Lukisan: ALfred Sisley, BORDS DU LOING À SAINT-MAMMÈS, 1885
Kenyataannya, karena Tuhan pada saat yang sama adalah yang paling adil, dan paling lembut dari segala raja, dan karena ia hanya menuntut niat baik kepada subyek-subyeknya, selama tulus dan sungguh-sungguh, maka mereka tidak bisa berharap kondisi yang lebih baik. Untuk membuat mereka sungguh bahagia, Tuhan hanya meminta agar mereka mencintainya [1]
Persoalan dan perdebatan tentang eksistensi Tuhan merupakan suatu garis kontinuitas yang mengalir menuju ke keseluruhan sejarah filsafat Ketuhanan terutama Teodicea. Maka, di dalamnya, terdapat suatu peta bukti-bukti eksistensi Tuhan yang direfleksikan oleh para filsuf sehingga membantu kita untuk mengerti dan sampai kepada-Nya melalui terang akal budi dan terang realitas. Peta Teodicea tersebut secara umum menyimpulkan Tuhan adalah penyebab segala yang ada sekaligus menunjukkan bahwa segala yang ada tidak memiliki alasan untuk bereksistensi di dalam dirinya sendiri, tetapi adanya diberikan oleh Ada yang lain yang adalah prinsip tertinggi.
Salah satu filsuf yang diingat dan berkontribusi vital dalam sejarah Teodicea adalah G.W. Leibniz, pioner dalam memberikan nama Teodicea untuk disiplin ini, yang berarti “pembenaran Tuhan”. Ia telah menguraikan kelima argumennya tentang eksistensi Tuhan secara implisit di dalam karya-karyanya: bukti cosmologis, bukti tentang kebenaran kekal, bukti tentang keharmonian yang telah dibangun sebelumnya, bukti ontologis dan argumen modal. Pembahasan kelima argumen eksistensi TUhan tersebut dilakukan dengan mengambil dua haluan: haluan a priori dan haluan posteriori. Yang termasuk haluan a priori adalah bukti kebenaran kekal, bukti ontologis dan argumen modalitas sementara haluan a posteriori mencakup argumen kosmologi dan argumen keharmonian yang telah dibangun sebelumnya. Marilah kita menyelami bukti-bukti tentang eksistensi Tuhan yang digagas oleh Leibniz secara lebih utuh karena sebagai dikatakan oleh Leibniz sendiri “semakin kita diterangi dan diinformasikan akan karya-karya Tuhan, semakin kita mampu untuk menemukan bahwa karya-karya-Nya begitu sempurna dan memuaskan di dalam segala sesuatunya yang bisa kita pikirkan”[2]
- Bukti kosmologis
Argumen ini diawali dengan mengamati alam semesta secara sederhana. Pengamatan akan dunia semesta mengundang suatu pertanyaan di dalam diri: Mengapa segala sesuatunya itu ada? Dalam usahanya menjawab pertanyaan ini, Leibniz memberikan argumentasi yang dapat diringkas dalam preposisi berikut ini: 1. Segala yang ada pasti memiliki penjelasan tentang eksistensinya atau dalam keniscayaan akan naturanya atau dalam causa abadi dan penjelasannnya niscaya adalah Tuhan. 2. Semesta ini adalah suatu ada yang mengada sehingga segala yang mengada atau yang memiliki eksistensi pastilah memiliki causa atau disebabkan oleh TUhan. Kedua preposisi kiranya dapat diuraikan secara lebih dalam demi menunjukkan poin kosmologis yang menjelaskan eksistensi TUhan secara komprehensif:
- Argumen ini membangun suatu dalil bahwa causa semesta yang utama adalah Tuhan. Semesta memiliki causanya di dalam Tuhan dan tidak memiliki causa di dalam dirinya sendiri, dan seandainya ada semesta merupakan ada kontingen yaitu ada yang akan mengalami perubahan dan tergantung maka causa adanya pasti disebabkan oleh suatu Ada yang niscaya, Ada yang tetap dan tak berubah. Selanjutnya, Leibniz menggaris-bawahi kesempurnaan yang ada di dalam semesta. Kesempurnaan dari segala sesuatu yang ada dijumpai di dalam causanya sekaligus mendeklarasikan bahwa segala kesempurnaan semesta ini – bahkan termasuk jiwa kita- mengada di dalam Tuhan. Alasannya bahwa di dalam Tuhan segala kesempurnaan diberikan; bahwa tidak ada kesempurnaan yang dapat terjadi kecuali diberikan oleh Ada Yang Sempurna itu sendiri. Kesempurnaan berasal dan merupakan karya Tuhan yang Dia sendiri mentakdirkannya[3]. Jadi, melalu bukti kesempurnaan kosmologis dan causa kosmologis eksistensi Tuhan terafirmasi.
- Eksistensi semesta dan kesempurnaan segala yang ada menunjukkan bahwa terdapat prinsip kecukupan alasan yang menyertainya karena segala yang ada pasti memiliki kecukupan alasan akan ekistensinya untuk menjadi demikian adanya dan bukan yang lain. Prinsip kecukupan alasan menegaskan prinsipnya yang popular: nihil est sine ratione (tidak ada yang tanpa alasan). Katanya: “Yang kedua adalah prinsip alasan yang cukup, yang sungguh kita pegang bahwa tidak ada fakta yang dapat menjadi benar atau menjadi ada dan tidak ada pernyataan yang menjadi benar, tanpa adanya alasan yang cukup untuk membuatnya demikian dan tidak berbeda, meskipun alasan-alasan tersebut sering kali tetap tidak diketahui oleh kita”[4]. Prinsip kecukupan alasan juga menyertakan causa final yang mana alasan final segala yang ada harus dicari di dalam suatu substansi yang niscaya dan substansi tersebut kita sebut sebagai Tuhan.
