Lukisan: Chaim Soutine
Mendengar kata sahabat bagai mendengar ayunan musik. Mengapa? Seperti halnya ayunan musik yang menyegarkan dan menghibur jiwa, demikian juga sahabat yang menjadi sebuah rumah untuk berteduh di tengah pelbagai persoalan hidup. Tidak mengherankan bila Aristoteles menganggap sahabat sebagai tempat untuk berlindung di saat kita mengalami kesulitan, kesedihan dan kecemasan. Persoalannya sekarang ialah globalisasi telah mengubah aspek kehidupan termasuk juga hidup persahabatan. Era global ini menuntut kecepatan, efektivitas, efisiensi, produktivitas dan hasil yang instan. Karena tuntutan global ini mau tak mau tiap pribadi harus memiliki suatu profesionalitas yang memungkinkan memenuhi tuntutan era sekarang ini. Akibatnya, relasi dengan orang lain tak lain adalah relasi untuk memenuhi tuntutan tersebut yang disebut dengan relasi utilitas global. Orang dengan mudah membangun relasi dengan yang lain hanya berdasarkan tuntutan arus global. Sayangnya juga orang dengan gampang mendepak persahabatan ketika orang lain tidak lagi mampu untuk mendukung dan memenuhi apa yang menjadi kepentingan dan ambisinya dalam pergulatan global. Kehadiran orang lain hanya dapat diterima selama ia mampu menyokong diri di dalam arus global ini. Orang lain hanya dinilai sebagai alat untuk pemenuhan kebutuhanku yang pertama yaitu self-preservation. Dengan demikian orang lain adalah sebuah obyek kesenangan, sebuah kehadiran untuk “dirasa” dalam semangat utilitas.
Bahaya kesenangan utilitas global
Levinas mengatakan bahwa kesenangan dalam relasi utilitas adalah suatu eksploitasi terhadap yang lain– sesamaku. Aku belajar untuk memanipulasi dan mengontrol sesamaku demi keuntunganku baik sebagai anggota suatu grup di mana aku mengidentikasikan diriku dengan grup tersebut maupun secara personal. Lantas aku bebas untuk menghidupi dan mempermainkan mereka demi kesenanganku. Dalam kesenanganku, aku ada untuk diriku sendiri. Aku sendirian menikmati duniaku tanpa mempedulikan sesama. Kesendirian yang ditemani kesunyian sekaligus kenikmatan. Disinilah letak moralitas hedonis. Bukankah moralitas hedonis itu sebuah keegoisan yang narcistik? Sebuah keegoisan yang sungguh meniadakan referensi terhadap ada yang lain. Keegoisan membuat diri menjadi tuli, tak mampu berkomunikasi atau bahkan menolak komunikasi ibarat perut lapar yang meronta untuk didengarkan dan dipenuhi secara mutlak. Pada saat yang sama aku dalam kesendirian yang menjadikan aku narcistik.
Desakan akan persahabatan yang sejati
Padahal di tengah teriknya eksploitasi terhadap yang lain, persahabatan yang sejati makin dibutuhkan. Banyak sesama yang tidak mampu memenuhi tuntutan era global saat ini. Akibatnya mereka menjadi korban arus global sehingga terjebak di dalam kemiskinan. Kemiskinan tidak hanya menyangkut kemiskinan material tetapi juga miskin diri: ketidakmampuan untuk mengaktualkan diri (Hegel). Yang lebih hebat lagi kemiskinan menjadi sebuah sistem kehidupan. Ketika sesuatu telah menjadi sistem, seperti halnya kasta, sistem melilit segala yang ada di dalamnya. Ia tak memberi izin apa yang ada di dalam dirinya untuk keluar darinya. Ia tidak menghendaki adanya perubahan. Sistem tidak akan pernah membiarkan terjadinya perjalanan dan berpindah ke taraf yang lebih tinggi. Segala sesuatunya telah menempati posisinya dan terpatri pada tempatnya. Sebuah determinasi yang disebabkan oleh keegoisan diri.
Akibatnya kemiskinan hanya menjerit di dalam wajah-wajah. Anak-anak jalanan yang bermain-main di terowongan kota sembari menawarkan koran demi sesuap nasi, mereka yang tinggal di kolong-kolong jembatan, keterbelakangan yang mengungkung orang-orang yang berada di pedalaman itulah konkretisasi jeritan wajah kemiskinan. Mereka tak berdaya untuk melawan dan tak kuasa untuk menghindarinya. Ketidakberdayaan mereka menjadi sebuah jeritan tanpa suara dan tanpa mampu mengatakannya.
Namun sungguh menyiratkan keresahan hati bagi pelihatnya. Meresahkan hati sebab jeritan wajah merupakan sebuah cermin aksi-aksi eksploitasi terhadap dirimu sekaligus bukti keegoisan manusia. Sayangnya jeritan wajah tanpa suara tidak menggugah kesadaran kebanyakan sahabatku. Mungkin jeritan wajah yang malang melintang di berbagai tempat amat menyita waktu bagi pelihatnya. Sebab kehilangan beberapa detik akan menghilangkan ketepatan waktu. Padahal waktu dan ketepatannya di era global ini sangat menuntut siapa saja. Waktu adalah lembaran-lembaran kertas yang bernilai. Memandang jeritan wajah yang malang melintang akan membuat lembaran-lembaran kertas terbuang dengan percuma. Atau jangan-jangan jeritan wajahmu membuat aku tidak tenang untuk mendengar ributnya suara hatiku sehingga lebih baik aku menutup mata terhadap jeritan wajahmu. Keributan hati yang memanggil dan memaksa akan persahabatan. Keributan hati yang menuntut sebuah persahabatan yang sejati bukan persahabatan utilitas global. Lalu bagaimana persahabatan yang sejati itu?
