Lukisan: Christ, in The Church of St. John, Gulsehir, Cappadocia, Turkey
Minggu biasa 23
Tahun C
Kebijaksanaan 9:13-18b;
Filemon 9-10, 12-17;
Lukas 14:25–33
Demikianlah diluruskan lorong orang-orang yang ada di bumi dan kepada manusia diajarkan apa yang berkenan pada-Mu, maka oleh kebijaksanaan mereka diselamatkan.
Kitab Kebijaksanan membuka suatu seruan dalam rupa pertanyaan: Manusia manakah yang dapat mengenal rencana Allah atau siapakah dapat memikirkan apa yang dikehendaki Tuhan? Seruan dari kitab kebijaksanaan yang telah berabad-abadnya lamanya menemukan jawabannya dan terungkap misterinya ketika Yesus berkata- kata kepada orang-orang yang berduyun-duyun mengikuti-Nya. Rencana Allah dan kehendak Tuhan yang dinyanyikan dalam kitab Kebijaksanaan definitif sempurna di dalam Yesus Kristus. Jadi, orang yang mengikuti Kristus mengenal rencana Allah dan kehendak Tuhan karena Yesus adalah Tuhan dan Allah. Untuk mengikuti diri-Nya seutuhnya dan sejatinya, Yesus mengutarakan syarat-syaratnya: yang pertama, Jika seseorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan bahkann nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku. Pastinya, syarat pertama tidak bisa dipahami secara literal melainkan secara metafor. Yesus tidak mengajarkan membenci keluarga untuk mengikuti-Nya tetapi mau menunjukkan bahwa orang bisa mudah jatuh dan terlekat kepada keluarga; demi keluarga orang bisa membenarkan tindakannya termasuk kejahatan dan orang akan membuang Kristus sendiri ketika diri menjadi pusat segalanya. Dengan kata lain jika keluarga dan diri sendiri menjadi satu-satunya kebaikan dan tujuan, maka kenyataan itu akan menjadi penghalang dan hambatan untuk mengikuti Kristus. Mengapa? Menjadi murid Kristus berarti mencintai Kristus lebih dari apa pun bahkan lebih daripada diri sendiri. Yesus memanggil setiap orang yang mau mengikuti-Nya kepada suatu komitment di atas segala komitmen termasuk komitmen kepada keluarga. Ketika Yesus berseru bencilah keluarga dia menunjukkan soal sikap lepas bebas dari ikatan keluarga dan diri sekaligus sikap yang mengutamakan dan mendahulukan Yesus. Secara praktis tanpa sikap lepas bebas orang tidak dapat mengikut Yesus secara sungguh-sungguh, tanpa ada keberanian melepaskan diri dari segala ikatan terutama yang terkuat yaitu keluarga, dia pasti gagal untuk menjadi murid Kristus yang sejati. Bencilah keluargamu bahkan nyawamu sendiri mengacu kepada suatu sikap dan disposisi untuk membangun ikatan yang seerat-seratnya dengan Kristus. Ikatan dengan Kristus lebih luhur daripada ikatan keluarga bahkan dari hidupnya sendiri. Sebagai pengikut Kristus, Kristus harus menjadi jiwa, pusat segala sesuatunya sebab tanpa Kristus orang tidak dapat melakukan apa pun. Cinta kepada Kristus bukan berarti membenci sesama, keluarga, bukan berarti melenyapkan ikatan dan kasih kepada mereka dan diri melainkan cinta kepada Kristus yang utama dan pertama menata dan membingkai segala cinta dan ikatan yang lain menjadi ikatan yang menyelamatkan dan membawa kebaikan. Bukankah dengan menjadi murid Kristus itu berarti menjadikan Kristus sebagai hati kita sekarang dan selama-lamanya; bukankah dengan menjadi murid Kristus berarti menjadikan Kristus sebagai cinta manis kita selalu?
