Bagian II
Lukisan: Camille Pisarro, The Conversation, Louveciennes, 1870
Ketika cinta berdiam di dalam diri,
tuturan dan tindakan memantulkan dan memancarkan keindahannya
Tuturan dan tindak tutur membentuk gambaran diri
Tuturan dan tindak tutur membentuk diri karena mereka merupakan aktivitas natural dan eksistensi manusia. Diri ada, tumbuh dan menjadi demikian berkat kinerja tuturan dan tindak tutur yang terangkai dalam setiap peristiwa ruang dan waktu. Bagaimana proses pembentukan diri lewat tuturan dan tindak tutur?
Tuturan dan tindak tutur sebenarnya merupakan dua entitas yang berbeda namun berkesinambungan. Perbedaan itu terjadi karena tuturan adalah kata-kata yang mana bahasa diucapkan sehari-hari dan dipahami dalam makna sintaksis, semantik dan gramatika, sementara tindak tutur adalah kata yang memproduksi tindakan dalam makna praktis bahasa. Yang pertama hanyalah bahasa yang sifatnya komunikatif, deskriptif, informatif sementara yang terakhir adalah perbuatan dalam rupa linguistik dan perbuatan yang nyata. Kemudian, kesinambungan mereka disebabkan adanya anomali yaitu bahwa justru dengan tindak tutur, tuturan memiliki obyektivitasnya baik oleh karena tuturan itu sendiri dan tindak tutur. Obyektivitas mengedepankan fakta yang berarti ia dapat direkam dan diceritakan sehingga ia dapat diverifikasi ataupun dibuktikan supaya tuntutan obyektivitasnya terpenuhi. Fakta tuturan membuktikan bahwa tuturan bukanlah suatu letupan bunyi melulu, ilusi, gambaran linguistik ataupun angan-angan linguistik tetapi suatu realitas, penuh dengan makna yang terhubung dengan kenyataan. Obyektivitas yang pertama menyoal tuturan itu sendiri sudah sebagai suatu fakta. Seseorang bertutur kata: matahari terbit di sebelah timur maka tuturannya adalah suatu fakta. Mengapa demikian? Faktanya bahwa seseorang yang bertutur kata atau mengatakan kenyataan tersebut adalah suatu peristiwa yang terjadi (Recanati). Peristiwa yang terjadi itu mencakup dua fakta yaitu matahari terbit di sebelah timur dan fakta tuturan yang mengatakan bahwa matahari terbit di sebelah timur. Dengan demikian fakta tuturan itu sendiri adalah suatu peristiwa seperti halnya semua peristiwa yang terjadi di suatu tempat dan waktu tertentu. Dalam logika yang demikan, bisa dibalik pula bahwa peristiwa determinatif ruang dan temporal adalah tuturan. Sebabnya, fakta menuturkan sesuatu adalah suatu peristiwa seperti fakta tentang pot bunga yang pecah, fakta tentang kelahiran dan kematian, fakta akan kucing menangkap tikus. Fakta tuturan menggarisbawahi karakter tuturan itu sendiri sejauh fakta: suatu fakta tentang segala sesuatu yang terjadi atau itu yang demikian adanya (Recanati). Yang kedua, tuturan adalah fakta karena ketika realitas tindak tutur diafirmasi yaitu ketika kata adalah tindakan, maka di dalam tindakan arti-makna tuturan termaknai faktualitasnya. Dengan eksistensi tindak tutur, tuturan menjadi fakta definitif. Jadi, faktualitas tuturan mengambil wadah di dalam rupa tindakan (tindak tutur) yang terajut dengan aktualitas tuturan dan kinerjanya. Mengatakan yang berarti melakukan membuktikan eksistensi faktualitas bahasa. Artinya, tindak tutur adalah wujud dari tuturan sementara tuturan adalah wujud dari bahasa. Faktualitas tuturan dan tindak tutur mau mengatakan bahwa bahasa adalah locus makna yang konkret. Dalam makna yang konkret oleh karena tuturan dan tindak tutur, bahasa beralinansi dengan hal-hal dunia yang kita bicarakan sekaligus hal-hal yang kita lakukan ataupun yang kita kerjakan.
Maka, bahasa merunut konsep keorangan secara linguistik karena tuturan dan tindak tutur melibatkan subyek manusia yang berkata-kata kepada subyek manusia yang lain tentang segalanya misalnya ide, pendapat, realitas, dan seterusnya. Konsep keorangan secara linguistik tak lain berupa aku sebagai kata ganti orang pertama, kamu sebagai kata ganti orang kedua, dia sebagai kata ganti orang ketiga. Bagaimana konsep keorangan tersebut terbentuk? Konsep keorangan terjadi karena tuturan dan tindak tutur mengusung referensi dan refleksitas. Referensi dan refleksitas saling berjalan bersama dengan metode mereka yang berbeda sehingga menghasilkan konsep keorangan linguistik tersebut yang nantinya juga menentukan gambaran diri penutur.