Untuk memperdalam prinsip kecukupan alasan yang membuktikan eksistensi TUhan, Leibniz menguraikannya dengan menggunakan dua realitas, yaitu realitas mekanik dan realitas metafisika sebagai demonstrasi dari prinsip kecukupan alasan. Dalam realitas mekanik, Leibniz mengamati pergerakan dan asal-muasal materi dalam dunia fisika. Dalam pergerakan materi fisika, segala yang bergerak atau berpindah digerakkan atau dipindahkan oleh hal yang lain; jadi, semua bagian dari dunia fisika bergerak, dunia fisika seperti segala sesuatunya (yaitu, sebagai rangkaian dari seluruh bagian-bagiannya) juga bergerak, tetapi causa pergerakannya ditemukan di luar dirinya yaitu di dalam suatu prinsip extrakorporal yang adalah TUhan. Tentang asal-muasal materi, prinsip kecukupan alasan menjelaskan bahwa asal-muasal materi tidak dapat berasal dari dirinya sendiri, tetapi di dalam suatu suatu substansi inmaterial yang kekal: Tuhan. Jadi, dengan realitas mekanik, Leibniz sampai kepada kesimpulan akan eksistensi TUhan karena prinsip kecukupan alasan terdapat di belakang dunia materi fisika. Jika menolak adanya penjelasan kecukupan alasan, maka menurut Lebiniz sama dengan mengolok ilmu pengetahuan.
Sementara fakta metafisika dieksplorasi dari pendapatnya tentang ontologi kontingensi realitas. Artinya, kontingensi realitas membutuhkan suatu alasan yang cukup demi menjawab pertanyaan mengapa yang real itu bekerja di dalam sebuah bentuk (forma) tertentu dan bukan forma yang lain. Di dalam rantai causa kontingensi untuk insiden-insiden aktual dan kontingen tersebut, tentu saja, tidak terdapat prinsip kecukupan alasan, dengan kata lain, sesuatu yang adalah kontingen tidak dapat menjadi prinsip kecukupan alasan demi obyek kontingen yang lain. Maka, kecukupan alasan dari segala hal kontingen kiranya adalah suatu ada yang bukan kontingen dari dirinya sendiri tetapi justru di dalam suatu substansi ontologis yang niscaya: TUhan. Hal ini berarti bahwa Tuhan itu ada dan sungguh mengada. Prinsip ini mengantar kepada apa yang sering disebut dengan prinsip metafisika causalitas: dari ada kontingen tersimpulkanlah ada niscaya atau yang kontingen pada akhirnya tergantung pada yang bukan kontingen (niscaya).
2. Keharmonian yang telah dibangun sebelumnya
Argumen keharmonian yang telah dibangun sebelumnya merupakan bukti khas ala Leibniz dalam menjelaskan eksistensi TUhan. Sebab, Leibniz telah membangun hubungan antara keharmonian dan eksistensi: existere nihil alium est quam harmonicum esse (tidak ada lagi yang mengada selain harmoni). Atribut keharmonian yaitu yang telah dibangun sebelumnya berasal dari posteriori, universal dan niscaya. Jadi bukti keharmonian yang telah dibangun sebelumnya adalah suatu akses rasional akan eksistensi TUhan yang berasal dari pengamatan.
Bagi Leibniz semesta adalah natura dari keharmonian kosmos sehingga keharmonian merupakan suatu efek yang dapat membawa kita kepada causa primer. Tetapi juga bahwa dengan mempertimbangkan karya-karya yang ada di semesta kita pun juga mampu menemukan sang arsitek, karya-karya dengan gamblang membawa dan mencerminkan jejak dan tanda sang arsitektur. “Semuanya ini amatlah pasti bahwa ketika mempertimbangkan karya-karya, maka kita akan menemukan sang pekerja sehingga karya-karya tersebut kiranya membawa tanda-tandanya di dalam diri sang pekerja”[5]. Tuhan adalah causa yang sebenarnya dari semesta[6] dan sekaligus sang arsitektur semesta ini.
Bukti keharmonian yang telah dibangun sebelumnya tidaklah sesederhana seperti demikan tetapi memiliki relasi dengan pemikiran Leibniz tentang monade, bahwa semesta dibangun oleh monade-monade atau suatu kesatuan kekuatan fisik karena monade-monade merupakan elemen-elemen dari segala yang ada[7]. Apa itu monade ?.
Monade adalah atom-atom semesta yang sebenarnya dan simple (karena komposisinya terjadi bukan karena akumulasi dari yang sederhana) tetapi tanpa bagian, tanpa ekstensi, tanpa figurasi, dan tak terbagi. Monade-monade dimulai dengan penciptaan dan berakhir dengan pemusnahan. Monade-monade tidak memiliki interaksi satu sama lainnya maupun jendela sehingga monade itu tidak mungkin dapat keluar maupun masuk. Konsekuensinya, monade-monade sungguh-sungguh tertutup di dalam dirinya sendiri dan tidak ada komunikasi satu sama lainnya. Monade-monade dibedakan secara kualitatif sehingga terdapat monade-monade menurut tingkat kejelasannya. Sudah barang tentu ada monade yang gelap, membingungkan tetapi ada juga monade yang jelas dan sempurna. Monade-monade jelas sekali merupakan individu-individu tetapi pada saat yang bersamaan merevelasikan universalitas. Monade-monade keluar dari tangan Tuhan terselesaikan di dalam natura mereka dan bersifat determinatif. Dengan demikian, Tuhan adalah kesatuan dasar yang unik atau substansi asli yang tunggal, yang darinya semua monade ciptaan ataupun monade derivatif yang merupakan produk-produk, dilahirkan, katakanlah demikian, setiap saat oleh suatu kontinuitas pemenuhan keilahian, dan terbatas oleh kapasitas ciptaan, di mana limitasi merupakan hal esensial[8].
