Bagian I
Lukisan: Édouard Vuillard, Le Salon de Madame Aron,1911-12
Tuturan adalah cermin jiwa;
pada saat dia bertutur kata, demikianlah dirinya
Pubilius Syrus
Pengertian, kedudukannya dan fungsinya dalam linguistik
Kita selalu bertutur kata dalam relasi kita dengan orang lain. Tuturan atau ucapan kita bisa menyatakan perasaan, pikiran, pendapat ataupun sekedar memberikan informasi. Tuturan memang merupakan suatu realitas manusiawi dan aktivitas biasa, sederhana yang mengisi dan mewarnai hidup sehari-hari yang menunjukkan bahwa kodrat kita adalah ada bahasa ataupun ada yang komunikatif.
Tuturan berupa kata-kata yang terangkai menjadi kalimat yang dilontarkan oleh penutur kepada mitra tutur. Dalam konteks dan saat tertentu tuturan yang terucap dapat berarti lebih daripada sekedar susunan huruf maupun bunyi bahasa: ia dapat menetaskan aksi-perbuatan sehingga dalam pertuturan yang berlangsung terbentuklah tindakan. Itu berarti bahwa tuturan tidak bisa dimaknai melulu hanya sebagai sekedar tuturan-ucapan, mengatakan sesuatu dan kata-kata saja. Ada suatu perbuatan-aksi yang ditunjukkan oleh penutur secara langsung ataupun tak langsung ketika ia bertutur kata dengan mitra tuturnya. Kinerja bahasa yang demikian ataupun tindakan yang dihasilkan oleh tuturan disebut tindak tutur (speech act). Ia disebut demikian karena ia adalah tuturan yang memproduksi dan menciptakan tindakan-aksi.
Konsep tindak tutur pertama kali dikemukakan oleh J.L. Austin pada tahun 1962 dan kemudian diperdalam oleh muridnya J.R. Searle pada tahun 1969 yang mana keduanya adalah para filsuf bahasa. Bagi mereka, tindak tutur memiliki peran yang amat signifikan, esensial dan determinatif di dalam komunikasi bahkan tindak-tanduk komunikasi tidak mungkin melepaskan dirinya dari tindak tutur. Tanpa adanya tindak tutur, ada manusia dengan segala eksistensinya tidak mungkin terwujud. Sebabnya, dalam kehidupan sehari-hari kita menggunakan tuturan untuk mengerjakan, menyelesaikan dan mengeksekusi suatu tindakan demi berlangsungnya hidup tetapi dalam wujud kata (Searle). Malahan, Austin menggaris-bawahi bahwa justru sebagian dari tuturan kita merupakan tindakan karena tuturan bukan hanya sekedar kata, deskripsi tentang realitas dan informasi tetapi tuturan adalah tindakan; mengucapkan sesuatu berarti melakukan sesuatu atau setidaknya bagian dari suatu tindakan.
Biasanya, tindak tutur selalu terdiri dari kalimat performatif (Searle:1969,4-5). Disebut kalimat performatif karena verba (kata kerja) yang terdapat di dalam tuturan menampilkan dan menyuguhkan aksi, tindakan tertentu misalnya verba berjanji, deklarasi, menyuruh, dan seterusnya. Dalam kalimat performatif, tindak tutur bergantung pada verba dan perbedaan verba dalam tindak tutur merupakan akses dan sarana langsung sekaligus menentukan untuk terciptanya perbedaan-ragam tindakan. Tindak tutur adalah tuturan tetapi sebagai tindak verbal yang terjadi dalam situasi tertentu. Tidak mengherankan kalau tindak tutur berbeda dengan tindakan fisik seperti menulis sebuah puisi, ataupun tindakan mental seperti memikirkan untuk menulis sebuah puisi. Tindak tutur mencakup kata dan perbuatan. Contohnya: aku meminta semangkuk sup sayur (hasilnya mitra tutur memberikan semangkuk sup sayur), aku berjanji untuk menghabiskan semangkuk sup sayur (hasilnya semangkuk sup sayur pun dilahap oleh aku), aku menyuruh temanku untuk memakan semangkuk sup sayur (hasilnya, temanku memakan semangkuk sup sayur). Wujud tindak tutur bisa berupa permintaan, peringatan, janji, permintaan maaf, salam, atau sejumlah pernyataan. Contoh-contoh tersebut menegaskan bahwa ada aksi yang tercipta dari tuturan penutur karena tindak tutur merupakan tindakan yang diharapkan oleh penutur dengan cara memprovokasi dan menstimulus mitra tuturnya. Tidak itu saja bahwa tindak tutur mengacu kepada peristiwa tertentu yang mana bahasa hadir dalam rupa tindakan komunikatif.
Austin membedakan ucapan sebagai ucapan konstatif dan tindak tutur. Ucapan yang bersifat deskriptif, informatif disebut dengan ucapan konstatif sementara ucapan yang berarti melakukan disebut tindak tutur. Contoh ucapan konstatif: ada apel di atas meja, burung terbang melayang di angkasa. Dua ucapan ini hanya sekedar memberikan informasi dan deskripsi. Ucapan konstatif dapat diuji dan dinilai dengan benar atau salah. Contoh tindak tutur kata: seorang hakim berkata di dalam pengadilan: Saya dengan ini membebaskan anda dari segala tuduhan. Hakim tersebut tidak hanya bertutur kata tetapi juga hakim itu bertindak, beraksi lewat tutur katanya yaitu membebaskan tersangka dari segala tuduhan. Efeknya tersangka pun mendapatkan kebebasan dari segala tuduhan. Pertuturan hakim tersebut lebih daripada sekedar mengatakan sesuatu hal karena ia melakukan sesuatu secara aktif yaitu membebaskan. Tindak tutur menciptakan bahasa yang berkerja dan beroperasi sebagai sarana penindak. Tetapi juga bahwa, dengan menyebut ucapan konstatif, tindak tutur tidak harus disamakan dan dirancukan dengan ucapan yang bersifat umum. Sebabnya penutur dapat menghasilkan ucapan tanpa harus melakukan tindak tutur.