Terkait dengan referensi tuturan, ia menyoal peristiwa realitas dan peristiwa dunia tuturan. Karena itu, referensi tuturan mencakup baik referensi terhadap realitas dan referensi kepada penutur. Kedua cakupan menjelaskan bahwa penutur dan realitas membangun dunia tuturan. Penutur bertutur kata untuk mendiskripsikan realitas yang berdasarkan realitas dan hasil tuturannya menghasilkan peristiwa dunia tuturan dan maknanya. Apa itu referensi? Mekanisme referensi mengandalkan dan mengedepankan proses identifikasi. Identifikasi berarti mengobyekkan sesuatunya karena dari struktur kalimat ia adalah kata kerja transitif yang meminta dan membutuhkan suatu obyek. Mengidentifikasi juga berarti memunculkan sesuatu sehingga sesuatu sebagai hasil identifikasi merupakan obyek dan tak pernah subyek karena identifikasi identik dengan mengidentifikasikan sesuatu. Kemudian, dalam prosesnya, identifikasi referensi membentuk konsep keorangan linguistik yang hasilnya adalah konsep keorangan dalam bentuk kata ganti orang ketiga yaitu dia. Konsep keorangan dia ini dalam tuturan maupun tindak tutur dapat diartikan sebagai yang tentangnya seseorang berbicara. Identifikasi tuturan menyoal obyek dia yang tentangnya seseorang bicara. Pada saat aku bertutur kata kepada mitra tutur, dalam setiap proses identifikasi referensi karena tak mengenal subyek, maka kata ganti orang pertama aku subyek lenyap dan berubah menjadi kata ganti orang ketiga dia-obyek. Aku diidentifikasi oleh mitra tutur sehingga di dalam identifikasi itu aku berubah menjadi obyek. Jadi, karena menyangkut realitas, referensi tuturan hanya mengenal konsep kata ganti orang ketiga dia. Aku-subyek diidentifikasi menjadi dia-obyek karena dalam referensi tuturan dan proses identifikasi konsep keorangan aku dari aku mengafirmasi, aku dari aku memerintahkan, aku dari aku berjanji diekstrasi dari prefix suatu verba tindakan dan diposisikan untuk dirinya sebagai dia (konsep keorangan). Konsekuensinya, pengekstrasian tersebut membuat konsep keorangan dia belum memiliki makna keorangannya yang sesuai sehingga dia di sini adalah non-orang. Dikatakan demikian karena orang ketiga bisa berupa apa saja yang tentangnya seseorang berbicara yaitu benda, binatang, manusia yang semuanya disebut dengan dia. Karena kata ganti orang ketiga dia mencakup segala yang ada (baca: realitas) maka orang ketiga dia dianggap sebagai suatu keunikan yang mendasar. Artinya dia tidak dapat direduksi menjadi yang lain lagi. Tetapi juga bahwa dia masih berupa anonim, absurd karena dia bisa apa saja sehingga secara gramatikal inkonsisten. Bagaimana mengatasi orang ketiga dia yang masih inkonsisten secara gramatikal dan masih berupa keunikan yang mendasar agar tuturan dapat berlangsung sehingga menghasilkan gambaran diri ataupun dia memiliki kepastian konsep keorangan merujuk secara definitif kepada orang dan bukan yang lain seperti benda, binatang? Supaya identikasi referensi memastikan dan menemukan makna keorangannya, dia -kata ganti orang ketiga- memerlukan tambahan predikat fisik dan mental agar dia -keunikan mendasar- memiliki makna keorangannya yaitu hanya jika atribut mental predikat telah diwarnai dengan gambaran diri. Nyatanya, gambaran diri itu berasal dari kata ganti orang pertama aku yang kemudian ditransfer kepada kata ganti orang ketiga dia. Berkat transfer gambaran diri dari aku, sekarang dia sudah memiliki kepastian makna keorangannya yaitu dia adalah orang. Pada saat terjadi gambaran diri dalam predikat fisik dan mental itu orang ketiga (aku yang menjadi dia) maka dia sebagai yang lain mengatakan di dalam hatinya: aku mengafirmasi hal itu (Riceour, 1992: 52). Dengan demikian referensi tuturan telah menyelesaikan prosesnya karena afirmasi tersebut. Melalui gambaran diri, referensi tuturan memiliki maknanya: kalimat membuat identifikasi dan membiarkan identifikasi tentang apa yang dikatakan dan mengenai apa yang dibicarakan. Kata ganti orang ketiga ini karena kedudukannya dalam gramatika dan prosesnya dalam referensi kepada penutur dan realitas menggambarkan suatu eksternalitas tuturan.
Kinerja referensi tuturan amat berbeda dan bertolak belakang dengan refleksitas tuturan. Refleksitas tuturan didasarkan pada subyek yang muncul dan hadir sebagai pasangan yang terbentuk dari seseorang yang bertutur kata dan yang kepadanya seseorang bertutur kata yaitu aku yang berbicara kepada kamu. Kebalikan dari referensi, refleksitas mengecualikan orang ketiga sehingga refleksitas hanya mengenal aku-kamu dan ekslusif bagi aku-kamu serta tidak mengenal kata ganti orang ketiga dia. Kata ganti orang ketiga –dia– sebagaimana dikatakan- tidak konsisten secara gramatikal sehingga kata ganti orang ketiga dia tidak bisa membangun tuturan. Suatu tuturan itu pada dasarnya tersusun oleh aku-kamu. Aku-kamu cukup untuk membangun