Lukisan Ignjat Job, Dalmatian landscape
“Apa itu kejahatan selain daripada suatu kurangnya kebaikan (indigentia boni)?
Hal-hal yang mana mereka kurang dalam kebaikan adalah kejahatan (quae privantur)…
Kejahatan hanya dapat dimengerti hanya dengan mengetahui kebaikan”
St. Ambrosius
Kebaikan dan kejahatan berjalan beriringan. Kita melihat kebaikan misalya peristiwa kelahiran, orang menolong tetapi juga di tempat lain kita melihat bencana alam, pembunuhan, pengusiran, dan sebagainya. Kejahatan -baca malum– menyengsarakan kehidupan. Tak pelak, berbagai macam pergulatan muncul bahkan realitas malum membuat manusia bertanya, meragukan dan sampai menolak eksistensi Tuhan –Sang Kebaikan dan Pencipta segala sesuatunya-. Bagaimana menjelaskan kejahatan padahal menurut metafisika segala sesuatu adalah baik adanya; apakah Tuhan membiarkan kejahatan?; apakah Dia penyebab kejahatan?
Pengertian kejahatan
- Kejahatan adalah suatu privasi kebaikan
Kejahatan berarti non ada. Anselmus mendefinisikan non ada sebagai absennya kebaikan. Lalu Thomas menyempurnakan pengertian kejahatan bahwa kejahatan adalah absennya kebaikan yang mana ada harus memilikinya; kurangnya suatu kebaikan yang dibutuhkan untuk integritas suatu ada. Dengan demikian karena ada adalah kebaikan maka absennya ada memastikan absennya kebaikan dan demikian juga sebaliknya. Absennya kebaikan atau absennya ada mengatakan bahwa kejahatan adalah privasi ada. Apa yang dimaksud dengan privasi?
Suatu privasi memiliki eksistensi ketika suatu ada yang secara natura memiliki suatu atribut namun tidak memilikinya. Misalnya orang buta adalah suatu privasi karena buta berarti tidak memiliki fakultas melihat yang seharusnya dipunyai orang tersebut. Namun buta itu sendiri bukanlah ada; buta memiliki eksistensi karena ada manusia. Tanpa ada manusia, buta tidak ada. Jadi, kejahatan adalah suatu privasi kebaikan.
- Kejahatan adalah suatu halangan bagi kesempurnaan ada
Karena kejahatan adalah suatu privasi ada, maka kejahatan adalah suatu halangan bagi kesempurnaan ada. Segala ada mencari dan memiliki tendensi akan kesempurnaan. Suatu ada dikatakan sempurna jika memiliki integritas, keutuhan. Semakin jauh dari integritas semakin tak sempurna sehingga kejahatan itu tak lain adalah dimutif ada, pengerdilan ada, mutilasi kepenuhan ada. Mutilasi dan pengerdilan ada berarti kejahatan selalu melemahkan ada.
- Kejahatan sebagai deordinasi
Ada memiliki finalitas dan finalitasnya adalah kebaikan; dengan demikian segala yang ada berada di dalam ordinasi atau keterarahan kepada kebaikan. Sebaliknya, kejahatan dalam pengertian ordinasi adalah ketidakmampuan mencapai finalitas. Apa pun penghalang ada untuk mencapai finalitas dan yang membengkokkan atau menjauhkan ada dari kebaikan berarti kejahatan. Jadi kejahatan adalah deordinasi –penyimpangan- keterarahan menuju finalitas[1].
Distingsi kejahatan
Realitas kejahatan menyebar segala dimensi kehidupan. Maka kejahatan digolongkan menjadi:
- Kejahatan fisik (malum naturae)
Kejahatan fisik dapat dimaknai sebagai kurangnya kesempurnaan yang menjadi milik dari natura ada; dengan kata lain privasi dari kebaikan fisik. Maka, kejahatan fisik berlangsung pada tatanan indrawi. Misalnya gunung meletus, banjir, wabah, pincang, buta. Penyebab malum naturae adalah di satu sisi penyimpangan dari hukum alam tetapi juga di satu sisi karena ulah manusia. Misalnya banjir bisa jadi karena luapan sungai dan debet air laut yang meninggi tetapi juga karena manusia mencemari, merusak lingkungan.
- Kejahatan di dalam pekerjaan (malum artificale)
Yang dimaksud dengan kejahatan di dalam pekerjaan manusia adalah pekerjan-pekerjaan yang dibuat dalam cara yang menyimpang. Misalnya, bangunan gedung yang rapuh, mesin yang tidak bekerja dengan baik, tulisan-tulisan dengan logika dan gramatika yang keliru. Penyebabnya bisa jadi kebodohan, kecerobohan, pengetahuan yang kurang, materi-materi yang salah. Bisa disimpulkan bahwa malum artificale disebabkan oleh absennya suatu qualitas atau tatanan bahkan juga keindahan dan kurangnya kegunaan bagi manusia.
- Kejahatan moral (malum morale)
Kejahatan moral berarti kejahatan memancar dan bersumber dari realitas manusia. Sejatinya kejahatan lahir bersama dengan manusia karena kejahatan moral melibatkan kehendak dan kebebasan manusia. Kejahatan moral menyatakan kurangnya suatu kesempurnaan spesifik yang harus dimiliki oleh kebebasan manusia: keteraturan kepada tujuan akhir. Suatu perbuatan dikatakan jahat secara moral ketika manusia tahu dan secara bebas menyimpang dari apa yang harus dia lakukan sebagai manusia atau perbuatan yang melawan suara hatinya: hindari yang jahat dan lakukanlah kebaikan. Kejahatan moral merupakan bentuk kejahatan yang paling serius karena mencabut manusia dari keagungannya dan kehendaknya terarah kepada kejahatan. Kehendak jahat bukanlah causa yang menghasilkan (produktif) tetapi yang menghancurkan (destruktif)[2]. Kejahatan moral menghancurkan diri sendiri, sesama, tatanan yang ada dan melawan Tuhan. Sudah barang tentu kejahatan moral penyebab utama penderitaan dan kehidupan. Genocide, kamp konsentrasi merupakan contoh dari kejahatan moral.