Persahabatan sejati
Persahabatan yang sejati adalah selalu berada di sisinya, di sampingnya. Mengapa harus berada di sisinya? Berada sisinya berarti bagai sebuah kebersaman di dalam perjalanan. Tetap ada jarak dan ruang antara aku dan kamu. Aku dan kamu adalah suatu otonomi yang berdiri sendiri. Aku dan kamu tak mungkin terlebur menjadi satu. Tak mungkin sebab aku dan kamu memiliki dunia yang berbeda dengan segala keanekaragamannya. Bahkan mengenal dan memasuki duniamu adalah hal yang asing. Berada di dalam keasingan menakutkan diriku. Tetapi ruang dan jarak antara aku dan kamu yang membuatku takut tidak berarti bahwa aku tak peduli dengan kamu. Justru karena ruang dan jarak aku selalu menjadi sahabatmu. Ruang dan jarak itulah yang memaksaku untuk mengenal dan menerima dirimu. Ruang dan jarak hanya dapat diatasi dengan kebersamaan. Dengan kebersamaan, aku dan kamu makin menyukai dunia kita masing-masing dan menjadikannya rumah untuk menjadikan kepenuhan dirimu dan diriku. Dengan kebersamaan, aku menemanimu untuk mencapai semuanya itu. Aku akan selalu berada di sampingmu. Sebab kebersamaan membuatku berani untuk mengkomunikasikan duniaku kepada dirimu. Berkomunikasi dengan kamu berarti aku telah mengalahkan ketakutan dan menyambutmu serta membuka diri agar aku masuk ke dalam duniamu dan kamu masuk ke dalam duniaku. Kamu bukan lagi yang menakutkan dan asing bagiku. Aku mengenal duniamu bahkan aku memberikan duniaku kepadamu dan aku menerima duniamu melalui kebersamaan. Saat kamu dan aku saling membiarkan diri dimasuki, kamu dan aku menjadi kita. Kita berarti keegoisan diriku telah dihancurkan. Aku ada untuk dan demi kamu. Oleh karena itu berada di sampingmu merupakan seruan keharusan akan tanggung jawab. Sebuah panggilan tanggung jawabku akan dirimu.
Tanggung jawab sebagai syarat mutlak persahabatan
Tanggung jawabku dimulai ketika wajahmu menatap wajahku. Ketika wajahmu menatap diriku, pada saat itu pula aku bertanggung jawab akan hidupmu. Tanggung jawab ini bersifat asimetris (Levinas). Maksudnya akulah pelaksana tanggung jawab tersebut dan aku tidak bisa tidak bertanggung jawab terhadap dirimu. Aku adalah penjaga dirimu. Tetapi aku tidak bisa menuntut tanggung jawabmu terhadap diriku seperti tanggung jawabku diriku terhadap dirimu. Tanggung jawab etis demi dan untuk sahabatku terjadi sebagai infinite burden tanpa mampu dihindari demi alasan apa pun, tanpa dasar tetapi tak terelakkan dari kewajibanku. Akibatnya aku benar-benar ditawan oleh wajahmu yang tanpa mungkin ada sebuah pelarian dari dirimu. Aku bertanggung jawab atas hidupmu. Kata Dostoyevsky “We are all responsible for all men before all, and I more than all the others”
Tanggung jawab asimetris adalah sebuah cinta. Apakah cinta memiliki terminologi lain selain selalu dikaitkan dengan manusia? Cinta selalu mengarah kepada yang lain, mengarah kepadanya dalam kerapuhannya dan dalam penderitaannya yang terlukis di dalam wajahnya. Mengarah dalam kerapuhannya berarti cinta dinyatakan dalam kebenaran. Maksudnya cinta tidak ditempatkan di dalam percakapan dan tindakan erotis di mana cinta diinterpretasi hanya sebagai sensasi atau dalam bahasa religius yang haus akan transendensi tanpa imanensi. Cinta itu bagai memberi roti yang kukunyah di dalam mulutku kepadamu. Itulah cinta sejati.
Akhirnya cinta itulah yang membuat persahabatan yang sejati terjadi. Sebab sejak semula kamu dan aku lahir dari sebuah cinta. Cintalah yang membuat kita bersahabat, melumatkan keegoisan yang mengakar di dalam diri. Maka dari itu, jangan sampai kita dihakimi oleh tuntutan cinta yang mengakar di dalam diri dan juga diadili oleh wajah-wajah yang menatap diri. Malahan dengan wajah-wajah yang menatap itu kita dibebaskan dari keegoisan dan disukacitakan oleh cinta yang tumbuh dan berkembang melalui persahabatan di antara kita.
Copyright © 2020 ducksophia.com. All Rights Reserved