dan menentukan situasi tuturan. Bukan aku-dia, atau kamu-dia yang mana semuanya itu tidak bisa menciptakan suatu tuturan. Dia selalu berada di luar tuturan. Hasil dari refleksitas adalah aku yang sedang berbicara kepada kamu. Maka, bagi Benveniste hanya kata ganti orang pertama aku dan kata ganti orang kedua kamu yang memiliki makna keorangan. Eksklusivitas aku-kamu refleksitas tuturan mendeskripsikan internalitas tuturan sekaligus menjadikan tuturan selalu mematri fenoma bipolar (dua kutub) yaitu aku-kamu. Fenomena bipolar mengungkapkan adanya simultanitas seorang aku yang berbicara dan seorang kamu yang kepadamu aku menunjukan diriku. Bipolar itu terbentuk karena ketika orang bertutur kata tak mungkin dia membuat pernyataan hanya untuk dirinya sendiri tetapi selalu ditujukan kepada kamu. Tentu muatan bipolar tuturan mempengaruhi dan memberi efek kepada tindak tutur sebagai bagian dari bahasa bahwa tindak tutur juga memuat bipolar aku-kamu. Akibatnya, pernyataan dari verba tindak tutur misalnya aku menegaskan yang mana dalam pernyataan tersebut tidak mengikutkan eksistensi kamu secara sintaksis namun sejatinya tetap sama dengan pernyataan aku menyatakan kepadamu, aku berjanji sama dengan aku berjanji kepadamu. Jadi, dalam refleksitas baik tuturan dan tindak tutur, aku -si penutur- tak mungkin mengeliminasi kamu meskipun secara sintaksis tidak ada kata kamu karena aku berjanji maupun aku menyatakan pasti menyertakan kamu. Kamu ada tetapi dilesapkan secara tata bahasa tetapi definitif secara faktual dan praktis tuturan dan tindak tutur selalu meliputi bipolar aku-kamu. Bagi Riceour, bipolaritas dalam praktis dan faktualitasnya mematri suatu kenyataan bahwa setiap kemajuan yang dibuat dalam lingkup kedirian (selfhood) aku penutur atau pelaku setara dengan kemajuan dalam kamu- mitra tutur- yang lain dengan aku (Riceour, 1992: 44). Kemajuan diri yang timbal balik antara penutur dan mitra tutur disebabkan oleh mekanisme refleksitas tuturan. Refleksitas tuturan adalah cermin yang saling memantulkan. Kamu memantulkan kembali apa yang telah kukatakan dan kulakukan. Akibatnya, dialetika formasi diri dan kemanusiaan terbentuk dalam perjalanan dari aku menuju kamu (pemberian) dan perjalanan dari kamu menuju aku (penerimaan). Jadi, ketika orang menutup diri atau hanya mempersepsikan orang lain tanpa adanya perjumpaan orang lain sekaligus mengingkari dialetika tersebut maka aku akan menjadi aku yang soliter. Aku yang soliter berarti aku yang kehilangan diriku karena yang lain (kamu) berubah menjadi yang asing (alineus) bagi diriku sehingga aku pun pada diriku berubah menjadi asing (Mournier); aku yang asing terhadap diriku dan aku yang asing di hadapan yang lain. Bipolaritas tuturan aku-kamu menjadikan tuturan identik dengan percakapan: tuturan adalah suatu percakapan. Mengapa demikian? Bukankah percakapan itu sendiri merupakan tuturan dari arti katanya? Segala ucapan pasti memiliki suatu intensi makna. Tuturan sama dengan percakapan karena adanya pertukaran intensi secara timbal balik yang diarahkan dan ditujukan satu sama lain dalam lingkup aku-kamu. Tak mungkin orang hanya bertutur kata hanya untuk dirinya sendirinya sendiri. Bahasa dengan mekanismenya mendorong manusia untuk keluar dari dirinya sendiri untuk berjumpa dengan orang lain. Bahasa secara alami mengaktualkan kodrat sosial manusia. Maka, melalui intensi makna, penutur berharap bahwa mitra tutur berniat untuk mengetahui, mengenali dan memahami niat utama penutur sebagaimana yang dimaksud oleh penutur. Pada saat intensi makna dikenali dan dipahami oleh mitra tutur, tuturan mengerucut menjadi pertukaran intensi, yang ditujukan dan diarahkan secara timbal balik satu sama lainnya. Jadi ada yang memahami-dipahami, meminta-memberi, memerintah-melaksanakan sehingga membentuk suatu sirkulasi intensi dalam refleksitas (saling memantulkan). Pertukaran intensi dalam tuturan membuktikan suatu struktur dialog yang terpatri di dalam wacana tuturan. Struktur dialog menggambarkan sirkulasi intensi dan sirkulasi intensi itu sendiri meminta suatu refleksitas tuturan (dari pihak penutur) dan keberlainan (pihak mitra tutur) yang tercermin di dalam struktur dialogis pertukaran intensi. Alasannya, karena di dalam dialog tidak hanya pengalaman saja yang diekspresikan dan dikomunikasikan tetapi juga bahwa yang terjadi di dalam dialog adalah pertukaran intersubyektif itu sendiri. Akibatnya melalui pertukaran intersubyektif itu terciptalah peristiwa dialogis. Dialog adalah suatu perisitwa yang menghubungkan dan mempertemukan dua peristiwa yaitu peristiwa yang berasal dari penutur dan dari mitra tutur. Pelahir dari peristiwa dialogis adalah pengetahuan-pemahaman yang termuat di dalam intensi yang dimaksudkan. Dalam dialog tersebut, refleksitas tuturan membentuk pula gambaran diri.