Natura kejahatan
Ada adalah sesuatu yang diinginkan, dihasratkan sehingga ada dan realitas dapat bertukar kedudukan. Segala ada baik adanya. Sebaliknya, kejahatan bukanlah suatu yang dinginkan tetapi sesuatu yang ditolak. Dalam konteks ada dan kesempurnaan maka tidak mungkin kejahatan adalah suatu ada; kejahatan tidak pernah mengada sebagai suatu ada; kejahatan bukan pula suatu natura ataupun forma»[3]. Sebabnya bahwa segala ada dan kesempurnaannya adalah kebaikan sehingga kejahatan itu sendiri hanya dapat diketahui dari kebaikan. Tanpa ada kebaikan, kejahatan tidak dapat diketahui dan tak mungkin ada karena kejahatan hanya mengada di dalam kebaikan[4].
Kejahatan adalah non-ada. Kejahatan sebagai non ada mau mengatakan bahwa suatu ada tak mungkin seluruhnya atau seutuhnya kejahatan karena jika demikian berarti tidak ada being sama sekali. Kejahatan hanya mengada di dalam ada. Ada dikatakan jahat-buruk bukan karena partisipasi, sebaliknya ada dikatakan jahat buruk karena kurangnya partisipasi. Itu berarti bahwa tidak ada satu pun kejahatan yang mana kejahatan adalah kejahatan karena esensi atau forma[5].
Walaupun kejahatan bukan ada bukan berarti bahwa kejahatan hanya suatu ilusi; kejahatan adalah fakta, suatu realitas. Spinoza menyangkal bahwa kejahatan bukanlah suatu fakta melainkan hanya suatu ilusi melulu. Menurutnya, kejahatan hanyalah soal cara melihat dan cara melihat tergantung pada pengetahuan benar dan cukup akan realitas. Artinya ketika seseorang memiliki pengetahuan yang benar akan realitas dia tidak akan menjumpai kejahatan. Dengan pengetahuan benar atau kecukupan realitas ternyata kejahatan hanyalah sebuah ilusi.
Namun, faktanya pula kejahatan itu mengkorupsi ada sehingga kejahatan tidak bisa dikatakan hanya penampakan ataupun ilusi. Kata Agustinus: “Mungkinkah bahwa kejahatan bukanlah sesuatu? Jika demikian mengapa kita takut dan menghindari apa yang tidak ada? Atau, jika kita memiliki ketakutan dalam kekosongan, setidaknya ketakutan ini yang tak beralasan yang muncul dan menggelisahkan hati, maka hal ini pun adalah kejahatan. Dan meskipun kejahatan dalam bentuk ketakutan yang begitu menyengsarakan tidak memiliki obyek, kita pun tetap takut. Jadi, entah kejahatan yang kita takuti atau ketakutan yang muncul di dalam diri sendiri berdiamlah kejahatan. Seandainya kejahatan hanya tergantung pada ilusi kita, pertanyaannya akan menjadi canggung: dari mana datangnya ilusi ini ? Kejahatan yang menghancurkan hal-hal berada di dalam manusia, di dalam pengetahuan yang kurang, di dalam ilusi”[6]. Jadi, menurut Agustinus, justru ilusi dan pengetahuan yang kurang itulah yang menjadi penyebab manusia melakukan kejahatan.
Memang kejahatan adalah suatu realitas tetapi kejahatan secara formal bukan realitas positif. Secara formal ini mau menggarisbawahi dan menekankan bahwa kejahatan sekali lagi bukan suatu ada. Kenyataan ini dapat dijelaskan dengan contoh berikut ini: misalnya pincang. Pincang adalah suatu malum, walaupun demikian adalah suatu bentuk aktivitas sehingga juga merupakan suatu hal positif. Mengapa dikatakan sebagai hal positif ? Sebagai suatu bentuk aktivitas tentu pincang tidak dapat dikatakan sebagai kejahatan karena tentu lebih baik dapat berjalan walaupun pincang daripada tidak dapat berjalan sama sekali; jadi aktivitas pincang sebagai suatu aktivitas adalah baik – suatu realitas positif. Namun, pincang adalah malum –keburukan sebagai kecacatan di dalam berjalan, sehingga merupakan suatu kekurangan dalam kesempurnaan, maka berjalan pincang tetap suatu ada tetapi ada yang kurang sempurna, pincang itu sebagai bagian dari aktivitas berjalan adalah non ada; pincang bukanlah ada karena yang ada adalah kaki yang tak sempurna. Pincang bukanlah realitas yang positif dibanding dengan jalan yang sempurna tetapi pincang adalah hal yang positif dibanding dengan lumpuh.
Kejahatan tidak mungkin menghancurkan kebaikan secara sempurna dan total karena jika demikian kejahatan pun ikut lenyap. Andaikata kejahatan adalah kejahatan yang integral, maka kejahatan akan menghancurkan dirinya sendiri. Fakta ini dijelaskan dengan mengacu kepada tiga makna kebaikan dalam hubungannya dengan kejahatan. Pertama bahwa kejahatan yang menindas secara sempurna kebaikan misalnya kebutaan menghancurkan penglihatan; kedua kejahatan yang bertentangan dengan kebaikan misalnya terang bertentangan dengan kegelapan. Ketiga, ada kebaikan yang tidak dapat dikalahkan dan dikerdilkan oleh kejahatan misalnya kegelapan tentu tidak dapat mengkerdilkan substansi udara dan kebutaan tidak dapat menghancurkan substansi manusia karena kebutaan tinggal di dalam substansi manusia.
