Figur Sokrates & Kebijaksanaannya

 

Lukisan: ALbert Birkle, Die letzten Häuser

Ketika murid siap

Sang guru akan muncul

 

Guru dan filsuf

Dalam budaya Yunani kuno, sophia-kebijaksanaan sudah menjadi perdebatan yang mewarnai kehidupan sehari-hari masyarakat di sana. Hasil diskusi tentang kebijaksanaan merupakan cikal bakal yang membentuk sendi-sendi kehidupan masyarakat Yunani di dalam ranah moralitas, politik, etika, seni, ekonomi, sejarah karena untuk mengerti dan melakukan semuanya itu hanya dapat ditelusuri dari kebijaksanaan. Kehidupan yang baik dan bahagia baik itu kehidupan bernegara, kehidupan sosial, kehidupan pribadi-kelompok bersumber dari kebijaksanaan. Kebijaksanaan Yunani lahir dari perdebatan-diskusi tentang apa itu kebijaksanaan yang  menghasilkan dan memunculkan kebijaksanaan itu sendiri. Dengan demikian, pergulatan dan permenungan tentang kebijaksanaan mempresentasikan semangat dan hati Yunani.

Tak mengherankan kalau masyarakat Yunani menaruh hormat yang begitu tinggi kepada orang yang dianggap bijaksana.  Bijaksana dalam pengertian peradaban Yunani  bukanlah sekedar terampil di dalam retorika, bertutur kata secara elegan, berpikir dengan cemerlang melainkan juga mempunya pengertian yang benar dan mendalam akan segala sesuatu. Tentu, orang yang bijaksana lazimnya dijadikan sebagai guru sehingga ia adalah model hidup yang menjadi panutan baik dalam perkataan dan perbuatan demi kehidupan yang harus dijalani. Orang bijaksana biasanya adalah seorang guru yang baik karena ia tahu seni membimbing dan mendidik untuk membentuk manusia yang matang dalam berpikir dan bijak dalam memberikan pertimbangan serta sigap untuk menjawab pelbagai tantangan hidup[1]. Pengetahuan itu sendiri bahkan juga kebaikan dan kebenaran merupakan produk dari kebijaksanaan yang diajarkan oleh guru. Pengetahuan adalah pengenalan tentang kebenaran dan kebaikan yang didapat melalui pembelajaran, diskusi, perdebatan, juga melalui pengalaman dan renungan dan di sini guru adalah orang yang membimbing dan mengarahkan murid sampai kepada kebijaksanaan itu sendiri supaya mendapat pengetahuan. Seru Aristoteles “tolak ukur apa yang kita punyai untuk setiap hal yang baik selain guru”. Guru kehidupan dan kebijaksanaan yang menjadi panutan dalam peradaban Yunani dan yang tak mungkin dilupakan oleh sejarah bahkan sampai hari ini tentu saja Sokrates. Ia tidak hanya menjadi guru bagi orang Yunani pada zamannya saja, tetapi juga guru yang memberikan pengaruh yang begitu mendalam bagi filsafat barat sampai hari ini bahkan filsafatnya adalah kebijaksanaan yang membimbing kehidupan selama peradaban manusia masih ada dan berlangsung.

Sokrates adalah seorang filsuf yang berarti pecinta kebijaksanaan. Dalam nafas dan semangat cinta akan kebijaksanaan, ia dianggap sebagai mediator antara sang kebijaksanaan ilahi dan manusia yang berkelana mencari kebijaksanaan ilahi sekaligus mewartakannya. Figurnya yang demikian menggoda si muridnya Plato untuk menceritakan siapakah dia dalam karya Plato yang tersohor Symposium. Tidak hanya Plato, Kierkegaard dan Nietzsche juga tertantang untuk hal itu. Lalu, apa kata mereka tentang Sokrates, insiprasinya ataupun pengaruhnya yang konon tetap berlangsung sampai saat ini?

 

Sokrates berwujud “Silenus”

Dalam mitologi Yunani, Silenus adalah suatu makhluk setengah manusia, setengah binatang. Bentuknya mengerikan dan ia menjadi pengawal dewa Dionisius yang selalu menemani sang dewa ke mana pun pergi. Sokrates adalah seorang Silenus; fisik dan penampilannya seperti Silenus artinya dia buruk rupa, memiliki suara yang menakutkan, gemuk dengan perut buncit, dengan kata lain tidak ada keindahan fisik sama sekali dalam penampilan lahiriahnya. Ia sungguh silenus. Nietzsche meneguhkan buruk rupa Sokrates bahwa Sokrateslah orang Helenis pertama yang terkenal yang buruk rupa[2]. Kierkegaard melukiskan sosok Sokrates sebagai seorang badut.

Di balik semua penampilan fisiknya entah itu buruk rupa, seperti monster, badut, bodoh ataupun mengerikan hanyalah suatu topeng: Sokrates menopengi penampilan fisik maupun dirinya yang sesungguhnya dengan bentuk Silenus. Artinya, dia menyembunyikan dirinya yang sejati dan indah di dalam penampilan fisiknya yang jelek. Kesan lahiriahnya sebagai Silenus mau mengatakan bahwa dia adalah suatu mediator antara norma ideal dan realitas manusia yang sebenarnya; suatu figur harmoni yang memadukan antara karakter ilahi dan karakter manusia. Untuk itu, dengan topeng Silenusnya, ia berpura-pura bodoh dan tidak bijaksana namun sebenarnya ia adalah sosok yang paling bijaksana, manusia yang ideal dan sempurna, sekaligus manusia yang mencerminkan perwujudan dari kebijaksanaan ilahi itu sendiri yang menolong orang sampai kepada kebijaksanaan ilahi. Ia adalah representasi jiwa manusia yang paling indah di balik penampilannya yang buruk rupa. Dia adalah orang yang sangat tampan karena keutamaannya dan kebijaksanaannya di balik penampilan lahiriahnya yang mengerikan dan jelek. Sokrates yang tampaknya buruk rupa menyembunyikan suatu filsafat yang indah. Inilah ironi tersohor Sokrates dan ia menikmati permainan ironinya.

