Lukisan: Pietro da Cortona, Triumph of Divine Providence, 1633
Tuhan sedang berkerja meskipun tampaknya tidak terjadi apa-apa.
Tuhan juga tidak diam dan tidak berpangku tangan
ketika kejahatan merajalela dan penderitaan berlangsung
Fakta adanya penyelenggaraan ilahi sering dilupakan padahal penyelenggaraan ilahi merupakan bukti yang paling konkret tentang Tuhan dalam karya dan tindakan-Nya. Penyelanggaraan ilahi menjadi jauh dalam pergulatan iman karena orang berkutat dengan rutinitas dan tuntutan hidup yang semakin berat padahal penyelenggaraan ilahi hadir di dalam realitas sehari-hari paling sederhana. Melupakan penyelenggaraan ilahi membuat hidup dipenuhi dengan kekhawatiran karena manusia berusaha memecahkan dan menjawab pelbagai persoalan hidupnya dengan kekuatannya sendiri. Kecemasan datang bagai badai yang menerpa dan menghimpit sampai membuat diri kehilangan arah dan orientasi. Apalagi instanisme, hedonisme, kecepatan, teknologi semakin mengisi dan menjajah ruang kehidupan. Makna iman berada di dalam kekaburan sehingga kegamangan menguat dan melilit dalam menghadapi aneka tantangan yang semakin menggelora. Banyak orang tidak mempercayai penyelenggaraan ilahi karena mereka tak pernah mengalaminya. Tetapi, mereka tak mengalaminya karena mereka tak pernah berani melompat ke dalam kehampaan ataupun tak memilih untuk mengambil lompatan iman. Mereka tak pernah memberi kesempatan kepada penyelenggaraan ilahi untuk mengintervensi. Manusia mengkalkulasi segala sesuatunya, mengantisipasi segala sesuatunya, berusaha memecahkan segala sesuatunya dengan mengandalkan dirinya sendiri daripada mengandalkan Tuhan (Jaques Philippe).
Tema penyelenggaraan ilahi dicoba diangkat kembali supaya iman dan tindakan orang Kristiniani penuh dengan optimisme sekaligus mengaktualkan optimisme dalam bingkai kasih kepada segalanya ataupun supaya setidaknya menemukan penyertaan-Nya dalam realitas sederhana sehari-hari kemudian mengantar diri untuk berdoa, bersyukur bahkan berserah kepada-Nya.
Eksistensi Penyelenggaraan ilahi: kebaikan dan cinta Tuhan dalam causalitas-Nya
Realitas penyelenggaraan ilahi dapat dilihat dari keteraturan di dalam natura dan keteraturan di antara natura. Keteraturan dalam natura terjadi karena dalam natura itu sendiri segala sesuatunya berlangsung dengan begitu baik dan karena natura diarahkan menuju finalitasnya. Sementara, antara natura yang satu dengan natura lain juga mengukir keteraturan yang demikian indah, saling bersinergi, saling menopang dan saling berkolaborasi sehingga membentuk suatu tatanan semesta yang demikian adanya. Natura memiliki keharmonian, kegunaan, tujuan, dan suatu akhir yang dikehendaki baik di dalamnya maupun relasinya dengan natura yang lain. Dengan demikian, secara natural setiap ada dalam tindakannya maupun hasil dari tindakannya selalu mencari, menghasratkan, mengarah dan berjalan kepada finalitas.
