Lukisan Vincent Van Gogh, Starry Night Over The Rhone, 1888
Prinsip causalitas tidak serta merta diterima bahkan mendapat kritik yang tajam dari para filsuf yang menolaknya. Walaupun demikian, kritik tersebut tidak menggoyahkan prinsip metafisika yang dirumuskan sebagai berikut: apa yang menjadi pasti memiliki causa dan causa pertama dari hal yang menjadi pastilah tidak terbagi.
1.) Kritik Hume
David Hume memiliki tempat yang penting dalam refleksi metafisika karena kritiknya kepada kausalitas:
“Saya memiliki suatu bola billiard yang tak bergerak di atas meja dan bola yang lain yang bergerak menujunya dengan kecepatan. Kedua bola berbenturan dan bola yang pada mulanya tak bergerak itu sekarang mendapat suatu gerakan (…) Jelaslah bahwa bola saling berbenturan terlebih dahulu sebelum mengkomunikasikan gerakan di antara mereka dan bahwa tidak ada sama sekali adanya interval antara benturan dan pergerakan. Batasan di dalam waktu dan ruang merupakan suatu kondisi yang definitif bagi aksi segala causa. Jelaslah bahwa gerakan yang adalah causa lebih dahulu daripada gerakan yang adalah efek. Prioritas yang ada di dalam waktu merupakan kondisi yang definitif dalam setiap causa. Namun prioritas bukanlah segalanya. Kita mencoba dengan bola-bola yang lain dari kelompok yang sama di dalam suatu situasi yang sama dan selalu kita akan menjumpai bahwa dorongan dari suatu bola menghasilkan gerakan yang lain. Di sini, dapatlah diketahui pula tentang kondisi ketiga yaitu konjungsi konstan antara causa dan efek. Setiap objek yang sama dengan causa selalu menghasilkan suatu objek yang sama dengan efek. Di luar ketiga kondisi yaitu batasan, prioritas dan konjungsi konstan, saya tidak dapat menemukan sesuatu yang lain di dalam causa ini”. (ringkasan dari Treatise on human intellegence)
Dari analogi bola billiard di atas Hume mengkritik causalitas dalam dua problem berikut ini:
- Alasan manakah yang membuat kita secara pasti berkata bahwa segala sesuatu yang memiliki permulaan kiranya memiliki suatu causa? (Treatise on human intellegence, III, 2) Sebab dari contoh bola billiard di atas yang terjadi hanya rangkaian fenomena dari gerakan-gerakan bola billiard yang lain. Rangkaian causalitas berlangsung karena batasan di dalam ruang dan waktu (bola yang lain akan bergerak jika tak ada interval antara benturan dan gerakan) Konsekuensinya causalitas hanyalah suksesi dan itu berarti bahwa tidak ada kepastian metafisik.
- Mengapa kita mengafirmasi bahwa suatu causa partikular yang definitif harus secara niscaya memiliki efek particular yang definitif pula? (Treatise on human intellegence, III, 2, 3). Dasar dari pertanyaan ini adalah bahwa kesimpulan causa terhadap efek hanya dari pengalaman dan itu berarti causalitas tak lain hanyalah suatu kebiasaan mental transisi atau ekspetasi atau relasi-relasi natural yang diartikan sebagai itu yang secara tak sadar menggabungkan satu ide kepada kepada ide yang lain dalam pikiran.
Keseluruhan kritik Hume akan causalitas dapat dirumuskan sebagai berikut:
- Kritik Hume mendasarkan pada peranan causa efisien yang demikian menentukan; sementara causa materia dan causa formal tidak berguna sama sekali untuk dibicarakan sedangkan causa final direduksi pada causa efisien.
- Relasi-relasi causal yang terjadi di antara obyek-obyek tidak dapat diketahui secara a priori. Menurutnya, hanya dengan mengandalkan akal budi dan analisis sederhana serta tanpa melibatkan peranan pengalaman, causa dan efeknya tidak akan pernah dieksplorasi. Justru pengalaman itulah yang membuat kita menyimpulkan eksistensi suatu obyek yang berasal dari obyek yang lain. Maka, rangkaian causalitas yang terjadi di antara obyek-obyek tidak dibangun hanya berdasarkan pemahaman konsep obyek-obyek yang dikatakan: sampai kita tidak mengalami bahwa api membakar kita maka kita tidak dapat membangun suatu kaitan causal antara api dan rasa sakit; hanya dengan menganalisa konsep api kita tidak akan pernah menjumpai di dalam konsep bahwa api dapat membakar. Relasi causalitas bukan relasi antara ide-ide; pengetahuan kita akan relasi-relasi obyek-obyek yang telah dikatakan selalu merupakan pemahaman empiris.