Dengan tindak tutur, penutur selain mengungkapkan pikirannya, perasaannya juga penutur bertindak dengan intensinya yang mana intensinya untuk berbuat tersirat secara jelas. Sebenarnya, tindak tutur merupakan manifestasi intensi penutur. Secara umum, tindak tutur berfungsi sebagai wahana untuk mengidentifikasi intensi penutur misalnya apakah penutur membuat suatu janji, ramalan, pernyataan atau ancaman. Untuk itu, amatlah penting bagi penutur untuk mengungkapkan intensinya secara gamblang dalam tuturannya dan mitra tutur memahami tindak tutur penutur secara tepat supaya komunikasi menjadi efektif dan berhasil.
Dalam ilmu linguistik, tindak tutur menjadi objek kajian cabang pragmatis maupun semantik. Pragmatis memahaminya sebagai ucapan yang didefinisikan dalam kaitannya dengan intensi penutur sekaligus pengaruhnya terhadap mitra tutur. Karena adanya tindakan, makna bahasa praktis menjadi permenungan cabang linguistik pragmatis yang mana beroposisi dengan cabang linguistik semantis. Cabang linguistik pragmatis mencoba menafsirkan kalimat-kalimat yang termuat di dalam ucapan dari segi manfaat dan konteksnya. Sementara cabang linguistik semantik mengartikan makna bahasa dalam arti kalimat. Akibatnya, terjadilah perdebatan antara arti kalimat (semantik) dan kegunaan kalimat (pragmatis). Sebagai contoh: Di sini panas sekali. Bagi semantik, tuturan di sini panas sekali berarti bahwa di tempat si penutur suhu cuaca melebihi rata-rata sehingga membuat penutur merasa panas. Tidak demikan bagi cabang pragmatis. Di sini panas sekali mengacu kepada permohonan penutur kepada mitra tutur agar mitra tutur berbuat sesuatu entah membukakan cendela atau menyalakan kipas angin karena si penutur merasakan panasnya cuaca. Pragmatis mengklaim bahwa selama kalimat digunakan untuk menyatakan keadaan, penuturan kalimat harus diperlakukan pula sebagai pelaksanaan suatu tindakan.
Apapun perdebatan antaran semantik dan pragmatis setidaknya tindak tutur menyatakan suatu unit fungsional di dalam komunikasi. Disebut fungsional karena fungsinya dalam bahasa yaitu bahwa ia adalah tuturan yang membentuk interaksi yaitu kata yang berkelindan dengan tindakan. Memang, bahasa adalah alat komunikasi dan bagi Black alasan demi intensi ataupun niat komunikatif yang termuat di dalam bahasa dapat diklasifikasikan (Black, 2006:17) sehingga tindak tutur juga dapat diklasifikasikan karena tindak tutur itu sendiri definitif sudah mempresentasikan setiap tipe alasan dan niat komunikatif. Niat komunikatif tercipta karena kehadiran pasangan yaitu penutur dan mitra tutur yang membangun bahasa sebagai peristiwa komunikasi. Kemudian dalam logika Black, tindak tutur justru membantu untuk mengklarifikasi konten dan kekuatan dari tindakan-aksi komunikatif penutur. Tindak tutur pun dapat dianggap sebagai unit sentral komunikasi karena bersama dengan properti fonetik, morphologi, sintaksis dan semantiknya ia melebur dan menjadi bagian dari percakapan komunikatif yang dipahami secara linguistik. Dalam kacamata tindak tutur, unit komunikasi linguistik adalah produksi atau pengeluaran kata dan kalimat dalam kinerja tindak tutur: komunikasi linguistik membutuhkan tindakan linguistik (Searle, 1969:16).
Melihat kiprah tindak tutur sebagai yang demikian, setidaknya ada enam fungsi spesifik tindak tutur dalam kaitannya dengan kehidupan linguistik:
- Tindak tutur mencari informasi yang faktual dan membantu penutur berbagi informasi kepada mitra tutur, misalnya fungsi informatif untuk mengidentifikasi: “Kawan, lihatlah bunga mawar yang indah itu”; bisa juga fungsi informatif untuk melaporkan: “Tolong pak polisi, sepedaku dicuri”; ataupun fungsi informatif dalam bentuk tanya-jawab: “Siapakah yang memakan kue ini? Dupont si kucing coklat itu” (Van Ek). Fungsi informatif tindak tutur menyatakan pula fungsi instrumental yaitu suatu fungsi yang melayani kebutuhan atau keinginan penutur (Halliday). “Saya mau kue ini”; “saya ingin membaca buku Shakespeare”.
- Tindak tutur mengekspresikan sikap intelektual karena ia menyatakan persetujuan atau ketidaksetujuan, apa yang penutur tahu ataupun yang tak diketahuinya, apa yang ia ingat atau apa yang ia lupa (Van Ek). “Saya menolak proposal ini karena proyeknya tidak realistis”. Kenyataannya, fungsi intelektual mengandung pula fungsi heuristik: “Ajarilah aku matematika”; “Katakan kepadaku apa yang kamu inginkan” dan fungsi heuristik itu sendiri menunjukkan suatu fungsi yang memfasilitasi penutur untuk membangun dunianya (Halliday). Karena itu, dalam fungsi heuristik tindak tutur juga memiliki peran imajinatif.
- Tindak tutur mengungkapkan ataupun menyelidiki sikap emosional: tertarik-tidak tertarik, harapan, khwatir (Van Ek). “Sampai jam 8 malam ini, ayah belum datang”, gerutu ibu sambil marah. Maka, dalam mengekspresikan sikap emosial terungkap cara personal si penutur yaitu cara penutur mengekspresikan kepribadiannya melalui bahasa (Halliday).
- Tindak tutur menyatakan sikap moral dan biasanya berupa ekspresi atau permohonan, seperti apologi, mohon maaf, penghargaan, penyesalan (Van Ek). Dalam sikap moral, tindak tutur berperan sebagai regulator, maksudnya suatu fungsi yang membiarkan penutur mengontrol aksi-aksinya misalnya: “Buatlah permohonan maaf atas kelakuanmu yang tidak sopan” (Halliday)
- Tindak tutur mengungkapkan persuasi: nasihat atau peringatan kepada mitra tutur untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu misalnya: menyarankan, mengundang, menginstruksi. “Sebaiknya, kamu pergi ke desa supaya dapat menikmati keindahan alam”.