Dalam permainan ironinya, ia amat piawai dalam berpura-pura sehingga dia begitu sukses menyembunyikan dirinya dari sejarah. Artinya, semua kesaksian tentang dirinya hanya diperoleh dari muridnya Plato. Ia sendiri tidak pernah menulis apapun tentang kebijaksanaan dan ajarannya. Kepiawaiannya untuk menyembunyikan diri memberikan inspirasi bagi setiap orang untuk meniru hal yang sama yaitu berlindung dan menyembunyikan diri dalam sejarah; orang yang tak mau diketahui maupun dikenal. Plato, dalam setiap dialognya selalu menggunakan Sokrates sebagai topeng. Ia menenggelamkan dirinya sepenuhnya dalam sang guru Sokrates demi menanamkan pengaruh filsafatnya sampai saat ini. Kita tidak pernah tahu manakah pemikiran asli Sokrates atau Plato karena Plato yang sepenuhnya menulis tentang Sokrates. Plato atau Sokrates akan selalu menjadi perdebatan sejarah karena kedua orang itu telah menyatu yang praktis tak mungkin lagi ditelusuri keontentikan pemikiran mereka. Nietzsche dan Kierkegaard juga tergoda untuk berbuat demikian. Victor Eremita, Johannes Climacus adalah nama-nama samaran yang dipakai Kierkegaard dalam tulisannya. Nietzche, melalui Ecce Homo, menopengi dirinya dengan sosok sang guru yaitu Arthur Schopenhauer dan Martin Wagner. Pengaruh topeng Sokrates tidak merambah di dalam filsafat saja, tetapi juga juga dalam sastra, psikologi, sejarah, politik, etika dan sebagainya sehingga ada topeng sastra, topeng psikologi, topeng sejarah, topeng politik dan seterusnya.

Maka, topeng Sokrates setidaknya mempunyai dua fungsi yaitu fungsi pedagogis dan fungsi psikologis. Sebagai fungsi pedagogis, topeng Sokrates membuat lawan bicara tidak merasa diajari dalam semangat yang menohok namun dituntun secara perlahan sehingga yang bersangkutan tidak merasa tersudutkan malahan mendapat kesenangan, kebebasan dan mengakui kebodohanya dengan besar hati. Sementara fungsi psikologis membuat pengajar lebih leluasa untuk bergerak untuk mengeksplorasi dan melucuti kebodohan lawan bicaranya. Pengajar pun tidak merasa terikat dan terbebani untuk mengajarkan ataupun mengkritik apa yang ingin disampaikan. Dia berlindung dan menyembunyikan diri di dalam topeng Sokrates itu. Sementara yang mendapatkan pengetahuan dan pencerahan tidak merasa berhutang budi kepada siapa pun kecuali pada dirinya sendiri karena murid tidak pernah tahu siapakah pribadi yang sebenarnya di balik topeng itu. Dia dilepaskan dari keterikatan hutang budi.

Topeng Sokrates adalah sebuah topeng ironi. Berpikir tantang sesuatu hal dan mengatakan hal yang dipikirkannya dengan cara mengatakan hal lainnya oleh orang-orang Yunani disebut dengan ironi. Topeng ironi Sokrates bermain di dalam setiap diskusinya dengan siapa pun. Topeng ironi Sokrates berarti dalam setiap perdebatan, dia menampilkan dirinya kepada lawan bicaranya dengan merendahkan diri[3]. Dengan merendahkan dirinya, dia terbiasa untuk menunjukkan kesalahan-kesalahan lawannya yang ingin ia koreksi. Dia berpura-pura bahwa dia ingin belajar sesuatu dari lawan bicaranya karena dia seorang awam yang tidak tahu apa-apa. Pada mulanya dia berpura-pura membenarkan argumen-argumen lawan bicaranya. Tujuannya agar ia mengetahui dengan tepat kesalahan dan kebodohan lawan bicaranya supaya nantinya ia membimbing lawan bicaranya agar sampai pada pemahaman yang benar bahkan kepada kebenaran itu sendiri. Dalam dialog tersebut, tampaknya Sokrates tersedot ke dalam pemikiran lawan bicaranya. Dengan membenarkan argumen lawan bicaranya Sokrates seolah-olah mengidentifikasikan dirinya dengan lawan bicaranya. Namun faktanya pada akhir diskusi justru lawan bicaranya masuk ke dalam diskursus Sokrates, lawan bicaranya mengidentifikasikan dirinya dengan Sokrates. Mengidentikasikan diri dengan Sokrates berarti mengidentfikasikan dengan aporía dan keraguan karena yang dia tahu bahwa dia tidak tahu apa-apa. Di dalam keraguan memang terjadi momen krisis yaitu ketika lawan bicara Sokrates dipenuhi dengan keletihan, kelesuan, patah arang untuk melanjutkan diskusi bersamanya. Lawan bicaranya tidak tahu lagi ke mana pertanyaan-pertanyaan Sokrates akan membawa dirinya. Inilah mulianya figur seorang Sokrates: pada saat terjadi momen krisis, ia melakukan intervensi. Dia mengambil ketidaknyamanan, kegundahan yang ada di dalam lawan bicaranya untuk ditimpakan kepada dirinya sendiri. Dia mengambil alih segala resiko dan mengambilnya untuk dirinya sendiri. Jika usahanya gagal justru akan menjadi tanggung jawabnya. Ketika segala ketidaknyamanan, rasa bersalah ketidaktenangan dipindahkan dan ditransfer kepada diri Sokrates lawan mendapat semangat dan kepercayaan diri lagi dalam pencarian akan kebijaksanaa. Pada akhir dialog ataupun diskusi lawan bicara Sokrates tidak belajar apa-apa bahkan dia tidak tahu apa pun lagi. Dia telah menjadi Sokrates. Dengan menjadi Sokrates, lawan bicara Sokrates yang mengakui mengakui kesalahannya dan kebodohannya justru membuat mereka sampai pada kebenaran yang sejati. Karena sejak itu, mereka terus mencari dan bergulat dengan kebijaksanaan.