Menurut Leibniz juga, ada perbedaan antara Tuhan sebagai monade dan monade ciptaan. Monade ciptaan mempresentasikan determinasi sementara Tuhan segala kemungkinan di dalam koridor Tuhan adalah monade segala monade. Lalu, problem yang muncul adalah bagaimana monade-monade membangun semesta jika di antara mereka tidak berkomunikasi dan sungguh tertutup satu sama lainnya?
Meskipun tidak ada interaksi causal di antara monade-monade, tetapi mereka tampaknya saling mempengaruhi. Bagaimana mungkin? Setiap monade memiliki di dalam dirinya suatu prinsip atau keadaan internal yang mempresentasikan hal eksternal. Tuhan, ketika menciptakan seluruh monade, memberikan hukum internal supaya setiap monade memiliki hukum internalnya sendiri. Hukum internal itulah yang menyebabkan perubahan sehingga monade-monade walaupun tidak berkomunikasi dapat membangun semesta. Tetapi perubahan-perubahan yang disebabkan oleh hukum internal juga memiliki tingkatan sehingga ada hal yang berubah dan ada tetap di dalam suatu monade. Jadi, di dalam monade terdapat pluraritas kondisi atau relasi meskipun di sana tidak ada bagian. Setiap bagian dari kondisi mempresentasikan suatu multiplisitas sebagai kesatuan. Tuhan menciptakan monade-monade untuk saling bercermin satu sama lainnya. DI dalam suatu monade, baik masa lalu dan masa sekarang termuat di dalam dirinya sendiri, sehingga, apa pun yang dilakukan oleh monade, dia melakukannya karena kepastian. Jadi, seandainya kita bisa mengetahui seluruh masa lalu dari suatu monade yang diberikan, kita pun akan meramalkan masa depan dengan gamblang karena adanya kepastian yang disebabkan oleh hukum internal monade.
Hukum internal mengatur monade-monade sehingga setiap monade mengikuti hukum internal yang ada di dalam dirinya tersebut secara otomatis. Hukum internal di dalam diri monade telah ditetapkan oleh Tuhan sebelumnya. Hasilnya adalah keharmonian yang dibangun sebelumnya di antara monade-monade. Leibniz mengafirmasi bahwa Tuhan dalam menciptakan semua monade, masing-masing dengan hukum internalnya, telah menciptakan mereka dalam harmoni yang telah ditetapkan sebelumnya; sehinggga, tanpa perlu adanya komunikasi dari monade-monade tersebut, setiap monade mengikuti hukum internalnya secara buta, buahnya pun adalah keharmonian semesta. Keharmonian ini dibentuk oleh Tuhan pada saat penciptaan.
Untuk memetakan keharmonian yang telah ditetapkan sebelumnya secara lebih jelas, Leibniz membuat metaphor yaitu Tuhan sebagai tukang yang membuat dua pendula yang tergantung pada sebuah balok. Dua pendula ini dibuat sedemikian sama di dalam gerakan yang teratur satu sama lain sejak kedua pendula itu dibuat. Mereka selalu bergerak serentak, tanpa perlu lagi memperbaiki, mengotak-atik maupun menyesusaikan satu sama lain untuk mensinkronkan kedua pendula tersebut. Perbandingan ini begitu penting untuk memahami keharmonian yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan analogia dua pendula tersebut, Leibniz, pertama, ingin menjelaskan bahwa pengaruh yang bersifat timbal-balik. Hal ini mendeklarasikan ketidakmungkinan monade-monade mengikuti hukum yang bersifat heterogen tetapi hanya satu hukum yang berlaku di dalam setiap monade: hukum internal karena ibarat dua pendula yang bekerja menurut hukum internalnya. Jadi Tuhan telah memprogram monade-monade dengan hukum internalnya sehingga tercipta keharmonian. Program Tuhan yang terwujud di dalam hukum internal monade-monade itulah yang disebut sebagai atribut keharmonian yang telah ditetapkan sebelumnya.
