Lukisan: Paul Gustave Fischer, Waiting for The Tram
Bahasa adalah suatu kulit: aku menggosokkan bahasaku melawan satu sama lain. Seolah-olah aku memiliki kata-kata, bukan jari-jari, atau jari-jari di akhir kata-kata. Bahasaku bergetar dari hasrat. Emosi berasal dari kontak ganda: di satu sisi, segala aktivitas diskursus secara diam-diam dan tidak langsung mengungkapkan penandaan unik, yaitu aku menghasratkanmu (emosi) dan aku membebaskan emosi:aku memberi makan emosi, aku mengembangkan emosi,aku meledakkan emosi (bahasa menikmatinya dengan menyentuh dirinya sendiri); di sisi lain, aku membungkus emosi satu sama lain dengan kata-kataku, aku membelainya, aku menyikatnya, aku mempertahankan kesenangan ini, aku menghabiskan waktu untuk melangsungkan komentar yang mana relasi itu kukirimkan.
Roland Barthes
Percakapan antara aku dan kamu menciptakan suatu peristiwa di dunia karena adanya makna, pesan dan intensi yang termuat di dalam percakapan kita. Makna, pesan dan intensi tersampaikan dan terpahami berkat realitas tubuh. Manusia mengada di dalam ruang dan waktu melalui tubuhnya sehingga tubuh sebagai media kehadiran membuat segala sesuatunya yang berkaitan dengan manusia menjadi konkret termasuk pesan, makna, dan intensi percakapan. Jadi, tubuh adalah bukti eksistensi manusia di dunia yang tidak dapat disangkal; tubuh memberikan kehadiran manusia secara konkret di dalam dunia. Dengan tubuh, kita dapat beraktivitas seperti berpikir,merasakan, meraba, beraksi, mencercap dunia; sebaliknya tanpa tubuh segala aktivitas manusia tidak mungkin ada. Maka, tubuh adalah sumber persepsi, suatu self-natural, sumber intensi dan pengalaman sehingga tubuh bukan hanya sebuah sensasi atau mekanisme jaringan biologis melulu (Marleau-Ponty, 1998: 206). Selanjutnya, karena tubuh keberadaan kita dapat diinderai, dilihat, dirasakan, dinilai oleh orang lain dan dunia. Tubuh memuat bukti empiris ketersalingan (resiprositas) aku dan kamu. Artinya, tubuhku dan tubuhmu menunjukkan bahwa tubuh di dalam representasi dan kehadirannya bukanlah suatu tubuh yang tunggal dan tertutup tetapi dikelilingi oleh tubuh-tubuh lain yang saling berelasi. Akibatnya, tubuh di dalam jaringan hubungan yang demikian mengungkapkan suatu pemaknaan representatif dan suatu realisasi dari aku personal dalam ada bersamanya dengan kamu. Aku sendiri tidak dapat menyatakan diriku kepada dirimu dan aku tidak dapat pula memasuki suatu misteri tentang kamu yang berdiri di hadapanku jika tidak dimediasikan oleh tubuh yang konkret bahkan bahasa dinyatakan dan diaktualkan oleh tubuh itu sendiri. Kata-kata yang diucapkan (tidak hanya tingkah laku) menjadi area dan ranah tubuh konkret manusia. Dimediasikan dan direpresentasikan dengan tubuhnya, manusia selalu terbuka dan dapat diakses oleh sesamanya dan dunia. Bertubuh juga mengacu kepada tindakan subyek yaitu apa yang dilakukan subyek dan juga