Sokrates mengklaim dirinya menjadi bidan pengetahuan. Mengapa dia menyamakan dirinya dengan bidan? Baiklah kita mengerti dulu realitas bidan itu. Seorang bidan membantu seorang ibu dalam persalinan tetapi sang ibulah yang melahirkan anaknya. Seorang bidan hanyalah orang yang membantu dalam proses kelahiran. Klaimnya sebagai bidan pegetahuan berarti dia hanya menjadi sarana kelahiran sebuah pegetahuan. Ia membidani orang agar dapat mengatasi ilusi yang mencengkeram pemikirannnya. Untuk itu, dia bertanya dan mengajak orang melihat ke belakang hidupnya untuk menguji, merefleksikan, memeriksa dirinya sendiri. Metode ala Sokrates adalah bahwa ia selalu bertanya dengan kata penanya apakah. Saat ia bertemu ahli hukum, ia bertanya apakah hukum itu? Kata penanya apakah mencerminkan suatu definisi. Pertanyaan khas Sokrates tidak hanya mengacu pada definisi tetapi juga menunjuk kepada esensi dari soal yang ditanyakan. Pertanyaan khas Sokrates membantu orang melahirkan pengetahuan yang benar bagi dirinya sendiri. Dengan metode ala Sokrates, lawan bicara menjadi sadar akan persoalan-persoalan yang ada sehingga dia sendiri yang mempresentasikan dirinya sendiri, dia sendiri yang melucuti dirinya, dia sendiri yang mengerti kebodohannya dan bukan Sokrates. Sokrates tidak pernah memberikan apa pun karena dia tidak tahu apa-apa. Dia hanya menuntun dan membantu orang untuk melahirkan pengetahuan. Salah satu korban dari aktivitas filsafat Sokrates adalah Jenderal Athena yang bernama Nicias. Nicias memperingatkan teman-temannya bahwa berdiskusi dengan Sokrates berarti melakukan suatu pemeriksaan secara menyeluruh terhadap hidup seseorang. Pemeriksaan yang demikian tentu bukan hal yang mengenakkan. Nada kesal pun ikut dilontarkan oleh Callices. Euthyphro adalah salah seorang yang diuji oleh Sokrates. Euthyphro telah membunuh ayah kandungnya sendiri yang kejam dan beringas. Dia merasa sebagai orang yang beriman dan diberkati oleh dewa karena tindakannya itu. Sokrates mengajaknya untuk menguji apakah pantas dan benarkah ia melakukan semuanya itu. Laches juga terlibat perdebatan dengan Sokrates tentang apa itu keberanian. Sekali lagi melalui perdebatan itu, mereka dituntun oleh Sokrates untuk memeriksa dan berefleksi tentang hidup mereka sendiri. Jelas, topeng ironi Sokrates menaburkan ketidaktenangan dan kegelisahan di dalam diri jiwa, tetapi membawa jiwa kepada kepada kesadaran yang lebih tinggi yang dapat dicapai. Itulah yang disebut dengan pertobatan filsafat.

Melihat sepak terjangnya yang demikian dan banyaknya orang yang dibidani dan diantarkannya kepada pengetahuan yang sejati, banyak orang menyebut Sokrates sebagai guru dan menganugerahinya gelar sebagai seorang yang pandai dan bijaksana. Namun Sokrates menolak semua gelar ataupun predikat yang diberikan kepadanya. Alasannya bahwa yang diketahui olehnya bahwa ia tidak tahu apa-apa. Dia hanya seorang bidan yang membantu proses kelahiran pengetahuan dan bukan pengetahuan ataupun kebijaksanaan itu sendiri. Tak pernah Sokrates mengklaim dirinya sebagai orang bijaksana dan ataupun guru walaupun dia adalah guru yang sejati.  Sang guru mengajarkan kepada setiap filsuf bahwa seorang filsuf yang sejati akan mengenali sesuatu yang lain yang tersembunyi di segala penampilan lahiriah dan sesuatu yang lain justru membawa persepsinya kepada ada yang sejati.

Socrates adalah gambaran guru kebijaksanaan. Anehnya, bagaimana orang sebijaksana Sokrates itu digambarkan  buruk rupa  dengan perut buncit sejelek Silenus tetapi masih disebut sebagai sang kebijaksanaan, guru sejati? Figur Sokrates mendobrak dan mengguncang sistem nilai yang ada yang dipercaya oleh banyak orang. Patung-patung manusia Yunani digambarkan dengan demikian indah, proporsional dengan perunggu yang menggambarkan moralitas. Artinya,  nilai- nilai budaya Yunani yang ada pada waktu dibangun di atas yang nampaknya, suatu yang semu  dan penuh ilusi, tertipu dengan  penampilan lahiriah yang menawan itu[4]. Sokrates membimbing dan menunjukkan bahwa keindahan yang sejati melampaui penampilan lahiriah.

Filsafat Sokrates sebenarnya adalah suatu latihan rohani: suatu undangan untuk menuju cara hidup yang baru dan kesadaran yang hidup sejati. Ironi topeng dan formula Sokrates “yang saya tahu bahwa saya tidak tahu apa-apa” memiliki arti yang amat dalam karena formula tersebut merupakan gerbang untuk memulai pencarian kebijaksanaan yang sejati. Formula Sokrates yang demikian juga mencerminkan kesadaran dan kerendahan hati bahwa dirinya adalah seorang penuh dengan kekurangan dan kelemahan[5]. Seorang bijaksana akan selalu sadar akan kebodohannya dan untuk itu akan selalu mencari kebijaksanaan sepanjang hidupnya karena kebijaksanaan bukanlah melulu pencapaian pribadi melainkan suatu pergumulan terus-menerus kepada kebijaksanaan dalam semangat cinta kepadanya. Melalui kesadaran yang seperti itu dan kerendahan hati ia tiada henti mencari dan berkelana terus  mencari pengetahuan dan kebijaksanaan dengan hasrat yang tak pernah padam. Dan hasrat itu sendiri dalam bahasa Yunani disebut dengan eros.