Yang kedua, dia ingin mengatakan tentang disfungsi bantuan dan kepalsuan dari sistem causa ocasional. Menurut Leibniz, dua buah pendula yang tidak berfungsi dengan baik masih dapat mempertahankan keharmonian karena adanya hukum internal di dalam mereka. Prinsip hukum internal yang ada di dalam setiap monade menjaga keharmonian semesta. Jelas, Leibniz mendobrak sistem causa ocasionalisme, baginya, sistem causa ocasional memiliki kesalahan ketika memperkenalkan suatu deux ex machina (TUhan dari mesin). Untuk memperjelas dobrakan Leibniz kepada filsafat ocasionalisme, kita kembali ke metafora pendula yang bergerak seirama dan seharmoni satu sama lainnya. Pertanyaannya bagaimana terjadi keharmonian dua pendula tersebut? Bagi paham ocasionalisme, keharmonian itu terjadi karena adanya campur tangan Tuhan yang menggerakkan pendula sekaligus menjamin sinkronitas mereka. Causa occasional mendorong terjadinya tindakan intervensi Tuhan melalui mukzijat dan mukizijat-Nnya bersifat kekal sehingga dengan mukjizat-Nya Tuhanlah yang menggerakkan pendula, oleh karena itu dikatakan oleh paham occasional bahwa Tuhan yang berasal dari mesin. Namun, menurut Leibniz, faktanya, baik secara alami ataupun biasa, Tuhan sama sekali tidak campur tangan lewat mukjizatnya kecuali memberikan kontribusi bagi semua natura lainnya. Tuhan, pencipta tertinggi, menciptakan dunia (dan pendula) dengan begitu sempurna sehingga, dengan kodrat mereka sendiri, mereka akan berayun dalam harmoni sempurna karena hukum internal yang ada di dalam masing-masing monade. Yang ketiga, dua pendula ini telah dibuat dengan kesempurnaan dan seni yang sedemikian rupa sehingga selalu sesuai dengan masa depan. Leibniz kemudian memparalelkan jiwa dan tubuh sebagai dua pendula yang sempurna. Tubuh dan jiwa membentuk kesatuan dan saling berinteraksi sejauh jiwa mengikuti hukumnya dan tubuh mengikuti hukumnya sehingga mereka ada di dalam keharmonian yang sempurna. Memang persepsi and appetif jiwa bebas dan tidak tergantung kepada tubuh, tetapi persepi dan appetif jiwa bersesuaian secara tepat dengan aksi dan gerakan tubuh yang mana tubuh itu sendiri juga berfungsi, terikat dan bersesuaian secara sempurna dengan segala monade yang lain. Jadi, jiwa dan tubuh tidak berlari di dalam relasi causalitas tetapi di dalam keharmonian yang telah ditetapkan sebelummnya oleh Tuhan dan dikehendaki oleh-Nya. Jiwa dan tubuh mengikuti hukum mereka masing-masing yang diprogramkan oleh TUhan sehingga tubuh mengikuti hukum causa efisien sementara jiwa mengikuti causa final sehingga hasilnya satu sama lainnya berada di keharmonian.“Jiwa bertindak sesuai dengan hukum causa final, melalui nafsu makan, tujuan dan sarana. Tubuh bertindak sesuai dengan hukum causa efisien, yaitu gerakan. Dan kedua realitas, yang merupakan causa efisien dan causa final, berada dalam harmoni bersama” [9]. Koordinasi timbal balik di antar hal-hal di semesta ini adalah alasan metafisik hukum internal bahwa semua tindakan memiliki reaksi yang sama dan setara. Dalam semua hal di mana hukum ini berlaku, segala sesuatunya dipilih oleh Tuhan melalui koordinasi. Juga, segala substansi bertemu berdasarkan keharmonisan yang telah ditetapkan sebelumnya yang berlaku di antara semua substansi, karena semuanya merupakan representasi dari satu dan alam semesta itu sendiri[10].
Jadi keharmonian yang telah dibangun sebelummnya adalah hakikat yang sama bagi segala monade karena mereka semua bertepatan dan bersesuaian satu sama lainnya, selama mereka adalah konstitusi alam semesta. Setiap monade bertindak menurut hukum internal dan pada saat yang sama berada di dalam keharmonian yang sempurna dengan semua monade yang lain. Dunia ini begitu mengagumkan, indah dan begitu sempurna bukan karena satu monade, tetapi karena kombinasi harmonis monade. Dan Tuhan sendirilah yang menciptakannya.
- Argumen ontologis
Argumen ontologis merupakan suatu usaha untuk menunjukkan eksistensi Tuhan secara a priori, bukan kontradiksi, tetapi dengan fundamen posibilitas (yang mungkin)[11]. Struktur dari argumen ini memang a priori karena berasal dari ide yang terdapat di dalam akal budi: menurut Leibniz suatu ide kiranya bisa benar atau salah tergantung pada kemungkinan-kemungkinannya dari suatu hal.
Kita selalu memikirkan ketidakmungkinan angan-angan, misalnya: mengetahui tingkat akhir kecepatan yang jelas-jelas saat ini hampir tidak mungkin diketahui. Tetapi tentang gagasan tentang Ada Yang Sempurna yang mencakup semua kesempurnaan dan segala eksistensi yang diambil dari bukti kosmologis adalah gagasan yang tepat dan kita selalu memiliki gagasan tentang Tuhan ketika kita memikirkan Tuhan. Kita tidak mungkin berpikir tanpa memiliki gagasan[12]. Ini berarti bahwa setelah kita memastikan kemungkinan suatu hal, kita dapat memiliki gagasan tentang hal itu. Dengan demikian, karena memiliki gagasan tentang Tuhan adalah mungkin, konsekuensinya adalah Tuhan mengada secara niscaya jika Dia adalah mungkin. Alasannya adalah segala gagasan tentang kemungkinan termuat dalam pikiran Tuhan. Maka, jika seseorang memahami gagasan tentang subjek, Tuhan, akan melihat bahwa predikat, eksistensi, kenyataan ini terkandung dalam subjek karena pikiran terbuat dari gambar Tuhan dan pikiran mengekspresikan Tuhan. “Pikiran bernilai bagi seluruh semesta, karena pikiran tidak hanya mengekspresikan dunia, tetapi juga mengetahuinya, dan mengatur dirinya sendiri sesuai dengan cara Tuhan[13].” Gagasan tentang Tuhan adalah gagasan tentang ada sempurna secara sempurna. Argumen a priori ini menyimpulkan bahwa esensi dan eksistensi Tuhan tidak dapat dipisahkan. Eksistensi adalah keniscayaan dan Tuhan satu-satunya yang memilikinya. Maka, argumen ontologis dapat diringkas dalam bentuk berikut ini: 1. Jika Ada Niscaya bukanlah yang mungkin, maka tak satu pun eksistensi adalah mungkin. 2.Jika Ada Niscaya adalah yang mungkin, maka semua bereksistensi. 3. Jadi, jika Ada Niscaya tidak ada, maka tidak ada yang mengada. 4. Tetapa ada sesuatu, maka Ada Niscaya pasti ada.