Melihat kenyataan di atas maka tersirat suatu makna bahwa kejahatan itu selalu bersifat relatif terhadap kebaikan sementara kebaikan selalu bersifat absolut terhadap kejahatan. Bonum ex integra causa, malum ex quocumque defectu; hal yang baik berasal dari kepenuhan ada dan , hal yang buruk berasal dari kekurangan ada. Maka, sesuatu dikatakan (secara fisik atau secara moral) baik, maka ia pasti baik seutuhnya; sesuatu menjadi jahat atau buruk karena defiensi atau kekurangan. Kita tidak mengatakan secara definitif suatu ada seluruhnya buruk –jahat oleh karena satu kekurangan atau defisiensi, tetapi kita hanya mengatakan sesuatu sejauh ini buruk, dan jika kekurangan ada begitu besar maka sesuatu itu seluruhnya buruk, seperti contoh kompas yang rusak jarumnya sehingga kompas seutuhnya tidak berguna dalam tujuannya menunjukkan tempat. Sebaliknya, sesuatu sejauh hanya mendekati karakter yang seharusnya demikian kita menyebutnya baik. Oleh karena itu kita mengatakan bahwa roti itu rasanya enak, baik walaupun texturnya jelek. Contoh ini mau mengatakan bahwa kebaikan selalu lebih tinggi, lebih luas, lebih besar daripada kejahatan. Akibatnya tak mungkin orang memimpikan kejahatan absolut yang menjadi causa kejahatan yang ada. Yang ada adalah kebaikan absolut. Justru kebaikan nantinya akan memperbarui, melengkapi dan memperbaharui ada-ada yang memiliki privasi. Dengan demikian kejahatan tak pernah memiliki porsi yang lebih besar di semesta daripada kebaikan karena segala sesuatunya adalah baik adanya dan seperti yang dikatakan oleh Thomas Aquinas sendiri bahwa kebaikan dapat mengada tanpa kejahatan sementara kejahatan tidak akan pernah ada tanpa kebaikan.
Causa kejahatan
Apa penyebab atau causa kejahatan ? Pertama-tama causa kejahatan bukanlah kejahatan itu sendiri; bukan kejahatan per se karena kejahatan per se tidak pernah ada. Sebab jika penyebab kejahatan adalah kejahatan itu sendiri maka kejahatan tidak pernah ada karena kejahatan adalah suatu privasi atau bukanlah suatu ada; non ada tak pernah bisa menjadi causa.
Lalu apa causa kejahatan ? Causa kejahatan adalah kebaikan itu sendiri. Dan itu berarti adalah subyek. Bagaimana mungkin dikatakan bahwa causa kejahatan adalah kebaikan itu sendiri ? Subyek adalah prinsip yang menghasilkan perubahan-perubahan untuk substansi natural. Maka subyek sebagai pelaku merujuk kepada causa efisien.
Subyek sebagai causa efisien adalah baik adanya sehingga causalitas tidak mungkin menghasilkan kekurangan atau privasi. Lalu mengapa penyebab kejahatan adalah kebaikan? Privasi pasti berasal dari luar dalam arti sebagai sesuatu yang tidak diinginkan secara langsung atau kejahatan itu terjadi karena per aksiden dalam hubungannya dengan fungsi yang lain. Seorang pembangun yang membangun sebuah tembok yang miring adalah penyebab tembok yang miring tersebut tetapi secara tidak langsung. Sebabnya pembangun membangun sebuah tembok (realitas positif) tetapi menghadirkan keburukan yaitu miring. Alasan atau penyebab bangunan miring sebagai berikut:
- Tembok miring tersebut diperlukan untuk mendukung tipe bangunan tertentu. Maka dalam konteks ini tembok yang miring disebabkan oleh subyek pelaku tetapi secara aksiden, karena si pembangun membuat tembok miring demi mendukung tipe bangunan tertentu bukan untuk semata-mata demi membuat tembok miring.
- Si pembangun tidak memiliki keahlian membangun tembok dengan baik; jadi merupakan keburukan dari si pelaku. Di sini terbukti bahwa kejahatan tidak diinginkan, tidak dibuat atau diadakan secara per se. Pelaku atau causa efisien berarti menyoal aksi. Kejahatan muncul dari aksi. Aksi jahat disebabkan oleh defisiensi agen (kurangnya pengetahuan,keteledoran, dst). Dari sisi kehendak sang agen dan kebebasannya, desifit aksi terjadi karena kelemahan kehendak yang tidak diarahkan oleh akal budi sehingga agen berbuat sebagai demikian. Maka kejahatan terjadi bukan karena causa efisien tetapi defisien, bukan secara efektif tetapi secara defektif.
- Tembok menjadi miring karena gempa bumi, jadi di sini kejahatan pun terjadi secara aksiden. Jika kejahatan memilliki causa efisien, maka bukanlah causa efisien yang menghasilkan secara langsung, tetapi secara aksiden. Kejahatan memiliki causa secara aksiden dan tak pernah secara substansi[7].
Kejahatan tak pernah menjadi finalitas dan tak pernah menjadi motivasi untuk diaktualkan, sebaliknya kejahatan selalu dibenci karena menghalangi ada untuk mencapai kebaikan. Oleh karena itu tak pernah ada agen pelaku kejahatan berbuat demi kejahatan itu sendiri. Agen berbuat kejahatan karena demi kebaikan dan itu secara aksiden dan defektif. Misalnya seorang yang mencuri, motivasinya bukan demi kejahatan, tetapi motivasinya pada waktu itu nampak sebagai kebaikan. Jadi, causa sejatinya dari kejahatan adalah mencari kebaikan.
Kejahatan memiliki causa material karena kurangnya ada yang mendukung materi sehingga materi tersebut hilang. Causa material kejahatan adalah subyek yang mempengaruhinya; jadi bukan materinya karena materi selalu baik adanya. Menurut causa formal, kejahatan tidak memiliki forma karena kejahatan adalah privasi forma[8].