Dengan adanya referensi dan refleksitas, tuturan memiliki kompleksitasnya. Situasi kompleksitasnya menurut Riceour dapat dilukiskan sebagai berikut: menghadapi penutur yang merupakan orang pertama aku adalah seorang pendengar dalam rupa orang kedua kamu -mekanisme refleksitas- yang kepadanya penutur menunjukkan dirinya sebagai orang ketiga dia -mekanisme referensi- (ricoeur, 1992: 41). Di dalam situasi kompleks itu, tersirat bahwa ada pergantian dalam kata ganti orang yaitu penutur sebagai orang pertama berubah menjadi orang ketiga yaitu dia ketika penutur menghadirkan dirinya kepada pendengar (referensi dengan identifikasinya). Penutur mengidentifikasikan dirinya sebagai orang ketiga (dia) pada saat ia menunjukkan dirinya kepada mitra tutur -kamu- yang adalah orang kedua. Dalam proses identifikasi itu konsep keorangan aku berubah menjadi dia: dia yang tentangnya seseorang berbicara. Sementara refleksitas tuturan hanya mengenal konsep keorangan aku-kamu: aku yang sedang berbicara kepada kamu. Kata ganti orang pertama aku menjelaskan peran sentral subyek. Memang referensi dan refleksitas memiliki mekanisme sendiri sebagai tuturan. Tetapi, persoalannya adalah bagaimana aku -subyek- (kata ganti orang pertama)- kamu (kata ganti orang kedua) yang selalu berada di dalam ruang internal dari percakapan dapat dieksternalisasi dalam dia -obyek- (kata ganti orang ketiga) tanpa kehilangan kapasitasnya untuk menggambarkan dirinya. Sebaliknya pula bagaimana dia -obyek- (kata orang ketiga) dari referensi identifikasi yang ada dalam kondisi eksternalitas dapat internalisasi dalam suatu subjek yang berbicara yang menggambarkan dirinya sebagai seorang aku. Jadi dalam referensi subyek aku menjadi obyek dia tetapi dalam refleksitas obyek dia menjadi subyek aku. Permasalahan yang kompleks itu justru melahirkan konvergensi antara referensi dan refleksitas. Referensi dan refleksitas ini jelas dua hal yang berbeda tetapi berkesinambungan sehingga saling berkonverngensi.
Konvergensi dua jalan ini membiarkan referensi dan refleksitas menyelesaikan gambaran konsep keorangannya sesuai dengan mekanisme masing-masing sehingga menghasilkan asimilasi. Refleksitas dan referensi saling berasimilasi hanya mungkin terjadi karena tekanan pada aktualitas dalam fakta dan aku-kamu dalam aktualitas. Titik asimilasi refleksitas dan referensi berada di dalam aktualitas yang memungkinkan kedua mekanisme itu saling berkonvergensi. Asimilasi di antara aku subyek yang berbicara kepada kamu -refleksitas- dan dia obyek yang kepadanya seseorang berbicara berfungsi -referensi- dalam direksi yang oposisi. Asimilasi dalam direksi yang oposisi mau mengatakan bahwa ada interkonektivitas antara refleksitas dan referensi identifikasi. Asimilasi melahirkan pertukaran kata ganti orang, jadi aku-kamu-dia saling bertukar tempat sehingga berlangsung penggambaran diri (self). Dengan adanya gambaran diri yang terbentuk dari refleksitas dan referensi maka hubungan dan konektivitas tuturan dan tindak tutur terafirmasi. Gambaran diri terletak dan ada di dalam intensi makna. Lalu, dalam gambaran diri, refleksitas dan referensi tuturan membentuk diri karena pada saat penutur dan mitra tutur saling bercakap-cakap dan saling bercerita, bertukar informasi mereka memulai menginterpretasi diri mereka, mengkonkretkan diri mereka, mengaktualkan nilai-nilai mereka sehingga mereka mengenali diri mereka dan pada saat gambaran diri ada mereka mengkonstruksikan diri bahkan identitas mereka. Dengan demikian, eksistensi diri terbentuk karena bahasa dan tindakan. Kata dan tindakan adalah diri karena tuturan dan tindak tutur mengunduh dan mengukir diri yaitu diri dalam bahasa dan diri dalam tindakan linguistik. Bahkan, kata dan tindakan adalah tiang diri karena diriku ada karena aku yang bertutur kata dan aku yang bertindak tutur; aku yang berbahasa dan aku yang bertindak secara linguistik.
Tuturan dan tindak tutur menjawab siapakah aku-diriku
Tuturan dan tindak tutur menjelaskan bahwa manusia sebagai subyek yang bertindak dan sebagai subyek yang berbahasa berkolaborasi bersama. Artinya, di satu sisi bahwa bahasa adalah apa yang membuat manusia menjadi subyek personal di dalam tindakan sehingga bahasa dalam arti ketat merupakan tindakan. Tak pelak, tindakan dimulai, berasal, ditentukan dan bersumber dari bahasa karena bahasa memproduksi tindakan lewat apa yang disebut dengan tindak tutur. Di sisi lain tindakan juga membangun dan membentuk manusia yang berbahasa dan bertutur kata. Tindakan merupakan sumber bahasa sehingga tindakan itu sendiri adalah tuturan-bahasa karena tindakan yang telah dilakukan dan yang akan dilakukan akan menjadi bahasa-kata, menjadi realitas yang dituturkan. Tindakan adalah bahasa karena tindakan menghasilkan peristiwa dan makna yang dituturkan. Kita pun dapat mengatakan bahwa kata dan perbuatan adalah satu karena kata memanifestasikan dirinya dalam tindakan dan tindakan menyuarakan dirinya di dalam kata. Tidak mungkin memisahkan bahasa dan tindakan karena bahasa terlingkup dan berkelindan dengan tindakan dan demikian juga sebaliknya. Dengan adanya tindakan dalam rupa linguistik yaitu tindak tutur, maka realitas tindak tutur menyangkal pernyataan bahwa tidak yang lain selain bahasa atau segala sesuatunya merupakan bahasa karena ternyata tindakan juga menciptakan bahasa. Kolaborasi bahasa dan tindakan mengungkapkan bahwa tuturan dan tindak tutur menetapkan dan mempresentasikan perspektif kita akan dunia, apa yang kita hidupi termasuk diri.
