Lukisan Henry Mattise, Vas Of Amaryllis, 1942
Analogia entis: poin di mana yang terbatas, ada ciptaan bangkit berdiri oleh karena yang tak terbatas, di mana misteri yang tak terselami diungkapkan di dalam bahasa ciptaan
Ada adalah analog
Ada adalah suatu analogi karena ada adalah transendental. Ada dikatakan suatu transendental karena ada menyatakan segala hal[1] yang dipredikatkan (dikategorikan) dan diekspresikan[2]. Pendek kata terminologi ada diterapkan ke semua realitas. Namun, jelaslah bahwa ada tidak dapat berarti hal yang sama untuk semua ada-ada konkret yang bermacam-macam karena ada-ada tersebut haruslah diidentifikasi secara total dan ada juga merupakan suatu realitas yang unik dan distingtif. Misalnya, konsep “bunga” tidak dapat dipredikatkan kepada semua bunga secara univox karena konsep bunga tidak berbicara tentang semua bunga yang konkret yaitu bunga tanaman tetapi juga bunga-bunga yang lain. Sebagai contoh: bunga uang, bunga desa. Maka dalam bunga tersebut terdapat suatu keluasan hal-hal yang melampaui konsep bunga karena realitas selalu lebih luas dan lebih dalam daripada konsep. Tetapi apa pun bunga yang konkret maupun bunga kiasan misalnya bunga mawar, bunga uang, bunga desa tidak dapat melepaskan diri dari gagasan tentang ada; bunga tertangkap di dalam gagasan tentang ada[3]. Itulah transendental ada yaitu bahwa segala yang disebut realitas tidak dapat melepaskan diri dari gagasan ada.
Konsekuensinya, tidak ada jejak realitas dengan segala konkretisasinya yang dapat menolak atau memungkiri gagasan tentang ada: segala yang ada adalah ada. Leo adalah ada, meja adalah ada, Tuhan adalah ada. Lalu pertanyaannya adalah, apakah Leo, meja dan Tuhan adalah hal yang sama? Untuk menjawabnya, memang perlu melihat fakta ada itu sendiri. Fakta ada membuktikan bahwa ada sebagai realitas transendental ternyata adalah analog.
Bagaimana mungkin bahwa ada adalah analog? Di satu sisi jelaslah bahwa ada yang terlihat di dalam hal-hal yang berbeda-beda itu tidak dapat berarti hal yang sama; sebaliknya supaya hal-hal ini dapat diidentifikasi secara total, maka ada harus menjadi suatu hal yang unik dan berbeda. Leo tentu berbeda dengan Tuhan karena Leo adalah ciptaan, ada Leo terdiri actus dan potensi sementara Tuhan adalah sang Pencipta, ada Tuhan adalah Ipsum Esse Subsistens. Di sisi lainnya jugalah benar bahwa ada adalah hal yang sama meskipun konkretisasinya berbeda-beda. Leo, meja, Tuhan adalah ada. Melihat dua fakta ini (sebagian berbeda dan sebagian sama) ada diterapkan ke segala realitas dengan arti yang sama sebagian karena hal-hal adalah ada dan sebagian dengan arti yang berbeda karena ada meja tentu berbeda dengan ada Tuhan, ada bunga berbeda dengan ada manusia. Realitas ini membuktikan bahwa ada itu analog: ada itu sebagian sama dan sebagian berbeda artinya.
Ada sebagai realitas analog itu menjawab dan memecahkan persoalan berikut ini: bagaimana suatu konsep[4] dapat menyatakan dan mengekspresikan realitas yang bervariatif
Ada tiga jawaban yang menjawab soal ini:
- Ada suatu pandangan yang menyatakan bahwa perbedaan-perbedaan atau (cara-cara) ada secara formal tidaklah ada; pandangan tersebut mengesampingkan perbedaan-perbedaan ada. Dengan demikian pandangan ini adalah hal yang keliru sebab jikalau perbedaan-perbedaan tidak ada, kita tidak akan mengetahui apa pun dan akibatnya pula kita tidak dapat membedakan segala sesuatunya.
- Tidak ada perbedaan di antara segala yang ada: semua hal hanya satu ada. Dan hal ini adalah argumen panteisme (Tuhan dan ciptaan adalah sama). Padahal faktanya Tuhan dan ciptaan tidaklah sama.
- Ada adalah analog karena ada diproporsikan sebagai satu (proportionantur ad unum), artinya ada tidak terbagi di dalam dirinya sendiri, ada itu satu dan kesatuan merupakan karakter intrinsik bagi setiap ada[5] walaupun demikian ada bukanlah univox karena ada tidak mengatakan hal yang sama yang dipredikatkan kepada setiap subyek tetapi juga mengatakan hal yang berbeda[6] (analogia).
Dengan demikian ada dikatakan di dalam banyak cara (Aristoteles)[7]. Menurut Thomas, meskipun ada itu dikatakan dalam banyak cara (ens sive quod est) tetapi tetaplah mengacu kepada ada sebagai satu, unum. Dengan kata lain arti utama dari subjek adalah substansi yang mengada melalui dirinya sendiri[8]. Maka, ada dikatakan satu sisi dengan cara univox (misalnya binatang dipredikatkan kepada sapi dan beruang) dan di sisi yang lain dengan cara equivox (misalnya bintang dipredikatkan kepada bintang di langit dan bintang pertandingan). Ada juga dikatakan secara analogi. Ketika ada dikatakan secara analogi, univox dan equivox maka terbuktilah bahwa ada dikatakan dalam banyak cara dan analogi membuktikan kekayaaan ada sekaligus maknanya.