Argumen ontologis ini berpegang pada prinsip bahwa tanpa Tuhan sebagai Ada Niscaya, maka tak satu pun yang real memiliki eksistensi, dengan kata lain, realitas harus berfundamen pada sesuatu yang bereksistensi sehingga realitas sungguh adalah realitas. Hal ini berarti bahwa realitas yang memuat segala kemungkinan haruslah memiliki suatu asal-muasal yang memuat di dalam dirinya segala ide tentang hal-hal yang mungkin; tanpa asal-muasal ini, kiranya tidak ada yang real dalam kemungkinan sehingga tidak ada satu pun yang mungkin. Namun, karena segala yang mungkin meminta atau membutuhkan suatu eksistensi – omne possibile exigit existere-, maka, jikalau Ada Niscaya itu mungkin, jelas Dia mengada secara niscaya pula. Lantas, oleh karena yang real membutuhkan kemungkinan, tentu saja yang nyata harus menjadi sesuatu yang mungkin. Satu-satunya masalah adalah mengetahui apakah Ada Niscaya ini adalah mungkin.
Kemungkinan atau posibilitas setara dengan kompatibilitas Kesempurnaan. Namun kompatibilitas kesempurnaan tak lain adalah esensi itu sendiri. Oleh karena itu, adalah mungkin bahwa sesuatu itu ada atau mengada sejauh kesempurnaannya tersebut kompatibel yaitu ketika ada memiliki esensi. Konsekuensinya, esensi adalah posibilitas atau kemungkinan dari eksistensi, atau dapat dikatakan eksistensi yang mungkin. Dari poin inilah bahwa Ada Sempurna -yang kesempurnaannya menurut definisi adalah kompatibel yang paling maksimal- memiliki kemungkinan. Dengan cara ini eksistensi Tuhan dibuktikan sebagai Ada Niscaya. Ada Niscaya melampaui kontingensi dan yang terbatas, yang niscaya setara dengan yang tak terbatas, sehingga ada yang niscaya adalah ada unik. Tak pelak, argumentasi ontologis mengubah definisi klasik Tuhan sebagai Ada Yang Sempurna menjadi Ada Niscaya.
- Argumen modalitas
Untuk mengintensifkan argumen ontologis, Leibniz memakai argumen modalitas yang mana ia menghubungkan penciptaan dunia dengan kemungkinan-kemungkinan. Masalahnya adalah berkaitan dengan kemungkinan itu sendiri: Mengapa Tuhan tidak merealisasikan semua kemungkinan yang ada tetapi hanya satu kemungkinan di antara segala kemungkinan? Leibniz sendiri menegaskan bahwa memang terdapat dunia kemungkinan yang tak terbatas, tetapi hanya satu yang mengada, oleh karena itu harus ada alasan yang cukup mengapa Tuhan memilih ini dan bukan yang lain. Tidak semua kemungkinan-kemungkinan tersebut adalah mungkin untuk diwujudkan dan juga bahwa dunia kemungkinan selalu lebih luas daripada dunia nyata. TUhan memilih satu yang terbaik dan yang paling sempurna di antara dunia kemungkinan. Tuhan kiranya mampu mewujudkan suatu infinitas dunia kemungkinan atau dunia kemungkitan yang tak terbatas tersebut, tetapi dia telah mewujudkan satu yang sempurna dan yang terbaik dengan satu pilihan bebas melalui kebijaksanaan tertinggi. Sebagaimana yang dijelaskan Leibniz di dalam Teodicea-nya, Tuhan menciptakan substansi unik yang selaras dengan entitas lain sebisa mungkin. Mengingat bahwa yang mungkin itu sepenuhnya tidak dapat dipahami, maka dunia yang sekarang mengada adalah yang terbaik dari segala dunia yang mungkin[14]. Maka, segala yang ada adalah produk suatu pilihan bebas Tuhan. Kebenaran dunia adalah kebebasan Tuhan. Meskipun demikian, pilihan ini bukanlah pilihan yang sewenang-wenang, tetapi sungguh pilihan rasional, pilihan ini memiliki alasannya di dalam fakta bahwa pilihan terbaik yang diwujudkan di antara segala yang mungkin yang ada menunjukkan keteraturan, keharmonian dan tertib[15] seperti geometris. “Tidak peduli bagaimana TUhan menciptakan dunia, dunia selalu teratur dan dalam tatanan umum. Tetapi Tuhan telah memilih tatanan yang paling sempurna yaitu tatanan yang paling sederhana di dalam aturan-aturan umum dan yang paling kaya dalam fenomena secara bersamaan ibarat garis-garis geometris yang konstruksinya mudah tetapi juga karakter dan efeknya begitu mengagumkan dan begitu jauh jangkauannya[16]”. Dalam konteks ini, argumen modalitas adalah argumen metafisika yang optimis, yang didasarkan pada eksistensi dunia kemungkinan yang terbaik yang diciptakan oleh Tuhan, dengan kebaikan yang sempurna dan hikmat yang tak terbatas.
- Argumen kebenaran abadi
Argumen ini juga memiliki konotasi atau karakter a priori -preposisi ini dapat disimpulkan dari analisis akal budi- terkait dengan argumen ontologis. Kata Leibniz:
Di sisi lain, memang benar bahwa Tuhan tidak hanya satu-satunya sumber dari semua eksistensi, tetapi juga semua esensi yang dianugerahi realitas, yaitu, sumber dari apa yang real di dalam apa segala yang mungkin. Pemahaman ilahi itulah yang menjadi wilayah kebenaran abadi dan segala ide yang bergantung kepadanya, tanpanya, tidak aka ada yang real di dalam yang mungkin, yaitu tanpa dia tidak hanya segala sesuatunya tidak memiliki eksistensi, tetapi juga tidak akan ada yang mungkin[17]
Di dalam argumen ontologis kita mengetahui bahwa seandainya Tuhan tidak ada, maka tidak akan ada yang real di dalam kemungkinan-kemungkinan, bahkan yang mungkin tidak akan ada pula. Hal ini membawa kita kepada gagasan tentang Ada Niscaya yang eksistensi-Nya secara logika adalah niscaya, suatu ada yang kiranya tidak mungkin gagal untuk mengada karena Keniscayaan dari eksistensinya juga adalah esensinya. Maka, pada saat yang bersamaan, argumen ontologis menyatakan fakta kebenaran abadi karena kenyataan ini adalah kebenaran niscaya yang mana segala realitas kiranya harus bergantung kepada ada niscaya yang tanpanya realitas maupun yang mungkin tidak akan ada.