Tindak tutur membentuk sosialisasi yang mengacu kepada aktivitas sosial sehari-hari atau relasi sosial dengan orang lain misalnya memberi ucapan selamat (Van Ek). Bruno: “Selamat atas keberhasilanmu lulus ujian”. Zero: “Terima kasih, ayo kita rayakan dengan makan bersama”. Sosialisasi tersebut memuat interaksional, tanda-tanda vokatif dan yang lain sehingga mendapat perhatian dari mitra tutur lalu malah memampukan penutur untuk berinteraksi dengan baik (Halliday).
Tiga bentuk tindak tutur: sinkronisasi antara kata dan aksi
Tindak tutur memiliki tiga bentuk ragamnya yang saling menyatu karena adanya kesatuan antara intensi si penutur, tata-bahasa yang digunakan, tujuan-maksud si penutur. Maka, menurut Austin bahwa ketika ia menuturkan intensinya kepada mitra tutur, ia definitif melibatkan tiga bentuk tindak tutur secara simultan:
- Tindak lokusi
Tindak lokusi dibangun ketika penutur menyusun suatu kalimat dalam konteks khusus dengan memakai tata-bahasa dan gramatika tertentu. Maka, tindak lokusi berkaitan dengan linguistik sebagai dasar tuturan sehingga ia merupakan bentuk fisik-material dari suatu tuturan. Ia menunjukkan bahwa arti tuturan meliputi aspek fonetik, gramatikal dan sintaksis yang sesuai dengan setiap arti tuturan secara literal. Jadi, ia hanya sekedar menyatakan sesuatu hal yang mana kata dan makna kalimat sepadan dengan makna kalimat dalam kaidah sintaksis. Fokus dan tujuannya terdapat pada makna tutur kata yang diucapkan secara literal dan bukan pada tujuan atau maksud tuturan tersebut. Identifikasi tindak tutur lokusi ini paling mudah dilakukan sebab tak perlu menafsirkan konteks tuturannya.
Ada tiga aspek dalam tindak lokusi:
- Tindak fonetik: tindakan yang terjadi dengan mengucapkan bunyi tertentu bahkan tidak ada artinya sama sekali misalnya Oh, ah. Di sini Oh hanya sekedar bunyi atau seruan kaget dan tidak terjadi komunikasi sama sekali.
- Tindak fatis: tindakan yang terbentuk dengan cara mengucapkan kata-kata tertentu yang termasuk dalam kosa-kata tertentu dan tata bahasa tertentu dengan intonasi tertentu, misalnya aku berjanji datang ke pestamu.
- Tindak rhetik yaitu tindakan yang terbentuk karena adanya kalimat yang mana kalimat tersebut sepadan dan selaras dengan makna dan referensi gramatika secara definitif, contoh: aku berjanji datang ke pestamu, di sini ada referensi tetapi masih belum ada peristiwa komunikasi.
Tindak lokusi dengan demikian hanya mengatakan sesuatu tentang sesuatu. Wujud tindakannya berupa fonetik, fatis dan rhetik sehingga ia hanyalah arti harafiah suatu ucapan ataupun kata-kata yang dipahami oleh mitra tutur secara sintaksis, fonetik, maupun gramatika. Ia adalah wacana atau teks dalam bentuk tuturan.
Saya berjanji akan datang ke pestamu. Tindak lokusinya adalah pernyataan, bunyi, kalimat bahwa saya berjanji akan datang ke pestamu yang dipahami secara sintaksis, sesuai tata bahasa dan referensi yang ada.
- Tindak ilokusi
Tindak ilokusi merupakan pusat-inti tindak tutur atau bisa dikatakan sebagai tindak tutur yang sejati karena ia adalah intensi-tujuan-maksud dari penutur yang sebenarnya. Untuk itu, Vanderveken yang merupakan seorang ahli semantik menuliskan: “Tindak ilokusi begitu penting bagi tujuan filosofis ilmu semantik karena ia adalah unit makna yang pertama dalam fungsi dan pemahaman yang utuh terhadap natura bahasa” (Vanderveken, 1990).
Tindak ilokusi diartikan sebagai apa yang dilakukan (baca: tindakan) oleh penutur dengan tuturannya pada saat ia berucap kata, misalnya verba penutur memerintahkan, berjanji menetaskan pula tindakan perintah dan tindakan janji.
Umumnya, tindak ilokusi selalu terdiri dari: verba performatif; subyek yaitu aku; dan dalam bentuk tensis waktu sekarang ini. Ketiga komponen ini mengungkapkan daya tindak ilokusi. Ia memiliki dayanya karena adanya efek yang dikehendaki dari penggunaan verba si penutur ketika melakukan tindak ilokusi tertentu. Dan tentu waktu terjadinya tindak ilokusi adalah sekarang, tidak mungkin kemarin atau yang akan datang karena ia adalah percakapan yang aktual. Daya tindak ilokusi menggores dan menjadikan dirinya sebagai inti-pusat dari tindak tutur sekaligus ia adalah internal dari tindak lokusi.
Menariknya, Allan (1986: 175) mendistingsi antara daya tindak ilokusi dan tindak ilokusi itu sendiri. Daya tindak ilokusi berarti bagaimana pertuturan si penutur itu diekspresikan; jadi daya tindak ilokusi menyoal cara tindak ilokusi diungkapkan. Dengan kata lain daya tindak ilokusi merupakan modus tuturan yang dapat diartikan sebagai suatu cara untuk mengungkapkan suasana psikologis perbuatan yang terkandung dalam sebuah tuturan menurut tafsiran penutur atau sikap penuturnya (Rustono).