menunjukkan identitas subyek (siapakah subyek) berkat adanya aspek diri (self). Self menjadi realitas karena tubuh, self terakses karena tubuh sehingga eksistensi tubuh juga mengungkapkan aspek dari kedirian (selfhood). Bagi Marleau-Ponty dengan berkontak terus-menerus dengan tubuh dan dunia, diri (self) ditemukan kembali. Sebelum berkontak, diri (self) hanyalah sebagai agen fisik yang terikat dalam tubuh di dunia yang dikelilingi oleh tubuh-tubuh lain. Dalam makna ini arti self masih tersembunyi karena seseorang pada tahapan tidak berbeda dengan sebuah pohon, sebuah kursi. Self itu melekat pada tubuh lalu arti self terbentuk dan terurai karena tubuh yang berdinamika di dalam tindakannya, relasinya, komunikasinya dan pemaknaannya bersama dengan yang lain dan dunia. Self yang termaknai mengkristal menjadi identitas. Lalu, manusia bersama dengan tubuh dan identitasnya menjawab pertanyaan siapakah manusia dan apakah manusia. Konsep person (orang) yang digagas oleh Strawson sebagai tubuh yang memiliki dua predikat yaitu fisik dan psikologi ditambah dan dilengkapi dengan identitas. Tubuh dilekatkan dengan konsep person (keorangan) sehingga tubuh bukan sekedar materi tetapi tubuh memiliki keunggulannya. Mempertahankan keunggulan tubuh dalam konsep person (keorangan) memiliki keuntungan tambahan bahwa segala peristiwa mental (kognisi, afeksi, emosi, kehendak) dikaitkan dengan ketubuhan orang dalam arti “seseorang”. Seseorang adalah tubuh yang memiliki fisik, mental, dan identitas karena adanya aspek kedirian (selfhood). Interaksi tubuh dengan segala yang ada, pembentukan self yang terjadi melalui tubuh dan eksistensi tubuh dalam ruang dan waktu berarti tubuh menyanyikan dunia sebab tubuh diresapi dengan kognisi, dibentuk oleh waktu, ruang, dan yang lain sekaligus berkomunikasi dan berelasi untuk mengaktualkannya. Menilik kehadiran tubuh sebagai yang demikian, tubuh pun dapat dipahami sebagai suatu ada, being yang datang ke dunia dalam modus inkarnasi (Riceour, 1992: 55). Modus inkarnasi tubuh menyatakan anomali tubuh yaitu bahwa secara simultan tubuh adalah suatu kenyataan yang menjadi milik dunia dan tubuh adalah organ milik dari suatu subyek tetapi tidak menjadi milik obyek-obyek ketika tubuh berkata dan berinteraksi dengan obyek-obyek tersebut. Tubuhku adalah tubuhku dan tubuhmu adalah tubuhmu. Kepunyaanku (mine) dapat dipredikatkan kepada segala yang ada misalnya rumahku, sepedaku termasuk property dan identik dengan kata sifat yang dapat ditransfer. Misalnya kata sifat merah, aku dapat mengatakan mobil merah, buku merah, jas merah. Namun ketika kata punyaku (mine) dikaitkan dengan tubuh terjadilah anomali karena tubuhku tidak dapat ditransfer menjadi tubuhmu. Tubuhku tidak dapat menjadi tubuhmu dan sebaliknya pula tubuhmu tidak dapat menjadi tubuhku. Definitif, tubuh dialami dan dihidupi sebagai kepemilikian dari suatu diri yang unik.