Bagi, Leibniz, kebenaran abadi sama dengan kebenaran matematika atau logika yang tidak dapat lagi diperdebatkan sehingga memiliki keabsahan obyektif di dalam dirinya sendiri dan memiliki forma atau karakter yang absolut. Juga bahwa preposisi matematika adalah niscaya dan kekal, dalam arti bahwa kebenaran matematika tidak tergantung kepada eksistensi ada kontingen.
Pada dasarnya, Leibniz membedakan dua kebenaran: kebenaran akal budi dan kebenaran fakta[18]. Kebenaran akal budi adalah niscaya yang mana segala yang berkontradiksi tidaklah mungkin dan tanpanya pula segalanya menjadi tidak mungkin. Oleh karena karakter kebenaran akal budi adalah niscaya, causa untuk kebenaran ini dapat ditemukan dengan analisis yaitu dengan membaginya menjadi ide sederhana dan kebenaran ini sampai akhir pun menjadi kebenaran dasar dan pertama. Jadi, kebenaran akal budi adalah kebenaran bawaan dalam arti kebenaran akal budi tidak berasal dari pengalaman. Tidak ada definisi yang dapat diberikan kepada ide sederhana dan ide sederhana hanya terdiri dari postulat dan aksioma yang tidak perlu dibuktikan lagi karena sudah niscaya. Kebenaran matematika hanya menggunakan axioma dan postulat[19]. Oleh karena itu, kebenaran akal budi ditetapkan oleh bagian yang terbatas. Kebenaran akal budi adalah objek internal.
Sementara kebenaran fakta bersifat kontingen dan hanya realitas yang efektif. Kebenaran ini difondasikan kepada prinsip kecukupan alasan yang mana tidak satupun yang dapat diverifikasi tanpa adanya alasan yang memadai. Kebenaran fakta merupakan prinsip intelegibel yang menjamin kontingensi hal-hal yang nyata[20]. Maka, kebenaran ini tak terbatas karena dibangun oleh bagian yang tak terbatas[21]. Penjelasannya adalah di sana terdapat ada tertentu atau khusus yang berlangsung terus tanpa batas karena variasi dari hal-hal natural begitu banyak dan korpus-korpusnya terbagi tanpa batas. Maka, terdapat bentuk, gerakan, kecenderungan dan tendensi dari hal-hal[22]. Dengan demikian, kebenaran fakta ini mengikuti prinsip: memilih kemungkin yang terbaik di antara segala kemungkinan[23].
Mengacu kepada dua tipe kebenaran, sudah jelas bahwa bukti kebenaran abadi didasarkan kepada kebenaran akal budi yang mana kita mengerti eksistensi Tuhan melalui analisisi nalar. Jadi, kita dapat mengatakan bahwa kebenaran abadi dalah kebenaran nalar dan Tuhan adalah nalar dari kebenaran nalar karena Dia adalah causa mayor bagi obyek internal[24]. Akibatnya, kebenaran abadi berlangsung selamanya dalam arti tidak mungkin gagal untuk mengada.
Selain itu, nalar dari kebenaran ini terpancar di dalam segala ide tentang hal yang termuat di dalam esensi ilahi itu sendiri. Bagaimana mungkin? Bagi Leibniz, Tuhan tidak hanya prinsip dan causa bagi segala substansi tetapi juga sebagai substansi cerdas. Substansi cerdas berarti bahwa Tuhan adalah pikiran, dalam pengertian bahwa Tuhan adalah pikiran yang paling cemerlang dari segala pikiran sehingga yang terbesar dari segala yang ada[25]. Tuhan sebagai pikiran yang sempurna menerangi dan mengaktual di dalam segala hal. Konsekuensinya, segala substansi mengungkapkan Tuhan dan dan segala substansi adalah cermin dari kesempurnaan ilahi[26]. Oleh karena itu, di dalam bukti kebenaran abadi ini terungkap manifestasi relasi Tuhan dengan dunia dan dunia bergantung kepada kehendak ilahi karena kebenaran abadi yang ada di dalam Tuhan adalah fundamen dari regulasi dan akar dari eksistensi segala hal bahkan sekalipun hal-hal tersebut tidak memiliki alasan bagi eksistensi mereka sendiri. Dengan cara ini, Tuhan menghadirkan diri-Nya, sekali lagi, sebagai sumber dari segala yang real dan segala yang mungkin; yang mungkin bersumber dari esensi-Nya dan realitas, yang rela ataupun eksistensi bersumber dari kehendak-Nya. Kecukupan alasan dari kebenaran abadi adalah Tuhan sendiri, karena himpunan dari kebenaran abadi tidak lain adalah pemahaman ilahi itu sendiri. Dalam pengertian ini, Allah tampil sebagai Kebijaksanaan kreatif di mana kebenaran abadi memiliki eksistensinya.