Tentu, modus tuturan atau daya tindak ilokusi dari suatu tindak tutur mengandung kekuatan dan kedasyatan efek yang dimaksudkan oleh si penutur dalam tuturannya (Yan Huang). Daya tindak ilokusi bergantung pada properti tuturan si penutur. Properti tersebut bisa pernyataan, pertanyaan, perintah, atau ungkapan keinginan. Karena itu, daya tindak ilokusi bisa berbentuk kalimat interogatif, kalimat imperatif, kalimat optatif, dan kalimat deklaratif. Bentuk-bentuk kalimat itu terjadi demikian karena adanya korelasi atau korespondensi antara daya ilokusi dan bentuk-jenis kalimat. Konsekuensinya, daya tindak ilokusi dikodekan dalam mood kalimat: interogatif mengungkapkan pertanyaan; deklaratif mengekspresikan penegasan; dan imperatif mengekspresikan permintaan atau permohonan. Bahkan daya tindak ilokusi juga dikodekan dalam leksikon yaitu kalimat-kalimat yang mengungkapkan aksi misalnya peringatan, janji, dan lain-lain sebagaimana ditentukan oleh verba performatifnya. Dengan demikian ada hubungan antara tuturan dan daya tindak ilokusi dan hubungan tersebut biasanya merupakan masalah konvensi linguistik (Searle, 1969).
Kata kerja performatif, suasana hati (mood), urutan kata, intonasi, tekanan pada kata-kata tertentu merupakan perangkat dari daya tindak ilokusi. Dengan berbagai bentuknya tersebut, perangkat daya tindak ilokusi menolong mitra tutur dalam mengidentifikasi daya tindak ilokusi yang termuat di dalam tuturan. Biasanya perangkat ini dapat didengar dan disimak dari verba performatif yang menunjukkan tindak ilokusi yang sedang dilakukan. Perangkat juga dapat diidentifikasi melalui urutan kata, penekanan, dan intonasi. Contoh:
- Dia sungguh sedang tidur – Saya memberitahu Anda.
- Dia sedang tidur? – Saya meminta konfirmasi.
- Apakah dia tidur?- Saya bertanya padamu (dengan nada tinggi)
Sementara itu, tindak ilokusi hanya mengacu kepada apa yang dikatakan tanpa ada pernak perniknya; jadi tindak ilokusi mengarah kepada apa yang dimaksudkan penutur kepada mitra tutur dalam ucapan. Dengan demikian, tanpa daya ilokusi, tindak ilokusi kehilangan taringnya.
Dalam tindak ilokusi, si penutur definitif memiliki intensi khusus pada saat membuat suatu tuturan. Kadang kala, tindak ilokusi juga memiliki makna tersembunyi karena adanya harapan agar mitra tutur melakukan tindakan tertentu yang dikehendaki oleh penutur tetapi dikatakan tak langsung oleh si penutur. Akibatnya, tindak ilokusi yang tidak dikatakan secara tidak langsung maupun langsung menjadikan tindak tutur memiliki dua tipe yaitu tindak tutur tidak langsung maupun tindak tutur langsung. Apapun baik tindak tutur langsung dan tak langsung, dalam tindak ilokusinya tercipta aksi-perbuatan nyata yang disajikan oleh tuturan, yang mana tuturan sama dengan tindakan; apa yang penutur lakukan ketika ia bertutur kata.
Saya berjanji akan datang ke pestamu. Tindak ilokusinya adalah kedatanganku atau kehadiranku dalam pestamu.
Sejatinya, pada saat si penutur membuat tuturan, ia tentu memiliki suatu intensi-niat di balik tuturannya tersebut. Intensi-niat yang ada di balik tuturannya juga dapat disebut dengan tindak ilokusi sehingga penutur bersama dan dalam tindak tuturnya sebenarnya adalah suatu makhluk intensi-niat. Disebut makhluk intensi-niat karena beragamnya (multiplisitas) intensi-niat yang terkandung dalam tindak ilokusi. Misalnya dalam pernyataan aku berjanji datang ke pestamu, kita menemukan setidaknya tiga intensi-niat si penutur yang tergantung dalam konteksnya ataupun situasinya:
- Suatu janji karena aku memang berjanji bahwa aku akan datang pestamu. Situasinya bisa jadi aku bertemu dengan kawan lamaku dan kawan lamaku mengundang aku untuk datang ke pestanya lalu aku pun berjanji.
- Suatu prediksi karena dengan berjanji aku memperkirakan bahkan memastikan bahwa aku akan datang ke pestamu. Di tengah kesibukanku, aku memastikan untuk datang ke pesta temanku.
- Suatu ancaman atau peringatan karena aku berjanji bahwa aku akan datang ke pestamu. Situasinya bisa jadi aku bermusuhan dengan kawanku sehingga janjiku untuk datang di pestanya akan menyuramkan pestanya.
Bagi Riceour yang berusaha meredakan ketegangan semantik dan pragmatik menyatakan adanya hubungan semantik dan pragmatik dalam tindak ilokusi yaitu bahwa tindak ilokusi mengungkapkan pernyataan-pernyataan yang tidak mengacu maupun tidak menunjukkan makna semantik kalimat tetapi justru terletak pada niat si penutur yang mengatakan dan berintensi di dalam makna semantik tertentu.
- Tindak perlokusi
Tindak perlokusi adalah efek atau dampak yang menimpa kepada baik penutur maupun mitra tutur ketika penutur menyuguhkan tindak ilokusi. Dampak atau efek kepada mitra tutur misalnya tersentuh, menjadi percaya, terbuai, terpesona, dan sebagainya. Dampak itu terjadi karena tindak tutur memang memuat efek yang diharapkan terjadi oleh penutur sebagai hasil dari tindak tuturnya. Efeknya pun bisa dikehendaki ataupun tidak dikehendaki dan menyentuh ataupun bergerak di zona perasaan, pikiran, serta yang paling penting menghasilkan aksi mitra tutur. Maka, tindak perlokusi adalah semacam stimulus yang memproduksi hasil tertentu. Kalau tindak ilokusi adalah bagian internal dari tindak lokusi, maka tindak perlokusi merupakan bagian external dari tindak lokusi. Ia disebut bagian external tindak lokusi karena penutur tidak mungkin mengontrol efek tuturannya yang menimpa mitra tuturnya.
Sebenarnya, tindak perlokusi sama tindak ilokusi karena mereka acap kali memiliki konstruksi timbal balik dan saling terkait namun dalam konsep yang berbeda. Misalnya: tolong bukakan pintu. Pernyataan ini bisa dinilai sebagai tindak ilokusi karena adanya permintaan dari penutur dan mitra tutur mengertinya bahwa ia harus membuka pintu. Namun juga termuat tindak perlokusi karena mitra tutur membukakan pintu (efek). Apa yang diucapkan oleh penutur dan bagaimana tuturan ini mempengaruhi mitra tutur dapat menunjukkan tindak perlokusi yang berhasil. Baik tindak ilokusi dan tindak perlokusi saling membutuhkan satu sama lain agar berjalan dengan baik. Keberhasilan itu terletak pada apa yang dituturkan oleh penutur dimengerti oleh mitra tutur dan bagaimana tuturan ini mempengaruhi dan memberikan efek kepada mitra tutur (Wardhaugh (1976: 96). Efek karakteristik ilokusi adalah tindak perlokusi.