Tipe analogi
- Analogi atributif
Untuk memahami analogi atributif perlulah kita terlebih dahulu mengerti analogi yang pertama (princeps analogatum) dan analogi yang kedua. Analogi yang pertama merupakan prinsip, kaidah utama dan menjadi referensi bagi analogi yang kedua. Memang, analogi yang kedua dipredikasikan dan diatribusikan kepada sesuatu hal, namun maknanya selalu mengacu kepada analogi yang pertama. Konsekuensinya, masing-masing terminologi yang ada dalam analogi yang kedua dimengerti sebagai makna-makna dalam hubungannya dengan analogi yang pertama. Jadi analogi yang kedua berpartisipsi dalam cara yang tak sempurna, terbatas sebagai hasil dari suatu keterkaitan (causalitas) dengan analogi yang pertama secara ekstrinsik, bukan secara intrinsik dan tanpa analogi yang pertama, analogi yang kedua ini tidak memiliki arti.
Analogi atributif merupakan analogi yang kedua. Maka, analogi atributif dipahami sebagai itu yang menyatakan identitas dalam kaitannya dengan suatu referensi dan juga perbedaan (diversitas) dalam hubungannya dengan referensi tersebut. Jelaslah bahwa konsep-konsep analogi atributif menyatakan hubungan-hubungan, konsep, definisi yang berbeda di dalam referensi yang sama (rationes et definitiones sunt diversae, sed attribuuntur uni alicui eidem). Misalnya sehat. Sehat sebagai suatu referensi dapat didefinisikan sebagai hal yang berkaitan dengan hidup dan keselamatan makhuk hidup. Dalam definisi yang demikan terjadilah hubungan yang berbeda-beda ketika hal-hal lain dikaitkan dengan sehat: makanan yang sehat, diet yang sehat, urine yang sehat. Makanan yang sehat tentu saja menciptakan kesehatan; diet yang sehat mengukuhkan kesehatan; urine yang sehat adalah tanda orang yang sehat. Ketiga terminologi tersebut memiliki hubungan yang sama dengan “sehat”dan masing-masing terminologi memiliki relasi yang berbeda dengan “sehat” (yang pertama sebagai penyebab (makanan yang sehat), yang kedua sebagai peneguh (diet yang sehat), yang ketiga sebagai tanda(urine yang sehat)) tetapi ketiga terminologi sama pula karena semuanya diatribusikan kepada konsep sehat. Dalam referensi[9], sehat yang dipahami sebagai kebaikan dan keselamatan makhluk hidup adalah analogi yang utama; hal-hal lain seperti makanan, rumah yang diatribusikan kepada konsep (referensi) sehat secara sekunder adalah analogi yang kedua.
(analogi yang pertama)
Sehat
Makanan Diet Urine
(analogi yang kedua)
Analogi atributif ini tentu saja menegaskan sebuah relasi sesuatu hal dengan hal yang lain (dengan princeps analogatum). Ketika aku berkata kentang (sebagai makanan) yang sehat aku tidak berkata soal natura kentang tetapi aku hanya berkata soal hubungan saja bahwa kentang yang sehat memiliki keterkaitan dengan keselamatan manusia.
Analogi atributif membantu dalam memahami struktur ada. Itu yang memiliki ada secara sempurna adalah itu yang memiliki ada di dalam dirinya sendiri atau dengan kata lain substansi. Quantitas, qualitas, relasi adalah ada sebagai aksiden dari suatu substansi dan juga sebagai cara mengada dari suatu substansi. Konsekuensinya ada posibilitas dapat dikatakan sebagai ada karena relasinya dengan ada aktual ataureal. Dan yang terpenting lewat analogi atributif eksistensi Tuhan dapat dipersepsikan dan ciptaan dapat dikatakan sebagai ada karena ciptaan memiliki relasi dengan Tuhan.
- Analogi proporsional
Berbicara proporsionalitas berarti berbicara mengenai kecukupan di antara kedua hal. Proporsionalitas amat jelas di dalam dunia matematika, misalnya 2 : 4 = 3 : 6. Proporsionalitas juga terjadi di bidang lainnya seperti filsafat. Sebaliknya, jika terjadi ketidakcukupan di antara dua hal, maka kita akan berkata telah terjadi ketimpangan, ketidaksamaan. Kekuatan manusia tidak sebanding dengan kekuatan gajah.