Syarat yang kedua untuk mengikuti-Nya adalah memikul salib dan mengikuti-Nya. Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikuti Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku. Mengikuti Kristus berarti memilih jalan hidup Kristus termasuk gaya hidup, cara pikir, orientasi berdasarkan kehendak Yesus. Dan jalan hidup Yesus adalah jalan salib dan salib itu sendiri. Salib memang identik dengan penderitaan dan memikul salib berarti memilih penderitaan. Penderitaan sini tidak disempitkan melulu kepada penderitaan fisik seperti sakit melainkan penderitaan untuk terus bertahan dan untuk terus berkomitmen pada apa yang menjadi nilai-nilai Kristus dan hidup Kristus. Tidak korupsi walaupun di semua lini orang korupsi sehingga diri dikucilkan, tetap bertahan terus memperjuangkan keadilan walaupun tidak ada yang mendukung, memberikan hak-hak kepada orang yang menjadi haknya, para dokter yang menolak melakukan aborsi di tengah tekanan. Bukankah bertahan sendirian, dikucilkan demi mempertahankan Kristus sama dengan penderitaan dan memikul salib-Nya? Dan memang itulah yang dimau Kristus bagi orang mau yang menjadi pengikut-Nya. Salib adalah identitas setiap para murid Kristus sehingga memikul salib menyimbolkan suatu kemauan dan suatu keteguhan untuk selalu bertahan demi nama Kristus. Bahkan, di dalam salib Kristus para murid Kristus menyerahkan diri seutuhnya dalam segala hal termasuk dalam hal-hal yang tak terduga. Mengikuti-Nya dan memikul salib juga berarti berkorban untuk sesama dan ciptaan lain sebagaimana Kristus berkorban untuk kita di atas kayu salib. Berkorban tidak hanya dimaknai sebatas memberikan nyawa tetapi juga berkorban kecil dalam hidup sehari-hari, misalnya, memberikan waktu untuk sesama, menyumbang pikiran, harta, waktu demi kebaikan bersama, mau mendengarkan keluhan dan kesulitan orang lain, berani ambil resiko membuat keputusan demi kepentingan umum, menolong tanpa pamrih dan sebagainya. Kemuridtan tidak hanya berarti mengikuti Kristus dengan salib kita tetapi juga kemuridtan berarti menyatakan Kristus yang tersalib bagi sesama. Dengan mengikut Kristus dan memikul salib Kristus hadir bagi kita dan hadir bagi mereka yang melihat kita.
Syarat yang ketiga untuk menjadi murid Kristus adalah melepaskan dirinya dari segala miliknya. Demikian pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala milikinya, tidak dapat menjadi murid-Ku. Dengan perkataan tersebut, Kristus mengajak setiap muridnya untuk tidak melekat secara berlebihan pada hal-hal ciptaan entah itu kekayaan, kesehatan, kekuasaan, jabatan, kepintaran dan seterusnya. Sikap lepas bebas dari kepemilikan bukan bermaksud tidak peduli, acuh tak acuh atau cuek terhadap kehidupan melainkan bersedia menerima dan menggunakan segala sesuatunya sejauh sesuai dengan tujuan utama yaitu memuji, memuliakan Kristus dan menyelamatkan kehidupan. Kepemilikan memang harus ada, tetapi harus digunakan sebagai sarana dan tujuan kedatangan kerajaan Kristus di mana tak dikenal lagi relasi tuan dan budak, melainkan sesama saudara. Sikap lepas bebas menyatakan kebebasan dari segala keterikatan yang menghalangi diri untuk mencintai Tuhan dan sesama dan ciptaan secara murni. Sikap lepas bebas bukan tidak mencari dan memiliki kesehatan, harta atau kekusaaan. Bukan itu yang dimaksud dengan sikap lepas