- Akal budi tidak mampu mendasarkan keyakinan kita di dalam relasi-relasi causal, keyakinan yang telah diajarkan hanyalah merupakan konsekuensi dari kebiasaan (habit) yang didasarkan kepada kebiasaan itu sendiri: ketika kita telah mengalamai konjungsi yang terulang terus di antara dua hal (misalnya bahwa B mengikuti secara kebiasaan dari A) maka kebiasaan yang dikatakan membawa kita kepada kepastian bahwa di waktu yang akan datang akan terjadi hal yang sama yaitu jika ada A maka juga ada B. Habit sebagai disposisi mental atau produksi dari pengalaman yang diulang menjadi dasar untuk keyakinan kita yang akan datang. Kebiasaan dan bukan akal budi adalah itu yang membawa kita untuk percaya bahwa matahari akan terbit, bahwa api membakar, dan demikian juga untuk seluruh fakta natural atau manusia. Kompas kita akan kehidupan sehari-hari adalah kebiasaan dan bukan akal budi. Tanpa kebiasaan pemikiran kita hanya mengacu kepada pengalaman masa lalu dan kita tidak akan pernah tahu bagaimana mengaktualisasi di dalam dunia maupun akan hal-hal kita dapat harapkan di masa depan. Sebagai contoh sampai api memberikan kita panas maka dapat dipikirkan bahwa di waktu yang akan datang api menghasilkan panas. Jika kita berbicara mengenai kepastian kita menemukan bukan di dalam hal tetapi justru di dalam predisposisi atau kebiasaaan yang mengantar kita kepada untuk merefleksikan bahwa hal-hal yang kita kenali sebagai demikian haruslah terjadi efek-efek yang sesuai. Jadi, relasi niscaya antara causa dan efek berdasarkan dari kesimpulan kita dari satu objek terhadap objek yang lain, tetapi fundamen dari kesimpulan kita adalah kebiasaan. Itu berarti bahwa prinsip causalitas memiliki fundamen yang sifatnya subyektif.
- Juga tidaklah mungkin mengobservasi maupun menduga kekuatan yang ada di dalam A yang menghasilkan B, serta menduga rangkaian relasi antara A dan B ketika A adalah causa B. Kekuatan yang mengaktualkan ragawi tidak akan dapat diketahui. Dengan tidak diketahui berarti bahwa hubungan antara causa dan efek bukan suatu kepastian tetapi hanya berubah-rubah. Jadi apa yang kita temukan hanyalah:
- Batasan ruang dan waktu antara causa dan efek
- Prioritas temporal: bahwa causa selalu lebih dahulu daripada efek
- Hubungan konstan antara causa dan efek
Dengan menyatakan tiga hal tersebut, menurut Hume persepsi tidak akan pernah dapat memastikan segala sesuatunya selain daripada kontinuitas dan kejadian suksesi dari dua fenomena. Maka, segala peristiwa tampaknya terpisah dan hilang. Satu mengikuti yang lain namun kita tak pernah mengobservasi segala ikatan yang ada di dalam mereka. Mereka hanya bersebelahan tetapi tak pernah terkait. Jadi, relasi atau keterkaitan tak pernah ada sehingga tak berarti. Causalitas tak lain hanya menjadi suatu objek yang diikuti oleh yang lain dan semua objek yang sama dengan yang pertama selalu diikuti dengan ojek yang sama dengan yang kedua. Causalitas menyatakan hanya rangkaian sebelum dan sesudah. Oleh sebab itu, kita tidak dapat mengatakan bahwa causalitas merupakan properti dari obyek-obyek. Yang ada bukan causalitas tetapi hanya merupakan suksesi dari fenomena-fenomena: kita melihat bahwa suatu objek mengikuti objek yang lain, dari api kemudian panas, dari kontak suatu bola billiard lalu gerakan bola billiard yang kedua. Dan tidak ada yang lain lagi.
- Prinsip bahwa segala sesuatu yang memiliki awal untuk mengada haruslah mempunya causa eksistensi tidak memiliki kepastian intuitif (bukan evidensi secara langsung) maupun dapat didemonstrasikan.
- Konsekuensinya, kalaupun kita mempercayai causa-causa yang sifatnya kesimpulan, maka kita harus membatasi mereka hanya di dalam dunia empiris; kita dapat menghubungkan api dengan panas, kehendak dengan gerakan dari tubuh kita, tetapi kita tidak dapat melompat dari dunia empiris kepada realitas metafisika akan Tuhan dan jiwa, yang mana kedua hal tersebut tidak cocok dengan pengalaman.