Analogi proporsional adalah itu yang menyatakan suatu kesamaan akan hubungan (relasi) dalam subyek-subyek yang berbeda. Hubungan kesamaan yang dinyatakan terletak di bagian dalam (internal) setiap analogi proporsional. Artinya analogi proporsional memberikan karakter intrinsik yang sama kepada subyek-subyek yang berbeda, tetapi bukan menurut identitas. Maka, analogi proporsional mengatakan bahwa segala sesuatunya memiliki kualitas dalam proporsi dengan naturanya. Misalnya, mata melihat objeknya sebagaimana intelek melihat dirinya; sebagaimana terang untuk mata, demikian juga kebenaran untuk pikiran. Jadi, meskipun terdapat entitas yang bervariasi dan berbeda, namun tetap ada kesamaan karena masing-masing entitas memiliki ada yang dibandingkan bukan menurut kesetaraan tetapi menurut kesamaan karena esensi dari setiap ada dibandingkan, diproporsikan kepada adanya. Orang yang baik dan makanan yang baik. Orang yang baik dan makanan yang baik adalah hal yang sama di dalam hal proporsi atau relasi. Bagaimana analogi proporsional ini dijelaskan? Kebaikan adalah itu yang dihasratkan oleh segala hal dan menurut Thomas apa yang diinginkan oleh segala hal adalah kesempurnaan. Jadi, di sini kebaikan berhubungan dengan hasrat dan secara khusus dengan hasrat akan kepenuhan ada atau kesempurnaan. Sekarang karena kebaikan itu berhubungan dengan hasrat, maka makanan yang baik dapat diartikan sebagai itu yang dihasratkan; itu yang rasanya baik. Tetapi, arti orang yang baik tidak hanya yang membuat kita merasakan kebaikan tetapi lebih daripada itu; orang yang baik adalah orang yang memiliki integritas, orang mampu membawa kepenuhan (kesempurnaan) untuk orang lain maupun dirinya. Jadi, ketika kebaikan diproporsikan kepada manusia dan makanan maka artinya sebagian sama sebagian berbeda; sama karena terkait dengan hasrat; berbeda karena yang satu (makanan yang baik) berhubungan dengan hasrat untuk memuaskan selera makan; yang lain (orang yang baik) terkait dengan hasrat untuk kepenuhan ada. Maka, tidak seperti analogi atributif, analogi proporsional tidak terkait secara ekstrinsik dengan princeps analogatum tetapi analogi proporsional memberikan karakter intrinsik kepada setiap ada yang dipredikatkan. Analogi proporsional memaknai bahwa setiap ada memiliki esse sendiri-sendiri tetapi setiap ada memiliki kesamaan dalam cara adanya. Sebagai contoh: substansi itu mengada di dalam adanya sebagaimana quantitas mengada di dalam adanya:
Kesamaan intrinsik
Substansi = Quantitas
Ada Ada
Yang perlu digarisbawahi, analogi proporsionalitas bukan menyatakan kesetaraan tetapi hanya suatu kesamaan. Alasannya sebagai berikut: perbandingan di atas bukan mengatakan bahwa antara substansi dan ada substansi memiliki suatu relasi yang identik dengan quantitas dan ada quantitas karena jelaslah bahwa substansi memiliki ada di dalam dirinya sendiri dan quantitas memiliki adanya di yang lain (in alio). Namun ada kesamaan di antara dua relasi tersebut karena ada dari substansi diproporsikan kepada natura substansi sebagaimana ada dari quantitas diproporsikan kepada natura quantitas.
Melihat konstalasi penjelasan di atas, bisa muncul suatu pernyataan bahwa esse itu adalah univox karena pernyataan berikut ini: substansi memiliki ada, aksiden mempunyai ada, Tuhan memiliki ada, ciptaan memiliki ada. Tentu ada yang disebut bukan univox bahkan konsep eksistensi itu juga bukan univox karena ada bukan suatu keseragaman yang seolah-olah dilekatkan dan ditempelkan pada bagian luar esensi-esensi. Sebab setiap esensi memiliki caranya sendiri untuk mengada (eksistensi) yang diproporsikan pada dirinya sendiri.
Dasar analogia entis
Fundamen dari ada sebagai analogi adalah esse itu sendiri, karena ada itu dikatakan dan disebut ada karena ada memiliki esse (act of being). Ada memiliki esse baik lewat esensi dan juga lewat partisipasi, oleh substansi itu sendiri atau di dalam substansi, secara aktual atau secara potensial. Jadi segala sesuatu yang memilki esse dapat disebut sebagai ada.
Substansi dapat dikatakan sebagai ada yang sempurna karena substansi tersebut memiliki esse dari dirinya sendiri. Sementara qualitas, quantitas dan aksiden-aksiden lain disebut sebagai ada-ada yang kurang sempurna karena aksiden-aksiden itu menerima esse di dalam substansi (berpartisipasi).
Berdasarkan esse-nya, menurut Thomas Aquinas, ada dikatakan sebagai analogi dalam tiga cara:
- Secundum intentionem et non secundum esse (menurut arti dan bukan menurut ada)[10]
Analogi secundum intentionem et non secudum esse terjadi dalam analogi atributif. Sebagai contoh, konsep atau atribut sehat yang diatribusikan kepada makanan dan tubuh: makanan yang sehat, tubuh yang sehat. Konsep sehat sebagai referensi yang utama adalah kehidupan setiap makhluk hidup. Maka, makanan yang sehat, urine yang sehat dipahami sebagai analogi secundum intentionem et non secundum esse karena konsep sehat yang univox dipredikasikan, diatribusikan kepada beberapa hal lain (makanan yang sehat, urine yang sehat) sehingga hal-hal lain tersebut memiliki relasi dengan konsep sehat dan memiliki makna baru menurut artinya (secundum intentionem) setelah diatribusikan dengan konsep sehat: urine yang sehat adalah tanda orang yang sehat
- Secundum esse et non secundum intentionem (menurut ada dan bukan menurut arti)[11]
Contoh klasik dari analogi ini adalah soal korpus surgawi dan korpus duniawi. Kedua korpus ini sama baik secara nama maupun secara makna tetapi esensi kedua korpus ini berbeda. Sebab korpus duniawi sifatnya dapat hancur (corruptible) sementara korpus surgawi sifatnya kekal dan tidak dapat hancur (incorruptible). Konsekuensinya, karakter corruptible dan incorruptible tidak dapat terjadi di dalam genus yang sama. Mengapa? Karena kedua karakter tidak dapat memiliki materia yang sama dan genus itu sendiri diambil dari materia sehingga hal-hal yang tidak memiliki materi yang sama tentu berbeda pula di dalam genus[12]. Konsekuensinya, korpus surgawi dan korpus duniawi berbeda secara esensi. Oleh karena itu, analogi yang terjadi di sini (korpus surgawi dan korpus duniawi) menurut adanya (secundum esse) dan bukan menurutartinya (secundum intentionem)[13].
