Lukisan: Julius LeBlanc, Stewart A Toast
Sahabat,
Setiap kali menyonsong pergantian tahun, setiap orang di berbagai penjuru memyambutnya dengan sukacita. Tahun menunjuk pada kesatuan 12 bulan. Kesatuan 12 bulan adalah rangkaian hari. Rangkaian hari adalah rajutan-rajutan momen-momen yang terbungkus di dalam waktu. Dan waktu bagi Parmenides bagai sungai yang selalu mengalir tanpa pernah berhenti. Tak ada sesuatu pun yang dapat menghentikan aliran sungai itu. Dan siapa pun yang terjun dalam sungai itu selalu hanyut dibawanya tanpa pernah bisa bertambat pada suatu dahan.
Sahabat,
Waktu bagai aliran sungai itu berarti bahwa waktu selalu berjalan maju. Ia tidak pernah berjalan mundur. Ia selalu mengalirkan kita ke masa depan. Namun bukan berarti yang lampau itu tak dapat dijamah. Yang lampau itu telah endapan-endapan memori kita. Endapan-endapan memori itu menuntut dan memaksa kita untuk melihat untaian momen-momen yang telah terjadi di dalam hidup kita. Sebab untaian momen yang telah terjadi dan berlalu entah dukacita, entah sukacita, entah air mata, entah canda tawa itu adalah harta dan kekayaan kita. Mengapa? Memori-memori akan moment itulah yang membentuk identitas kita. Sayangnya banyak orang membuang percuma harta itu. Banyak orang tidak menyadari kekayaan momen hidupnya. Kesia-siaan itu disebabkan karena mereka tidak memiliki keberanian untuk menyelam lebih dalam dalam sungai waktu itu. Menyelam di dalam sungai waktu tak lain adalah kita menginterprestasi dan mengapropriasi kembali masa lampau karena ada harta di dalam masa lampau atau dalam sejarah ada makna potensial yang belum tergali, ada nilai yang belum tereksploitasi. Mereka pun melewati tahun yang satu ke tahun yang lain hanya dengan harapan semu tanpa pernah mengerti rahasia yang tersembunyi di balik tahun yang telah dilewati dan yang akan disongsong. Sebab rahasia hidup ada di balik untaian momen yang terjalin di dalam tahun-tahun yang mengisi hidup manusia.
Sahabat,
Kalau kita menyelam lebih dalam di sungai untaian momen hidup kita, kita akan menjumpai dan menemukan cinta. Cinta seseorang yang terwujud maupun yang kita rasakan di dalam untaian momen hidup kita. Cinta yang tak pernah padam. Cinta kadang membuat kita meneteskan air mata, tetapi berkat tetesan air mata kita untuk menjadi pribadi yang kuat, teguh dan berani. Orang sedemikan mencinta kita adalah Allah sendiri. Bersama dengan Dia kita mampu membingkaikan untaian momen hidup kita menjadi suatu album hidup yang indah. Berkat cinta-Nya, kita menutup album hidup yang lama dengan suka cita. Dengan sukacita pula kita membuka album hidup yang baru. Itulah yang membuat kita berani terhanyut di dalam aliran sungai waktu mengalir terus ke depan. Menjadikan kita kuat untuk menghadapi segala perubahan yang terjadi di tahun yang akan kita songsong. Kita memiliki lentera untuk berjalan di segala kegelapan dan ketidakpastian yang dilontarkan oleh tahun yang akan datang.
Sahabat,
Ada suatu pengalaman seseorang yang menunjukkan bahwa di balik album hidup kita, Allah selalu mencinta.