Konsekuensi negatif kejahatan
Tentu kejahatan memiliki akibat-akibatnya yang buruk seperti sebagai berikut:
- Ketidaksempurnaan dan kecacatan ciptaan
Kejahatan mencacatkan ada karena kejahatan sebagaimana dikatakan adalah pengerdilan atau dimutif ada yang menyebabkan ada menjadi tak sempurna. Oleh karena kejahatan, ada menjadi terbatas. Semakin ada terbatas atau kurang memiliki integritas semakin terbatas pula ada untuk bertindak dalam kebaikan dan mencapai tujuan akhir. Dalam konteks ini kejahatan menyebabkan ketidaksempurnaan dan kecacatan ciptaan.
- Korupsi ciptaan
Korupsi ciptaan menyentuh soal moralitas manusia sehingga kejahatan moral merupakan produk dari manusia yang jahat. Mengapa? Kebaikan manusia terletak pada tindakan yang baik atau kehendak baik yang diaktualkan untuk hal-hal. Sebaliknya, kejahatan manusia terjadi ketika dia yang memiliki kehendak jahat menggunakan dan mengaktualkan kejahatan. Lalu kejahatan menjadi realitas yang menghancurkan kehidupan. Melihat kejahatan moral yang begitu mengerikan seperti kamp konsentrasi, konflik Balkan, Kamboja dan Armenia maka, menurut Salvador Giner manusia begitu jahat secara brutal. Singa tidak seperti manusia karena singa membunuh tetapi tanpa penyiksaan dan kekejaman. Manusia adalah monyek unik yang menyiksa. Padahal menjadi manusia adalah rasional di segala aspeknya dan rasionalitas membuat manusia mampu membedakan yang baik dan yang buruk. Dia tahu apa itu robot, apa itu pengkhianatan, menjaga anak atau pun menelantarkan anak. Itu berarti bahwa manusia dengan rasionalitasnya dapat memilih. Namun kejahatan mematikan rasionalitas sehingga membuat dirinya menjadi jahat. Tentu saja kejahatan membuat manusia kehilangan prioritas moral. Manusia yang kehilangan prioritas moral adalah manusia yang terkorupsi dan kehilangan martabatnya.
- Penderitaan
Dengan adanya ketidaksempurnaan ciptaan dan manusia sebagai pelaku kejahatan moral sudah barang tentu yang terjadi adalah penderitaan. Misalnya kejahatan moral kamp konsentrasi telah menyebabkan penderitaan bagi orang Yahudi. Selama kejahatan ada di kehidupan selama itu pula penderitaan berlangsung. Penderitaan adalah kejahatan yang diderita manusia sementara dosa adalah kejahatan yang manusia lakukan.
- Kehancuran ciptaan
Akibat kejahatan yang paling utama tentu saja adalah kematian dan kebinasaan. Dengan adanya kejahatan maka ada menjadi hancur, hilang, lenyap. Kalau kebaikan menyempurnakan yang ada maka kejahatan menghancurkan yang ada. Demikian juga bahwa kalau kebaikan membawa kepenuhan atau mengaktualkan potensi maka kejahatan justru menghancurkan potensi.
Konsekuensi positif kejahatan
Walaupun kejahatan memiliki akibat-akibat negatif, tetapi ternyata juga memiliki akibat-akibat positif ibarat sisi lain mata uang. Berikut ini akibat-akibat positif dari kejahatan:
- Manifestasi keutamaan
Kejahatan berdekatan dengan keutamaan, maka ketika kejahatan merajalela sebenarnya juga tempat manifestasi keutamaan. Peristiwa terjadinya kejahatan moral juga merupakan tempat kebaikan dan pengetahuan: kebaikan karena pada waktu dan tempat kejahatan berlangsung, kebaikan-kebaikan juga terjadi karena manusia pada dasarnya secara spontan mencintai kebaikan dan mengakltualkan kebaikan. Rasa pedih akan penderitaan mendorong manusia untuk menolong dan membantu sesamanya. Cinta pun bersemi. Pengetahuan karena manusia dapat belajar dan berefleksi akan peristiwa yang terjadi. Dengan refleksi akan kejahatan manusia akan menemukan kebaikan dan mencegah terjadinya kejahatan sekaligus menghadirkan kebaikan. Penderitaan sebagai akibat kejahatan moral adalah suatu insentif untuk aksi keutamaan. Di dalam konteks ini, kejahatan adalah suatu momen untuk kemajuan suatu peradaban.
- Perservasi keberlansungan ada-ada yang lain
Semesta ini adalah suatu keteraturan yang mana suatu ada dapat hidup karena ada yang lain. Mekanisme ekosistem menjaga keberlangsungan hidup semesta ini. Maka dengan binasanya suatu ada membuat ada yang lain hidup. Rumput dimakan sapi kemudian sapi dimakan manusia. Walaupun kejahatan ada di mana-mana, tetapi selalu membangkitkan kebaikan-kebaikan lain juga di mana-mana.
- Kelahiran dan suksesi ada-ada baru
Kebinasaan suatu ada juga melahirkan suatu ada baru. Jadi kejahatan pada saat yang bersamaan menyebabkan kelahiran dan suksesi ada-ada. Misalnya kota yang hancur akibat perang dibangun kembali dengan lebih indah dan menawan, lava gunung berapi menyuburkan tanah sekitarnya sehingga pohon dan tanaman tumbuh lebih subur sehingga panen dan hasil bumi menjadi lebih baik.
- Konfirmasi akan eksistensi Tuhan
Kejahatan justru mengantar kepada konfirmasi akan eksistensi Tuhan. Mengapa? Karena ketika kejahatan berlangsung membuat orang untuk berpaling kepada kebaikan. Tak mungkin semua yang ada adalah kejahatan melulu. Justru kejahatan membuat manusia kembali untuk mencintai dan melakukan kebaikan. Lalu faktanya setelah kejahatan dan pada saat kejahatan berlangsung juga ada kebaikan-kebaikan yang terjadi. Kebaikan mengalahkan kejahatan. Realitas ini mengantar manusia kepada sang kebaikan tertinggi yaitu Tuhan sendiri.