- Secundum intentionem et secundum esse (menurut arti dan menurut ada)[14]
Sebagai contoh: Tuhan yang benar dan manusia yang benar; Tuhan yang baik dan manusia yang baik. Ketika konsep benar dan baik dipredikasikan kepada Tuhan dan ciptaan yang terjadi adalah analogi secundum intentionem et secundum esse. Mengapa? Sebagaimana yang kita tahu, Tuhan adalah ada yang sempurna dan utama karena dia adalah ada per essentiam dan ciptaan ada yang tak sempurna dan sekunder karena ciptaan adalah ada per participationem. Ada per essentiam dan ada per participationem memang analogi menurut artinya sekaligus juga menurut adanya karena dalam ada per essentiam dan ada per participationem telah terjadi relasi dan makna baru menurut artinya (secundum intentionem) sekaligus berbeda dalam genus tetapi memiliki hubungan (secundum esse). Dengan demikian hanya analogi secundum esse dan secundum intentionem yang dapat menjamin relasi intrinsik antara ada per essentiam dan ada per participationem.
Tuhan dan analogia entis
Analogia entis merupakan hal sangat penting dalam kekayaan bahasa manusia karena analogia entis adalah instrumen linguistik manusia untuk berkata tentang Allah atau ketika manusia ingin menyatakan keterbukaannya kepada yang transendental melalui kodratnya sebagai ciptaan yang terbatas dan sejarahwi: jika Tuhan menciptakan, maka dia pun dapat dikenali dan disebut oleh ciptaan; seandainya terjadi sebaliknya, maka kiranya akan tereliminasi alasan-alasan tentang penciptaan.
Analogia entis mempresentasikan bahasa manusia berdasarkan kepada ada manusia itu sendiri yang membangun pada saat yang sama suatu terminologi yang paling signifikan dan paling umum dari bahasa manusia. Kenyataannya banyak orang yang berpandangan bahwa dengan ada yang terbatas dengan bahasa yang terbatas pula, manusia tak mungkin menguak, berkata tentang Ada yang tak terbatas. Tentu saja analogi entis merombak dan menyangkal pandangan ini. Selagi manusia yang terbatas tidak dapat mendeskripsikan Tuhan secara sempurna, tetapi manusia dapat berkata-kata tentang Tuhan karena Tuhan telah menciptakan manusia di dalam citra-Nya dan Tuhan telah menganugerahkan suatu cara analogis kepada manusia sehingga manusia dapat berkomunikasi kepada-Nya. Analogia entis berbicara tentang Tuhan dalam dua proporsi berikut ini:
- Proporsi causalistik
Menurut Thomas Aquinas manusia sebagai ciptaan dapat mengenal dan sampai kepada pengetahuan akan Sang Pencipta. Hal ini dikarenakan adanya relasi causalistik antara Sang Pencipta dan ciptaan. Tentu saja, Tuhan Sang Pencipta tidak dapat dilihat oleh manusia dalam essensi-Nya, tetapi Tuhan dipahami dan dikenali oleh manusia lewat ciptaan-ciptaan-Nya berdasarkan relasi-Nya kepada ciptaan-ciptaan-Nya sebagai sumber ciptaan-ciptaan itu sendiri[15].
Proporsi memiliki dua arti. Yang pertama, proporsi dapat berarti suatu relasi determinatif dari suatu quantitas kepada quantitas yang lain (proporsi ini menyangkut soal aksiden). Buah apel yang ada dikeranjang sama beratnya dengan anggur yang ada di meja makan. Yang kedua, segala relasi sesuatu hal kepada hal yang lainnya dapat disebut sebagai proporsi. Dalam pemahaman ini, dapatlah terjadi proporsi antara suatu ciptaan dan Tuhan lantaran ciptaan terkait dengan Tuhan sebagai efek kepada causa[16]. Akibatnya, menurut Thomas Aquinas ada kesamaan, similaritas antara Tuhan dan ciptaan yang dipahami lewat analogi proporsi causalistik: ciptaan-ciptaan itu serupa dengan Tuhan karena ciptaan-ciptaan diproporsikan kepada Tuhan sebagai efek dan causa[17]. Dengan kata lain kesamaan antara ciptaan dan Tuhan terjadi sebagai hasil dari relasi ciptaan kepada Penyebab Pertama ciptaan-ciptaan tersebut. Namun bagaimana pun juga ciptaan tidak sama dengan Tuhan, manusia serupa Tuhan hanya sebagai efek bukan sebagai causa. Tentu saja, Tuhan sebagai penyebab ada secara universal pastilah berbeda dengan segala efek yang terdapat di dalam segala ada yang umum itu (ens commune). Sang Pencipta secara tak terbatas melampaui ciptaan-ciptaan dan bahwa ciptaan tak mungkin mengenal Tuhan secara sempurna.
- Proporsi prius (sebelumnya) dan posterius (sesudahnya)
Analogia entis prius dan posterius digunakan oleh Thomas Aquinas untuk menggambarkan relasi substansi-aksiden terhadap ada. Menurut Thomas, ada itu dipredikatkan baik kepada substansi dan kategori-kategori (qualitas, quantitas, dst). Meskipun substansi dan kategori-kategori merupakan ada tetapi pengertiannya tidak sama. Semuanya disebut ada karena semuanya itu diatribusikan kepada substansi, subjek dari kategori-kategori tersebut. Lalu bagaimana ada diatribusikan kepada substansi dan kategori? Di sini Thomas mengajukan atribusi ada kepada substansi maupun kategori berdasarkan urutan waktu yaitu per prius (sebelum) dan per posterius (sesudah). Ada dipredikatkan kepada substansi secara per prius (sebelum) lalu kepada kategori-kategori secara per posterius (sesudah). Namun ada bukanlah suatu genus yang umum (common genus) bagi substansi dan kategori karena tidak ada genus yang dipredikatkan kepada species secara prius maupun posterius. Prius maupun posterious hanya menunjukkan bahwa ada dipredikatkan secara analogi[18].