 

Sokrates dan Eros

Dalam Symposium Alcibiades memuji Sokrates. Menurutnya terdapat kategori-kategori manusia, tipe-tipe ideal yang mana seseorang dapat dikelompokkan dalam kategori tersebut. Sebagai contoh ada yang bertipe ningrat, berani dan sosok ini ada dalam diri Achilles. Ada tipe negarawan yang cakap yaitu Nestor orang Yunani, Antenor dari Troya dan Pericles. Tetapi figur Sokrates tidak cocok dengan semua tipe yang ada. Sosok Sokrates itu hanya sesuai dengan Silenus[6]. Meskipun begitu, sosok Sokrates dianggap sebagi eros atau cinta.  Bagaimana mungkin terjadi?

Yunani pada zaman Sokrates, eros dikenal sebagai cinta maskulin (antar lelaki). Cinta maskulin ini dimaksudkan untuk mendidik para pemuda bangsawan Yunani supaya menjadi ksatria dalam keutamaan aristokrat di bawah asuhan orang yang lebih tua. Cinta maskulin merupakan sarana dalam pendidikan bangsawan muda Yunani karena cinta yang demikian memudahkan nilai-nilai pendidikan disampaikan dan diinternalisasi oleh kaum muda. Cinta yang semacam ini juga terdapat dalam diri Sokrates.

Cinta Sokrates yang demikian justru menunjukan dan membuktikan ironinya. Ia pura-pura jatuh cinta kepada lawan bicaranya dan terpesona akan ketampanan lawan bicaranya. Maklum, Sokrates itu buruk rupa seperti  Silenus. Maksud ironi eros Sokrates itu adalah mengajak teman bicaranya supaya mampu mengkomunikasikan pengetahuannya kepada Sokrates sendiri. Permainan ironi Sokrates ini sungguh gemilang. Lawan bicaranya tidak kuasa dan tak mampu untuk menyembuhkan kebodohan Sokrates sebab faktanya ia tidak memiliki pengetahuan untuk diberikan kepada Sokarates. Malahan lawan bicaranya kagum dan mengikuti pelajaran Sokrates yaitu kesadaran “yang aku tahu bahwa aku tidak tahu apa-apa”. Pada saat orang mempercayai bahwa dirinya tidak tahu apa-apa, ia justru dilucuti keburukannya dan diantarkannya kepada cinta yang sejati. Pada akhirnya, ironi erotis Sokrates mengantar orang untuk jatuh cinta pada dirinya sendiri dan bukan jatuh cinta kepada figur Sokrates. Sementara cinta maskulin Sokrates hanyalah sarana dan pancingannya agar dia dapat membidani seseorang melahirkan jiwanya yang sejati.

Seorang pendeta wanita, Diotima, memvonis Sokrates sebagai eros. Apa alasannya? Menurutnya, Sokrates itu orang yang sadar bahwa dirinya di antara dua realitas. Realitas apa? Bahwa Sokrates sadar bahwa ia tidaklah tampan atupun bijaksana. Demi itu semua, ia terus berhasrat untuk terus berusaha  mencari kebijaksanaan dan keindahan sepanjang hidupnya. Kesadaran inilah yang membuat Sokrates dijuluki seorang pecinta kebijaksanaan (baca: filsuf). Seorang filsuf selalu terus merindukan keindahan dan mencari kesempurnaan dalam hasratnya yang bergelora.

Jatuh cinta kepada Sokrates itu sama dengan jatuh cinta kepada sang keindahan  dan kepada cinta itu sendiri. Apa yang mereka cintai di dalam diri Sokrates adalah cinta Sokrates kepada keindahan dan kesempurnaan ada. Bukan kepada fisik Sokrates ataupun cinta yang bersifat maskulin. Artinya Sokrates mengajak dan menuntun orang kepada cinta sejati dan kepada keindahan yang sebenarnya. Keindahan seseorang yang sejati bukanlah terletak pada penampilan fisiknya, pakaiannya tetapi justru di dalam jiwanya, persisnya yaitu jiwanya yang terbebas dari kebodohan, jiwa yang selalu merindukan kebijaksanaan. Dalam diri Sokrates, orang akan menemukan jalan mereka sendiri untuk menuju kesempurnaannya dan keindahannya. Eros Sokrates pun tidak mengajarkan apa-apa. Dia tidak membuat orang menjadi seperti dirinya melainkan menjadikan mereka lain dari sebelumnya yaitu menjadi diri mereka sendiri yang sejati. Sokrates membantu orang untuk melahirkan dirinya sendiri. Eros Sokrates adalah hasrat kesempurnaan bagi diri yaitu diri yang sejati. Dengan demikian eros Sokrates memancarkan suatu dimensi pedagogisnya[7] yaitu bahwa kebersamaan dalam perjalanan untuk mencari kebijaksanaan dan kehendak bersama untuk sampai pada persetujuan sudah merupakan bentuk cinta itu sendiri. Filsafatnya bukanlah suatu rancang sistem yang sifatnya menyendiri, eksklusif dan tertutup tetapi merupakan suatu kebangkitan akan kesadaran dan suatu akses kepada level ada yang hanya dapat dicapai melalui relasi dari pribadi ke pribadi. Dialog Sokates menggambarkan usahanya menemani lawan bicaranya dalam perjalanan menuju pengidentifikasian akan keindahan yang tertinggi. Dialog Sokrates mengukir suatu latihan yang membuat lawan bicaranya menanyakan dirinya, mencintai dirinya dan menjadikan jiwanya seindah dan sebijaksana sebagai seorang manusia. Dialog Sokrates juga membuktikan bahwa cinta bukanlah antara seorang laki-laki yang tampan dan seorang perempuan yang cantik ataupun cinta maskulin melainkan antara dua hati yang agung. Hanya melalui cinta resiprokal orang dapat sampai kesadaran yang sejati karena wawasan yang terdalam hanya muncul dari cinta, orang hanya dapat belajar dari orang yang dia cintai, manusia yang fana ini hanya memberikan terbaik ketika dia mencintai. Semuanya itu ada di dalam figur Sokrates karena dia adalah cinta yang berkarya di dalam cinta.