Dr. Natali Roveseare, seorang relawan Perancis, menuliskan satu pengalamannya saat melayani di pedalaman Rwanda, Afrika sebagai berikut:
“Suatu sore, saya menolong seorang ibu yang melahirkan di bangsal bersalin. Meskipun kami telah berusaha sekuat tenaga, sang ibu pun akhirnya meninggal. Kami harus merawat bayi prematurnya dan gadis kecilnya yang baru berumur dua tahun yang bernama Claire. Sangat sulit untuk menjaga agar bayi prematur ini dapat bertahan hidup karena bangsal ini belum memiliki listrik ataupun inkubator. Seorang asisten mengambilkan botol pemanas kami yang terakhir untuk menjaga agar tubuh bayi itu tetap hangat. Namun kami kembali putus asa karena botol pemanas yang terakhir itu pecah. Aku segera menyuruh asisten untuk membungkus bayi itu dengan selimut tebal dan membawanya ke dekat perapian, supaya bayi tetap hangat dan tidak kedinginan. Keesokan harinya, aku mengikuti persekutuan doa dengan anak-anak yatim piatu. Aku menceritakan kepada anak-anak yatim itu tentang bayi prematur dan kakaknya serta botol pemanas yang pecah itu. Ketika kami berdoa, Ruth seorang bocah Tutsi yang berumur 10 tahun itu berkata “ Tuhan kirimkanlah kepada kami sebuah botol pemanas sore ini. Bila Engkau mengirimkannya besok maka sang bayi tentu sudah meninggal. Dan jika Engkau mau melakukannya, maukah Engkau juga mengirimkan sebuah boneka untuk Claire supaya dia tahu bahwa Engkau juga mengasihi dia”. Terdiam sejenak aku mendengar doa Ruth itu. Jujur saja aku tidak terlalu percaya Allah bahwa Allah akan melakukan apa yang dikatakan Ruth. Aku tahu bahwa Allah dapat mengerjakan segala sesuatu seperti tertulis di dalam Alkitab. Tetapi tetap membutuhkan waktu. Lagi pula aku belum pernah mendapatkan paket dari Perancis selama 4 tahun terakhir ini. Dan jika seorang mengirimkan paket, apakah mungkin bila dia mengirimkan botol pemanas di Rwanda suatu negara tropis? Ayunan waktu terus berjalan.
Matahari mulai terbenam dan aku menikmati keindahannya dalam keresahanku di balik cendela kamarku. Tiba-tiba aku mendengar suara jip datang. Aku segera keluar dan seorang tentara meminta menandatangani surat untuk sebuah paket besar. Paket itu berasal Lyon, Perancis tanpa nama pengirim yang jelas. Mataku berkaca-kaca melihat paket itu dan segera aku membuka paket dari negeriku itu. Selain baju dan obat-obatan –aku tidak mempercayai penglihatanku! Sebuah botol pemanas dari karet yang baru! Aku menangis mengagumi kejaiban yang terjadi ini. Tuhan mendengarkan doa Ruth bocah Afrika itu. Kata-kata Ruth masih terdengar di dalam sanubariku: “Jika Tuhan mau mengirimkan botol pemanas untuk bayi itu tentu Dia juga mau mengirimkan boneka untuk Claire. Dan betul juga di akhir paket itu ada boneka cantik. Aku pun tersungkur dan terdiam sambil terus meneteskan air mata. Lalu ada sepucuk surat di dalam paket itu. Untuk Dr Natali Roservaere dan untuk anak-anak Rwanda. Kami anak-anak sekolah Minggu Lyon mengirim paket untuk sahabat kami di Rwanda. Semoga paket ini memberi sukacita. 1 Agustus 1999. Tanggal itu menunjukkan bahwa paket itu dikirim lima bulan yang lalu. Itu berarti mereka mengirimkannya 5 bulan lalu sebelum Ruth berdoa “Allah, kami membutuhkannya sore ini”. Setelah mengurus segala sesuatunya, aku kembali ke kamar. Cendela kamar masih terbuka dan tiba-tiba angin meniup lembaran-lembaran kitab suci di atas meja. Aku duduk dan tepat di hadapanku tertampanglah Yesaya 65: 24 “Maka sebelum mereka memanggil, Aku sudah menjawabnya, ketika mereka sedang berbicara, aku sudah mendengarkannya”. Sungguh keajaiban bukan? Dan sejak saat itu aku melewati hari-hariku dengan sukacita.
Sahabat,
Karena Allah begitu mencinta kita, maka tahun baru yang akan datang ini menuntut kita untuk semakin mencinta pula. Karena ketika kita mencinta, kita selalu berjuang untuk menjadi lebih baik daripada diri kita sekarang ini. Dan ketika kita berusaha menjadi lebih baik daripada kita sekarang, semua yang ada di sekeliling kita pun menjadi lebih baik. Dengan demikian tahun yang baru akan menjadi pesta bagi kita, suatu festival besar, karena sejarah dunia dan kisah hidup kita selalu ditulis oleh cinta dengan kertas berupa momen-momen hidup. Akhirnya sambutlah tahun baru tidak hanya sekedar dengan terompet musik tetapi dengan terompet hati yang penuh cinta.
Copyright © 2018 ducksophia.com. All Rights Reserved