Kritik Hume kepada metafisika | |
Metafisika | Hume |
Keempat causa yaitu causa material, causa formal, causa efisien dan causa final benar dan valid |
Pusat causalitas hanyalah causa efisien sementara material dan causa formal tidak berguna |
Terdapat pengetahuan a priori terhadap relasi causalitas |
Tidaklah mungkin mengatakan ada pengetahuan a priori akan causalitas; causalitas hanya merupakan kesatuan dari pengalaman |
Kepercayaan kita akan causalitas terletak di dalam akal budi | Kepercayaan kita relasi causalitas hanyalah habitus dan kebiasaan. |
Relasi causalitas menggambarkan relasi-relasi real yang berlangsung pada hal-hal. |
Adalah pikiran yang mengasalkan eksistensi relasi-relasi yang berlangsung pada hal-hal; di dalam realitas relasi-relasi tak lain adalah suksesi-suksesi dari fenomena yang telah dinyatakan. |
Jika ada A adalah causa B, maka di dalam A haruslah ada suatu energi, kekuatan untuk menyebabkan B dan A secara niscaya menghasilkan B |
Kita tidak akan menemukan kekuatan yang ada ataupun kepastian, bukan suatu kontradiksi bahwa causa-causa memiliki efek-efek yang sungguh berbeda dari apa yang kita alami. |
Prinsip causalitas (segala yang terjadi memiliki suatu causa) adalah kepastian objektif dan jelas | Prinsip causalitas bukan kepastian objektif maupun dapat ditunjukkan. |
Dapat digunakan argumen-argumen causalitas untuk sampai kepada metafisika |
Rangkaian causalitas valid jika diterapkan pada dunia empiris tetapi bukan pada metafisika. |
Tanggapan terhadap kritik Hume
- Dua problem yang dikemukan oleh Hume: 1.) Alasan manakah yang membuat kita secara pasti berkata bahwa segala sesuatu yang memiliki permulaan kiranya memiliki suatu causa? 2.) Mengapa kita mengafirmasi bahwa suatu causa partikular yang definitif harus secara niscaya memili efek partikular yang definitif pula? hanya problem yang pertama yang menjadi persoalan filsafat sedangkan problem yang kedua merupakan problem induksi ilmu pengetahuan yang penuh dengan probabilitas.
- Problem yang kedua: mengapa kita mengafirmasi bahwa suatu causa partikular yang definitif harus secara niscaya memili efek partikular yang definitif pula? bukanlah persoalan filsafat.
Causa–causa partikular dapat diobservasi melalui proses induktif, akibatnya, causa-causa partikular merupakan wilayah ilmu pengetahuan tertentu dan bukan ranah filsafat. Misalnya adalah wilayah fisika untuk menetapkan apakah causa garis kurva planet planet yang mengitari matahari adalah qualitas materi korpus celestial atau gravitasi.
Pada sebagian besar contoh-contoh kita dapat mengatakan bahwa bukanlah suatu determinasi akan causa-causa partikular maupun juga suatu pengalaman langsung. Kita menyaksikan (atau mengintuitifkan, mengalami secara langsung) bahwa air menguap, api memanaskan batu, di dalam realitas penegasan-penegasan tersebut bukanlah evidensi langsung, tetapi selalu merupakan buah dan cetusan akal budi walapun pemikiran mengubah kita sedemikian lazim sehingga mendorong kita untuk tidak menyadarinya.
Evidensi langsung hanyalah suksesi fakta: matahari memanaskan dan batu menjadi panas, api mendekat kepada kayu dan kayu pun terbakar, Mario terjebur di air dan mati, tetapi tidak satu pun pengalaman sensible yang membuat diriku mendapatkan aksi matahari atas batu, api atas kayu, air atas organisme Mario. Jugalah benar bahwa aku tidak mengatakan dengan pasti apah Mario tewas karena tenggelam atau dia terjatuh ke dalam air karena telah terjadi malapetaka sebelum terjatuh ke dalam air. Aksi causalitas korpus satu kepada yang lain bukanlah evidensi langsung.
Benarlah mereka menolak dengan cara rasional dengan mengamati bahwa hal-hal natural tidak akan menjadi benar jika tidak dapat bergerak, dan hal ini sejalan apa yang dikatakan oleh S. Tomas, mereka tidak dapat mengingkari dengan mengatakan bahwa anda menolak suatu fakta yang memiliki evidensi langsung.