bebas dari kepemilikan melainkan disposisi, hati dan hidup yang tidak dimiliki oleh siapa pun dan apa pun selain dimiliki oleh Kristus sendiri. Kelekatan pada kepemilikian menjadikan diri budak sehingga hidup tidak memiliki kebebasan, diri menjadi terpenjara secara batin, psikologis dalam setiap kondisi dan situasi. Saya bahagia jika saya dapat promosi. Kenyataan ini adalah kelekatan sementara sikap lepas bebas saya tetap bekerja dengan setia dan baik karena tujuan saya bekerja adalah melayani Kristus lewat pekerjaan saya, seandainya saya diberi promosi syukur, tidak pun saya tetap bekerja dengan baik. Saya menguasai orang karena takut kehilangan pengaruh atau demi mencari pengakuan, memanfaatkan demi kepentinganku, sementara sikap lepas bebas adalah tetap mengasihi dan memperlakukan setiap orang sesuai martabatnya tanpa menjadikan sesama sebagai pusat yang menentukan nilai diriku. Relasiku dengan teman, sesama adalah untuk saling menolong dan mengantar diri dan orang lain menuju kepada kebaikan Tuhan. Sikap lepas bebas dari keterikatan kepemilikan membuat diriku sungguh menenemukan bahwa cukuplah Kristus dan itulah yang membuatku mampu memilih mencintai Kristus, sesama dan ciptaan dan hidup dengan kebebasan yang sejati. Lewat kebebasan sejati, pilihanku mengikuti Kristus mendekatkan aku satu sama lain, hidup sebagai saudara bersama orang lain seperti hidup persaudaraan antara Paulus, Filemon dan Onesimus.
Mengikuti Kristus bukanlah perkara dan iman yang mudah tetapi mengikuti Kristus mensyaratkan kesetiaan dan komitmen yang dalam kepada Kristus di dalam situasi dan kondisi apa pun. Untuk itu, sejak semula Kristus telah memberitahukan kepada kita secara fair segala syarat untuk mengikuti diri-Nya. Orang harus mengkalkulasi harga yang harus dibayar dan menghitung konsekeuensi sebelum dia memutuskan mengikuti Yesus. Dia harus menimang-nimang, memperhitungkan, berpikir sungguh-sungguh, matang dan jeli akan syarat, tuntutan dan resiko sebelum dia berkomitmen penuh kepada Yesus. Sebab siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu? Supaya jikalau ia sudah meletakkan dasarnya dan tidak dapat menyelesaikannya, jangan-jangan semua orang yang melihatnya, mengejek dia, sambil berkata: Orang itu mulai mendirikan, tetapi ia tidak sanggup menyelesaikannya. Atau, raja manakah yang kalau mau pergi berperang melawan raja lain tidak duduk dahulu untuk mempertimbangkan, apakah dengan sepuluh ribu orang ia sanggup menghadapi lawan yang mendatanginya dengan dua puluh ribu orang? Jikalau tidak, ia akan mengirim utusan selama musuh itu masih jauh untuk menanyakan syarat-syarat perdamaian. Mekanisme dan cara hitung-hitungan-kalkulasi yang rinci dan jeli harus seperti orang yang membangun menara atau raja yang berperang supaya nantinya dia tidak kecewa, putus asa, patah hati kemudian mutung sehingga pilihan dan keputusannya mengikuti Kristus justru membuat hidupnya berantakan dan kacau-balau. Di samping itu, menghitung harga untuk mengikuti Kristus diperlukan karena pilihannya mengikuti Yesus tidak dijatuhkan sekali dan selamanya tetapi setiap kali dia harus memilih lagi di setiap momen hidupnya, apakah mengikuti Kristus atau berhenti. Artinya, hanya dengan seiring berjalannya kehidupan, seseorang mulai dapat memperhitungkan biaya sepenuhnya. Dengan kalkulasi