Diri terbentuk karena kristalisasi makna dan makna itu ada karena tuturan dan tindak tutur sebagai aktivitas sehari-hari dan alami membentuk dan menciptakan makna. Makna tergali dan ditemukan di dalam tuturan aku-kamu, dalam percakapan kita. Ketika kata-kata diucapkan oleh penutur, maka termuat maknanya dalam wadah pesan. Pesan mengaktualitaskan makna karena dengan pesan bahasa-tuturan tidak lagi hanya suatu sistem yang mati atau eksistensi virtual melulu tetapi suatu entitas yang hidup: makna yang tersampaikan dan dipahami oleh mitra tutur. Makna penutur menjelma dalam makna tuturan sehingga makna itu adalah baik yang mengendap di dalam maksud dan tujuan penutur maupun di dalam kalimat tuturan. Maksud dan tujuan penutur adalah makna subyektif. Namun karena segala tuturan dan tindak tutur tidak mungkin melepaskan dari bahasa bersama dengan sistemnya, maka tuturan dan tindak tutur dalam kalimat juga memiliki maknanya yang adalah makna obyektif. Jadi, makna tuturan adalah baik makna subyektif maupun makna obyektif. Ada konektivitas antara makna subyektivitas dan makna obyektivitas yang semuanya membangun pesan suatu tuturan.
Lalu apakah itu makna subyektif? Suatu tuturan menyatakan keserentakan seorang aku yang berbicara dan seorang kamu yang mendengar yang mana makna secara khusus ditujukan olehku untukmu. Makna tercipta karena ada peristiwa sementara peristiwa terjadi karena seseorang yang berbicara, bertutur kata bahkan bertindak. Makna subyektivitas penutur melingkupi tiga locus: referensi diri dalam kalimat; dimensi ilokusi tindak tutur; intensi penutur yang dimengerti dan diakui oleh pendengar. Locus pertama makna subyektif adalah referensi diri di dalam kalimat. Referensi diri dalam kalimat mengacu kepada eksistensi penutur itu sendiri yang bertutur kata. Referensi diri berarti kata ganti orang pertama aku mengacu kepada subyek yang sama yaitu kata ganti orang pertama aku. Mengacu adalah apa yang dikerjakan kalimat di dalam situasi tertentu dan menurut fungsi tertentu. Referensi juga berarti apa yang dilakukan penutur ketika dia menerapkan kata-katanya terhadap realitas. Sesuatu yang direferensikan oleh penutur pada saat tertentu adalah suatu peristiwa, tepatnya suatu peristiwa tuturan. Peristiwa tuturan menunjukkan adanya makna yang mengendap di dalam tujuan tuturan dan maksud penutur yang kemudian dituturkan. Kemudian tuturan dan maknanya dan juga tindakannya kembali lagi menuju kepada eksistensi penutur karena referensi diri ternyata juga sebagai suatu peristiwa yang mengacu kepada penutur dan realitas. Itu berarti tujuan penutur memuat makna tuturannya yaitu sebagai apa yang dimaksudkan penutur sekaligus tujuan tuturannya yang bersatu di dalam aneka kalimat tuturannya. Locus yang kedua adalah dimensi ilokusi tindak tutur. Maksud dan tujuan penutur berada di dalam tindak ilokusi. Kata memiliki makna ketika ia diucapkan oleh penutur. Kata berdaya ketika niat dalam dimensi ilokusi penutur direalisasikan dalam tindakan. Dalam konteks yang demikian, tindak ilokusi dapat dimaknai secara baru: itu yang membiarkan penutur memberikan pesan sebagai fungsi khusus komunikasi. Maka bagi Ginger tindak ilokusi adalah pesan. Melalui pesan, tindak ilokusi terlebur dengan tindak predikatif yang mana kinerja tindak predikatif adalah mengindikasikan. Tindak ilokusi menunjukkan tindak predikatif karena tindak ilokusi tidak hanya terdiri dari maksud dan tujuan penutur tetapi juga apa yang dilakukan dalam tuturannya. Tindak predikatif dari tindak ilokusi mengindikasikan pesan yang ditujukan oleh penutur kepada mitra tutur. Pesan menyangkut intensi penutur sehingga intensi penutur menjadi locus makna yang ketiga. Intensi penutur ada di dalam dimensi lokusi dan ilokusi. Tindak lokusi dan ilokusi adalah tindakan dalam arti bahwa intensi yang mengendap baik di dalam dimensi lokusi dan ilokusi dipahami sebagai aksi. Maka peran kognitif menangkap dan mengafirmasi bahwa intensi tuturan itu sendiri sudah bersifat komunikatif. Intensi penutur yang diidentifikasi, dikenali dan dipahami oleh kognitif mitra tutur juga adalah bagian dari intensi penutur itu sendiri. Intensi penutur menunjukkan bahwa aku -si penutur- adalah subyek tuturan. Aku adalah pencipta dari tuturanku karena aku yang menentukan dan aku yang menciptakan segala tuturanku. Tindak ilokusi yang menjadi kediaman intensi bukan suatu pernyataan yang mengacu kepada sesuatu hal tetapi justru mengacu kepada eksistensi penutur itu sendiri. Tuturan tidak memiliki makna ataupun kata tidak berarti apa-apa jika dilepaskan dari eksistensi penutur. Dengan kata lain adalah si penutur yang mengartikannya dan yang memahami suatu ekspresi dalam cara yang unik. Ekspresi unik mengatakan pula bahwa aku yang performatif. Aku yang performatif terjadi karena aku menggambarkan di dalam masing-masing hal hanya tentang satu orang yaitu aku: seseorang yang berbicara di sini dan sekarang. Aku adalah indikasi yang pertama dalam tuturan; subyek aku mengindikasikan seseorang yang menggambarkan dirinya di dalam setiap tuturan yang berisi kata aku. Maka, dalam tuturan, aku selalu dikelilingi tiga diexis; ini, di sini, dan sekarang: ini mengindikasikan setiap objek yang berada dan disituasikan di daerah sekitar penutur; di sini adalah tempat aktual di mana si penutur berada; sekarang mendeskripsikan segala peristiwa yang sedang berlangsung dalam tuturan yang dibuat oleh penutur. Keserempakan aku sebagai pencipta tuturanku dan aku yang performatif menyatakan bahwa aku terikat dan aku bertanggung jawab atas segala tuturanku dan tindak tuturku. Keterikatanku dan tanggung jawabku atas kata dan perbuatanku didasarkan oleh referensi diri dalam kalimat yaitu bahwa segala yang kukatakan dan segala yang kulakukan kembali kepada diriku.