Selanjutnya, Thomas menarik adanya kesamaan antara Tuhan dan ciptaan bukan di dalam tataran yang sama melainkan lewat analogi prius dan posterius. Dasarnya adalah segala sesuatunya dipredikatkan kepada Tuhan secara esensial; Tuhan disebut ada karena esensi-Nya, dia adalah baik karena ada kebaikan itu sendiri. Sementara bagi ciptaan-ciptaan, predikat dibuat lewat partisipasi,[19] kebaikan ciptaan terjadi karena partispasi.
Maka, Tuhan adalah causa analogis karena efek dan penyebab serupa, identik di dalam nama (gelar) dan inteligilibitas menurut analogia prius dan posterius. Atribut-atribut atau gelar-gelar Tuhan misalnya Tuhan yang baik, Tuhan yang bijaksana terjadi karena analogi prius dan posterius. Ada dua cara di mana suatu nama atau gelar kiranya diaplikasikan sebelumnya (per prius) kepada sesuatu hal daripada hal yang lainnya: yang pertama menurut pengenaan gelar dan yang kedua menurut natura hal. Gelar-gelar yang dipredikatkan kepada ciptaan-ciptaan per prius menurut pengenaan gelar dan dipredikatkan kepada Tuhan per prius menurut natura hal sebab segala kesempurnaan ciptaan berasal dari Tuhan[20]. Yang terjadi berdasarkan analogia per prius dan per posterius adalah adanya dua prioritas:
- Prioritas secundum rationem nominis
Nama-nama itu diambil dari ciptaan lalu dipredikatkan kepada ciptaan terlebih dahulu baru kemudian dipredikatkan kepada TUhan sejauh Tuhan adalah causa bagi ciptaan. Di sini nama dipredikatkan kepada ciptaan ketika keaslian nama ditekankan. Ketika Tuhan dikatakan Tuhan yang baik kiranya hal ini berarti bahwa Tuhan adalah causa kebaikan bagi ciptaan-ciptaan. Kebaikan yang dipredikatkan kepada Tuhan mencakup intelegilibitas kebaikan ciptaan-ciptaan. Realitas inteligibilitas kebaikan ciptaan-ciptaan mau mengatakan bahwa ciptaan dapat memahami kebaikan Tuhan dari kebaikan-kebaikan yang bersumber dari ciptaan-ciptaan yang dapat dimengerti (inteligibilitas) oleh ciptaan- ciptaan itu sendiri. Tentu saja inteligilibitas kebaikan ciptaan-ciptaan membuktikan bahwa kebaikan kiranya dipredikatkan per prius kepada ciptaan-ciptaan daripada kepada Tuhan. Dengan kata lain nama-nama Tuhan (Tuhan yang baik) dipredikatkan per posterius (sesudah) kepada Tuhan dalam tataran pengetahuan manusia (Tuhan adalah causa kebaikan ciptaan tetapi ciptaan dapat mengenali kebaikan Tuhan berasal kebaikan-kebaikan ciptaan-ciptaan). Kata Thomas Aquinas dalam pembukaan De Trinitate[21]: “Instuisi dasariah akal budi manusia, yang tercemari dengan tubuh yang binasa, tidak dapat mematrikan pandangannya dalam terang utama Kebenaran Pertama; padahal dalam Kebenaran Pertama itu segala sesuatunya dapat diketahui dengan mudah, justru dari Kebenaran Pertama itulah, menurut tahapan cara naturalnya akan pengetahuan, akal budi berkembang dari hal-hal yang adalah sesudahnya (posterius) menuju kepada hal-hal sebelumnya (prius) dan dari ciptaan menuju Tuhan”. Maka, semua nama yang diaplikasikan kepada Tuhan secara metafora diaplikasikan kepada ciptaan terlebih dahulu daripada kepada Tuhan sebab nama-nama Tuhan tersebut hanya menunjukkan kesamaan tetapi dalam logika ciptaan. Tuhan seperti singa berarti Tuhan menyatakan kekuatannya dalam karya-karya-Nya sebagaimana yang dibuat singa. Dengan demikian, jelaslah bahwa nama yang diaplikasikan kepada Tuhan secara metafora didefinisikan hanya dari ciptaan. Konsekuensinya, ketika atribut-atribut seperti baik dan bijaksana dipredikatkan kepada Tuhan memang menunjukkan siapa Tuhan itu, namun atribut-atribut menunjukkan Tuhan secara tidak sempurna karena segala ciptaan mempresentasikan Tuhan secara tidak sempurna. Jadi, sejauh berkaitan dengan pengenaan nama, ciptaan dinamai lebih dahulu (per prius) karena kita mengetahui ciptaan-ciptaan pertama kali[22].