Namun juga benar pula apa yang diamati oleh beberapa orang untuk melawan empirisme, bahwa kita membedakan suksesi dari causalitas, kita membedakan dengan baik antecendent meskipun kiranya merupakan kebiasaan dari causalitas. Tak seorang pun, di dalam pemikirannya kiranya mengatakan bahwa siang hari merupakan causa malam, tetapi kita melihat bahwa siang hari selalu mendahului malam hari. Hal ini adalah suatu observasi yang tepat, tetapi distingsi antra antecendent yang murni dan causa bukan didasarkan pada evidensi langsung, tetapi selalu di dalam logika induktif, a posteriori bukan a priori. Artinya David hume mencoba mendobrak problem metafisika causalitas dengan determinasi causa particular dari efek particular yang definitive. Dengan demikian, tampakanya Hume mencoba menjawab persoalan metafisika dari persoalan determinasi causa particular dari efek particular yang definitif; menguraikan bahwa prinsip menjadi yang disebabkan dari afirmasi-afirmasi partikular dari tipe fenomena tertentu merupakan efek dari sesuatu yang lain.
2.) Kritik Kant
Pada prinsipnya, Kant mengikuti Hume bahwa persepsi menunjukkan kepada kita bahwa yang ada hanyalah suatu gradasi keteraturan di dalam suksesi dan bukan hubungan causalitas. Jadi, bagi Kant causalitas tak lain adalah contoh utama dari suatu kategori atau konsep murni akan pemahaman. Dengan menjelaskan bahwa causalitas hanya suatu kategori, konsep efek tidak mungkin memuat konsep causa sehingga penilaian (judgement) yang menghubungkan causa dan efek tidak mungkin analitik a priori tetapi selalu sintetik a priori. Apa yang dimaksud dengan causalitas sebagai sintetik a priori? Apa dampaknya?
Kant membedakan dua konsep: analitik-sintetik dan a priori-posteriori.
- preposisi analitik: suatu preposisi yang konsep predikatnya masuk di dalam subyek sehingga predikat telah bersatu dengan subyek, jadi murni tautology.
- semua segitiga memiliki tiga sisi
- semua perjaka tidak menikah
Masing-masing dari preposisi tersebut adalah penilaian afirmatif subyek-predikat dan konsep predikat terkandung di dalam konsep subyek. Konsep “perjaka” memuat konsep “tidak menikah”; konsep tidak menikah adalah bagian dari definisi konsep perjaka. Maka, untuk mengetahui bahwa preposisi analitik itu benar, yang dilakukan hanyalah menguji konsep subjek: jika predikat termuat di dalam subyek maka penilaian benar.
- preposisi sintetik: suatu preposisi yang konsep predikatnya tidak termasuk di dalam konsep subyek.
- Para narapidana tidak bahagia
Pada preposisi sintetik konsep subyek tidak memuat konsep predikat. Konsep narapidana tidak memuat konsep “tidak bahagia” sehingga “tidak bahagia” bukanlah bagian dari definisi narapidana.
- Preposisi a priori: suatu preposisi yang justifikasinya tidak mengandalkan pengalaman. Memang preposisi a priori dapat divalidasi oleh pengalaman, tetapi bukan berdasarkan pengalaman. Oleh karena itu preposisi a priori adalah suatu kepastian (necessary) secara logika.
- Semua perjaka tidak menikah
- 5 + 5 = 10
Pembenaran a priori tidak tergantung kepada pengalaman. Seseorang tidak perlu bertukar pikiran dengan pengalaman untuk menentukan apakah semua perjaka tidak menikah maupun 5+5 = 10 karena sudah merupakan kepastian logika.
- Preposisi posteriori: suatu preposisi yang justifikasinya berdasarkan pengalaman. Preposisi posteriori divalidasi dan berdasarkan di dalam pengalaman. Oleh karena preposisi ini bersifat contingent.
Bagi Kant, semua penilaian analitik adalah a priori. Tetapi juga bahwa menurut Kant terdapat pernyataan sintetik yang a priori. Poin penting dari penilaian sintetik a priori bahwa meskipun tidak berasal dari pengalaman atau secara a priori, penilaian sintetik a priori melampaui pengetahuan kita bahkan penilaian analitik. Memang pernyataan sintetik a priori tidak lazim karena kita mengetahui pernyataan sintetik selalu dari pengalaman, lalu ketika ditambahkan a priori yaitu yang independen dari pengalaman, bagaimana mengertinya? Rumusan masalahnya adalah bagaimana kita tahu bahwa suatu pernyataan a priori jika predikatnya tidak dimasukkan dalam subjek?