Lalu apakah makna obyektif? Makna obyektif merupakan makna kalimat dalam tuturan: apa yang dimaksudkan oleh kalimat yaitu konjungsi antara fungsi identifikasi dan fungsi predikasi yang diberikan. Makna kalimat terbentuk lewat pertukaran antar kata sehingga makna tuturan dapat diungkapkan. Secara semantik karena terdapat referensi diri yang ada di dalam struktur internal kalimat, maka makna mengacu kembali kepada penuturnya melalui prosedur-prosedur gramatikal. Dan pengembalian makna kembali kepada penutur menghadirkan suatu karakter yang langsung karena si penutur merupakan pemilik situasi percakapan dan pencipta tuturan. Referensi diri membuat gramatika kalimat berkorespondensi dengan intensi penutur yang mana tindak ilokusi yang adalah intensi penutur mengekspresikan dayanya yang distintif (Riceour, 1976: 14). Selain itu, makna obyektif bahasa terjadi karena bahasa menggambarkan struktur khusus dari sistem bahasa yang unik. Bahasa adalah kode linguistik yang memberikan struktur khusus bagi setiap sistem linguistik sehingga bahasa menjadi yang memungkinkan makna dipahami oleh setiap subyek yang berkomunikasi sekaligus membentuk terjadinya tuturan. Peristiwa tuturan yaitu pertukaran intensi antara penutur dan mitra tutur mengaktual karena adanya gramatika bahasa yang memuat intensi-intensi yang dimaksudkan dan dikehendaki. Makna subyektif penutur memiliki obyektifnya karena sistem bahasa sehingga mampu diakses, dipahami dan disampaikan kepada mitra tutur. Dengan sistem bahasa, makna subyektif penutur menempel pada makna obyektif bahasa yang menjadikan tuturan memiliki makna subyektif dan obyektif.
Keberadaan makna subyektif dan obyektif mengungkapkan bahwa tuturan sebagai bahasa dan makna tuturan saling mempengaruhi tetapi juga bahwa intensi penutur dan makna tuturan saling melengkapi pula. Dengan makna subyektif dan obyektif bahasa dan manusia bersama dengan tuturan dan tindakannya saling mengisi karena bahasa bukanlah suatu dunia dengan dunianya sendiri ekslusif. Tetapi berkat manusia yang mengada di dunia dengan segala kiprahnya baik tuturannya dan aksinya, oleh karena manusia dipengaruhi oleh situasi-situasi dan oleh karena manusia mengorientasikan dirinya secara utuh terhadap situasi-situasi tersebut yang mendorong dirinya harus mengatakan dan melakukan sesuatu, maka manusia memiliki pengalaman terhadap bahasa dalam arti manusia memeristiwa bahasa. Manusia yang memeristiwa bahasa mengafirmasi bahwa bahasa tidak berbicara, bahasa hanyalah sistem atau kode yang virtual tetapi manusia yang berbicara dan berkata lewat bahasa dan tindakan (tindak tutur). Memang, bahasa itulah yang membangun tujuan dari kata kita, maksud dari tujuan penutur. Bahasa menciptakan sebuah peristiwa di antara pelakunya, sebuah peristiwa komunikasi. Namun, tidak mungkin ada bahasa yang dimengerti tanpa gema dari pertukaran kata-kata yang berlangsung dari percakapan manusia ini.
Tetapi peran signifikan manusia terhadap bahasa bukan berarti manusia tidak membutuhkan bahasa. Justru bahasa mengobyektifkan pemikiran bahkan tuturan supaya tercipta pemahaman dan komunikasi. Sandaran obyektivitas bahasa membuat dunia yang kumengerti sama dengan dimengerti oleh orang lain. Aku mengenali dunia dan aku ingin menyatakan apa yang kukenali dengan menuturkannya kepada kamu-mitra tuturku, dengan menyakinkanmu dan mengajukan pengertianku tentang dunia dalam persetujuan bebasmu. Malahan, Riceour menguraikan peran bahasa secara lebih mendalam secara eksistensial. Baginya, melalui bahasa segala pengalaman privat manusia mampu dimunculkan dan dihadirkan secara publik karena bahasa adalah eksteriorisasi. Artinya, pengalaman privat-individu dalam bentuk impresi ditransendensi lewat bahasa sehingga menjadi ekspresi (Riceour, 1976: 19). Ekspresi mengindikasikan sebuah perjalanan dari dalam menuju ke luar. Bahasa menyalurkan intensi, perasaan dan pemikiran yang membuatku mengenali, mengaktualisasikan dan merealisasikan intensi dan perasaan batin kepadamu demi menjadikannya tempat pertemuan atau pertukaran. Hal itu terjadi karena sistem bahasa dengan perangkatnya menunjukkan eksterioritasnya. Eksterioritas bahasa adalah kata dan kalimat dengan gramatikanya. Pertukaran antar kata membentuk eksterioritas bahasa sehingga menghasilkan makna kalimat. Eksterioritas bahasa menjadikan makna suatu kalimat bersifat external bagi kalimat itu sendiri sehingga externalitas makna kalimat membuat