Tuhan dan kejahatan
Kejahatan yang ada di semesta ini menggugah manusia untuk berefleksi tentang eksistensi Tuhan. Ada yang semakin percaya akan Tuhan dan ada pula yang menolak eksistensi TUhan karena kejahatan. Pertanyaan besarnya adalah apakah Tuhan penyebab kejahatan?
Tuhan bukan penyebab atau pencipta kejahatan karena dia bukan penyebab non ada sebaliknya Tuhan adalah causa pertama yang berarti ia adalah sang Pencipta; ia menciptakan dari yang tidak ada menjadi ada dan kebaikan-Nya itulah yang menyebabkan segala yang ada. Sebagai ciptaan-Nya, segla yang ada tidak hanya baik di dalam substansinya tetapi juga karena keteraturannya menuju finalitas yaitu kebaikan-Nya sehingga segala ada memancarkan kebaikan-Nya. Tak mungkin Tuhan penyebab kejahatan. Kejahatan itu sendiri berlangsung di dalam kecacatan suatu aksi yang disebabkan oleh kekurangan agen dan kejahatan sifatnya destruktif dan kekerasan. Maka Tuhan tidak bisa dikatakan sebagai kecacatan karena Dia adalah sempurna dan kesempurnaannya berarti ia penuh kasih sehingga segala bentuk kekerasaan tidak bisa diasosiasikan kepada Tuhan.
Epikurus adalah salah satu orang yang meragukan eksistensi Tuhan dalam hubungannya dengan kejahatan. Kata dan refleksinya: “Entah Tuhan ingin menghilangkan kejahatan dari dunia, tapi tidak bisa, atau dapat tetapi tidak mau melakukannya, mau melakukannya tetapi tidak dapat, atau dapat dan ingin menghilangkannya. Jika Dia ingin namun tidak bisa, berarti Ia tidak berdaya; jika Dia dapat tetapi Ia tidak ingin maka Ia tidak mencintai kita; jika Ia tidak ingin dan tidak bisa tentu saja Ia tidak bisa disebut sebagai Tuhan yang baik; Ia adalah Tuhan yang tidak berdaya, jika Ia dapat dan ingin – dan ini adalah satu-satunya alternatif, seperti yang dikatakan tentang-Nya maka, kemudian mengapa ada kejahatan dan mengapa Ia tidak menghilangkan sekali dan untuk semua kejahatan yang ada?”
Argumentasi Epikurus kiranya menyatakan bahwa Tuhan adalah penyebab kejahatan yang dapat dirumuskan dalam tiga hal:
- Tuhan tidak berdaya terhadap kejahatan
Argumentasi ini mempertanyakan kemahakuasaan Tuhan terhadap kejahatan. Bagaimana Tuhan yang mahakuasa membiarkan terjadinya kejahatan; seharusnya jika dia mahakuasa mengapa tidak menghentikan kejahatan yang ada?
Tuhan adalah ada infinitas, tak terbatas pada ada apa pun yang berarti bahwa Ia mahakuasa. Segala yang ada di bawah kekuasaan-Nya. Yang mahakuasa hanya menghendaki kebaikan dan keadilan. Kebaikan-Nya berasal dari kemahakuasaan-Nya. Dia mahakuasa karena dia adalah sang kebaikan. Cinta-Nya menciptakan keteraturan yang disebut dengan kebaikan sementara cinta-Nya yang menjaga, mengatur keteraturan semesta disebut dengan keadilan. Konsekuensinya, segala kejahatan yang ada di semesta ini tidak berasal dari kemahakuasaan-Nya. Justru karena kemahakuasaan-Nya, ketika kejahatan terjadi, Tuhan akan mengalahkan kejahatan. Kata Agustinus: “TUhan begitu mahakuasa sehingga ia dapat menciptakan kebaikan yang berasal dari kejahatan”[9].
Mengapa Tuhan juga tidak mencegah kejahatan yang dibuat manusia? Karena Tuhan menciptakan manusia dengan keagungannya yaitu bahwa tindakan manusia dilengkapi dengan moralitas. Moralitas sebagai keagungan membuat manusia memiliki suara hati sehingga suara hati adalah suara moralitas. Moralitas memampukan manusia memilih yang baik dan jahat sehingga moralitas menunjukkan kebebasan manusia. Tuhan menghargai kebebasan manusia untuk memilih. Manusia dan kebebasannya adalah gambar dan rupa Allah sendiri karena Allah menciptakan segala sesuatunya dengan kebebasan-Nya. Dan karena kebebasannya, manusia bertanggung jawab akan tindakan dan perbuatannya.
- Tuhan tidak peduli kepada ciptaan-Nya
Segala yang ada berlangsung di bawah penyelenggaran ilahi. Sebabnya segala yang ada bertindak, bergerak demi suatu finalitas. Oleh karena finalitas yaitu Tuhan sendiri maka segala yang ada digerakkan oleh-Nya untuk bergerak menuju kepada diri-Nya. Penyelenggaran ilahi tak lain adalah keterarturan segala ada yang memiliki finalitas dan karena segala ada berpartisipasi di dalam-Nya. Oleh karena penyelenggaran-Nya Tuhan peduli dan cinta kepada segala yang ada. Penciptaan dan penyelenggaran ilahi adalah karya kekal-Nya, penciptaan dan penyelenggaran ilahi tak berlangsung di dalam sesuatu yang tak mempunyai eksistensi. Penciptaan dan penyelenggaran ilahi tak lain adalah penjagaan dan pemeliharaan-Nya akan semesta ini. Jadi, Tuhan bukanlah Tuhan yang mati tetapi Tuhan yang hidup; Tuhan yang mencintai ciptaan-Nya dan kehidupan.