- Prioritas secundum rei naturam
Pada prioritas secundum rei naturam, apa yang dipredikatkan pertama-tama merupakan apa yang menjadi milik Tuhan baru kemudian kepada ciptaan sejauh Tuhan adalah causa bagi ciptaan dan serupa dengan Tuhan. Jadi nama atau gelar itu dipredikatkan pertama-tama kepada Tuhan sejauh atau berdasarkan natura. Ketika Tuhan dikatakan baik atau bijaksana, hal ini tidak hanya berarti bahwa dia adalah causa kebaikan dan kebijaksanaan tetapi juga bahwa kesempurnaan-kesempurnaan ini berada di dalam diri-Nya dalam cara yang lebih tinggi dan secara sempurna. Misalnya di dalam hal kebijaksanaan. Tuhan dengan kebijaksanaan-Nya membuat kita bijaksana, tetapi di dalam cara yang demikian, kebijaksanaan kita selalu tidak mencukupi kesempurnaan dari kebijaksanaan-Nya, ibarat suatu aksiden yang tidak mencukupi kesempurnaan ada ketika ditemukan di dalam substansi. Dalam terang pertimbangan ini haruslah diambil kesimpulan bahwa predikat-predikat ini dibuat untuk Tuhan per prius (sebelumnya) daripada kepada ciptaan karena kepenuhan gelar-gelar mengalir dari Tuhan.
Dengan proporsi causalistik dan proporsi analogi prius dan posterius eksistensi Tuhan dapat dibuktikan, ditunjukan dan diindrai secara konseptual lewat ciptaan (ens commune) dengan konsep analogi: Tuhan adalah ada per essentiam, ada sempurna, murni sementara ciptaan adalah ada per participationem, suatu komposisi (terdiri dari aktus-potensi, substansi-aksiden). Artinya, bahwa esse ciptaan itu selalu menerima dari Tuhan yang adalah Ipsum Esse Subsistens.
Bagaimana Tuhan dapat dibuktikan lewat ciptaan atau dibuktikan dengan akal budi manusia? Menurut Thomas Aquinas segala dan semua ciptaan sejauh memiliki apa pun kesempurnaan mempresentasikan Tuhan dan seperti Tuhan karena Tuhan – ada sempurna secara universal- memiliki pre-existing di dalam diri-Nya segala kesempurnan ciptaan-ciptaan-Nya[23]. Yang kedua, suatu ciptaan serupa dengan Tuhan bukan karena ciptaan berbagi dalam suatu forma menurut natura genus atau spesies yang sama, tetapi hanya menurut analogi sejauh Tuhan adalah ada melalui esensi dan ciptaan adalah ada-ada melalui partisipasi[24]. Jadi, dengan analogi entis, kita dapat berbicara esensi Tuhan tanpa jatuh ke dalam antropomorfisme maupun agnostisme.
Dalam logika antropomorfisme, kita jatuh pada pandangan bahwa segala sesuatunya dapat dipredikatkan kepada Tuhan dan ciptaan secara univox atau melulu dengan jalan positif (via affermativa). Logika antropomorfisme berusaha menjelaskan forma–forma real yang bervariasi tersebut dengan mendeduksikan forma-forma tersebut kepada Tuhan sehingga paham ini mengansumsikan bahwa mereka memiliki suatu konsep, cara pikir Sang Ilahi dan mampu menempatkan dirinya di dalam pikiran sang ilahi kemudian memiliki suatu panorama visi tentang universalitas. Tetapi dilihat dari sudut pengalaman, logika antropomorfisme memuat pretensi manusia yang ingin menjadi Tuhan dan bahwa di dalam realitas sejatinya antropomorfisme mendegradasikan atau menurunkan Tuhan menjadi manusia.
Dalam logika agnostisme, kita terjebak pada pandangan bahwa segala sesuatunya dapat dipredikatkan kepada Tuhan dan ciptaan secara equivox. Salah satu logika agnostisme yang terkenal adalah logika yang digagas oleh Moses Maimonenide yang menyatakan bahwa untuk mengetahui Tuhan hanya dapat diakses dari negasi: Tuhan adalah yang bukan…. Bagi Moses Maimonenide tidak ada cara lain untuk mengenal Tuhan selain lewat negasi atau via remontinis sehingga konsep positif atau via affermativa tidak berlaku dan tidak mungkin untuk berbicara tentang Tuhan karena via affermativa merupakan cara yang terbatas yang tak mungkin membuktikan esensi Tuhan. Proporsi tentang Tuhan itu baik mau mengatakan bahwa Tuhan bukan kejahatan. Dengan negasi tersebut Moses mau menunjukkan bahwa segala kesempurnaan Tuhan yang determinatif (kebaikan Tuhan, kebenaran Tuhan, kebijaksanaan Tuhan yang diindrawi dari ciptaan) jelas tidak membuktikan sama sekali esensi Tuhan. Logika agnostisme ini disanggah oleh Thomas Aquinas: seandainya kita tidak memiliki suatu konsep positif apa pun tentang Tuhan, kiranya kita pun tidak dapat memformulasikan segala proporsi negatif yang dipredikatkan kepada Tuhan karena suatu negasi dengan maknanya selalu mensyaratkan afirmasi; seandainya semua proporsi tentang Tuhan itu negatif, maka kita pun tidak dapat mengafirmasi eksistensi sebab seseorang tidak bisa mengafirmasi eksistensi sesuatu hal yang mana dia sendiri tidak tahu hal tersebut sebagaimana adanya secara definitif.
Konsep analogi menegaskan kesempurnaan ciptaan dan Tuhan terjadi karena Tuhan dan ciptaan memiliki kesamaan tetapi sekaligus juga berbeda. Berkat analogi, manusia dapat berkata tentang kesempurnaan tuhan berdasarkan pengalamannya sebagi ciptaan. Tuhan adalah gunung batuku, Tuhan adalah gembalaku, Tuhan itu adalah baik. Analogia membuat kita merefleksikan siapakah Tuhan dengan konsep positif (via affermativa) dan konsep negatif (via remontinis). Konsep positif misalnya Tuhan adalah actus purus, kesempurnaan, inifinitas. Konsep negatif misalnya Tuhan immutabilis (tak bergerak) tidak disebabkan. Cara positif tentang Tuhan menyatakan kesempurnaan umum akan Tuhan dan realitas yang kita alami sementara konsep negatif mempresentasikan propietas unik Tuhan sekaligus apa yang membedakan TUhan dari apa yang kita alami sebagai ciptaan.
