Lukisan: August Macke, Woman With Parasol In Front Of A Hat Shop
Lukas 16: 19-30
Kata orang itu: Kalau demikian, aku minta kepadamu, bapa, supaya engkau menyuruh Lazarus ke rumah ayahku sebab masih ada lima orang saudaraku, supaya ia memperingati mereka dengan sungguh-sungguh, agar mereka jangan masuk kelak ke dalam tempat penderitaan ini
Nama Lazarus adalah nama kebanyakan orang yang sering digunakan pada zaman Yesus. Di dalam Injil, Lazarus adalah nama seseorang yang artinya Tuhan adalah penolongku dan ia begitu miskin, menderita dan penuh dengan borok. Pada suatu ketika, karena begitu laparnya, ia makan sampah sisa dari si kaya yang namanya tidak disebutkan. Ia menikmati sampah itu bersama anjing-anjing si kaya sembari anjing-anjing itu menjilati boroknya dan lalat-lalat terbang mendengung di atas tubuhnya yang penuh borok itu. Sementara itu, si kaya di dalam rumahnya menikmati kekayaannya: berpakaian satir ungu dengan kain halus, makanan berlimpah ruah dengan kenyamanan rumahnya, dan segala keinginannya terpenuhi. Pada zaman Palestina kuno atau zaman Yesus ungu merupakan simbol dari kekayaan dan kekuasaan. Maka jubah ungu merupakan kain tenunan yang sangat mahal dan kain halus juga adalah tanda yang sama yang mengacu kepada kekayaannya yang luar biasa.
Rumahnya pun memiliki gerbang. Gerbang rumah tidak hanya menunjukkan rumahnya yang begitu besar dan mewah tetapi juga berfungsi sebagai penghalang bagi tamu yang tidak diinginkan masuk ke rumahnya -jadi semacam penyekat, pelindung bagi si kaya dari realitas dunia yang keras yang ada di luar gerbangnya. Gerbang juga melambangkan jarak yang memisahkan lazarus dari dunia si kaya[1]. Lazarus tidak punya rumah apalagi gerbang. Ia hanya bisa berbaring di luar gerbang si kaya sembari menatap rumah mewah si kaya. Keberadaan lazarus begitu dekat si kaya karena Lazarus ada di depan gerbang rumah si kaya atau berjarak beberapa meter saja dari rumah si kaya[2]. Kekayaan dan kemiskinan selalu berdekatan, menyebabkan kemarahan bagi mereka yang tak punya uang atau harapan. Jadi, sebenarnya si kaya tahu kalau ada lazarus di depan rumahnya tetapi si kaya dengan gerbang rumahnya sengaja tidak mau berurusan dengan Lazarus. Orang kaya itu tidak memperhatikan sama sekali si Lazarus yang miskin yang ada di dekat rumahnya, seolah-olah ia buta terhadap Lazarus ini, apalagi untuk mengenal penderitaan dan menaruh belas kasihan kepadanya. Memang orang kaya itu tidak menindas Lazarus atau menghina tetapi ia tak pernah keluar menengok Lazarus. Mungkin karena jijik (Bertold Anton Parreira) atau mungkin dia menganggap dirinya dermawan karena ia tak mengusir atau memindahkan Lazarus dari propertinya.
Kemudian kedua orang ini baik si kaya dan si lazarus mati. Yang satu di pinggir jalan dan yang lain di rumah sakit. Tidak mengherankan kalau Lazarus mati di jalanan di depan gerbang si kaya karena ia adalah orang miskin yang sakit dan tak punya akses fasilitas kesehatan yang baik sehingga wajar kalau ia mati di pinggir jalan. Yang mengejutkan adalah bahwa si kaya juga mati padahal dengan kekayaannya ia bisa mendapatkan fasilitas kesehatan yang terbaik sehingga sembuh[3]. Artinya semua akan mati dan kematian tidak bisa dihindari, dicegah maupun dilawan dengan kekayaan.