Makna perlokusi dari contoh saya berjanji akan datang ke pestamu adalah mitra tutur merasa senang karena komitmen si penutur untuk datang ke pestanya. Atau bisa saja mitra tutur tidak senang karena penutur bukan tamu yang diundang. Bagi penutur efeknya bisa jadi ia senang bisa menghadiri pesta kawannya itu ataupun terpaksa menghadiri pesta.
Kesimpulannya, ketiga bentuk tindak tutur ini mengkonstruksi sinkronisasi antara bahasa dan tindakan karena makna tuturan bukan hanya berupa kata dalam kaidah sintaksis tertentu tetapi juga bermanifestasi dalam tindakan dan tindakan terbentuk karena adanya bahasa dalam tindak tutur.
Lima kelas tindak tutur
Searle (1979:12) berdasarkan pada tindak ilokusi mengemukakan lima kelas tindak tutur atau taksonomi tindak tutur. Lima kelas tindak tutur Searle sebenarnya mengkoreksi dan memperbaiki lima kelas tindak tutur yang digagas oleh Austin. Berikut kelima kelas tindak tutur Searle:
- Representatif:
Tindak tutur ini bertujuan mengikat mitra tutur pada sesuatu hal yang menunjukkan bagaimana proposisi yang diungkapkan oleh penutur itu benar. Di sini penutur berkomitmen pada kebenaran proposisi yang diungkapkan. Representatif meliputi: menyatakan, menyimpulkan, melaporkan, menegaskan dan mengklaim.
- Bruno menyatakan bahwa karya kahlil Gibran ada beberapa yang puisi tetapi ada juga yang prosa.
- Paul Riceour mengemukakan teori tentang naratif dan waktu, seru Mario.
- Direktif:
Tindak tutur tutur kelas ini menampilkan daya ilokusi sehingga di dalam daya ilokusi tersebut penutur berusaha untuk mendorong, menggerakkan, dan mengarahkan mitra tutur melakukan sesuatu. Yang termasuk tindak tutur direktif: meminta, memesan, bertanya, dan menasihati.
- Saya memerintahkan anda untuk tetap di sini.
- Saya pesan dua roti dan secangkir kopi.
- Komisif:
Ini adalah tindak tutur untuk membuat si penutur melakukan beberapa tindakan di masa depan. Yang termasuk tindak tutur komisif: berjanji, bersumpah, mengancam, memohon.
- Aku akan kembali ke desa besok.
- Lusa, aku akan mengerjakannya.
- Ekspresif:
Tindak tutur ini mengungkapkan keadaan psikologis si penutur sehingga tindak tutur ini mengandung nilai evaluatif. Tujuannya agar tuturannya dipahami sebagai suatu evaluasi tentang hal yang disebutkan di dalam tuturannya (Fraser). Yang termasuk tindak tutur ekspresif antara lain: meminta maaf, menyalahkan, berterima kasih, memuji, menyelamati, menyambut.
- Aku sangat kecewa atas pernyataanmu.
- Selamat atas kelulusanmu.
- Sungguh hari yang menyenangkan.
- Deklaratif:
Tindak tutur deklaratif merupakan tindak tutur yang unik karena ia dapat mengubah realitas-dunia segera setelah ia dituturkan. Ia digunakan untuk mengucilkan, mengucapkan keputusan, menyatakan perang atau kebebasan, pemecatan dari pekerjaan atau dalam hal keagamaan untuk pembaptisan, perkawinan.
- Saya (seorang imam) menyatakan bahwa Anton dan Martha sebagai suami-istri yang sah dalam upacara perkawinan di gereja.
- Saya membubarkan parlemen (seru seorang raja).
- Saya mendeklarasikan bahwa selama satu minggu di setiap wilayah berlaku lockdown (kata presiden suatu negara).
Memang, kelima kelas tindak tutur dapat digunakan untuk menyatakan maksud- tujuan tuturan yang sama. Sebaliknya juga bahwa bahwa berbagai macam maksud-tujuan tuturan dapat diutarakan dengan kelima kelas tuturan tersebut. Kelima kelas tindak tutur ini menggambarkan fungsi pragmatis tindak tutur sebagai komunikasi bahasa dalam fenomena sosial. Dengan demikian melalui taksonomi tindak tutur ini fungsi pragmatis tindak tutur terkait dengan pemakaiannya untuk berkomunikasi antara penutur dan mitra tutur (Rustono: 92).
Tindak tutur langsung dan tak langsung
Tindak tutur tidak hanya berfokus ataupun berkutat pada isi yaitu apa yang dikatakan tetapi juga cara atau bagaimana mengatakannya. Terkait dengan cara mengatakan tindak tutur, maka ada dua cara:
- Tindak tutur langsung
Tindak tutur langsung berkaitan dengan kata-kata aktual penutur karena penutur memakai kata yang tepat, pas dan sesuai tanpa adanya modifikasi (Halliday, 1985: 228). Makna yang dikehendaki oleh penutur terkuak secara eksplisit. Misalnya: “Apakah Josep hadir?” Tanya Budiman. Dalam tindak tutur langsung fungsi komunikatif umum (pernyataan, pertanyaan, perintah/ permohonan) terkait dengan ketiga struktur tindak tutur secara gamblang dan tanpa ambigu.
- Kamu melihat kupu-kupu itu (deklaratif)
- Apakah kamu melihat kupu-kupu itu? (interogatif)
- Lihatlah kupu-kupu itu! (imperatif)
Tindak tutur langsung memperjelas elemen apa saja yang terlibat baik dalam produksi tuturan dan interpretasinya. Kejelasan yang terjadi di dalam tindak tutur langsung mempermudah mitra tutur dalam menafsirkan intensi si penutur karena sifatnya yang langsung tanpa ada ketersembunyian maksud lain di balik tuturan si penutur.