Mengapa dengan konsep positif dan negatif kita dapat berbicara tentang esensi Tuhan? Kita mengetahui siapakah Tuhan hanya berdasarkan pengalaman kita sebagai ciptaan. Tuhan adalah transenden sekaligus imanen sementara ciptaan adalah imanen. Dari yang imanen itulah manusia dapat memahami TUhan yang transendental dan imanen. Realitas imanen selalu menyoal pengalaman dan lewat pengalaman kita membentuk konsep positif dan negatif yang membuat kita mampu berbicara tentang Sang Pencipta. Pengalaman manusia ciptaan dalam via affermativa dan via remontinis menyatakan dua hal berikut ini:
- Kita mengatributkan kepada Tuhan dalam cara yang imanen segala kesempurnaan yang kita temukan di dalam ciptaan karena ciptaan merupakan efek dari suatu causa Tuhan sendiri. Dengan demikian dengan jalan positif ini, kita dapat mendapatkan konsep pertama akan Tuhan yang mempresentasikan aspek umum dari Tuhan dan ciptaan. Umum di sini yang dimaksud adalah segala nama yang merujuk kepada suatu kesempurnaan murni dalam cara yang tak terkualifikasi. Misalnya bijaksana, baik. Jadi umum di sini dapat dipredikatkan baik kepada Tuhan dan ciptaan. Dalam via affermativa, analogia yang berlangsung juga analogi umum artinya bahwa via affermativa menegaskan bahwa similaritas yang terjadi tidak sama persis antara Tuhan dan ciptaan, alasannya kesempurnaan Tuhan misalnya baik, bijaksanan adalah kesempurnaan secara formal sehingga tidak sama ketika bijaksana baik diaplikasikan atau ketika ditemukan di dalam ciptaan, dengan kata lain similaritas terjadi bukan dalam arti univox termasuk juga esse-Nya dan esse ciptaan karena esse ciptaan adalah esse partisipatif sementara esse Tuhan adalah esse yang sejati, esse yang sesungguhnya.
- Konsep positif merupakan konsep umum akan Sang Pencipta dan ciptaan. Maka diperlukan suatu konsep yang membedakan antara Tuhan dan ciptaan. Kita membutuhkan suatu konsep yang mengatakan langsung tentang Tuhan. Sayangnya, karena keluasannya, substansi ilahi melampaui setiap forma yang intelek mampu mengertinya. Akibatnya kita tidak akan mampu mengerti substansi ilahi dengan mengetahui apa itu substansi ilahi secara langsung karena kita adalah imanen sementara TUhan transendental. Kita akan mendapat pengetahuan akan substansi ilahi yang unik yang berbeda dengan realitas ciptaan dengan mengetahui apa yang bukan -baca negasi- tetapi berdasarkan pengalaman dan relasi di dalam ciptaan itu sendiri. Inilah yang disebut dengan jalan negasi, via remontinis. Dasarnya adalah kita akan mengetahui masing-masing hal lebih penuh, jelas dan sempurna ketika kita melihat perbedaannya dengan hal-hal yang lain. Jadi di sini substansi atau esensi Tuhan dapat diakses dengan apa yang bukan, misalnya Tuhan bukanlah mortal, Tuhan bukanlah kejahatan. Kita meniadakan segala ketidaksempurnaan ciptaan agar kita mengerti tentang Tuhan yang sempurna. Dengan jalan negatif ini pula Tuhan dibedakan dari ciptaan. Kalau ciptaan adalah mortal Tuhan berarti TUhan tidak mortal. Walaupun demikian jalan negatif tidak membangun konsep Tuhan secara esensial. Jalan negatif tidaklah sempurna karena jalan negatif tidak mengatakan kepada kita siapakah Tuhan di dalam diri-Nya sendiri. Terlebih jalan negatif hanya diperoleh melalui negasi yaitu apa yang bukan atau relasi kepada ciptaan.
Maka menurut Dionisius via affermativa dan via remontinis mengafirmasi Tuhan karena kedua cara tersebut mengartikan Tuhan tetapi juga menyangkalnya karena cara yang mana mereka mengartikan Tuhan. Dengan via affermativa dan via remontinis nama atau gelar Tuhan dan ciptaan adalah analogis dalam makna bahwa mereka dipredikatkan di dalam suatu order yang definitif yaitu Tuhan adalah causa sementara ciptaan adalah efek sehingga ciptaan memiliki keserupaan dengan causa di dalam kesempurnaan-Nya.
[1] Sebagaimana dikatakan oleh Thomas Aquinas bahwa ada, (being, esse, essere, etre, ser) dan hal (res, thing, chose, cosa) tidaklah identik.
[2] Ludger Honnelferder menyatakan bahwa being dapat dipredikasikan dan dijelaskan kepada segala sesuatunya karena being memiliki dua komponen utama predikasi yaitu quidditas (esensi) dan qualitatif.