Lazarus masuk surga bersama Bapa Abraham. Sebabnya, selama di dunia ia telah menderita begitu hebat sehingga sekarang ia mendapat hiburan. Sementara si kaya tempatnya di neraka penuh dengan api dan begitu menderita. Lalu si kaya melihat Lazarus yang ada di surga dan betapa menyenangkan surga. Sekarang apa yang dialami si kaya bahwa betapa nikmatnya Lazarus di surga dan begitu menderitanya dirinya persis sama seperti yang dialami Lazarus di dunia. Keadaan si kaya berbalik: ia sangat menderita seperti Lazarus ketika masih hidup sementara si Lazarus berbahagia di surga. Ia menengok ke atas dan ke Lazarus yang ada di dekat Bapa Abraham. Maka, ia memohon kepada Bapa Abraham supaya Lazarus mencelupkan ujung jarinya ke dalam air untuk menyejukkan lidahnya. Baru di neraka si kaya menyebut nama Lazarus. Kita terheran-heran kenapa baru sekarang yaitu di neraka ia menyebut dan memanggil nama Lazarus sementara ketika Lazarus berbaring di depan rumahnya ia tak pernah menyapanya. Ironinya lagi, dulu ketika di dunia Lazarus mengharapkan remah-remah roti dari meja makan si kaya. Sekarang si kaya mengharapkan setetes air dari jari tangan lazarus. Situasi terbalik. Si kaya dan si miskin menerima ganjarannya masing-masing. Apa yang kita lakukan dan apa yang tidak kita lakukan kiranya direkam oleh surga dan neraka.
Tentu permintaan si kaya tidak bisa dipenuhi sebab bagaimana mungkin si kaya meminta belas kasihan padahal selama hidupnya ia tak pernah melihat, menengok apalagi memberikan belas kasihan kepada Lazarus. Selain itu juga ada jarak yang tak terseberangi antara surga dan neraka. Jarak ini merupakan buah dan akibat selama si kaya hidup di dunia. Di dunia ada jarak antara si kaya dan lazarus karena gerbang rumah si kaya: Lazarus tidak mungkin mendekati si kaya untuk mengemis bantuan, tetapi si kaya bebas untuk memberikan belas kasihan kepada Lazarus tetapi ia tidak melakukan sama sekali. Si kaya ingin menghindari segala kontak dan komunikasi dengan Lazarus. Si kaya membangun jurang antara dirinya dan Lazarus. Akibatnya, sekarang Lazarus yang di surga dan si kaya yang di neraka dipisahkan oleh jurang yang tak terseberangi: jurang antara surga dan neraka. Meskipun Lazarus mau menolong si kaya, tetapi dia tidak dapat melakukannya karena jurang itu[4]. Surga dan neraka membalas perbuatan masing-masing orang.
Kemudian si kaya meminta tolong kepada Bapa Abraham agar ia mengutus Lazarus untuk memperingati kelima saudaranya. Si kaya menyebut bahwa dia mempunyai lima saudara tetapi seharusnya enam saudara: satu yang selalu tak dikenali adalah si Lazarus yang lain (Hoyer dan Roth). Permintaan si kaya dijawab oleh Bapa Abraham: Jika mereka tidak mendengarkan kesaksian Musa dan para nabi, mereka tidak juga akan mau diyakinkan, sekalipun oleh seorang yang bangkit dari antara orang mati”. Jawaban Bapa Abraham menjadi akhir cerita yang menunjukkan bahwa begitu banyak si kaya di dunia yang begitu tegar hati karena tidak mendengarkan kesaksian Musa dan para nabi sehingga akan segera menyusul ke neraka.
Cerita Lazarus dan si kaya mengingatkan pada suatu peristiwa nyata yang terjadi di sebuah kampung di Jakarta di bulan Desember 2004, yaitu seorang ibu yang bernama Jasih membakar dirinya dan anaknya yang bernama Galuh karena frustasi: anaknya kena kanker otak dan tak ada biaya untuk mengobati bahkan hanya untuk membeli obat penenang. Peristiwa pembakaran itu dimulai ketika Galuh menjerit-jerit karena sakitnya kepalanya. Si ibu hendak pergi ke apotek untuk membeli ponstan demi meredakan sakit Galuh tetapi uang tak cukup. Maka, ia pergi ke beberapa tetangganya untuk meminjam uang. Namun para tetangganya pun menolak karena Jasih telah mempunyai hutang yang belum terbayar. Bahkan pada saat mau meminjam, tetangganya malah menagih dan menekan hutangnya sebab tetangganya pun juga orang miskin, tak sanggup untuk membayar uang sekolah. Begitu putus asanya dan pedihnya hati seorang ibu yang melihat anaknya bergulung-gulung kesakitan, maka terjadilah peristiwa yang memilukan dan menyayat setiap orang mendengar kisahnya itu. Diambilnya minyak dan disiramkan ke tubuh Galuh dan ke tubuhnya lalu ia membakar Galuh bersama dirinya. Keduanya mati bersama terbakar hidup-hidup yang sempat sejenak disaksikan oleh kakak Galuh yaitu Gilang dan bapaknya. Sementara itu, tak jauh dari kampung itu, pada saat peristiwa yang memilukan itu terjadi, orang-orang baru membeli sebuah apartemen di Paris, menikahkan anaknya di Convention Hall Jakarta, memberi kado istri dengan berlian seharga 500 juta, menyogok rekanan senilai 3 miliar, menyumbangkan uang untuk gereja sebesar 70 juta, pergi tur ziarah ke Yerusalem seraya mentraktir 10 orang teman ke Yerusalem, berjudi di London sampai kalah 10.000 poundsterling, atau hanya menyimpan uang beberapa miliar di bank seraya menunggui bunga sekian persen[5]. Situasi Galuh persis yang dilukiskan dalam cerita Lazarus dan si orang kaya.