seperti pembangun menara dan seperti hitungan raja yang berperang melawan raja lain, Yesus memperingatkan dia yang memilih mengikuti-Nya untuk mengantisipasi “kelebihan biaya” yang signifikan. Sebabnya, kelebihan harga yang harus dibayar-Nya adalah salib di Kalvari, harga over price yang harus dibayar para pengikut-Nya adalah salib di Kalvari sesuai yang telah dikatakan oleh Yesus jauh-jauh sebelumnya kepada orang yang hendak mengikuti-Nya. Mengikuti Kristus jelas sangat mahal harganya, undangan mengikuti diri-Nya menuntut totalitas dan bukan harga yang murah, iman yang murah, komitmen yang murah atau kaleng-kaleng. Harga yang murah, komitmen yang kaleng-kaleng di dalam mengikuti Kristus tentu tidak membebani dan jelas menafikan tanggung jawab dan cinta yang tulus. Mengikuti Kristus dengan harga yang murah, iman yang murah, dan secara kaleng-kaleng menjadikan baptisan tanpa disiplin gereja, pengampunan tanpa pertobatan, rahmat tanpa salib, sukacita tanpa Yesus. Harga yang murah menjadikan pengikut yang murahan juga, tanpa qualitas iman dan kasih yang sejati. Sebaliknya, harga yang mahal, iman yang sejati, komitmen dihidupi sungguh-sungguh setelah dihitung dan dikalkulasi dengan rinci, akurat dan penuh pertimbangan justru membuat diri mengikuti Kristus dengan sadar akan pilihannya, akan rahmat yang diterima dan tahu dan mengerti dengan baik resikonya karena harga yang mahal pastinya menuntut pengorbanan tetapi juga satu-satunya sumber kehidupan kemuridtan yang sejati dan utuh. Tiada kekristenan tanpa salib dan tanpa kesetiaan pribadi kepada Kristus.
Mengikuti Kristus dengan syarat-syarat yang telah disebutkan di atas terasa seperti mission impossible secara akal budi ibarat yang dikatakan oleh kitab Kebijaksanaan sendiri: pikiran segala makhluk yang fana adalah hina dan pertimbangan kami tidak tetap. Sebab jiwa dibebani badan yang fana dan kemah dari tanah memberatkan budi yang banyak berpikir. Memahami dan menjalani hidup duniawi saja sudah sulit apalagi menjalani hidup kemuridtan Kristus dengan tuntutan seperti itu. Kita menggeretu: Sukar bagi kami menerka apa yang ada di bumi dan dengan susah payah kami menemukan apa yang ada di tangan, tetapi siapa gerangan telah menyelami apa yang ada di surga?
Ikatan antara Kristus dan kita yang dipatri dengan salib tidak dapat dipisahkan dan dihancurkan oleh apa apun dan siapa pun selama salib dan komitmen kepada Kristus dipegang teguh dan dihidupi. Karena di dalam salib yang dipegang dan komitmen yang dhidupi dengan tulus ada rahmat-Nya yang membantu orang untuk menjadi murid-Nya yang sejati, ada kebijaksanaan Kristus yang menopang setiap keputusan yang diambil dan Roh Kudus yang membimbing diri menyusuri kehidupan sebagai murid Kristus. Dengan demikian, kebijaksanaan Kristus sendiri yang membimbing setiap orang yang mengikuti diri-Nya secara benar dan membawa diri kepada keselamatan. Siapa gerangan sampai mengenal kehendak-Mu, kalau Engkau sendiri tidak menganugerahkan kebijaksanaan dan jika roh Kudusmu dari atas tidak kau utus. Demikianlah diluruskan lorong orang-orang yang ada di bumi dan kepada manusia diajarkan apa yang berkenan pada-Mu, maka oleh kebijaksanaan mereka diselamatkan. Berani menjawab dan memenuhi ketiga syarat dalam mengikuti Kristus?? Tentu orang yang bijaksana akan menghitung dengan matang.