Salah satu aktivitas natural tubuh adalah berbahasa, tubuh berkata lewat bahasa; dengan bertubuh manusia ditempatkan di sini dan sekarang sekaligus berucap melalui bahasa. Tubuh adalah bahasa sebab ia tidak hanya mengatakan atau menggambarkan suatu kehadiran fisik-eksterioritas tetapi tubuh dan setiap bagiannya juga mengatakan tujuan batiniah (interioritas). Dengan demikian, bahasa tidak pernah terpisah dari tubuh. Tubuh menciptakan makna, arti dan diungkapkan lewat mulut-suara dalam tata bahasa yang menjadi ucapan. Dalam dinamikanya dengan dunia, tubuh berkata dari kumpulan pengalaman umum yang mengendap di dalam dunia, sepenuhnya dan terus-menerus dan terlibat dalam pemaknaan dunia. Pengalaman umum yang bersumber pada dunia kemudian pemaknaan kepada dunia mengenali dan mengukir realitas melalui kata karena kata adalah isyarat yang terbentuk dari penggunaan tubuh sementara arti kata mengacu kepada dunia. Penyambung internal antara subyek yang bertubuh dengan tubuh-tubuh lain dan dunia adalah bahasa. Bahasa menjadi akses dan jembatan komunikasi bagi aku, orang lain dan dunia. Bahasa sebenarnya mengungkapkan suatu pengalaman prelinguistik dari dunia karena bahasa mengacu kepada dunia yang sebenarnya sudah diberikan kepada penutur. Tak pelak, bahasa bersandar pada dunia karena natura bahasa yang bersifat ekspresif, eksistensial dan referensial. Karakter bahasa yang ekspresif membuat manusia diposisikan untuk mengekspresikan dan mewujudkan suatu komunikasi yang benar dengan sesamanya dengan menyebut obyek-obyek melalui nama dan menyisipkan konteks-konteks linguistik dengan sinonimnya. Bahasa adalah eksistensial karena dengan bahasa, dunia dapat ditinggali, dimaknai, diinterpretasi dan manusia bisa mengenali tidak hanya apa yang diketahui tetapi juga mendapatkan pengetahuan. Konteks bahasa sebagai referensial mengacu kepada diri sebagai referensi. Referensi diri menjadi pusat karena segala ucapan kembali kepada aku sebagai subjek bahasa. Ketiga sifat bahasa membawa kepada suatu fakta bahwa manusia sejatinya adalah ada bahasa yang adalah anugerah. Manusia sebagai ada bahasa melumatkan segala status realitas anonim dan kebinatangannya karena dengan bahasa ia menciptakan pemaknaan dari manusia dan untuk manusia.
Pemaknaan bahasa berlangsung dalam suatu keberadaan waktu dan sejarah. Waktu dan sejarah justru membuat relasi yang dibuat bahasa bukan sebagai relasi tertutup yang sifatnya mortal karena adanya kontinuitas bahasa yang diucapkan terus-menerus. Di sini peran ucapan terhadap bahasa menjadi relevan. Tanpa pengucapan, bahasa akan membisu, hilang dan mati di dalam waktu dan sejarah. Tanpa ucapan, bahasa menjadi beku di dalam tulisan dan inksripsi melulu sebagaimana bahasa-bahasa kuno yang telah terputus di dalam waktu dan sedimentasi sejarah. Hieroglyph Mesir, bahasa Paku orang Sumeira, bahasa Latin hanya menjadi objek arkeologi, arsip-arsip kuno dan bahasa dokumen setelah mereka tidak diucapkan lagi. Penanda waktu dan sedimentasi sejarah mengafirmasi bahwa bahasa membentangkan subyek yang bertutur kata sampai dengan tindak tutur (speech act).
Lalu, bahasa dan subyek yang bertutur kata menetaskan ucapan dalam gramatika, aturan, dan tata bahasa. Subyek bertutur kata karena tutur kata merupakan sarana yang mengacu kepada aku sebagai referensi diri. Peran bahasa sebagai komunikasi dan interaksi teraktual karena adanya alat ucap suara yang berbentuk suatu ucapan atau tindak tutur. Setiap ucapan yang dituturkan oleh penutur memiliki pesan, makna dan maksud tertentu sesuai dengan tujuannya masing-masing. Tidak mengherankan kalau ucapan adalah bagian dari kekuatan ekspresi natural tubuh (Marleau-Ponti, 1998: 181). Hal itu dapat dibuktikan setidaknya dari segala yang terjadi dan ada di dalam tubuhku, misalnya pemikiran, perasaan yang dinyatakan di dalam ucapan.