Menariknya, bagi Sokrates sendiri eros berarti pecinta. Tentu saja pengertian Sokrates akan eros lain dengan pengertian kebanyakan orang pada zamannya yang menyakini bahwa eros adalah dewa. Pecinta itu adalah daimon[8], makhluk setengah dewa, setengah manusia. Apa maksudnya? Eros yang dipahami dalam konteks daimon berarti eros menyentuh realitas hidup. Ia bukanlah semata-mata ide yang tak mungkin dijangkau oleh kenyataan. Eros itu ada dalam dunia nyata dan suatu realitas. Jadi eros melingkupi baik ide maupun realitas. Eros juga dapat dipahami sebagai cinta yang didasarkan pada hasrat atau nafsu sehingga eros itu berusaha terus untuk merealisasikan hasrat. Akibatnya, cinta juga memiliki irasionalitasnya atau sisi gelapanya yang disebabkan oleh eros ini sehingga ketika cinta hinggap di dalam diri seseorang jelas membuat orang menjadi tak rasional. Oleh karena itu pula eros juga disebut daimon. Eros yang demikian yaitu daimon- juga terdapat di dalam diri Sokrates: Sokrates pun menjadi tak rasional karena dimensi eros yang tak rasional. Irasionalitas Sokrates terkait dengan ironi dan topeng Sokrates. Ia selalu bernafsu untuk mencari keindahan sejati dan mengajak sekaligus membantu tiap orang untuk sampai kepada sang keindahan.

Sebenarnya, eros Sokrates adalah simbol pencarian terus-menerus akan kebijaksanaan, pencarian itu berlangsung terus-menerus karena kebijaksanaan berada di suatu tempat antara kebijaksanaan dan kurangnya pemahaman. Sebagaimana hasrat tubuh yang selalu berujung kepada kepuasan ataupun frustasi demikian pula hasrat intelektual juga tidak pernah punya finalitas. Setiap culminasi pasti akan tenggelam kembali ke dalam hasrat yang baru. Ruang yang ada tak mungkin pernah diisi secara penuh karena ruang terus menciptakan hasrat yang bergelora untuk kebijaksanaan yang sejati. Ruang itu melukiskan ketegangan dan proses dinamis untuk pencarian kebijaksanaan. Justru di dalam proses yang dinamis itu, eros ternyata adalah penyelidikan filsafat dan suatu pertumbuhan dan perkembangan diri yang berasal dari penyelidikan tersebut yang menutrisi jiwa dan menjaga jiwa dari korupsi.[9]

Sokrates adalah guru sekaligus model bagi para filsuf yang mengklaim dirinya sebagai pecinta kebijaksanaan karena sosok Sokrates adalah eros dinamis yang mengejewantah dalam diri seorang manusia yaitu hasrat yang tak pernah padam dan bergelora untuk mencapai kesempurnaan dan kebijaksanaan ilahi. Karena eros, orang bijak tak pernah puas dan selalu ingin belajar. Eros menciptakan entusiasme dan di dalam entusiasme ada transformasi internal yang terus mendorongnya untuk selalu jatuh cinta kepada kebijaksanaan.

Memang, sebagai elemen yang ambigu, ambivalen, ragu-ragu, eros yang dipahami sebagai nafsu dan daimon bukanlah suatu entitas baik ataupun jahat. Ia merupakan suatu entitas yang netral dan ia memang demikian karena naturanya. Keputusan moral manusia yang dapat memberikan nilai definitifnya. Namun, dimensi irasional dari cinta yang tidak dapat dijelaskan ini tidak mungkin dapat dipisahkan dari eksistensi manusia. Pertemuan manusia dengan daimon dan permainan berbahaya dengan eros tidak dapat dihindari karena cinta nafsu dan cinta yang sejati bersatu seperti dua sisi mata uang. Hanya yang bijaksana yang tahu bagaimana mengarahkan perjumpaan dengan daimon eros menjadi perjumpaan dengan sang kebijaksanaan. Hanya yang sungguh mencintai kebenaran yang dapat menjinakkan permainan berbahaya eros sehingga dalam ketenangan dan keheningan ia menemukan kebenaran yang sejati. Sebaliknya pula, eros akan melahap orang dalam pusarannya selama dia menjauh dari kebenaran. Eros akan menjadi daimon yang melumatkan diri ketika orang lupa kepada sang cinta sejati. Pilihan dan keputusan tiap pribadi itulah yang menentukan eros apakah nantinya dia menjadi kehidupan atau kematian.

 

Sokrates dan Dionisius 

Menarik bahwa Nietzsche dengan getol membahas sosok Sokrates dalam tulisan-tulisannya. Pada mulanya, ia cemburu kepada Sokrates karena baginya, Sokrates hanyalah si perayu ulung. Segala perkataan Sokrates baik cara dia berbicara, metodenya, ironinya merupakan rayuan yang sebenarnya omong kosong. Dan rayuan Sokrates yang paling memikat generasi muda ialah saat ia menghadapi kematian. Sokrates yang dengan siap dan tenang memilih kematian kiranya menjadi suatu peristiwa yang tak pernah ada sebelumnya kemudian justru membangkitkan suatu idealisme baru di hadapan anak-anak muda Yunani.