Galuh dan Jasih telah mati. Kematian mereka menunjuk kepada suatu tuduhan akan tidak peduli; sikap cuek seakan-akan menjadikan kita bersekongkol dengan kematian orang lain (Goenawan Mohammad); sikap acuh tak acuh yang membiarkan sesama mati sekarat. Ada banyak Lazarus, Galuh dan Jasih di negeri kita, tapi kita terbuai dengan usaha kita memupuk kekayaan sehingga kita tak pernah menengok dan tak pernah ingat kepada mereka. Kita sibuk mencari, berlomba-lomba dan menikmati kekayaan yang kita miliki bahkan mendambakan kekayaan padahal pada saat yang sama begitu banyak orang yang menderita yang butuh bantuan dan perhatian kita. Kita tercengkeram oleh kekayaan kita dan terkengkang oleh ambisi sehingga melumpuhkan kita untuk berbuat bagi sesama kita. Kita sering melewati begitu saja mereka yang membutuhkan kita, pura-pura tuli dan pura-pura tidak melihat Lazarus. Kita adalah pecinta uang dan pendamba kekayaan. Termasuk gereja. Akibatnya kita gagal total untuk berbelas kasih kepada Lazarus yang ada di sekeliling kita. Kita gagal total dalam memaknai kebangkitan, kita gagal mengerti perintah Musa ataupun para nabi[6]. Orang kaya dalam cerita Lazarus dihukum di neraka bukan karena kekayaannya tetapi karena ia tak pernah melihat dan peduli kepada Lazarus yang miskin. Jadi, cerita Lazarus atau Gasih bukan dongeng untuk tidur tetapi suatu peringatan yang keras. Kerasnya peringatan itu diungkapkan dalam fakta bahwa nama si kaya tidak disebut oleh Abraham. Ia selalu bernama si kaya, suatu yang anonim tetapi selalu mengacu kepada dia yang kaya tetapi gagal dalam berbelas kasih kepada sesamanya sehingga namanya tidak pernah disebut, diingat oleh surga dan tempat si kaya di neraka.
Kematian Jasih dan Galuh menggugah kesadaran, menghentakkan hati dan pikiran kita akan sesama yang ada di luar rumah kita dan tujuan akhir hidup kita: surga dan neraka. Setiap saat kita selalu diingatkan oleh sabda Tuhan, oleh Lazarus, oleh Jasih dan Galuh bahkan oleh si kaya yang ada di api neraka itu. Sebab kiranya kita ini adalah kelima saudara dari si kaya itu. Si kaya yang ada di dunia orang mati berusaha memberitahu kepada kita supaya kita membuka mata kepada Lazarus yang ada sekitar kita. Sayangnya kita tetap tegar hati dan tidak peduli akan penderitaan orang lain.
Dan tentu saja pada akhirnya, kita tahu di mana tempat si kaya dalam cerita Lazarus. Ketika kita berada di neraka, pastilah ada jurang yang tak mungkin terseberangi antara Lazarus, Jasih, Galuh dan kita. Kita hanya bisa memohon kepada Lazarus, Jasih dan Gasih untuk memberikan setetes air kepada kita. Namun tetes air itu tak pernah sampai karena ada jurang yang tak terseberangi antara surga dan neraka. Kita di neraka dan jurang itu ada karena karena kita tidak pernah berbelas kasih dan melakukan kasih kepada Lazarus, Galuh ataupun Jasih selama kita hidup. Ketulian, kebutaan dan kepuraan-puran kita terhadap si miskin menempatkan kita di neraka sekaligus membangun jurang yang tak terseberangi antara kita dan mereka.