Kant menjelaskan kemungkinan penilaian yang seperti itu dengan mengacu kepada peranan pikiran dalam membentuk pengalaman. Menurutnya, dengan mengaplikasikan kategori-kategori kepada intuisi, kita meletakkan pikiran kita ke dalam pengalaman. Kategori-kategori membentuk pengalaman sehingga kita mengetahui bahwa aspek pengalaman yang sifatnya a posteriori sudah menjadi milik kita a priori. Di sini kita dapat melihat perbedaan Hume dengan Kant. Menurut kacamata Hume pengalaman merupakan basis untuk hubungan causa dan efek secara konstan sejauh persepsi menangkapnya. Misalnya menurut Hume panas secara konstan mengikuti peristiwa batu yang diterangi oleh matahari. Jadi empiris Hume bersifat subyektif karena pengalaman menjadi fundamen causa dan efek.
Namun, Kant mengenalkan suatu konsep pengalaman yang revolusioner yang bertentangan dengan konjungsi kontans yang terbentuk di dalam persepsi. Secara istimewa pengalaman menjadi mungkin hanya karena representasi dari suatu relasi persepi yang sifatnya niscaya. Pengalaman di dalam perspektif Kant menunjukkan bahwa suksesi adalah suatu keniscayaan di mana efek tidak selalu mengikuti causa karena bisa jadi efek ditempatkan melalui causa. Matahari melalui sinarnya menyebabkan panas. Panas sebagai efek ditempatkan dan mengikuti causa sehingga hanya merupakan suksesi.
Konsekuensinya, pengalaman tak pernah memberikan penilaiannya sebagai benar atau salah, pengalaman hanya mengasumsikan atau bersifat universal komparatif. Supaya suksesi itu menjadi keniscayaan maka pengalaman harus diformulasikan agar menjadi suatu penilaiaan yang memiliki universalitas secara utuh. Untuk itu, kita memulainya dari aturan empiris yang subyektif: persepi tentang batu yang diterangi secara konstan oleh matahari pasti diikuti oleh persepsi panas. Subyektifnya terjadi karena relasi niscaya antara peristiwa yang satu diikuti oleh peristiwa yang lain hanya berasal dari kesimpulan kita dari satu objek terhadap objek yang lain dan obyektivitas dari kesimpulan kita hanyalah kebiasaan. Lalu Kant mengubah aturan empiris ini menjadi suatu hukum obyektif. Peranan hukum obyektif tersebut menyebabkan relasi di antara kedua hal dipandang sebagai sesuatu yang niscaya dan secara universal valid. Lalu apa yang mengubah atau mentranformasi dari persepsi yang subyektif menjadi fakta yang yang obyektif? Transformasi ini disebabkan oleh adanya penambahan tentang konsep a priori di dalam pengalaman sehingga menjadi sintetik a priori. Tepatnya bahwa kategori-kategori atau konsep murni pemahaman terkait kepada pengalaman: bukan berarti kategori-kategori tersebut berasal dari pengalaman, tetapi justru pengalaman berasal dari kategori tersebut; kategori memiliki keaslian pada konstitusi pikiran itu sendiri. Jadi, di sini terjadi suatu pembalikan relasi persepsi yang tak pernah terjadi di di dalam pemikiran Hume yaitu bahwa pengalaman tidak berasal dari pengalaman tetapi dari suatu keabsahan a priori. Tanpa adanya keabsahan a priori, fakta empiris hanyalah suatu keabsahan yang sifatnya berubah-rubah. Keabsahan a priori selalu menjadi milik fakultas pemahaman (kognitif) a priori. Keniscayaan dan universalitas yang utuh merupakan bagian kognitif priori.
Tentu saja, kausalitas merupakan suatu a priori sebagai konsep murni atau kagetori-kategori dari pemahaman yang merupakan pendasaran segala pengetahuan dan bukan lagi pengalaman yang bersifat berubah-rubah. Kategori-kategori berada di dalam fakultas kognitif untuk membuat penilaian empiris. Di sini, perbedaan antara Hume dan Kant semakin mengerucut: Kant mengatributkan suatu peranan aktif terhadap subjek manusia: subyek manusia memproyeksikan keteraturan; causa dan efek adalah kategori a priori dari pikiran manusia; konsep causalitas berasal operasi dari pengertian kita sehingga causalitas adalah apa yang pikiran cenderung untuk menduga ketika berhadapan dengan keteraturan. Hubungan causalitas yang ada di dalam fenomen tak lain adalah apa yang diproduksi oleh pikiran sebagai operasi mental yang subyektif. Jadi, tidak ada causalitas obyektif di antara peristiwa-peristiwa. Yang ada hanyalah interpretasi pikiran subyektif kita akan keteraturan yang terjadi di antara hal-hal. Jadi perbedaan Hume dan Kant dalam causalitas adalah Hume mulai dari dunia menuju kepada pikiran, Kant dari pikiran menuju dunia. Subyektif Hume adalah induksi sementara Kant adalah deduksi.