Manusia sebagai makhuk yang berakal budi memiliki kapasitas untuk mengetahui kebenaran abadi yang dijumpai di dalam batinnya dengan tindakan karena Allah telah menganugerahkan kebenaran abadi tersebut. Manusia pun mampu meniru dalam dunia kecilnya untuk berkarya dan mengerjakan apa yang telah Tuhan lakukan di dalam dunia yang besar. Causanya -seperti yang dikatakan oleh Leibniz-“namun, pengetahuan tentang kebenaran niscaya dan kebenaran abadi itulah yang membedakan kita dari binatang yang kecil dan memberikan kepada kita nalar dan pengetahuan, meninggikan kita sampai kepada pengetahuan akan diri sendiri dan pengetahuan akan Allah”[27]. Terlebih, jiwa cerdas -karena jiwa cerdas mengekspresikan TUhan sendiri[28]– dapat mengenali keagungan dan kebaikan Tuhan, menuntun dirinya sendiri secara bebas kepada TUhan dan memuliakan-Nya. Bagi Leibniz, kita memiliki semua ide di dalam jiwa kita termasuk ide tentang Tuhan karena Tuhan berkaya di dalam jiwa kita dan segala ide termaktub di dalam Tuhan sendiri sehingga jiwa adalah suatu ekspresi khusus akan Tuhan, suatu imitasi kepada Tuhan, suatu pemikiran Tuhan, dan kehendak Tuhan. Di dalam Tuhan kita melihat segala hal dan Tuhan sendiri adalah objek langsung. Sebagai contoh, ketika kita melihat matahari dan bintang, adalah TUhan yang memberikan mereka kepada kita dan mempertahankan ide-ide tentang mereka di dalam diri kita. Dengan demikian TUhan adalah matahari kita dan terang kita[29]. Mekanisme pengetahuan kita juga merupakan kebenaran abadi. Akhirnya, menurut Leibniz dengan kebenaran abadi kita dapat mengakses pengetahuan dunia dan pengetahuan ilahi.
Kesimpulan
Kegelisahan Lebiniz adalah untuk menarik konklusi dari jurang non konklusi tentang satu-satunya substansi Spinoza mengenai martabat dan otonomi invididu. Dalam usahanya memecahkan persoalan Spinoza tersebut, Leibniz membangun filsafat monadelogi yang mengantarnya kepada kebesaran pemikirannya. Tidak mengherankan kalau Hegel menyatakan bahwa kecermelangan Leibniz adalah prinsip individualistik. Menurut H. Heimsoeth, doktrin monadelogi Leibniz menwarkan sistem klasik individualisme. Individualitas monadelogi telah menjadi metafisika sebagai Satu, Intelek, Kebaikan, Substansi, Kebaikan, Ada. Tak mengherankan kalau individualitas monadelogi mempengaruhi pemikirannya tentang Allah. Memang, bukti-bukti yang disodorkan oleh Leibniz tampakanya koheren, logis dan membantu kita dalam mengenali Allah tetapi bukti-bukti tersebut tidak terlepas dari kesalahan.
Tentang keharmonian yang telah dibangun sebelumnya, menurut Leibniz terdapat sebuah hukum internal yang berkerja di dalam monade-monade sehingga monade-monade adalah suatu natura yang telah terdeterminasi dan konsekuensinya hanya memiliki satu natura: natura yang mengatur segala sesuatunya. Hukum internal ini telah menjadi monisme materialistik oleh karena hanya ada satu natura yang mengatur segala yang ada dan semuanya dibatasi, terikat oleh satu natura yang adalah hukum internal itu. Monisme materialistik, kemudian, sebagaimana yang kita tahu menjadi akar paham komunis. Juga tampaknya dengan bukti keharmonian yang telah dibangun sebelumnya, Leibniz jatuh ke dalam jeratan ateisme secara implisit karena menyangkal eksistensi Tuhan yang personal dan hanya mengandalkan kepada hukum internal. Tuhan bukanlah monade seperti yang dipercayai Leibniz sebagai monade dari segala monade tetapi Tuhan adalah Tuhan yang personal. Tuhan yang personal berarti Tuhan yang selalu mencintai, berkomunikasi, berelasi dengan ciptaan-Nya dan bukan monade yang tertutup dan tanpa relasi satu sama lainnya.
Tentang dunia kemungkinan/posibilitas yang ada di dalam argumen modalitas, Leibniz telah menunjukkan suatu metafisika optimis tetapi juga ada kerancuan di dalam pemikirannya. Di dalam realitas, tesis tentang yang terbaik di antara dunia kemungkinan tidaklah ada. Alasannya: pertama, dunia kemungkinan bersifat infinitas, tak terbatas yang diwarnai dengan ilusi dan hanya merupakan suatu hipotesis. Jadi, yang selalu mungkin adalah dunia yang terbaik karena memang telah direalisasikan dan yang lain tidaklah ada. Yang kedua, dunia kemungkinan tidak konsisten dengan metafisika, tidak dapat ditempatkan di tengah realitas yang adalah hasil kemahakuasaan ilahi karena dunia kemungkinan menunjukkan ketidakmampuan Tuhan. Faktanya, Tuhan adalah mahakuasa dan itulah sebabnya Tuhan tidak membuang-buang waktu untuk memikirkan dunia yang tak terbatas: Tuhan memikirkan apa yang dia inginkan dan menginginkan apa yang dia pikirkan. Jelas, dunia yang dipikirkan oleh Tuhan adalah sempurna dan bukan dunia kemungkinan[30].