Di neraka pula kita berusaha memberitahu saudara kita yang masih hidup di dunia supaya memperhatikan Lazarus. Tetapi yang terjadi selalu sama: kecuekan selalu membutakan hati dan kekayaan mendegilkan hati sehingga neraka pun penuh sesak. Ketuliaan dan kebutaan kita atau kepura-puraan kita, kecuekan kita sudah dijawab dengan tegas oleh Abraham: “Jika mereka tidak mendengarkan kesaksian Musa dan para nabi, mereka tidak juga akan mau diyakinkan, sekalipun oleh seorang yang bangkit dari antara orang mati”. Dan tentu saja akhir riwayat setelah penghakiman tidak dapat diubah.
Kita adalah penjaga sesama kita. Artinya, kita sebenarnya bertanggung jawab demi dan untuk sesama kita bahkan untuk segala kehidupan. Itulah kemuliaan kita sekaligus panggilan kita manusia sebagai gambar dan rupa Allah. Siapakah sesama kita? Sesama kita bukanlah melulu saudara kita yang sedarah, yang memiliki pertalian keluarga tetapi saudara kita adalah setiap wajah yang mampu kita lihat, setiap tangan yang mampu kita pegang, setiap suara yang mampu kita dengar. Maka yang diminta dari kita sebagai penjaga sesama kita adalah belas kasih dan tindakan. Belas kasihan dan tindakan saling terkait satu sama lain ibarat matahari dan terangnya. Kita tidak dapat bertindak tanpa belas kasih dan kita tidak dapat berbelas kasih tanpa bertindak.
Yang telah bangkit dari kematian hanyalah Jesus. Jesus yang bangkit datang dan menunggu kita dalam rupa Lazarus: yaitu mereka yang miskin, tak punya rumah, tak punya hak, tak punya makanan, tak punya akses ke kesehatan. Di hadapan Yesus dalam rupa Lazarus, kita perlu bertanya kepada diri kita apakah kita mau melihatnya di tengah kita. Apakah yang kuperbuat di hadapan Lazarus? Apakah aku sudah membantu Lazarus dengan memberikan makanan, bantuan ataupun kebaikan yang bisa kuperbuat? Kiranya kita memiliki mata belas kasih untuk melihat Lazarus, hati belas kasih untuk mencintainya dan tangan-kaki belas kasih untuk melayani dengan berkat yang telah kita terima untuk menolongnya.
Sebenarnya tentang kekayaan yang begitu melimpah tidak ada faedahnya secara nyata kecuali untuk dibagikan; faedah yang lain hanyalah suatu kesombongan (Francis Bacon). Maka, kata Salomo, dengan bertambahnya harta, bertambah pula orang-orang yang menghabiskannya. Dan apakah keuntungan pemiliknya selain daripada melihatnya? Orang sering menganggap bahwa kekayaan sebagai pahala atas perilaku mereka yang soleh, saleh. Tetapi kisah Lazarus menohok asumsi ini dan menjungkirbalikkan pandangan yang demikan karena jika kita berlaku seperti si kaya dalam hidup ini walaupun kita diberkati dengan kekayaan yang melimpah, kita akan bernasib sama dengan si kaya dalam kematian. Jadi, di sini ada pembalikkan pandangan bahwa kekayaan adalah rahmat Tuhan dan kemiskinan adalah kutukan Tuhan karena penghakiman surga tidak selalu demikian.
Kita semua akan mati, tidak ada yang dapat menghindari kematian. Untuk itu, janganlah kita menunda aksi-aksi kasih sampai kematian datang; karena, tentu saja jika kita mempertimbangkan hal ini dengan benar sekaligus melakukannya, maka kita yang melakukan kasih akan menjadi orang bebas dari cengkraman kekayaan. Terlebih, kita menyiapkan tempat kita di surga dengan melakukan belas kasih yaitu tinggal bersama Bapa Abraham dan Lazarus, Jasih, Galuh.
[1] www.sermonwriter.com
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Ibid
[5] Cerita ini diambil dari catatan pinggir Goenawan Mohammad.
[6] www.sermonwriter.com
Copyright © 2020 ducksophia.com. All Rights Reserved