumlah ada; belumlah ada adalah ketiadaan tetapi ketiadaan tersebut berada di dalam ada. Pertanyaannya apakah prinsip non kontradiksi bertentangan dengan menjadi? Bagaimana menjelaskannya?

Prinsip menjadi sebenarnya bukanlah ada dan non ada tetapi merupakan suatu cara mengada ada yang berbeda yaitu antara ada di dalam potensi dan ada secara aktual. Prinsip menjadi bukan hanya sebuah menjadi tetapi ada yang menjadi karena adanya potensi dan aktus. Dan berkat potensi dan aktus prinsip menjadi ini bukan pula tak terdeterminasi tetapi memiliki determinasi. Karena terdapat determinasi prinsip menjadi mengeliminasi ruang tengah dan tidak bisa pula bahwa ada dan non ada terjadi secara bersamaan.

 

[1] Adalah kesalahan jika mengafirmasi eksistensi ada yang tak terdeterminasi secara realitas karena yang ada adalah ada yang terdeterminasi secara realitas dan juga suatu kesalahan fatal mengidentifikasikan ada yang tak terdeterminasi dengan Tuhan. Ada yang tak terdeterminasi hanya merupakan suatu konsep. Tuhan adalah Ipsum esse Subsistens dan itu bukan berarti ada yang tak terdeterminasi tetapi memiliki segala kesempurnaan ada dan tak terbatas pada natura apa pun. Kesalahan Panteisme menyangkut dua logika di atas yaitu hipothesis ada yang tak terdeterminasi di dalam realitas dan menjadikan ada yang tak terdeterminasi sebagai ada Tuhan.

[2] Vanni Rovighi, Elementi Di Filosofia (Brescia:Editrice La Scuola, 1999) hal 29

[3] Ibid.

[4] Tomas Alvira, Luis Clavell, Tomas Melendo, Metaphysics (Manila: Sinag-Tala, 1991) hal 103

[5] Ibid.

[6] Ibid.

[7] Ibid.

[8] Dalam operasi yang pertama intelek mengetahui esensi universal hal dengan mengabstrasikannnya dari data-data indrawi tetapi di dalam operasi yang kedua, intelek kembali kepada realitas yang konkret ketika menyatakan bahwa predikat-predikat tertentu menjadi milik sebuah subjek.

[9] Thomas Aquinas,  V Physicorum, lectio 2, n.656

[10] Aristotele, Metafisica, libro IV, 1006a

[11]  F. Hegel, La Scienza della Logica

Copyright © 2017 ducksophia.com. All Rights Reserved

Author: Duckjesui

lulus dari universitas ducksophia di kota Bebek. Kwek kwek kwak

Leave a Reply