Sosok Sokrates pun menyatakan sebuah teka-teki bagi Nietzsche karena bagaimana mungkin orang yang amat mencintai kehidupan ternyata memilih mati dan membenci existensi? Suatu misteri besar bagi Nietzsche. Saat Sokrates hendak menemui ajalnya, Nietzsche menemukan refleksi baru tentang kehidupan Sokrates. Keinginan Sokrates memilih mati karena taat pada putusan pengadilan Athena dan kata-katanya “O Crito, kita berhutang seekor ayam jago kepada Asclepius” mengejutkan Nietzsche. Hal ini seolah-olah Sokrates telah disembuhkan dari suatu penyakit dan berhutang kepada Asclepius -sang dewa penyembuhan itu. Kata-kata Sokrates tersebut menuntun Nietzsche berkesimpulan bahwa Sokrates menderita suatu penyakit sejak waktu yang lama”. Penyakit Sokrates sebenarnya mengacu kepada suatu simbol bahwa terang pencerahan Sokrates dan moralitas Sokrates pada zamannya sepadan dengan suatu penyakit yang menggrogoti kehidupan dan kemudian menyebabkan kematian. Penyakit itu adalah bahwa Sokrates dengan efektif menemukan bangunan rasionalitas Barat yang menekankan bahwa segalanya pasti dapat dijelaskan dalam bingkai rasionalitas. Sokrates mendobrak tatanan kebenaran yang selama ini dipercaya dan dihasilkan dari penjelasan yang irasional ataupun yang berdasarkan mitologi. Orang yang digerakkan dan dikuasai oleh naluri buta tanpa lagi mampu mengendalikan berarti dia kekurangan wawasan dan kejahatan yang dilakukan karena kurangnya pengetahuan. Itu berarti juga bahwa pengetahuan menciptakan moralitas. Sokrates membangun moralitas baru dengan rasionalitas. Akibatnya penyakit Sokrates menyebabkan kematian: kematian mitologi, kematian irasionalitas, kematian moralitas Yunani yang mengagungkan penyingkapan kenikmatan -seperti yang digagas oleh Epikurus. Tetapi justru kematian menjadi tabib yang menyembuhkan kehidupan. Dalam Twilight of the Idols, Nietzsche menegaskannya bahwa penyakit Sokrates yang telah disembuhkan itu bukanlah suatu kehidupan, melainkan bentuk kehidupan yang dipilih Sokrates itulah yang menjadi kehidupan yaitu kematian: “Sokrates bukanlah seorang tabib, dia berkata dengan lembut kepada dirinya sendiri; ‘kematian itu sendirilah si tabib’. Kematian semua itu melahirkan ilmu pengetahuan dan moralitas yang baru: bukan lagi moralitas yang dipandu dengan insting, naluri; membentuk keutamaan dengan mengalahkan nafsu dasariah. Penyakit Sokrates itu sama dengan penyakit yang diderita oleh Nietzsche. Penyakit Nietzsche adalah mitos mendobrak moralitas hasil rasionalitas, sebaliknya ia mengandalkan kesadaran dan hati yang dikuasai nafsu dan insting dasariah sebagai moralitas melawan moralitas bentukan rasionalitas. Jadi kesamaan penyakit Nietzsche dan Sokrates adalah sama-sama mendobrak moralitas dengan saling terbalik. Namun perbedaannya bahwa penyakit Sokrates yang membawa kematian justru menyelamatkan sementara penyakit Nietzsche memporak-porakkan kehidupan sekaligus tetap mengantar kepada kematian. Nietzsche membenci kenyataan ini.

Kebencian Nietzsche terhadap Sokrates adalah kebencian Nietzsche terhadap dirinya sendiri. Kebenciannya terhadap sosok Sokrates bersumber dari mitologi Dewa Dionisius. Dionisius adalah dewa anggur atau dewa pesta pora dan di dalam pesta pora orang mabuk dan tenggelam di dalam euforia. Maka, bagi Nietzsche Dionisius melambangkan prinsip estetika yang mendasar dan suatu kebebasan atas kekuasaan, musik dan kemabukan yang mana semuanya dapat dileburkan memjadi hasrat atau nafsu. Hasrat itu di luar rasionalitas dan suatu entitas sendiri. Akibatnya, tidak mungkin  Dionisius dikritisi dengan kacamata rasionalitas karena Dionisius berada di luar rasionalitas. Meskipun dunia yang beradab hasil moralitas berusaha menolak realitas Dionisius, Dionisius tetaplah suatu sumber bagi mitos, hasrat dan insting yang semuanya tidak dibatasi oleh rasionalitas dan moralitas.

Dalam bukunya Birth of Tragedy, anehnya Nietzsche menyebut kedatangan musik Sokrates. Ada maksud tertentu di dalam benaknya. Dengan menyebut musik Sokrates, Nietzsche mengundang setiap filsuf untuk mendedikasikan kepada musik Sokrates. Artinya merekonsiliasikan antara terang kesadaran rasionalitas denga entusiasme nafsu. Nietzsche dengan tegas menentang pengabaian total terhadap rasionalitas dan peradaban tetapi juga tidak mungkin mengabaikan sosok Dionisus yang ada di dalam diri karena jika membuang Dionisius yang bercokol di dalam diri orang akan kehilangan aspek terdalam dan terkaya dari natura manusia. Jadi, ada ambiguitas figur Sokrates di dalam diri Nietzche dan ambiguitas itu berasal dari atribut lain dewa Dionisius yaitu sebagai dewa kematian dan kehidupan. Bagi Nietzsche Socrates adalah dewa Dionysius. Mengapa? Nietzsche pun tidak mengelak bahwa kematian Sokrates yang demikian tenang adalah suatu simbol yang baru baginya. Pada saat menghadapi kematian, Sokrates begitu tenang dan tanpa takut karena dia memiliki kesadaran yang mampu mengontrol segala emosinya. Orang yang mampu mengontrol emosinya bahkan ketika dia berhadapan maut sekalipun membuktikan bahwa di atas semuanya itu. Penguasaan diri yang sempurna atau menjadi tuan atas segala sesuatunya lewat kesadaran menciptakan kesadaran transcendental yang membuat Nietzsche memujanya. Mengapa? Di balik pilihan Sokrates untuk memilih kematian demi taat pada hukum walaupun dia tak bersalah justru menunjukkan bahwa Sokrates adalah pecinta kehidupan. Dia adalah pecinta kehidupan karena Sokrates mempunyai pemikiran yang paling dalam dan inspiratif; Sokrates yang paling mencintai karena dia yang paling hidup, hanya dia yang telah melihat kehidupan dapat mengerti anak anak muda dan sebagai pecinta kebijaksanaan dia selalu mengarahkan kepada keindahan. Dengan menyebut Sokrates sebagai Dionisius -dewa kematian dan kehidupan- maka segala jalan filsafat praktisnya kembali merujuk kepada Sokrates karena ia ada di dalam kematian dan kehidupan.