- Tindak tutur tak langsung
Tindak tutur tidak langsung berarti mengatakan satu hal secara spesifik namun hanya sebagai sarana demi dan untuk sesuatu hal yang lain. Di balik kalimatnya yang spesifik, penutur memiliki intensi yang lain. Dengan kata lain, penutur tidak menyatakan intensinya secara gamblang yang ada di balik ucapannya. Bahkan, dalam menyuguhkan tindak tutur tak langsung, isi komunikasi penutur identik dengan isi yang dikehendaki sehingga terjadi tumpang tindik antara intensi yang dikehendaki-sebenarnya dengan intensi yang dikomunikasikan-dikatakan. Karena bertumpuk berarti intensinya ganda sekaligus mengumbar suatu teka teki karena yang manakah intensi penutur sebenarnya. Akibatnya, tidak semua verba performatif dapat digunakan untuk membuat versi eksplisit dari suatu tuturan implisit. Tindak tutur tak langsung dapat menjadi ambigu dan ia hanya dapat dimengerti dengan melihat konteks-situasi tuturan yang berlangsung.
Berikut ini adalah contoh tindak tutur tak langsung: “Dapatkah kamu memberikan garam itu; “Aku ingin kamu mengerjakan tugas itu”; “Kamu berdiri di hadapan tv”. (Yule: 1996, 56). Ketiga contoh di atas adalah tindak tutur tak langsung. Mengapa? Aku ingin kamu mengerjakan tidak hanya merupakan pernyataan keinginan penutur dan dapatkah kamu memberikan garam bukan saja merupakan permohonan penutur tetapi kedua pernyataan tersebut adalah suatu perintah. Dalam contoh kamu berdiri di depan tv bukan hanya informasi atau deskripsi bagi mitra tutur tetapi juga mengungkapkan suatu permohonan untuk menepi dari tv karena posisi mitra tutur menghalangi tv sehingga si penutur tidak bisa melihat tv dengan baik. Jadi, dari ketiga contoh ini dapat disimpulkan bahwa dalam tindak tutur tak langsung, tindak tutur yang satu tertutupi oleh tindak tutur yang lain. Artinya ada relasi tak langsung antara bentuk-struktur tuturan dan fungsi tuturan sehingga bentuk tuturan tidak bersesuaian dengan fungsi tuturan. Contoh lain lagi: sekarang cuaca amat panas dan candela tertutup (konteks dan situasi tertentu). Lalu penutur berkata: “Sungguh panas tempat ini”. Maksud atau intensi si penutur sebenarnya adalah si penutur minta tolong agar mitra tutur membuka jendela namun tidak dikatakan secara langsung.
Tindak tutur tak langsung merujuk kepada tindak ilokusi sehingga dalam kaitannya dengan tindak tutur tak langsung tindak ilokusi dapat dibedakan menjadi tindak ilokusi primer dan tindak ilokusi sekunder tetapi tetap dalam satu kesatuan. Tindak ilokusi primer adalah tindak tutur tak langsung sementara tindak ilokusi sekunder adalah tindak tutur langsung. Benyamin berkata kepada Silvester: “Di sini panas sekali”, tindak ilokusi primernya adalah permohonan untuk menyalakan kipas angin sementara tindak ilokusi sekundernya penegasan akan temperatur bahwa di tempat penutur suhu panas sekali. Polanya bahwa tindak tutur tak langsung ada dan mengendap di dalam tindak ilokusi primer tetapi tertutupi dan terbungkus sebagai sesuatu yang lain dalam wadah tindak ilokusi sekunder.
Mari kita simak contoh berikut ini:
Tony: “Ayo, nonton biskop”.
Budi: “Aku Lelah”.
Aku lelah merupakan tindak tutur tak langsung karena secara literal-harafiah aku lelah tidak mengungkapkan penolakan terhadap ajakan Tony untuk menonton biskop. Namun, aku lelah merupakan tindak ilokusi primer yang berarti aku menolak ajakan menonton biskop sementara aku lelah dalam kaitannya dengan tindak ilokusi sekunder memang menyatakan keadaan diri yang lelah. Seorang guru memuji seorang siswa yang datang jam 9 pagi padahal jam sekolah dimulai jam 7 pagi. “Rajin sekali kamu datang jam 9 pagi”. Dengan berpura-pura memuji rajin sekali kamu datang jam 9 pagi hari seorang guru sebenarnya tidak mengizinkan muridnya untuk masuk kelas karena konteksnya siswa diharapkan datang tepat waktu di pagi hari.
Setidaknya, terdapat empat potensi akan pemakaian tindak tutur tak langsung:
- Berlangsung karena otoritas
Ada orang-orang tertentu yang memiliki otoritas cenderung menggunakan tindak tutur tak langsung.
Contohnya: pemilik perusahaan berkata kepada manajernya: “Saya menyarankan anda untuk meninjau ulang program marketing perusahaan”. Di balik verba menyarankan sebenarnya adalah perintah karena menyarankan bisa dilakukan atau tidak tetapi karena yang mengatakan pemilik perusahaan sudah pasti harus dilakukan.
- Terjadi karena adanya konflik antara permohanan-permintaan dengan tanggapan-jawaban yang mana tanggapan-jawaban biasanya harus menjadi persyaratan mutlak.
Konflik itu terjadi karena permintaan yang berturut-turut sebagaimana proposal yang dibuat memang memerlukan tanggapan-jawaban, sayangnya tanggapan-jawaban langsung “tidak” kiranya kurang sopan dan dapat memicu konflik. Maka, untuk menghindarinya adalah memakai tindak tutur tak langsung yang mengisyaratkan proposal tersebut ditolak atau ditampik.
Ayo, silahkan dimakan mie ini. Saya alergi tepung
- Pertimbangan kesopanan
Lazimnya, ketika permohonan-permintaan yang terkandung di dalam intensi penutur semakin sering dan intens maka tindak tutur tak langsung kerap kali dipakai. Pertimbangan kesopanan hampir serupa dengan konflik permohonan yang mensyaratkan tanggapan atau respon.
- Terjadi karena kondisi kognitif sampingan atau kondisi kognitif yang hilang yang diandaikan dan disyaratkan oleh tindak tutur.