Semuanya diungkapkan dalam ucapan. Ketika tanganku tertusuk duri, aku menggunakan kata untuk mendiskripsikan tanganku yang tertusuk duri itu. Kata tersebut muncul dari dunia linguistikku. Dengan bahasa, aku hanya memiliki satu cara untuk mempresentasikannya yaitu mengucapkannya, sebagaimana seniman hanya memiliki satu cara untuk memepresentasikan pekerjaan yang dia kerjakan: dengan melakukannya (Marleau-Ponti). Dengan mengucapkan bahasa bukan hanya merupakan kesan bunyi dan kaidah-kaidah yang abstrak secara potensial tersimpan dalam benak. Dengan mengucapkan kesunyian pikiran dipecah, pikiran tidak lagi terbekap di dalam dunianya yang soliter tetapi menjadi yang terkomunikasikan kepada orang lain. Dengan ucapan, cogito (aku berpikir) tidak lagi menjadi aku yang terisolasi ataupun aku yang soliter karena ucapan tidak menutupi pikiran tetapi justru membuat pikiran menjadi pemikiran yang aktif di dunia. Ucapan membuktikan bahwa manusia adalah ada kata. Natura kata membuat manusia secara natural menolak untuk tidak merealisasikan dirinya karena melalui bahasa mau tak mau manusia mengenali dirinya dan dikenali dalam kesatuan aku dan eksistensi relasionalnya. Juga adalah bahasa yang membuat hal objektif menjadi mungkin karena ucapan memverikasi dan dalam bahasa manusia dilibatkan di dalam persona pertama yaitu aku karena aku -persona pertama- selalu mengucapkan kata yang ada di dalam dunia linguistikku dan tubuhku.
Ucapan pada dasarnya bersifat intersubjektif karena ucapan mengakui keberadaan orang lain, dengan berucap definitif ia mengucapkan kepada orang lain. Natura ucapan menunjukkan suatu kebenaran bahasa bahwa bahasa dalam cara apa pun realisasinya selalu membutuhkan sebuah relasi pertukaran (aku-kamu). Setiap kata yang kiranya penting nilai referensial dan informasinya selalu diformulasikan dari titik tolak siapa aku bagimu, siapa kamu untukku dan selalu bekerja dalam pola tersebut. Bahkan setiap kata, meskipun direduksi pada fungsi perantara yang sederhana yaitu sebagai komunikasi ataupun informasi tetaplah meminta identifikasi melalui tindakan yang didasarkan kepada identitasku dan identitasmu. Bahasa tidak berkutat melulu pada diriku sekaligus bahasa menolak monopoli yang didominasi oleh aku ataupun oleh kamu. Hal ini membuktikan bahwa yang kita katakan, apa pun maksudnya, kita mengatakannya kepada orang lain dan juga sebaliknya bahwa orang lain mengatakannya kepada kita. Aku menggunakan bahasa tetapi juga selalu ada orang lain yang aku ajak berbicara. Maka, ucapan bukanlah melulu bunyi verbal ataupun murni aktivitas harafiah ataupun gerak isyarat. Ucapan pada dasarnya merupakan aktualisasi kodrat sosial dari eksistensi manusia sehingga ucapan terikat erat dengan dunia pada tingkat individu dan budaya.
Justru ketika ucapan terikat dengan tingkat individu dan budaya, fungsi bahasa untuk mengidentifikasi teruraikan. Menurut Ricoeur, kita menggunakan bahasa untuk mengidentifikasi hal-hal di dunia dengan mengkaitkan individu-individu sebagai suatu identitas dengan menggunakan tingkatan spesifikasi yang berbeda. Peran bahasa sebagai identifikasi memiliki peran sentral bagi kinerjanya. Identifikasi dapat diartikan sebagai kebalikan dari kategorisasi dan suatu tipe yang bersifat tidak terbagi dan tanpa berulang tanpa pergantian. Ada tiga cara untuk mengidentifikasi sesuatu (Riceour, 1992: 28): Pertama, deskripsi. Deskripsi definitif menciptakan suatu kelas dengan anggota yang tunggal misalnya manusia yang berjalan di bulan. Kedua, nama yang sesuai. Nama yang sesuai mengacu kepada suatu individu tunggal tanpa memberikan informasi tentang individu tersebut (Silvester, Benjamin, Jakarta). Ketiga, kata ganti orang (aku, kamu dia) dan deiktik seperti kata penunjuk /demonstratif (ini, itu), keterangan tempat (di sini, di sana) dan keterangan waktu (kemarin, sekarang) dan waktu kata kerja (tenses of verb). Identifikasi yang ketiga ini mengindividualkan dengan referensinya kepada penutur.