Finalitas segala ada adalah kesempurnaannya dan kesempurnaan segala ada adalah kebaikannya. Segalanya sempurna sejauh segalanya baik. Namun, kebaikan ataupun kesempurnaan setiap ada menemukan kepenuhannya melalui partisipasinya di dalam kebaikan tertinggi yaitu Tuhan -sang pencipta. Tuhan sebagai kebaikan tertinggi yang menjadi finalitas segala ada membuka fakta causalitas-Nya yang menjelaskan mengapa ada menemukan finalitasnya di dalam diri-Nya sekaligus mengapa Ia adalah causa keteraturan semesta ini. Ada dua alasan setidaknya menurut Thomas Aquinas: yang pertama, Tuhan -Sang Pencipta- adalah kebaikan tertinggi karena ia adalah causa pertama bagi segala yang ada sehingga ia pun menjadi causa final bagi segalanya[1]. Artinya, finalitas ada berdasarkan dan bersesuaian dengan permulaannya yaitu penciptaan; jadi tidaklah mungkin untuk tidak mengetahui akhir dari segala sesuatu jika permulaannya diketahui. Penciptaan bukanlah penciptaan tanpa tujuan atau sekedar mencipta tetapi selalu memiliki pola yaitu awal-finalitas dan segala yang ada bergerak menuju finalitasnya. Tentu saja, segala sesuatunya menemukan finalitasnya dalam satu kebaikan dan kebaikan tertinggi yaitu Tuhan sang ada pertama, sang pencipta. Yang kedua, setiap ada berhasrat akan finalitas karena finalitas ternyata merupakan efek dari Tuhan sebagai agen yang menciptakan (baca: causa efisien). Ciptaan selalu bertendensi menuju kepada finalitas karena efek yaitu kesempurnaannya diarahkan oleh agen sendiri. Causa pertama dan causa efisien membuktikan bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatunya dari ketiadaan. Realitas ciptaan yang berasal dari ketiadaan semakin mengafirmasi Tuhan sebagai kebaikan yang tertinggi. Ada yang pertama yang kita sebut Tuhan memiliki segala kesempurnaan ada-Nya. Justru dari kelimpahan kesempurnaan-Nya, Dia menganugerahkan eksistensi kepada segala yang ada sehingga Tuhan tidak hanya sebagai ada pertama tetapi juga sumber dari segala ada. Dia berbagi dan mengkomunikasikan ada-Nya kepada ciptaan. Dia memberikan ada kepada segala eksistensi bukan karena berdasarkan suatu keniscayaan natura-Nya tetapi menurut pilihan dari kehendak bebas-Nya. Kehendak bebas-Nya merupakan kesempurnaan mutlak yang berasal dari pengetahuan-Nya.
Pengetahuan-Nya membuka realitas diri-Nya sebagai causa eksemplar. Untuk menciptakan, Dia -causa efisien- memuat segala model ciptaan di dalam intelek-Nya. Segala model ciptaan-Nya yang termuat di dalam intelek disebut causa eksemplar karena tanpa adanya model yang ada di dalam intelek -causa eksemplar- agen tidak mungkin mencipta. Melalui causa eksemplar-Nya, efek-Nya yaitu kebaikan-Nya definitif sudah mengada di dalam diri ciptaan sehingga tatanan dan keteraturan semesta definitif pula mencerminkan kebaikan dan intelek-Nya. Maka, kebaikan dan keteraturan segala ada setidaknya juga memuat dua realitas: yang pertama, keteraturan segala ada yang menuju finalitas sudah pre-eksis`di dalam pikiranNya. Yang kedua, di dalam diri segala ciptaan Tuhan sebagai finalitasnya sudah mengada semenjak ia diciptakan[2]. Dengan demikian, Tuhan bukanlah finalitas bagi ciptaan dalam arti menjadi sesuatu yang ditetapkan sebagai cita-cita, tetapi sebagai Ada yang sudah pre-eksis sebelumnya yang harus dicapai oleh ciptaan secara kodrati[3]. Definitif, secara natural segala ciptaan menghasratkan Tuhan sebagai finalitas. Tiada finalitas selain Tuhan karena kehendak-Nya adalah kebaikan-Nya dan kebaikan-Nya adalah diri-Nya sendiri sebagai causa pertama, causa eksemplar, causa eifisien dan causa finalitas. Causalitas-Nya menyebabkan kebaikan segala yang ada tergantung kepada-Nya karena ia memang sumber segala kebaikan[4]. Tanpa kebaikan-Nya, tak mungkin ciptaan mengada, memiliki eksistensi, saling bersinergi dan memiliki causalitas. Jika Dia berhenti berkaya, eksistensi segala ciptaan pun berhenti dan hilang, karena Dia tidak hanya causa dari jadinya segala ciptaan tetapi juga eksistensi mereka. Tanpa Pencipta, segala ciptaan lenyap sebab ciptaan yang berasal ketiadaan memiliki ada karena kebaikan sang pencipta sehingga andaikata ia dilenyapkan oleh sang pencipta ia tidak dapat berbuat apa-apa[5]. Jadi, causalitas-Nya adalah keteraturan bagi segala yang ada, yang mana mereka telah diarahkan pada tujuan khusus mereka sendiri dan ke tujuan akhir alam semesta yaitu kebaikan alam semesta yang merupakan manifestasi dari kebaikan-Nya. Causalitas-Nya juga menguak adanya keutuhan (oneness) antara Tuhan dan ciptaan karena Ia adalah sang pencipta yang mencintai dan peduli terhadap ciptaannya.