makna kalimat dapat ditransfer. Eksterioritas kalimat terhadap dirinya sendiri menstransenden suatu peristiwa dengan maknanya sehingga menyebabkan tuturan terbuka dan dapat diakses oleh orang lain. Eksterioritas kalimat memuat leksikon, unsur-unsur demonstrasi yang memampukan pesan memiliki karakter komunikatifnya dalam struktur kalimat. Kemudian, kalimat yang dikomunikasikan menggandeng baik fungsi identifikasi yang bersifat singular-individu dan fungsi predikatif yang bersifat universal. Dengan fungsi identifikasi yang terdapat dalam sistem bahasa, aku membantu mitra tutur untuk mengidentifikasikan makna yang kumaksud. Dimensi universal predikat terkomunikasikan oleh entitas leksikal bahasa. Dengan demikian, eksterioritas bahasa dalam fungsi identifikasi dan fungsi predikatif menghasilkan ekspresi. Ekspresi bahasa mendorong dan menjadikan impresi -pengalaman privat- yang ada di dalam batin dan pikiran manusia dapat dikomunikasikan. Walaupun demikian, eksterioritas bahasa dengan pronunsiasinya bukan berarti bahasa kehilangan kapasitas interiositasnya. Pronunsiasi dan eksterioritas bahasa membawa suatu keuntungan yang tidak terlihat. Keuntungannya adalah bahwa eksterioritas bahasa dan komunikasi bahasa adalah hal yang sama yang mengangkat hidup kita kepada kekayaan bahasa. Kekayaan bahasa menunjukkan bahwa bahasa dengan eksterioritasnya merobek kesendirian dan menerangi hidup manusia dengan terangnya. Dalam tuturan tidak ada kata yang ditetapkan untuk menjadi kesendirian dan kekosongan karena dengan makna pengalaman yang kuoperkan kepada dirimu justru membebaskan diriku dari kesendirian. Apakah aku bertutur kata hanya untuk diriku sendiri? Memang aku dapat bertutur kata dengan diriku sendiri. Namun tuturan yang demikian cenderung membenamkankan diriku dalam kesunyian yang hanya mendukung keraguan dan ketidakpastian diri sekaligus menjadikan aku yang narcistik. Narcistiknya adalah bahwa aku terlilit di dalam pikiranku, perasaanku tanpa ada realisasinya.
Tanpa teman berbicara aku terjebak di dalam ilusi. Kenyataan ini mengingatkan kembali obyektivitas bahasa. Fungsi obyektivitas bahasa mendorong manusia untuk bertutur kata bersama dengan orang lain. Jadi, bahasa mengaktualkan kodrat sosial manusia. Dalam komunikasi, obyektivitas bahasa dimaknai seperti good will yang menginginkan pertukaran dan berbagi duniaku, ideku, pergulatanku, perasaanku dengan kamu. Berkat eksterioritas bahasa, tuturan bahkan yang paling sederhana pun mensyaratkan dan menghasratkan kamu orang lain. Ketika orang lain mendengarkan tuturanku, menerima tuturanku untuk saling melengkapi entah mengkritisi, mengafirmasi, menolak, dan sebagainya hadirlah makna dan kehidupan. Untuk itu, Riceour menekankan bahwa fungsi bahasa bukan hanya alat komunikasi tetapi justru mengatasi kesendirian -suatu fungsi eksistensial-. Kesendirian dimaknai olehnya secara radikal yaitu bahwa ternyata apa yang dialami seseorang sebenarnya tidak dapat ditransfer secara utuh kepada orang lain. Aku terbenam di dalam pengalamanku sehingga pengalamanku tidak dapat menjadi pengalamanmu. Suatu peristiwa yang menjadi ranah kesadaranku tidak dapat kuberikan kepada ranah kesadaranmu. Pengalaman privatku adalah pengalamanku sendiri. Walaupun demikian, tetap ada sesuatu yang dapat kuoperkan dariku untukmu, sesuatu kutransfer dari satu kehidupan kepada kehidupan yang lain. Yang kuoperkan kepadamu bukan suatu pengalaman privatku sebagai yang kualami, tetapi adalah maknanya (Riceour, 1976: 16). Itu berarti bahwa makna tidak disembunyikan tetapi justru digelar terbuka oleh bahasa supaya dapat diakses oleh kamu. Pengalamanku sebagai yang kualami, kuhidupi tetaplah suatu ranah privat tetapi maknanya-artinya menjadi publik karena eksterioritas bahasa. Pengalamanku tidak berada lagi di dalam kegelapan karena eksterioritas bahasa menerangi impresi yang ada di dalam pikiranku, perasakanku sehingga menjadi ekspresi yang terkomunikasi dan terkanalisasi kepadamu (Riceour,1976:16). Maka percakapan antara aku-kamu mengatasi radikalitas pengalaman yang dihidupi yang tak terkatakan tersebut. Dalam tuturan tidak ada natura kata yang ditetapkan untuk hanya menjadi kesendirian dan kekosongan karena dengan makna pengalamanku yang kuoperkan kepada dirimu justru membuatku menemukan diri sekaligus aku menemukan yang lain yang memperkaya diriku. Dengan demikian terungkap keajaiban dan rahmat bahasa bagi kehidupan manusia.