[3] Vanni Rovighi, Elementi Di Filosofia (Brescia: Editrice La Scuola, 1996) hal 17
[4] Konseptualisasi abstrak adalah suatu aktivitas intelek yang mengangkat dan mengintensifkan hal-hal (res) pada kepenuhan ada. E. Bruno Porcelloni, Filosofia della Conoscenza (Roma: Urbaniana University Press, 1996) hal 298
[5] Sebagai konsep, ada menyatukan dan memiliki kesatuan yang real. Bdk. Thomas Aquinas dalam IV Metaphysics, lect. 1, no. 536: “Item sciendum quod illud unum ad quod diversa ad quod diversae habitudines referentur in analogicis, est unum numero, et non solum unum ratione, sicut est unum illud quod per nomen univocum designatur. Et dicit quod ens etsi dicatur multipliciter, non tamen dicitur aequivoce sed per respectum ad unum; non quidem ad unum quod sit solum ratione unum, sed quod est unum sicut una quaedam natura”. (Haruslah diperhatikan bahwa satu hal yang memiliki relasi-relasi berbeda yang diacukan di dalam persoalan analog hal-hal adalah satu secara numerik dan tidak hanya memiliki satu makna. Dari sebab itu dia mengatakan bahwa, meskipun terminologi ada memiliki beberapa pemahaman, tetaplah bahwa ada tidak dipredikatkan secara equivox tetapi di dalam referensi kepada satu hal; bukan satu hal yang adalah satu arti, tetapi kepada satu yang adalah satu sebagai suatu natura tunggal yang definitif).
[6] Segala hal (baik substansi maupun aksiden) memiliki satu terminologi yaitu “ada” yang dipredikatkan kepada segala hal tersebut secara umum berlangsung bukan dengan jalan univox tetapi jalan analogi sehingga menjadi pertimbangan ranah ilmu pengetahuan. Analogi itu sendiri merupakan jalan masuk dan suatu pembukaan kepada ada sehingga dapat mengantar kita kepada pengetahuan akan metafisika ada sebagai ada. Thomas Aquinas dalam IV Metaphysics lect.1, no. 534: “Quaecummque communiter unius recipiunt praedicationem, licet non univoce, sed analogice de his praedicetur, pertinent ad unius scientiae considerationem: sed ens hoc modo praedicatur de omnibus entibus: ergo omnia entia pertinent ad considerationem unius scientiae. Quae consideat ens inquantum est ens, scilicet tam substantia quam accidentia”.
[7] Aristoteles mengatakan: “ada dikatakan dalam banyak cara” (pollachos legetai,” τὸ δὲ ὂν λέγεται μὲν πολλαχῶς. Metaphysics. 4.1003a,)
[8] Bdk. Thomas Aquinas, dalam IV Metaphysics, Lec. 1, no. 539: “ita etiam et ens multipliciter dicitur. Sed tamen omne ens dicitur per respectum ad unum primum. Sed hoc primum non est finis vel efficiens sicut in praemissis exemplis, sed subiectum”).
[9] Referensi utama bisa dikatakan sebagai substansi.
[10] Thomas Aquinas, l Sententiarum, d. 19; q. 5, a. 2, ad 1
[11] Ibid.
[12] Ibid., dalam X Metaphysics, lect. 12, no. 2142
[13] Menurut Maurer, analogia secundum esse et non secundum intentionem dapat disebut juga analogi genus atau analogi ketidaksepadanan dengan penjelasan sebagai berikut: kesempurnaan genus melukiskan keseluruhan ada secara tak terbatas. Whisky, seekor anjing, tentu berbeda dengan Iniesta, seorang manusia; walaupun demikian keduanya dapat dikatakan sebagai binatang. Gambaran genus yang demikian bukanlah univox melainkan analog, karena kesempurnaan genus yang tak terbatas itu direalisasikan secara terbatas dalam dua cara yaitu di dalam Whisky dan dalam Iniesta. Untuk menguatkan pernyataannya, Maurer mengutip text Thomas II Sententiarum d. 3, q. 1, a. 5, ad 3: “semua binatang secara sepadan adalah binatang tetapi walaupun demikian binatang-binatang tersebut bukanlah binatang yang sama karena satu binatang lebih hebat dan lebih sempurna dibanding dengan yang lain. A. Maurer, C.S.B., “St. Thomas and the Analogy of Genus,” New Scholasticism, XXIX (955), hal 127-144
[14] Thomas Aquinas, l Sententiarum, d. 19; q. 5, a. 2, ad 1
[15] Ibid., Summa Theologiae, Ia.13.2.ad.3
[16] Ibid., Summa Theologiae, Ia.12.1.4
[17] Ibid., Super Boethium De Trinitate, q.1.2.ad 3
[18] Ibid., Principiis Naturae, no. 45
[19] Ibid., Summa Theologiae, Ia.13.6
[20] Dicendum quod aliquod nomen dicitur per prius de uno quam de alio dupliciter: uno modo quantum ad nominis impositionem; alio modo quantum ad rei naturam: sicut nomina dicta de Deo et creaturis quantum ad nominum impositionem per prius dicuntur de creaturis; quantum vero ad rei naturam per prius dicuntur de Deo, a quo in creaturis omnis perfectio derivatur. Ibid., Malo, I.a.5, ad 19
[21] Ibid., Super Boethium De Trinitate
[22] Ibid., Summa Theologiae, I. q.13, a.6
[23] Ibid., Summa Theologiae, Ia.13.q. 4, a. 2
[24] Non dicitur esse similitudo creaturae ad Deum propter communicantiam in forma secundum eandem rationem generis et speciei: sed secundum analogiam tantum; prout scilicet Deus est ens per essentiam, et alia per participationem. Summa Theologiae, Ia.3.q. 4, a.3, ad 3
Copyright © 2017 ducksophia.com. All Rights Reserved