Dari realitas ini, dapat ditarik suatu fakta bahwa Tuhan mengatur, menata, membimbing segala yang ada menuju finalitasnya dengan penyelenggaraan-Nya. Maka, tindakan dan disposisi yang dengannya Tuhan melakukan dan mempertahankan relasi-Nya yang berkelanjutan dengan ciptaan demi menuntun mereka menuju kesempurnaan akhir mereka disebut dengan penyelenggaraan ilahi. Bunga yang tumbuh mekar, pergerekan planet dengan orbitnya dengan rapi, fungsi organ dalam tubuh, manusia yang saling mencinta, anjing yang bermain-main, burung yang berkicau, lautan yang bergelora, kawanan ternak yang memakan rumput kiranya merupakan realitas sehari-hari yang mengukir penyelenggaraan ilahi. Tidak ada satupun yang tidak mengambil keberadaannya dari-Nya sehingga kebaikan-Nya merupakan prinsip penyelenggaraan-Nya. Tentang keteraturan natura dan penyelenggaraan ilahi Agustinus menulisnya sebagai berikut: “Karena penyelenggaraan ilahi kita melihat benda-benda langit ditata dari atas, bintang-bintang dan planet-planet ke bawah menyinari kita ke bumi, pergantian malam dan siang yang teratur, tanah kasar yang dibersihkan oleh gelombang-gelombang air di sekitarnya, udara memancar yang keluar dari langit, semak-semak dan binatang yang dikandung dan yang dilahirkan, yang tumbuh, yang dibuang dan yang memangsa, dan semua hal lain yang terjadi oleh gerakan interior, gerakan natural”.
Penyelenggaraan ilahi meliputi segala yang ada baik yang kecil sampai hal yang besar, baik yang kelihatan dan yang tak kelihatan, tidak hanya kehidupan umum tetapi hidup setiap individu, tidak hanya hal-hal yang kekal tetapi juga hal-hal yang bersifat koruptif-binasa yang mana semuanya di bawah tatanan penyelenggaraan ilahi[6]: tidak ada yang luput dan tidak dijaga oleh penyelenggaraan ilahi. Dari terbitnya sampai terbenamnya matahari, dari ujung bumi yang satu sampai ujung bumi yang lain, semuanya dan segalanya ada di dalam penyeleggaraan ilahi dan menjadi subyek penyelenggaraan ilahi karena segalanya berpartisipasi dalam eksistensi-Nya. Causalitas-Nya mencakup tidak hanya kinerja atau operasi natura tetapi juga kepada masing-masing ada secara partikular. Setiap ada partikular diarahkan oleh causalitas yang pertama yang berarti bahwa segala sesuatu yang diciptakan dibimbing oleh-Nya dalam penyelenggaraan ilahi-Nya.
Filsafat materialisme mengatakan bahwa dunia dan keteraturannya berasal keniscayaan material sehingga dunia terbentuk hanya karena peristiwa material; bukan dari tatanan penyelenggaran ilahi. Dunia berlangsung karena begitu saja, tanpa causalitas. Sudah bisa ditebak, misteri penciptaan pun tereliminasi sehingga keindahan semesta dan ciptaan terkubur dalam pesimisme dan terjebak di dalam materialisme yang memudarkan kekayaan ciptaan dan menghilangkan penyelenggaraan ilahi.
Fakta penyelenggaraan ilahi menunjukkan pula pemerintahan ilahi. Tujuan pemerintahan ilahi adalah kebaikan tatanan semesta karena yang paling Tuhan pedulikan adalah kebaikan tatanan semesta. Ada regulasi-regulasi ilahi dan tata kelola ilahi supaya kebaikan tatanan semesta dapat berlangsung dan terwujud. Regulasi-regulasi ilahi terbukti di dalam keteraturan dan keharmomian semesta, hukum-hukum yang termuat di dalam natura. Pelaksanaan atau eksekusi dari penyelenggaraan ilahi disebut pemerintahan ilahi[7]. Dalam pemerintahan ilahi, kebaikan partikular ada-ada ciptaan berlangsung demi kebaikan tatanan semesta karena kebaikan tatanan semesta adalah kebaikan yang paling sempurna.