Semuanya itu tidak mungkin tanpa sistem bahasa karena makna subyektif penutur memiliki tandanya dan nilai di dalam makna obyektif tuturan. Tanpa kode atau sistem bahasa, pembicaraan manusia tidak menemukan obyektivitasnya dan maknanya sehingga tak mungkin dikomunikasikan. Suatu sistem linguistik adalah suatu serie bunyi yang berlainan yang dikombinasikan dengan suatu serie ide-ide yang berlainan. Kombinasi ini selalu bervariasi. Kehidupan konkrit suatu bahasa yang bersifat historis, diakronis dan interobyektif melahirkan suatu sistem nilai yang fleksibel, obyektif tetapi tidak pernah dipatrikan secara definitif karena adanya makna subyektif dari penutur yang berubah-rubah. Itu berarti bahwa bahasa tidak hanya diarahkan dan diorentasikan menuju kepada makna ideal tetapi juga mengacu kepada apa yang ada. Tuturan memproklamasikan dan mensakralkan apa yang dikatakan oleh penutur. Tuturan terdiri dari kata yang mana kata itu membangun suatu arti dengan cara memelihara realitas, berpaling dari suatu wajah ke wajah lain sehingga ia mengenali dirinya sekaligus membuktinya dirinya. Karena itu pula bahasa membuat dirinya menjadi konkrit (Paul Gilbert). Dengan demikian makna penutur dan makna tuturan mengungkapan subyektivitas dan obyektivitas yang saling bersinergi membangun tuturan sebagai yang dapat dipahami dan dikomunikasikan oleh setiap subyek.
Makna tuturan dan tindak tutur adalah suatu gambaran diri yang mengisi dan membentuk diri. Karena pesan tuturan yang diisi dengan makna, penutur menciptakan diri ketika ketika bertutur kata dan tindak tutur. Diri terbentuk dan terbangun karena tuturan mencakup refleksitas yang memantulkan kembali ke penutur dan referensi yang mengidentifikasi diri. Karena tuturan dan tindak tutur merupakan tiang diri, maka praktisnya, segala tuturan dan tindak tutur harus mengedepankan segala yang benar, baik dan berguna untuk diriku dan dirimu. Tuturan yang baik-benar dan tindakan yang baik dan benar menghasilkan gambaran diri yang baik dan benar sekaligus utuh. Gambaran diri yang demikian menghasilkan kejelasan diri. Dalam kejelasan diri, representasi tentang aku-diriku terukir dengan gemilang, mengaktual dalam irama ruang dan waktu, mewarnai kehidupan dengan baik. Dengan kata lain, tuturan dan tindak tutur menolak kebencian, kejahatan karena dengan menuturkan kebencian ataupun kekerasan akan membawa kekerasan dan kebencian kepada aku-diriku sendiri dan membenamkan aku-diriku ke dalam kekerasan. Dalam kekerasan, gambaran diri menjadi kabur dan tak terbentuk penuh dengan carut marut sehingga diri pun menjadi tidak jelas dan hilang terkubur dalam waktu dan ruang. Tuturan dan tindak tutur yang memelintirkan kebencian ataupun kekerasan menghasilkan suatu individu tetapi tanpa aku, suatu diri tetapi tanpa diri itu sendiri, suatu wadah diri tanpa isi diri itu sendiri. Dalam segala tuturan, intensi yang baik dan benar harus menjadi jiwa setiap pesan yang akan ditujukan kepada mitra tutur. Tersampainya pesan tindakan penutur dan adanya pemaknaan dan tindakan yang benar dari mitra tutur menunjukkan pemahaman timbal-balik antara penutur dan mitra tutur yang menunjukkan keindahan bahasa dan tindakan. Karena peran determinatif dari tuturan dan tindak tutur terhadap diri, terpatri pula tugas pribadi setiap aku, setiap individu yaitu merawat kata, menjaga bahasa yang dituturkan sehari-hari dan tindakan yang dilakukan karena bahasa dan tindakan adalah rumahku, adaku, aku-diriku.
Pertautan bahasa dan tindakan membuka pemahaman akan aku-diriku karena aku-diriku dibentuk baik oleh perbuatanku dan kataku masing-masing. Keserentakan tuturan dan tindakan menyatakan suatu komitmenku karena aku yang mengatakan dan aku yang berbuat adalah demi perkataanku dan tindakanku sendiri, adalah aku sendiri yang membuatku berbicara dan berbuat, aku yang berbicara dan yang berbuat kepada diriku, melalui diriku dan untuk diriku. Aku-diriku ditentukan, dibentuk oleh kata dan perbuatanku karena aku adalah pemilik kata dan perbuatanku, karena aku terhubung dengan kata dan perbuatanku. Pada akhirnya, aku pun menjadi pewaris dari kata dan perbuatanku karena aku-diriku adalah kristalisasi dan akumulasi dari apa yang kukatakan dan kulakukan. Sinkronisasi antara kata dan aksi dalam tuturan dan tindak tutur menetaskan representasi utuh tentang aku-diriku: seorang aku adalah apa yang kukatakan dan sekaligus apa yang kulakukan. Lalu pertanyaan siapakah aku-diriku dan apakah aku-diriku terjawab dan tersudahi minimal lewat tuturan dan tindak tutur karena tuturan dan tindak tutur adalah cendela kecil untuk melihat siapakah aku-diriku dan apakah aku-diriku.
Daftar Pustaka
Austin, J.L. How to Do Things With Words. 2nd ed. Cambridge, MA: Harvard University Press, 1975.
Gilbert, Paul. Corso di Metafisica. Roma: Piemme, 1997
Levinson, S.C, Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press, 1983
Riceour, Paul. Interpretation Theory.Forth Worth, Texas: Texas Christian University Press, 1976
—————–. Oneself as Another. Trans: Kathleen Blamey. Chichago: University of Chicago, 1992
Searle, J. R. Speech Acts. Cambridge, Cambridge University Press,1969.
Sperber, D and Wildson, D. Relevance: Communication and Cognition. Oxford: Blackwell, 1986
Smith, Peter Hesling. Speech Act Theory, Discourse Structure and Indirect Speech Acts. Leeds: University of Leeds, 1991
Yule, G. Pragmatics. Oxford: Oxford University Press, 2011
Copyright © 2022 ducksophia.com. All Rights Reserved
Oh myyyy GOd