Berikut adalah sebuah kisah nyata bagaimana seseorang mengikuti Kristus seperti syarat-syarat yang dikatakan oleh Yesus sendiri. Sir Thomas More adalah seorang pengacara dan penulis politik yang dianggap sebagai tokoh besar dengan nilai-nilai Katolik. Tak heran jika Henry VIII, Raja Inggris, memilihnya sebagai Lord Chancelor, yang merupakan posisi penting dan bergengsi dalam sistem politik Inggris. Namun, kebesaran Thomas More bukanlah gelar yang dimilikinya, melainkan kesetiaan dan ketegasannya dalam membela nilai-nilai kekristenan, dalam mempertahankan nilai-nilai yang ditegaskan Yesus, dan demi menjadi murid Kristus yang sejati. Henry VIII belum memiliki keturunan sehingga ia menyalahkan istrinya, Ratu Catherine. Karena alasan ini, Henry VIII mengumumkan Undang-Undang Suksesi yang berisi pembenaran untuk menceraikan Catherine dan menjadikan Anne Boleyn—istri kedua Henry VIII—sebagai pewaris takhta Inggris. Tentu saja, Undang-Undang Suksesi tersebut menguat dalam situasi politik saat itu karena Inggris membutuhkan penerus. Kemudian, Henry meminta Paus Clemens VIII untuk menyatakan pernikahannya dengan Catherine sebagai perkawinan yang tidak sah dan batal demi hukum. Paus dengan tegas menolak permohonan Henry, dan sebagai konsekuensinya, Henry VIII memutuskan untuk mengakhiri semua hubungan dan asosiasi dengan Gereja Katolik Roma sekaligus mengangkat dirinya sendiri sebagai Kepala Tertinggi Gereja Inggris. Semua komponen dalam sistem politik Inggris, termasuk Gereja Inggris, sepakat dan mendukung gerakan politik Henry ini. Namun Thomas More, sang Kanselir Agung, menolak inkonsistensi politik ini dan menolak untuk mengambil sumpah untuk Undang-Undang Suksesi. Akibatnya, Thomas More dipenjara di Menara London pada tahun 1534. Thomas More, dengan keyakinannya, tidak dapat menyetujui pernikahan kedua Henry dengan Anne, dan ia tidak dapat mengakui Raja sebagai kepala tertinggi Gereja Inggris. Istrinya memohon kepadanya demi keluarganya dan demi dirinya untuk bersumpah kepada raja. Bahkan, putri kesayangannya, Margaret More, membujuk ayahnya untuk mengambil sumpah agar keluarga dapat mengunjunginya di penjara. Namun sekali lagi Thomas More menghapuskan dan menolak semua bujukan ini. Ia menghabiskan lima belas bulan sendirian di penjara di Menara London – dalam kondisi kesehatan yang buruk, terisolasi dari tahanan lain, kehilangan buku-buku kesayangannya; bahkan kertas dan pena pun tidak diberikan kepadanya. Thomas More dihukum karena pengkhianatan, dijatuhi hukuman mati dan, pada tanggal 6 Juli 1535, dipenggal. Saat naik ke tempat pemasungan, Thomas More menyatakan bahwa ia adalah “hamba raja yang baik, tetapi yang terutama baginya adalah Kristus.” Sejak dieksekusi dan komitmen penuhnya terhadap kebenaran sebagai murid Kristus selama hidupnya, gelar Sir Thomas More berubah dan dihormati sebagai Santo Thomas More. Santo Thomas More membayar harga untuk mengikuti Yesus dengan mengasihi Yesus lebih dari istri, anak-anak, bahkan nyawanya sendiri, memikul salib dan melepaskan segala miliknya demi cintanya kepada Yesus.[1]
[1] Diinspirasi dari kotbah Fr. Tony Kadavil
Copyright © 2025 ducksophia.com. All Rights Reserved
Tulisan yang kontemplatif dan inspiratif