- Kejahatan adalah kehendak-Nya
Tuhan adalah kebaikan tertinggi maka tak mungkin kebaikan tertinggi itu memiliki atau bercampur dengan kejahatan. Dengan demikian Tuhan tak mungkin menghendaki kejahatan. Menurut Thomas Aquinas bahwa kehendak Tuhan adalah causa segala yang ada[10]. Maka segala yang terjadi adalah bagian dari kehendaknya, tak ada yang luput dari kehendak-Nya. Dalam konteks ini tentu kejahatan fisik terjadi karena bisa jadi karena Tuhan menginginkannya. Kejahatan fisik yaitu privasi ada natural dikehendaki-Nya. Mengapa kejahatan fisik adalah kehendak-Nya? Kejahatan fisik bisa jadi merupakan hukuman akibat dosa. Memang tak pernah tuntas dan tak pernah ada penjelasan sempurna mengapa Tuhan menghendaki kejahatan fisik seandainya memang demikian. Walaupun demikian, kejahatan fisik membawa kebaikan, menghasilkan ada menurut keadilan. Berkaitan dengan kejahatan moral seperti genocide, pembunuhan Tuhan tidak pernah menghendaki-Nya. Kebebasan manusia atau defisiensi itulah penyebab kejahatan moral sehingga kejahatan moral tidak pernah bisa diasosiasikan kepada Tuhan.
Dengan kehendak-Nya, Tuhan dapat menghadirkan kebaikan yang ada di dalam kejahatan. Itu berarti bahwa dari kejahatan Tuhan dapat menyelesaikan kehendak-Nya. Kehendak-Nya akan selalu terpenuhi tanpa mengubah jalan apa pun. Kehendak-Nya yang adalah kebaikan tidak dapat dihambat oleh kejahatan.
Jika demikian, mengapa ada kejahatan di muka bumi ini? Kiranya ada dua alasan yang menjelaskan:
- Tuhan mengizinkan kejahatan untuk memberikan kebaikan yang lebih besar lagi
Tentu saja segala yang ada baik adanya oleh karena kebaikan-Nya. Kejahatan terjadi karena Tuhan mengizinkan-nya. Tuhan mengizinkan kejahatan melalui dan dalam penyelenggaran-Nya. Melalui dan dalam penyelenggaraan-Nya berarti bahwa Tuhan mengizinkan kejahatan dengan tujuan kesempurnaan dan supaya kebaikan semesta terealisasi sekaligus memperbaiki kekacauan yang disebabkan oleh ciptaan. Oleh sebab itu, kebaikan dari kejahatan yang ada dan kebaikan yang terjadi pasti lebih indah dan lebih besar dari kebaikan yang sebelumnya. Jika tidak ada binatang yang dimangsa, singa akan mati; tidak akan ada martir jika tidak ada penganiayaan. Kata Agustinus: “Tuhan yang mahakuasa tak mungkin mengizinkan kejahatan di dalam karya-karya-Nya kecuali dia begitu maha kuasa dan maha baik untuk menghasilkan kebaikan bahkan dari kejahatan sekalipun”.
Dari kejahatan yang ada muncullah kebaikan. Konsekuensinya semakin kejahatan merajalela semakin besar pula kebaikan yang timbul. Maka absennya atau tiadanya kejahatan di dalam semesta seperti yang kita impikan juga semakin besar pula kejahatan karena semakin kejahatan dibuang, semakin pula kebaikan terbuang di dalam semesta ini. Tuhan tidak akan mengizinkan kejahatan jika tak ada kebaikan dan kebaikan tidak hanya untuk kebaikan singular tetapi kebaikan untuk keseluruan dari seluruh karya-Nya. Kebijaksanaan ilahi mengizinkan kejahatan bukan menghancurkan, tetapi untuk menyelamatkan semesta[12]. Sayangnya kita tidak melihat hal ini karena kita tidak mengenali realitas seutuhnya; kita hanya mengenali satu bagian kecil dari semesta ini dan itu pun secara parsial. Tuhan tahu apa yang baik bagi manusia, bagi seluruh ciptaan dan semesta ini, meski semua itu tetap menjadi pertanyaan karena pengetahuan manusia terbatas.
- Kebebasan dan ketidaksempurnaan ciptaan
Manusia sebagai ciptaan adalah baik adanya karena dia ciptakan menurut rupa dan gambar Allah. Oleh karena itu manusia dianugerahi kebebasan yang mana dengan kebebasannya ia dapat memilih mana yang baik dan yang jahat. Kejahatan terjadi ketika ia memilih yang jahat dan menolak yang baik sehingga kejahatan berarti menyimpang dari yang baik. Ia membengkokkan bahkan menyangkal finalitas sehingga terjadi kekacauan. Mengapa manusia memilih yang jahat? Tidak dapat dijelaskan dengan gamblang mengapa manusia dengan kebebasannya memilih kejahatan. Itulah misteri, keanehan manusia ketika ia memilih kejahatan. Manusia yang memilih kejahatan menunjukkan ketidaksempurnaan ciptaan.
Kejahatan tetap menyisakan suatu misteri besar karena apa penyebab kejahatan tidak pernah dapat dijelaskan secara tuntas dan gamblang. Ada hal yang dapat dimengerti sekarang, ada hal yang dapat dimengerti kemudian, juga ada hal yang hanya dapat dimengerti di dalam iman kepada-Nya, dan ada juga hal-hal yang tidak pernah dapat dimengerti, selalu menjadi pertanyaan dalam kehidupan ini.
Manusia dan kejahatan
Manusia bertanggung jawab terhadap kejahatan terutama kejahatan moral. Pelaku kejahatan tidak bisa dirujukan kepada ciptaan lain karena manusia adalah makhluk yang memiliki akal budi dan kebebasan. Kata Jean Jaques Rosseau:“hai manusia janganlah mencari siapakah pencipta atau pengarang kejahatan, tetapi adalah kamu sendiri. Tidak ada kejahatan tetapi hanyalah kejahatan yang kamu lakukan atau kejahatan yang manusia derita semuanya berasal dari kamu”. Dalam konteks relasi sosial, kejahatan berarti kapasitas menentang nilai kehidupan dan penghancuran akan sesama.