Hal ini berlangsung ketika tindak tutur langsung tidak mungkin lagi dipakai dan ada kebutuhan yang mendesak. Sayangnya, mitra tutur tidak menyadari mengapa dia harus melakukan dan mewujudkan intensi si penutur. Contoh dari penggunaan tindak tutur tak langsung yang berkaitan dengan potensi yang keempat ini dapat disimak dari sejarah perang Vietnam yaitu ketika tentara Amerika hendak meninggalkan Vietnam, beberapa orang Vietnam meminta ikut bersama ke Amerika:
Orang Vietnam I: Bawalah aku bersamamu (tindak tutur langsung)
Orang Vietnam II : Hey, Aku telah membantu CIA (tindak tutur tak langsung)
Orang Vietnam III : Aku punya kerabat di Amerika (tindak tutur tak langsung)
Orang Vietnam IV : Aku punya emas dan uang, aku dapat membayarmu (tindak tutur tak langsung)
Orang Vietnam V: Vietkong akan membunuhku jika engkau tak membawaku pergi bersamamu (tindak tutur tak langsung)
Dalam hal ini jelas bahwa orang-orang Vietnam ingin pergi ke Amerika bersama dengan kepulangan tentara Amerika, tetapi mereka memiliki tuturan yang berbeda-beda dalam bentuk tindak tutur tak langsung. Jadi tindak tutur tidak langsung digunakan untuk menyatakan alasan mengapa mitra tutur (tentara Amerika) harus melakukannya.
Ada beberapa cara untuk menyederhanakan pertunjukkan ataupun permainan tindak tutur tak langsung, antara lain: memahami fakta percakapan, adanya kerja sama dan relevansi baik dari pihak penutur maupun mitra tutur, menetapkan informasi latar belakang faktual yang terkait percakapan. Contoh: Bisakah Anda memberikan garam kepada saya? Dalam konteks tertentu, mitra tutur memiliki kemampuan untuk memberikan garam ketika penutur karena berada di meja yang sama. Maka, faktor-faktor seperti fakta percakapan, kerja sama, informasi dan relevansi yang faktual terpenuhi. Namun tindak tutur tak langsung akan tidak efektif ketika mengeliminasi faktor-faktor yang disebut di atas. Misalnya si mitra tutur tidak memiliki kemampuan untuk memberikan garam karena situasi mitra tutur yang tidak memungkinkan yaitu ketika mitra tutur sedang menelepon (latar belakang tidak faktual). Maka di sini terungkap pula bahwa tindak tutur tidak hanya membutuhkan faktor linguistik tetapi juga faktor non-linguistik. Faktor non-linguistik misalnya: faktor sosial, faktor psikologis, faktor ekonomi, faktor gender, faktor situasional. Faktor linguistik yaitu pemilihan kata-bahasa bukanlah pemilihan yang asal-asalan atau acak tetapi juga menggandeng faktor non-linguistik seperti faktor situasional misalnya, siapa lawan bicaranya, posisi status pembicara, di mana peristiwa tindak tutur itu terjadi; faktor sosial yang mempengaruhi pemakaian bahasa misalnya status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, jenis kelamin dan sebagainya. Kebutuhan faktor linguistik terhadap faktor non-linguistik diafirmasi oleh Searle bahwa dalam tindak tutur tak langsung penutur berkomunikasi dengan mitra tutur lebih dari yang dia katakan sebenarnya dengan cara mengandalkan informasi latar belakang mereka dengan saling berbagi, baik linguistik maupun non-linguistik, bersama dengan kekuatan rasionalitas dan kesimpulan dari pihak mitra tutur (Searle, 1969: 32).
Implikatur
Mengulas tindak tutur tak langsung tak mungkin melepaskannya dari analisis Paul Grice yang disebut dengan implikatur. Ia menyebut tindak tutur tak langsung sebagai implikatur. Mengapa demikian? Dalam implikatur memang si penutur membuat dan menyuguhkan suatu tindak tutur kata, tetapi si penutur menunjukkan tindak tutur yang lain atau yang berbeda. Maksud yang lain dan berbeda ini oleh Paul Grice disebut dengan implikatur. Disebut demikan karena mengimplikasikan sesuatu berarti mengartikannya dengan mengatakan sesuatu yang lain sehingga yang diimplikasikan oleh penutur kepada mitra tutur tidak dinyatakan secara langsung. Itulah yang membuat implikatur disebut sebagai tindak tutur tak langsung.
Ada dua jenis implikatur:
- Implikatur konvensional
yaitu implikatur yang ditentukan oleh arti konvensional kata-kata yang digunakan. Konvensional berarti mencakup pengertian yang umum artinya kebanyakan orang sudah mengerti dan memahami tentang arti, pengertian yang dimaksud. Contohnya:
Bernard si orang Jerman, sungguh sangat disiplin dalam waktu dan bekerja
Orang Jerman memang selalu diidentikkan dengan kedisiplinan karena kedisiplinan adalah budaya dan kebiasaan orang Jerman. Ketepatan waktu dan disiplin tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari orang Jerman. Jadi, implikaturnya bahwa orang Jerman dikenal sebagai orang yang disiplin. Hampir semua orang memahaminya sebagai demikian.
Maka, dalam implikatur konvensional, makna dan pengertiannya bersifat tahan lama ataupun tidak berubah karena telah menjadi pemahaman umum yang telah diterima oleh banyak orang yang disebabkan banyak hal misalnya budaya, kebiasaan, pengetahuan dan sebagainya.
- Implikatur dialog
Implikatur dialog ditentukan ataupun dihasilkan karena tuntutan suatu konteks percakapan-dialog tertentu. Implikatur dialog memiliki makna dan pengertian yang bervariasi. Sebabnya, pemahaman terhadap hal yang dimaksudkan oleh penutur amat tergantung kepada konteks terjadinya percakapan dengan mitra tutur. Kalau implikatur konvensional memiliki makna yang tahan lama, maka makna implikatur dialog bersifat temporer karena makna tercipta hanya berdasarkan percakapan yang berlangsung dan konteks tertentu atau peristiwa tertentu. Begitu percakapan selesai ataupun momen dialog berakhir maknanya pun ikut lenyap bersama percakapan yang telah terjadi. Dalam implikatur dialog, sering terjadi seorang penutur tidak mengutarakan maksudnya secara langsung. Maksud yang hendak disampaikan kepada mitra tutur justru disembunyikan, diucapkan tidak langsung atau yang diucapkan sama sekali berbeda dengan maksud tuturannya.