Maka, penyelenggaraan-Nya memiliki sumber di dalam kebijaksanaan-Nya. Di dalam kebijaksanaan-Nya, ia mengetahui segala yang ada baik yang universal maupun yang partikular sehingga segala yang terjadi berada di bawah penyelenggaraan-Nya. Kebijaksanaan ilahi adalah pengetahuan yang Tuhan miliki tentang diri-Nya dan semua hal, sejauh Dia adalah tujuan tertinggi dan tujuan terakhir ciptaan: pengetahuan ilahi tentang segala sesuatunya melalui tujuan tertinggi ciptaan. Di dalam pengetahuan-Nya dia mendominasi secara sempurna atas segala ada yang diciptakan-Nya karena untuk menciptakan segala sesuatunya dia tidak membutuhkan bantuan agen external ataupun kehadiran materi yang mendasarinya, sebab Dia adalah pencipta universal segala yang ada. Karena itu Ia adalah Tuhan yang mahakuasa dan penyelenggaraan-Nya hadir di mana-mana (baca: omnipresent). Omnipresent menunjukkan keindahan penyelenggaraan-Nya. Mengapa? Pertama, Dia hadir di mana-mana dengan kekuatan-Nya, yang dengan kekuatan-Nya segala sesuatu ada di dalam kuasa-Nya, yang melalui kekuatan-Nya Ia juga membuat setiap makhluk bergerak, dan mengarahkannya untuk bertindak, mencipta, bekerja dan berkarya. Kedua, Ia ada di segalanya dengan kehadiran-Nya, karena semua hal diketahui oleh-Nya. Semua hal diletakkan dengan jelas di hadapan-Nya, bahkan sampai ke detail yang terkecil, ke rahasia hati yang paling tersembunyi dan relung hati nurani yang paling terdalam. Terakhir, Tuhan hadir dengan esensi-Nya, esensi-Nya identik dengan keberadaan-Nya sehingga dengan esensi-Nya Dia menjaga dan memelihara segala ada.
Dengan penyelenggaraan ilahi pula segala sesuatu dijaga dan dilestarikan. Penyelenggaraan ilahi menjadi prinsip pelestarian ciptaan karena pelestarian ciptaan tidak lain adalah kelanjutan dari keberadaan mereka. “Tuhan adalah causalitas dari semua hal yang ada, memberikan ada kepada segalanya sehingga tatanan penyelenggaraan-Nya harus mencakup segala hal. Konsekuensinya, terhadap ada yang telah Dia ciptakan, Dia juga harus melestarikan pemeliharaan mereka sekaligus membimbing mereka menuju kesempurnaan sebagai tujuan akhir mereka[8]. Dengan demikian Tuhan melalui melalui penyelenggaraan-Nya menopang keberadaan dan keberlangsungan semesta ini.
Demi semuanya itu, Ia mencipta, memelihara, melestarikan ciptaan dengan cinta-Nya sehingga cinta-Nya sebenarnya adalah causalitas yang meresapi dan menciptakan kebaikan di dalam segala yang ada[9]. Dalam cinta-Nya, segalanya sesuatunya diabdikan supaya menjadi manifestasi kebaikan-Nya. Cintanya memberi kehidupan (live-giving), menciptakan segala sesuatunya dan menopang segala yang ada. Cinta-Nya untuk masing-masing sekaligus memperhatikan dan menjaga masing-masing secara khusus. Dia membimbing secara personal setiap ada dan segala eksistensi menuju kebaikan dan kebahagian. Memang adalah kehendak-Nya bahwa segala yang memiliki eksistensi menerima finalitas yang membahagiakan.
Dia mengasihi kita dengan cinta-Nya yang tak terbatas dan cinta-Nya memeluk keseluruhan ada kita dan segala ciptaan. Penyelenggaraan ilahi berarti cinta Tuhan yang bekerja dan berkarya dari penciptaan sampai sekarang dan seterusnya; cinta yang menjaga dan memelihara segala yang ada. Kita dapat mengatakan pula bahwa penyelenggaraan ilahi mengarahkan segala sesuatunya menuju cinta-Nya sehingga semuanya di dalam rencana keselamatan ilahi dan aktualitasnya (Sylvester Wengi).
Bersambung
[1] Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, III, 17, a. 4.
[2] Ibid., Summa Contra Gentiles, III, 18, a.3
[3] Ibid., Summa Contra Gentiles, III, 18, a.2
[4] Ibid., Summa Contra Gentiles, III, 17, a.3
[5] Katekismus no 308
[6] ibid., De Veritate 5. 2
[7] Ibid., Summa Theologiae, Ia, q.23; a.4
[8] Ibid., Summa Contra Gentiles, III, 94; a. 9
[9] Ibid, Summa Theologiae,Ia, q. 20, a. 2
Copyright © 2020 ducksophia.com. All Rights Reserved