Maka, kejahatan adalah karya suram manusia. Mengapa? Manusia melakukan kejahatan tanpa ada penyesalan, tanpa ada lagi pertimbangan, tanpa ada rasa bersalah bahkan menjadi suatu kepuasan dan kesenangan. Inilah yang disebut dengan banalitas kejahatan oleh Hanna Arendt. Banalitas kejahatan mau menggambarkan kedangkalan refleksi dan tidak adanya pemikiran, pertimbangan dalam diri orang yang melakukan kejahatan.
Ironinya, manusia ketika menyempurnakan atau mengaktualkan kejahatan mereka tidak menjadi bahagia tetapi menjadi menjadi semakin sedih. Karena pada dasarnya pelaku kejahatan justru melukai dan menyengsarakan hidupnya. Semakin besar kejahatan moral yang ia lakukan semakin besar kehancuran yang ia lakukan terhadap dirinya dan semakin besar pula ia menyakiti dirinya sendiri.
Kalau manusia yang baik disebut sempurna ketika mendapat kebahagiaan, maka orang yang merealisasikan kejahatan disebut defisien karena kejahatan adalah privasi kesempurnaan yang seharusnya dimiliki. Itu berarti bahwa kejahatan merupakan suatu pengalaman non ada. Buah dari pengalaman non ada adalah rasa bersalah. Dalam rasa bersalah manusia diadili oleh dirinya, dia tertuduh dan terhukum oleh dirinya sendiri. Dengan demikian hukuman untuk sebuah kejahatan itu terletak pada kejahatan itu sendiri.
Sebenarnya, berbicara mengenai kejahatan tidak dilepaskan dari konteks dosa. Kejahatan berarti ketiadaan Allah dalam hati manusia sekaligus hasil penolakan manusia kepada Allah dalam hidupnya. Konsekuensinya ketika manusia kehilangan kepercayaannya kepada Allah, manusia pun tercabut dari martabatnya[14].
Tidak ada metafisika kejahatan
Leibniz menggagas suatu metafisika kejahatan. Dalam metafisika kejahatan, keterbatasan dan ketidaksempurnaan ada yang menyebabkan adanya hirarki ada merupakan suatu kejahatan. Binatang tidak memiliki akal budi, tumbuhan yang terbatas dalam bergerak dan adanya masa hidup suatu ada merupakan kejahatan. Dengan demikian, menjadi ada adalah suatu kesedihan, ciptaan adalah ada yang jahat.
Tentu metafisika kejahatan Leibniz tidak sesuai realitas. Segala yang ada diciptakan berdasakan kebaikan dan kemurahan Sang Pencipta. Ia menciptakan segala sesuatu dari ketiadaan. Konsekuensinya ciptaan sebagai efek tentu tidak lebih besar dari causa sehingga memang ciptaan itu terbatas. Jadi adalah normal ketika ciptaan memiliki keterbatasan sehingga keterbatasan ada bukanlah kejahatan. Segala sesuatu diciptakan baik adanya. Bahkan segala ciptaan mencerminkan kesempurnaan-Nya sehingga hirarki ciptaan dengan kesempurnaannya masing-masing memancarkan keindahan ilahi. Dengan demikian ketidaksetaraan dan kelemahan ada justu saling menyatakan kesempurnaan dan harmoni dari semesta ini; kebinasaan ada yang satu selalu membangun kebaikan ada yang lain, segala yang ada berpartisipai di dalam keseimbangan penciptaan. Hal ini menunjukkan peran-serta keadilan ilahi. Dengan adanya keadilan ilahi maka kelemahan, ketidaksempurnaan, kematian ada justru memanifestasikan kemuliaan Tuhan[15].
Iman, cinta dan harapan
Kejahatan menyengsarakan dan menghancurkan kehidupan sehingga kejahatan harus dilawan. Dalam usaha memerangi kejahatan, manusia tidak bisa mengandalkan dirinya sendiri atau kekuatan individu tetapi harus saling bekerja sama satu sama lain dan mengandalkan Allah. Maka iman, cinta dan harapan merupakan kekuatan dan kiranya harus memanifestasikan dalam praktis dan tindakan sebagai usaha melawan kejahatan. Lalu bagaimana manifestasi iman, cinta dan harapan?
Iman adalah kepercayaan bahwa Allah menyertai segala sesuatunya dan keyakinan bahwa kebaikan akan mengalahkan kejahatan. Tanpa iman, usaha memerangi kejahatan akan menjadi gamang dan putus asa karena iman di sini ibarat pilar bangunan atau batu karang yang menjadi fondasi melawan kejahatan. Fondasinya berupa fakta bahwa iman memuat perjumpaan dengan Tuhan; suatu perjumpaan yang membuka suatu horizon baru: Tuhan memberi kekuatan dan memampukan diri untuk berjuang teguh melawan kejahatan dan setia mewujudkan kebaikan. Jadi, iman adalah dasar dari segala sesuatu yag kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat[16]. Berkat iman, karya kebaikan Tuhan menjadi nyata lewat usaha dan tindakan manusia. Iman Kristiani mempercayai bahwa Yesus Kristus adalah Putra Allah yang disalibkan, mati dan bangkit. Maka iman mengerti bahwa kematian Kristus di kayu salib mengukir cinta Allah kepada kehidupan, cinta dari segala cinta. Kematian Kristus di kayu salib mengkumandangkan bahwa kebaikan mengalahkan kejahatan dan pengampunan selalu menang atas segala sesuatunya. Percaya kepada Yesus yang tersalib berarti melihat Bapa yang bekerja untuk menyelamatkan kehidupan; percaya bahwa cinta hadir di dalam dunia dan cinta tersebut lebih kuat dari setiap kejahatan yang ada di dalam dunia. Yesus yang ditinggikan lewat salib memproklamasikan bahwa pada akhirnya yang tersisa hanyalah kebaikan, keadilan, kebenaran. Untuk itu, di hadapan Yesus yang tergantung di salib, kita berlutut untuk menyerahkan peristiwa hidup kita terutama di dalam peristiwa penderitaan dan kesulitan. Inilah kekuatan iman. Di dalam iman akan Yesus Kristus, semuanya akan menjadi sejarah cinta karena cinta adalah kebaikan tertinggi yang menyelamatkan segala sesuatunya. Dalam terang iman kita mengerti bahwa Tuhan adalah cinta. Iman dalam kebenaran selalu melahirkan cinta.