Selanjutnya, menurut Kant, tidak mungkin pula membenarkan prinsip: segala yang terjadi memiliki causanya sebagai penilaian analitik dan sebaliknya adalah mungkin membenarkan prinsip: segala yang berubah terjadi menurut hukum rangkaian causa dan efek (analogi kedua pengalaman) sebagai kondisi dunia fenomen bukan pada dunia noumena (hal di dalam diri mereka sendiri). Di sini Kant mencoba merekonsiliasikan hukum causa universal dan hukum causa partikular lewat Analogi Pengalaman yang kedua.
Analogi Pengalaman Yang Kedua yang digagas oleh Kant menyatakan bahwa segala perubahan terjadi dalam kesesuaian dengan hukum keterkaitan causa dan efek daripada hukum causa partikular. Prinsip Analogi Pengalaman yang Kedua adalah bahwa setiap peristiwa B pasti memiliki causa A (hukum causa universal) sehingga dibedakan dengan hukum partikular causal yang mengatakan bahwa setiap peristiwa A pasti diikuti peristiwa B (hukum causa particular). Analogi Pengalaman yang kedua bersifat sintetik a priori sementara hukum causal partikular adalah sintetik posteriori sehingga selalu dibangun dari metode induksi.
Analogi pengalaman yang kedua memberikan suatu konsep a priori tentang kesatuan dan keseragaman realitas. Lewat analogi pengalaman yang kedua kita tahu secara a priori bahwa natura pada umumnya terdiri dari interaksi substansi di dalam ruang dan waktu yang diatur oleh hukum causalitas yang menetapkan relasi-relasi temporal (durasi, suksesi, simultanitas) di antara peristiwa-peristiwa empiris. Dengan kata lain, Kant memastikan adanya hubungan keniscayaan di dalam natura. Fenomen-fenomen yang menetapkan keterkaitan natura berasal dari hubungan keniscayaan dan hubungan ini dinyatakan oleh hukum alam (dari hukum fisika Galileo-Newton). Bagi Kant hukum fisika memiliki keniscayaan yang sah dengan preposisi matematika yaitu kepastian penilaian sintetik a priori. Akibatnya, sekali lagi penjelasan mekanik tentang natura berubah menjadi kepastian subjektif dari intelek manusia.
Kant pun mengklaim bahwa konsep causa tidak dapat hanya melulu berasal dari repetisi dari konjungsi-konjungsi konstan yang serupa (kesesuaian peristiwa-peristiwa selanjutya dengan mengikuti penampilan-penampilan yang pasti) yang menghasilkan kebiasaan subyektif sebagaimana yang digagas oleh Hume. Prosedur yang dengannya kita mengaplikasikan konsep causa kepada pengalaman tidak dapat induktif seperti yang dibuat oleh Hume karena prosedur itu harus melibatkan aturan-aturan pemahaman a priori yang melaluinya kita secara progresif menetapkan relasi causa obyektif di antara penampilan-penampilan dan dengan cara demikian menetapkan tatanan suksesi obyektif di dalam waktu itu sendiri.
Dampaknya, penemuan hukum partikular empiris tersebut terjadi lewat hukum asli obyektif yang melaluinya pengalaman pertama-tama menjadi mungkin yaitu kategori-kategori pemahaman. Oleh karena adanya peranan kategori-kategori pemahaman hukum partikular ini tidak serta merta sifatnya empiris murni. Kant menekankan bahwa konsep murni pemahaman atau kategori-kategori berfungsi untuk mengubah persepsi-persepsi subyektif menjadi suatu pengalaman obyektif dengan cara menyebabkan kesatuan persepsi secara niscaya. Hukum partikular terlingkupi di bawah konsep a priori causalitas. Hukum partikular didasarkan pada prinsip causalitas universal.
Prinsip causalitas universal membuat pengalaman menjadi valid karena prinsip causalitas memasukkan keniscayaan universalitas ke dalam hukum causa partikular dari ilmu pengetahuan. Maka, karena relasi causal partikular selalu melibatkan hukum causalitas universal, segala dahlil dari persepsi partikular (sintetik a posteriori) menuju hukum causal universal didasarkan pada sintetik a priori dari pemahaman murni yang pada akhirnya memberikan sintetik a priori konsep tentang unitas dan kesatuan secara general. Untuk alasan inilah Kant menyimpulkan bahwa induksi sendiri tidak dapat menjadi dasar untuk hubungan-hubungan causal tetapi harus didasarkan pada konsep a priori dan prinsip pemahaman murni (pure understanding).