Plato juga menempeli pribadi Sokrates dengan sifat Dionisius. Dalam suatu dialog The Judgment of Dionisius, dalam buku Symposium, diceritakan bahwa ada perdebatan siapa yang paling bijaksana antara Sokrates dan Agathon. Mereka menyerahkan penilaian kepada Dionisius, dengan kata lain penilaian itu ditempatkan di bawah simbol dewa anggur. Yang menjadi pemenang adalah dia yang paling banyak minum anggur dan tetap sadar di akhir perjamuan. Sokrates pemenangnya karena dia yang paling banyak minum anggur tetapi tetap terjaga dan sadar di akhir perjamuan itu. Di dalam perjamuan itu juga ada kontes pembuat puisi terbaik. Sekali lagi Sokrates tampil menjadi pemenang. Sokrates mampu membuat puisi yang sifatnya tragedi dan yang sifatnya komik sama baiknya. Sokrates meneguhkan Agathon dan Aristhopanes bahwa seorang manusia harus mampu untuk membuat kedua puisi tersebut. Kemampuan untuk membuat kedua puisi tersebut menunjukkan adanya keseimbangan antara kesedihan dan kegembiraan yang mengacu kepada Dionisius sebagai dewa kesedihan dan kegembiraan. Faktanya manusia sering dikuasai oleh salah satu dari sifat natura tersebut sehingga pada saat manusia dikuasai sepenuhnya entah kesedihan ataupun kegembiraan akan membuat diri kehilangan kesadaran. Karakter Sokrates yang seimbang baik dalam kesedihan dan kegembiraan sama dengan sosok Dionisius. Dalam sosok dewa Dionisius, Sokrates mengubah dan mengkonversi tragedi Yunani ke dalam diskursus rasional sementara komedi Yunani dijadikannya sebagai usaha untuk mencari terus pengetahuan. Memang, keseimbangan antara sukacita keseriusan yang menjadi milik puisi tragedi dan kebijaksanaan yang penuh jenaka yang adalah karakter puisi komik membangun keadaan terbaik bagi jiwa manusia.

 

Bapak Filsafat

Filsafat tidak mungkin dapat dipisahkan dari Sokrates. Belajar dan memahami filsafat berarti mengenal dan mencintai figur Sokrates. Mengapa? Sokrateslah orang yang mengajarkan apa itu filasat yang sejati. Ia meletakkan dasar-dasar fundamental filsafat dan disposisi batin untuk bergulat dengan filsafat: rasionalitas dengan kerendahan hati, cinta akan keutamaan dan moralitas, mau belajar dan mendengarkan siapa pun. Berikut salah satu kata-kata Sokrates yang membangun dasar filsafat: “Semesta telah memberikan kita dua telinga, dua mata tetapi satu lidah sehingga pada akhirnya kita harus lebih banyak mendengar dan melihat daripada berbicara”. Cinta Sokrates kepada kebijaksanaan dan usaha tiada henti untuk mencari kebijaksanaan menjadi roh bagi lahirnya filsuf-filsuf selanjutnya. Awal mula filsafat ada dalam diri Sokrates. Dengan demikian layak dan pantaslah gelar bapak Filsafat dikenakan kepada Sokrates.

Sebagai Bapak filsafat, Sokrates adalah seorang penggoda tetapi juga kelahiran hati nurani. Ia menggoda kita untuk terus mencari kebijaksanaan karena kebijaksanaan suka menggoda dan merayu hati yang merindukan kebijaksanaan. Kebijaksanaan akan mendekap bagi siapa yang mencari dirinya. Tapi ketika orang mulai jatuh cinta dengan kebijaksanaan saat itu pula hati nurani lahir. Membaca pemikiran dan sepak terjang Sokrates lewat tulisan Plato melahirkan hati nurani. Filsafat memerlukan hati nurani karena filsafat dengan hati nurani melejitkan diri kepada pemenuhan dan kebijaksanaan yang sejati. Kebijaksanaan yang sejati tidak melulu membuat diri mengerti dan mengetahui saja dalam konteks pengetahuan melainkan juga menjadikan diri yang matang dan bijak. Kebijaksanaan membawa ketenangan pikiran, kebebasan batin dan kesadaran akan kosmis. Filsafat dengan hati nurani akan menjadi instrumen yang memperbaharui cara pandang, memberikan pencerahan dan wawasan yang mendalam serta mengubah dunia. Sebaliknya, filsafat tanpa hati nurani menjadi berbahaya karena membuat orang jatuh ke dalam kesombongan, menjebak orang pada ilusi, menjauhkan diri dari kebijaksanaan bahkan menghancurkan kehidupan. FIlsafat dengan hati nurani menghasilkan sukacita karena sukacita bukanlah berasal dari kepemilikan kekuasaan, sanjungan ataupun penguasaan material melainkan suatu hati yang bijaksana dan hati yang mencintai kebijaksanaan.