Cinta dalam iman kepada Kristus menyempurnakan esensi cinta: cinta merupakan perhatian dan kepedulian kepada kehidupan; cinta mematri suatu tanggung jawab demi dan untuk kehidupan. Cinta mengatakan bahwa tiap pribadi adalah penjaga sesamanya; tidak ada kesendirian, kecuekan dan berpusat pada diri sendiri karena cinta selalu identik dengan pengorbanan. Kalau kejahatan selalu berpusat pada diri sendiri maka cinta memberikan diri kepada kehidupan. Di sini cinta mengukir tindakan dan bukan romantisme atau perasaan karena cinta adalah kekuatan dan anugerah terindah yang mendorong diri untuk terlibat dan aktif melakukan keadilan dan kedamaian, suatu kekuatan yang berasal dan bersumber dari Tuhan. Cinta dalam praksis dan tindakan membangun keadilan, kedamaian sehingga terbentuk keteraturan sosial. Dengan adanya keteraraturan sosial, harapan akan kehidupan yang lebih baik menjadi kenyataan. Tindakan cinta menciptakan, memperbarui, menyegarkan dan menyelamatkan kehidupan dalam seluruh dimensinya. Misalnya memberi makan kepada yang lapar, merawat korban-korban perang, membangun air bersih dan sekolah-sekolah untuk daerah yang tertinggal, menyelesaikan konflik berdasarkan keadilan, mendengarkan penderitaan, memberikan waktu untuk mereka yang tersingkir. Tindakan cinta yang dilakukan sebenarnya adalah perpanjangan dan aktualisasi cinta segala cinta: cinta Allah. Cinta Allah kepada kehidupan ada di dalam diri Putranya yang tersalib. Jelas, salib Kristus adalah satu-satunya terang yang mengiluminasi dunia bahkan ketika dunia menjadi gelap oleh karena kejahatan. Salib Kristus menjadi suatu pegangan akan cinta Allah karena salib Kristus menyatakan suatu pewahyuaan akan belas kasihan-Nya dan cinta-Nya yang manis, yang melawan dan mengalahkan pancaran kejahatan yang termuat di dalam cerita kehidupan. Maka, di hadapan kejahatan, tindakan cinta menyingkapkan kebenaran dan keindahan belas kasihan. Belas kasih memanifestasikan aspek-apek kebenarannya di dalam pengampunan, mempromosikan dan menarik kebaikan dari segala bentuk kejahatan yang ada di dunia ini. Dalam belas kasihan, cinta adalah air mancur harapan.
Harapan selalu memuat iman dan cinta karena sumber harapan adalah iman dan cinta. Tindakan yang baik, tindakan yang benar dan tindakan cinta melahirkan harapan. Harapan membangkitkan kekuatan dan semangat yang menyala-nyala untuk mengisi kehidupan dengan kebaikan, kebenaran, keadilan dan kedamaian. Dengan adanya harapan, masa depan tidak lagi menjadi hal yang menakutkan dan membebani karena masa sekarang dibangun dan dipastikan dengan kebaikan dan masa lalu diterangi dalam pengampunan dan pengetahuan. Dalam pengharapan, kebebasan manusia bukan lagi kebebasan yang sifatnya sendirian, sporadis dan tanpa memperhatikan yang lain atau juga bukan kebebasan yang tertutup melainkan kebebasan yang selalu berkehendak akan kebaikan; kebebasan yang selalu memliki keteraturan dalam kebaikan dan kebenaran. Harapan menolak keraguan karena meragukan segala yang ada justru membuat diri tidak berperan apa-apa. Sebaliknya, harapan mendorong pribadi untuk aktif berperan serta dengan kebaikan, kebenaran, cinta. Harapan diwujudkan juga di dalam kesabaran yaitu tetap melakukan kebaikan bahkan ketika segala sesuatunya terhadang oleh tembok kegagalan; harapan juga dimanifestasikan di dalam kerendahan hati yaitu menerima misteri Tuhan dan percaya kepada-Nya bahkan ketika langit gelap datang. Siapa yang memiliki harapan akan selalu memiliki hidup baru.
Segala sesuatunya datang dari manusia dan Tuhan: karena manusia adalah subyek dari eksistensinya; karena Tuhan prinsip dari segala sesuatunya dan tujuan dari segala sesuatunya. Dengan demikian kolaborasi iman, cinta dan harapan meniupkan kemenangan kebaikan dan menjadi nyata kemurahan, kebaikan dan cinta Allah.
[1] Joseph M. de Torre, Christian Philosophy, (Manila:Vera-Reyes, Manila, 1989) hal 216
[2] S.Agustini, La citta di Dio, XII, vii
[3] Thomas Aquinas, Summa Theologia, I, q.48, ad 1
[4] Agustinus dikutip Thomas Aquinas, Summa Theologia., I, q.48, ad 3.
[5] Ibid I, q. 49, ad 3
[6] S.Agostini, Confessiones, VII, 5, dikutip dalam Vanni Rovighi, Elementi Di Filosofia (Brescia:Editrice La Scuola, 1999) hal 193
[7] Thomas Aquinas Summa Theologiae, I, q.49, ad 1
[8] Ibid, I, q.48, ad 1.
[9] Agustinus, Enchiridion 11 dalam Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q. 48, ad 3
[10] Ibid., I, q.19, ad 4
[12] Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q. 48, ad 3
[14] Jean Paul II, L’Evangile de la vie, n°21, Edition Saint Paul Afrique, 1995.
[15] J. Leclerc, La Philosophie morale de saint Thomas devant la pensée contemporaine, Louvain, Publications Universitaires de Louvain, 1955, hal 100.
Copyright © 2017 ducksophia.com. All Rights Reserved