Tentang argumen ontologis, Leibniz telah mengafirmasi bahwa esensi Tuhan adalah sama dengan eksistensi-Nya. Segala yang ada bergantung kepada esensi Tuhan yang adalah juga eksistensi-Nya. Tampaknya juga Leibniz jatuh kepada panteisme. Alasannya adalah pemikiran ini menyatakan hanya ada satu substansi yaitu Tuhan dan konsekuensinya adalah segala bentuk realitas yang lain adalah mode (atau penampakan) Tuhan atau identik dengan Tuhan. Dengan kata lain, Tuhan adalah segalanya dan segalanya adalah Tuhan; dunia entah identik dengan Tuhan atau dalam beberapa cara merupakan ekspresi dari natura-Nya. Dengan demikian, segala sesuatu yang ada membangun kesatuan dan kesatuan ini dimaknai sebagai satu keilahian. Inilah argumen panteisme.
Meskipun Leibniz telah membuat kesalahan dalam pemikirannya tentang Tuhan, tetapi bukti-bukti eksistensi Tuhan yang disodorkan olehnya memberikan kepada kita suatu contoh dan suatu kekuatan untuk memperdalam iman kita: adalah keberanian Leibniz untuk memperdalam imannya dan kekuatannya untuk mempertahankan eksistensi Tuhan. Meniru usaha, kekuatan dan semangat Leibniz, kita secara individu ataupun sebagai individu haruslah memiliki kemauan, keberanian untuk mencari Tuhan dan memiliki semangat untuk memperdalam iman tanpa lelah sehingga kita kiranya mampu menjelaskan dan bersaksi tentang Tuhan dengan nalar dan realitas. Iman dan pengetahuan tentang Tuhan yang diperoleh melalui kekuatan individu telah menempatkan diri dalam suatu posisi determinatif yaitu sebagai saksi personal akan Tuhan dan kekasih Tuhan.
Nalar dan realitas adalah terang untuk mengenal Tuhan. Baik nalar dan realitas disisipkan ke dalam rahasia dan kehendak-Nya. Semuanya untuk kebaikan segala sesuatunya. Tetapi yang terbaik adalah bahwa tidak hanya untuk keseluruhan secara umum, tetapi juga bagi individu khususnya terutama individu yang memiliki kasih kepada Tuhan. Setiap individu akan memancarkan kemuliaan TUhan dan hasilnya kemuliaan TUhan tersiarkan dari segala tempat, segala waktu, di dalam segalanya dan di dalam semuanya. Kasih kepada Tuhan menuntun kepada kebijaksanaan dan kepada karya keutamaan: untuk mengetahui lebih banyak tentang Tuhan supaya kita lebih mencintai-Nya. Akhirnya, tidak ada pilihan lain selain selalu terhubung dengan Tuhan demi kebahagiaan kita, seperti yang Leibniz katakan, “Bagi kita, yaitu, asalkan segala sesuatunya terhubung dengan baik dengan pencipta segala sesuatu, tidak hanya sebagai arsitek dan causa efisien dari ada kita tetapi Dia juga adalah guru dan causa final yang menyediakan satu-satunya tujuan dari kehendak kita dan satu-satunya yang dapat memberi kita kebahagiaan[31]. “
Bibliográfica
Abbagnano Nicola, Storia Della Filosofia, Vol. 4, TEA, Milano, 1993.
González Ángel Luis, Filosofía di Dio, Le Monnier, Milán, 1997.
Kauffmann Walter & Baird Forrest, Modern Philosophy, Prentice Hall, New Jersey, 1997.
Leibniz Gottfried Wilhelm, Discurso su Metafísica
ID., La Monadología
ID., Teodicea
Livi Antonio, La Filosofia E La Sua Storia, Societa Editrice Dante Alighieri, Roma, 1996.
Mondin Batista, Ontologia Metafisica, Edizioni Studio Dominicano, Bologna, 1999.
[1] G.W. Leibniz, Discurso su Metafísica, no. 36
[2] Ibíd., no. 1
[3] Ibíd., no. 19
[4] G. W. Leibniz, Monadología, no. 32
[5] Discurso su Metafísica, no. 2
[6] Ibíd., no.16
[7] CF. Monadología, no. 3
[8] Ibíd., no. 47
[9] Ibíd., no. 79
[10]Ibíd., no. 78
[11] Haluan a priori secara substansial sama dengan argumen ontologis yang digagas Anselmus, tetapi, Leibniz melukiskan argumen dengan tinta berbeda yaitu denga mengembangkan konsep a priori tentang kemungkinan: jika Tuhan (Ada Niscaya) adalah mungkin, maka dia pasti ada.
[12] G.W. Leibniz., Discurso su Metafísica, no. 23
[13] Ibíd., no. 36
[14] Walter Kauffman & Forrest Baird Baird, Modern Philosophy, Prentice Hall, New Jersey, 1997, p. 232
[15] Nicola Abbagnano, Storia Della Filosofia, Vol. 4, TEA, Milano, 1993, p. 120
[16] G.W. Leibniz, Discurso su Metafísica, no. 6
[17] G. W. Leibniz, Monadología, no. 43
[18] Ibíd., no. 33
[19] Ibíd., no. 34
[20] Niccola Abbagnano, op.cit, p.119-120
[21] Cf. Antonio Livi., La Filosofia E La Sua Storia, Societa Editrice Dante Alighieri, Roma, 1996, p. 228
[22] G. W. Leibniz, Monadología, no. 36
[23] Ibíd., no. 46
[24] Ibíd.
[25] Cf. G. W. Leibniz, Discurso su Metafísica, no. 35
[26] Cf. Ibíd., no 9
[27] G.W. Leibniz, Monadología, no. 29
[28] Cf. G.W. Leibniz, Discurso su Metafísica, no. 26
[29] Cf. Ibíd., no. 28
[30] Batista Mondin, Ontologia Metafisica, Edizioni Studio Domenicano, Bologna, 1999, p. 250
[31] G. W. Leibniz, Monadología, no. 90
Copyright © 2019 ducksophia.com. All Rights Reserved
Waah, bakal dijiplak tulisanmu, bro