Melihat dialog Sokrates dan usahanya membidani banyak orang agar sampai kepada kebijaksanaan, maka figur Sokrates pasti memiliki hati yang budiman karena kebijaksanaan lahir dan berasal dari hati yang budiman. Hati yang budiman itu memiliki kekuatan untuk menghangatkan hati yang beku, memenangkan hati yang bergejolak, menguatkan hati yang remuk redam. Hanya dengan hati bahwa orang dapat melihat dengan benar; menilai dan merasakan apa yang sebenarnya dan esensial yang biasanya tidak terlihat oleh mata ataupun terlewatkan oleh logika. Hati Sokrates telah melakukan semuanya itu dalam dialog-dialognya sehingga ia berkarya tidak hanya dalam karya rasionalitas tetapi juga dengan karya hati.

Pencarian Sokrates akan kebijaksanaan sebenarnya adalah pencarian akan Tuhan. Ia menuntun orang kepada kesadaran bahwa Tuhanlah Sang Kebijaksanaan. Berfilsafat menurutnya bukanlah melulu belajar pemikiran-pemikiran rumit para filsuf. Berfilsafat berarti mewartakan bahwa kebijaksanaan yang sejati adalah Tuhan sendiri. Manusia hanyalah setetes air yang melambangkan keagungan kebijaksanaan Tuhan. Filsafatnya mematri sebuah pesan yaitu bahwa janganlah mengandalkan kebijaksanaan manusia tetapi andalkanlah kebijaksanaan TUhan sendiri.

Sokrates adalah martir filsafat: ia mati demi keteguhannya mengejar kebijaksanaan. Sokrates telah tiada ribuan tahun lalu secara jasmani tetapi semangat dan pencarian akan kebijaksanaan tetap hidup dan ada karena ia telah menaburkan benih pencarian filsafat di setiap hati yang merindukan dan mencari kebijaksanaan. Ingatan akan dirinya selalu hidup, lebih dalam dan lebih mengena karena cintanya akan kebijaksanaan lebih kuat daripada kematian itu sendiri.

 

Tulisan ini secara garis besar disadur dari buku

Pierre Hadot dengan judul Philosophy As A Way Of Life, halaman 147-175

Daftar Pustaka

Hadot, Pierre., Philosophy As A Way Of Life,  Blackwell: Oxford, 1995

Kirby, Christopher., Socrates and The Eros of Philosophy

Plato, Symposium

Nietzsche, Friedrich, The Birth of Tragedy, London: Penguin Books, 2003

——————————–, The Twilight of The Idols and The Anti-Christ, London: Penguin Book, 1990

Zanker, Paul., Socrates As Silenus The Mask Of Sokrates: The Image of Intellectual of Antiquity, Los Angeles: University of California Press, 1995

 

[1] Sebaliknya pula bahwa jiwa-jiwa yang agung akan menjadi jiwa yang terkorupsi dan busuk daripada yang lain ketika mereka dididik di dalam pendidikan yang buruk atau di bawah bimbingan seorang guru yang buruk. Plato, Republic , 491e

[2] Friederich Nietzsche, “Sokrates and Tragedy,”Posthumus Writings 1870-1873, Second lecture, in Friedrich Nietzsche, Samtliche Werke, eds G.Colli and M. Montinari, 15 vols, Berlin 80 (hereafter Colli/ Montinari), vol.1, p.545

[3] Cicero, dalam Luculus, 15; Brutus, 292-300.

[4] Paul Zanker, Sokrates as Silenus The mask Of Sokrates: The image of Intellectual of Antiquity, Los Angeles:  University of California Press, 1995. Hal 36-39

[5] Kierkegaard juga menggunakan formula Sokrates untuk melukiskan kehidupan imannya akan Kristus. Dia tahu bahwa dirinya bukanlah seorang Kristen yang sejati. Sebabnya, menjadi Kristen berarti memiliki relasi personal dan existensial dengan Kristus; menginteriosasi Kristus dalam suatu keputusan yang bersumber dari hati yang terdalam. Relasi semacam itu mustahil. Seorang Kristen yang sejati ialah Kristus sendiri. Maka menurutnya, seorang Kristen yang benar ialah seseorang yang sadar untuk tidak menjadi Kristen sejauh dia mengenal bahwa dia bukanlah seorang kristen. Cf. Wahl, Etudes kierkegaardiennnes,pp. 387,409 n.1(on Kierkegaard’s negative theology). Lalu, bagaimana aku menjadi seorang pengikut Kristus yang sejati? Dengan mempresentasikan sebagai seseorang yang menyangkal bahwa dia seorang murid Kristus di antara mereka yang telah memproklamasikan dirinya sebagai murid Kristus. Kierkegaard mengkritisi kepalsuan dan kemunafikan orang-orang yang menyebut dirinya pengikut Kristus. Baginya orang yang demikian hanya mengikuti Kristus berdasarkan iman kerumunan, iman yang terjadi karena asal ikut. Padahal mengikuti Kristus harus berdasarkan relasi personal dengan Kristus, sejauh mana aku mengenal Kristus, bukan beriman karena mengikuti kerumunan orang yang telah menjadi Kristen.

[6] Plato, Symposium, 221c-d.

[7] Dimensi pedagogis erotis Sokrates diteguhkan oleh dua orang: Nietzsche, Introduction to the Study of Classical Philology, “semua pegetahuan terdalam hanya dapat muncul dari cinta”. Goethe, Conversations with Eckermann, “Kita hanya belajar dari mereka yang kita cintai”.

[8] Diotima juga berpendapat demikian yaitu eros sebagai daimon. Maksudnya eros bukanlah dewa atau manusia, baik atau buruk, bodoh atau bijaksana. Eros itu tak terdefinisikan dan tak tergolongkan.

[9] Christopher Kirby, Socrates and the Eros of Philosophy

Copyright © 2022 ducksophia.com. All Rights Reserved

Author: Duckjesui

lulus dari universitas ducksophia di kota Bebek. Kwek kwek kwak

Leave a Reply