Melalui kesimpulan ini, Kant menyudahi bahwa causalitas selalu merupakan kebenaran sintetik a priori. Perumusan prinsip causalitas sebagai kebenaran sintetik a priori mendorong Kant untuk membatasi causalitas hanya sebagai realitas fenomena karena kausalitas hanyalah realitas fenomenal yang dibentuk oleh pikiran kita dan bukan realitas noumena (hal di dalam diri mereka sendiri). Jadi bagi Kant pembicaraan kausalitas pada realitas noumena tidak sah dan tidak memberikan kita teori apa pun.
3.) Prinsip indeterminisme Heisenberg
Ternyata kerancuan Hume antara prinsip metafisika dan posibilitas untuk menetapkan causa partikular dari fenomena partikular juga menggiring fisika kontemporer untuk mengkritik metafisika bahkan dalam arti tertentu menghancurkan prinsip metasika. Pada saat prinsip metafisika dihancurkan, konsekuensinya adalah bahwa metafisika tidak dapat menunjukkan eksistensi Tuhan. Kata F. Orestano: “Tak seorang pun dapat membuat ilusi pada hal berikut ini: bahwa banyak konsep dan prinsip ontologis yang mendukung banyak orang untuk mendemontrasikan eksistensi Tuhan, hari ini semuanya memasuki fase kritik… Prinsip causalitas di dalam fisika tentang konstitusi atom yang terakhir yaitu tentang dunia, telah porak-poranda… Siapa yang dapat merasa tenang untuk mempercayai buki-bukti eksistensi Tuhan pada suatu demonstrasi yang fondasinya pada kesimpulan ontologis yang bobrok?”
Prinsip indeterminisme dilatar-belakangi oleh fisikawan L.Broglie yang meneliti electron. Dalam dunia fisika keadaan dan posisi electron tidak dapat dipastikan dengan presisi yang tepat. Kecepatan electron di dalam ruang tidak dapat diketahui secara pasti. Electron yang memiliki kecepatan di dalam ruang dipahami diantara nilai ⱴ + ∆ ⱴ. Dengan adanya rumusan ini, kita tidak dapat menetapkan (mendeterminasi) kondisi awali untuk posisi dan gerakan electron sehingga kita pun tidak memastikan dengan perhitungan yang cermat electron sesudah waktu tertentu. Yang dapat diformulakan tentang electron hanyalah probabilitas, kemungkinan kecepatan electron. Artinya bahwa sesudah waktu t ada probabilitas p sehingga electron justru berada di dalam probabilitas ketika ditemukan di dalam ruang dan memiliki kecepatan tertentu. Heisenberg berpendapat bahwa melalui mekanika quantum terbuktilah ketidakabsahan prinsip metafisika. Jadi, hukum fisika menilai dunia mikroskospik dengan hukum probabilitas bukan dengan hukum dengan causalitas. Sementara hukum fisika menerapkan hukum causalitas di dalam dunia makroskospik.
Tanggapan
- Prinsip indeterminisme sebenarnya melawan determinisme fisika. Determinisme fisika menjelaskan bahwa dunia merupakan suatu sistem pergerakan korpus menurut aturan-aturan tertentu yang dapat diketahui sehingga hasil-hasilnya dapat dikalkulasi. Pergerakan material di dalam sebuah tempat dapat dikenali ketika diketahui juga posisi materi dan kecepatan awalinya. Menurut Huxley prinsip ini dapat diterapkan kepada hidup organic yang tak lain merupakan hasil dari pergerakan molecular. Manusia pun merupakan subyek untuk rangkaian causalitas ini. Prinsip determinisme metafisika dan prinsip determinisme fisika tentu berbeda[1].
- Prinsip indeterminisme Heisenberg dan pengetahuan fisika sebagai hukum probabilitas memang merancukan dahlil-dahlil causalitas tetapi tidak untuk prinsip determinisme fisika ketika prinsip determinisme fisika menjelaskan dalam bingkai metafisika. Sebabnya, prinsip indeterminisme menjelaskan bhawa kita tidak dapat mengenali pada suatu waktu dalam presisi yang tepat posisi dan kecepatan electron dan hal ini bukan berarti bahwa electron kiranya tidak memiliki suatu posisi dan kecepatan tertentu (determinisme). Jadi, ketika seseorang menarik kesimpulan filsafat tentang prinsip causalitas dan maksud prinsip determinisme dari paradigma dan relasi indeterminisme fisika kontemporer maka yang terjadi adalah kerancuan secara serentak di dalam ranah dan hal yang berbeda.