Kategorisasi memproduksi konseptualisasi sebagai hasil abstraksi akal budi dan belum mengindividukan. Contoh kucingku, di atas tikar. Di sini hanya terjadi konseptualisasi dan kategorisasi sehingga belum ada pengindividuan. Hebatnya, bahasa tidak membatasi kita untuk hanya sekedar mengkonseptualisasi dan mempredikatkan melulu karena dengan bahasa kita mengindividukan dengan suatu pandangan untuk mendeskripsikan secara lebih. Memang konseptualisasi pertama-tama menyangkut kategorisasi dan predikasi diri kita, orang lain, dunia sebagai hal yang ditafsirkan secara luas. Produk dari konseptualisasi adalah universalitas dan dalam universalitas semuanya masih terlebur menjadi satu atau belum ada spesifikasi. Tetapi bahasa memperbaiki apa yang telah dibuat oleh konseptualisasi. Sebabnya, bahasa memiliki sumber daya yang disebut dengan operator individualisasi yang memindahkan dan membuat bahasa melampaui obyek predikasi melulu. Bahasa mengindividukan dan mengkonkretkan. Oleh karena itu, seseorang dapat berkata, kucingku, Silvester, di atas tikar. Bandingkan dengan kucingku, di atas tikar. Yang pertama ada identifikasi yaitu pengindividuan dan yang terakhir belum ada konkretisasi sehingga masih berupa kategori. Dalam kinerja operator individualisasi, realitas diidentifikasi secara gamblang dan spesifik oleh bahasa. Dengan demikian bahasa memiliki prosedur desainnya yang mengarah kepada contoh individual. Kemudian, lewat prosedur desainnya yang berbeda-beda bahasa hanya memiliki tujuan untuk menggambarkan individu (Riceour, 1992: 30). Tujuan penggambaran individu amat relevan di dalam percakapan antara aku dan kamu. Sebabnya, aku dan kamu, sebagaimana deiktik lainnya, mempertahankan fokusnya pada percakapan bahasa sebagai hal (peristiwa verbal) di dunia. Dalam makna yang sesungguhnya, misalnya ketika aku berkata bahwa kamu di sini sekarang, fokusnya adalah pada percakapan itu sendiri sebagai suatu operasi identifikasi suatu individu sebagai suatu hal. Dan bagi Riceour individu diartikan sebagai dia yang dapat menggambarkan diri (1992: 32). Tubuh, bahasa dan ucapan terangkai membentuk gambaran manusia yang seutuhnya karena seorang manusia adalah dia yang dapat menggambarkan diri.
Bibliography
Marleau-Ponty. Phenomenology of Perception. Translated by Colin Smith. London: Routledge, 1998
Read, Janet. Metaphoric Truth: Seeing and Saying in Merleau-Ponty and Ricoeur, Ethics via Zuidervaart. Toronto: Institute for Christian Studies, 2010.
Reagan, Charles E. Paul Riceour: His Life and Work. Chicago: University of Chicago Press, 1998
Ricoeur, Paul. Oneself as Another. Translated Kathleen Blamey. Chicago: University of Chicago Press, 1992
———. From Text to Action: Essays in Hermeneutics, II. Translated by Kathleen Blamey and John B. Thompson. Evanston, IL: Northwestern University Press, 1991.
———. Interpretation Theory: Discourse and Surplus of Meaning. Texas: Fort Worth, 1976
Copyright © 2020 ducksophia.com. All Rights Reserved
Tulisan yg inspiratif