Rumusan setiap causa memiliki efek determinasi dan setiap efek mensyaratkan suatu causa determinatif identik dengan realitas bahwa di dalam setiap fakta dapatlah ditemukan causa dan pada setiap fakta pula dapat dibangun pula manakah efek-efek yang dihasilkan. Kebenaran ini tidak hanya didasarkan pada logika yang sederhana, tetapi juga kapasitas manusia, pada ilmu pengetahuan manusia. Sayangnya, ilmu pengetahuan kontemporer dengan hipothesis dan hukum probabilitas tidak dapat memperkirakan dengan pasti causa dan efek sesuatu hal sehingga mendegungkan bahwa determinisme tidak memiliki nilai. Terhadap fakta ini di satu sisi kita mengetahui bahwa setiap hal memiliki causa determinatif dan menghasilkan efek determinatif, di sisi lain kita mengetahui pula yang manakah causa dari fakta ini dan yang mana efeknya. Walaupun demikian, fakta ini disanggah oleh fisikawan bahwa kiranya tidak akan tahu yang manakah efek dan yang manakah causa meskipun bantahan ini absurd. Yang dapat dimengerti dari dunia fisika adalah dunia fisika tidak tertarik pada persoalan makroskopik sehingga mereka pun tidak berminat pada persoalan filsafat. Jadi dengan probablitas, para fisikawan sebenarnya tidak berbicara bahkan tidak dapat berbicara soal determinisme general maupun prinsip metafisika.
Dapat dikatakan pula bahwa sebuah data electron kiranya berupa potensi di dalam suatu zona tertentu dan proses fisik yang digunakan untuk mengobservasi electron berupa aktus. Maka, di dalam konteks ini prinsip determinisme menunjukkan keabsahannya. Ada natura yang definitif di bawah kondisi tertentu (yang digunakan untuk observasi) memberikan pengaruh kepada electron. Ada causa determinatif yang memberikan efek determinatif. Bahwa causanya kiranya korpus atau radiasi yang diamati atau kesempurnaan konstitusi dari korpus atau radiasi dan instrumen-instrumen fisik fadalah problem ilmu pengetahuan, bukan metafisika. Bagaimanapun juga, ketidakmungkinan menetapkan semua proses di dalam ketepatan dan mengetahui tempat electron dengan presisi total bukan berarti bahwa secara objektif tidak ada relasi-relasi causalitas. Seperti yang dikatakan oleh Max Plank, pastilah ada suatu harmoni antara dunia persepsi indrawi dengan mikrokospik hal-hal. Selain itu juga, penyelidikan l. Broglie dilakukan di dalam kondisi eksperimen, jadi intederminisme bukan suatu fakta objektif tetapi suatu produk yang subyektif.
[1] Prinsip determinisme dapat memiliki arti metafisika maupun arti fisika. Dalam bingkai metafisika, prinsip determinisme menegaskan bahwa ada hubungan keniscayaan di antara ada-ada yang beroperasi; dalam bingkai fisika, prinsip determinisme menjelaskan bahwa kiranya hubungan keniscayaan di antara ada-ada yang beroperasi dapat ditemukan dan dideterminasi dengan cara menetapkan yang manakah fenomena yang secara niscaya terkait dengan fenomena lain, yang manakah causa dari efek determinatif yang sudah ada. Lalu di mana perbedaan determinisme dan metafisika? Prinsip metafisika determinisme adalah analitik dan evidensi langsung dan metode yang demikian bukan prinsip dari determinisme fisika. Prinsip metafisika determinisme adalah sebagai berikut: setiap hal memiliki suatu modus untuk bertindak, beraksi dan setiap aktivitas determinatif mendakwakan suatu obyek determinatif. Logika ini merupakan evidensi langung dari konsekuensi prinsip identitas, oleh karena setiap hal adalah determinatif maka setiap hal memiliki cara determinatif untuk bertindak, tanpa bertindak tidak akan terealisasi ada. Prinsip fisika determinisme dapat dimengerti sebagai berikut: dengan mendakwakan bahwa di antara hal-hal kiranya ada keniscayaan hubungan maka adalah mungkin menemukan hubungan tersebut yang didasarkan pada hubungan-hubungan fakta-fakta. Secara efektif adalah benar bahwa untuk menemukan keniscayaan hubungan di antara hal-hal, aku mencarinya pada hal-hal yang tersatukan dengan fakta-fakta; adalah benar bahwa untuk menemukan yang manakah kiranya penyebab panas di ruangan ini aku mencarinya apakah yang membuat secara serentak terjadinya peningkatan suhu? Misalnya karena adanya penyalaan kompor. Dengan menemukan peristiwa penyalaan kompor disimpulkan sebagai berikut: tidak hanya kompor yang dinyalakan dan temperatur udara yang meningkat tetapi temperatur udara meningkat menjadi panas karena aku menyalakan kompor. Proses observasi ini menunjukkan pula metode induktif.
Copyright © 2017 ducksophia.com. All Rights Reserved