Berikut ini adalah contoh implikatur dialog
Ibu : “Ada orang mengetuk pintu”.
Maria : “Aku sedang telepon”.
Tuturan ibu menunjukkan suatu implikatur. Alasannya ibu hanya menginformasikan bahwa ada orang yang mengutuk pintu. Ibu tidak menyuruh Maria untuk melihat, mengecek siapakah bahkan membukakan pintu tetapi hanya berkata bahwa ada orang yang mengetuk pintu. Namun dibalik tuturan harafiah yang informatif itu, ternyata ada suatu permohonan ataupun perintah kepada Maria agar minimal melihat siapakah orang bahkan membukakan pintu.
Jawaban Maria pun dapat dikatakan sebagai jawaban implikatur. Mengapa demikian? Jawaban Maria seakan-akan tidak gayut karena ia menginformasikan dirinya sedang menelepon padahal dalam tuturan si ibu tidak ada tuturan yang menanyakan apa yang sedang dilakukan oleh Maria. Ia menangkap maksud ibu sehingga tuturan ibu ditafsirkan sebagai suatu perintah tidak langsung. Akibatnya, ketika ia mendengar tuturan ibu, Maria sebagai orang yang diperintah memberi respon dengan menolak karena ia sedang menelpon. Jawaban Maria adalah suatu implikatur karena ibu tidak menanyakan ia sedang apa, ibu hanya berkata ada orang mengetuk pintu. Untuk semakin memperjelas implikatur, Sperber mengenalkan istilah explikatur yang berarti apa yang dikomunikasikan secara eksplisit atau apa yang dikatakan secara harafiah. Dari contoh di atas, explikatur terletak dari jawaban harafiah Maria yaitu aku sedang menelepon sementara implikaturnya adalah dia tidak bisa membukakan pintu kepada orang yang sedang mengetuk.
Memang implikatur sudah pasti menjadi bagian percakapan sehari-hari disadari atau tidak. Akibatnya, menurut Levinson (dalam PWJ Nababan, 1987: 28), keberadaan implikatur dalam suatu percakapan (dialog) diperlukan untuk:
- Memberi penjelasan makna, fungsi atau fakta kebahasaan yang tidak terjangkau oleh teori-teori linguistik.
- Menjembatani proses komunikasi antara penutur dan mitra tutur.
- Memberi penjelasan yang tegas dan eksplisit tentang bagaimana kemungkinan para pemakai bahasa (baik penutur dan mitra tutur) dapat menangkap pesan, walaupun hal yang diucapkan secara lahiriah berbeda dengan hal yang dimaksud.
- Dapat menyederhanakan pemerian semantik dari perbedaan hubungan antarklausa, klausa-klausa itu dihubungkan dengan kata dan struktur yang sama.
- Dapat menerangkan berbagai macam fakta dan gejala bahasa yang secara lahiriah tidak berkaitan malah berlawanan seperti metafora.
Kekuatan ilokusi tidak langsung atau implikatur bukanlah makna kalimat baru melainkan justru bagian dari makna tambahan penutur. Ia adalah instrumen bahasa yang memfasilitasi maksud dan intensi penutur supaya dapat dikomunikasikan kepada mita tutur dengan cara tak langsung. Baik implikatur konvensional dan dialog menyatakan bahwa tindak tutur tak langsung memiliki peran begitu penting bagi fungsi bahasa karena fungsi bahasa sebagai komunikasi dan pengungkapan intensi-niat diaktualkan. Sejatinya, implikatur adalah cetusan rasionalitas manusia karena ia mengungkapkan dan mengkesplorasi kekayaan bahasa. Bahkan bahasa yang semula hanya berupa bunyi, susunan kata dalam gramatika-sintaksis dan konsep yang virtual menjadi bahasa yang hidup karena adanya pesan dan makna yang dikanalisasi oleh implikatur sehingga tercipta momen komunikasi.
Kesyahihan tindak tutur: kondisi felicitas
Bagi linguistik pragmatis, tindak tutur tidak dapat ditaksir di dalam koridor benar-salah seperti ucapan konstatif melainkan dalam koridor efektif atau tidak. Maka, setiap tindak tutur rentan sekali terjebak di dalam persoalan keefektivannya. Untuk mengatasinya, Austin dan Searle menawarkan apa yang disebut dengan kondisi felicitas. Kondisi felicitas dapat diartikan sebagai suatu kondisi-syarat yang, tepat, sesuai dan dibutuhkan serta harus dipenuhi agar suatu tindak tutur dapat dilakukan atau diwujudkan secara efektif dan memuaskan demi memastikan bahwa pertuturan dapat dipahami-diketahui oleh mitra tutur.
Sejumlah syarat felicitas yang digagas Austin dapat dijabarkan sebagai berikut:
A) i. Harus ada prosedur yang memiliki efek umum atau berlaku umum. Alasannya, prosedur yang demikian merupakan syarat pertama untuk menentukan keberhasilan melaksanakan tindak tutur. Prosedur ini harus sedemikian rupa sehingga mempunyai tindakan verbal yang cukup demi mendapatkan efek yang dikehendaki.
ii. Keadaan dan penutur harus sesuai seperti yang ditentukan dalam prosedur. Artinya keadaan harus menunjang untuk penggunaan tindak tutur dan si penutur harus menjadi orang yang tepat untuk menggunakannya dalam konteks tertentu.
Saya meresmikan monumen Gajah Mada sebagai monumen kebanggaan negara. Kondisi felicitas yang sesuai adalah diucapkan oleh seorang pejabat dan pada peristiwa formal yaitu dalam memperingati kemerdekaan atau memang momennya peresmian monumen. Pertuturan ini tidak layak ataupun tidak efektif jika penutur bukanlah orang tertentu dalam konteks yang khusus . Misalnya seandainya diucapkan oleh seorang koki ataupun seorang pejabat negara tetapi dia sedang cuti sehingga tindak tutur tersebut tidak efektif dan tida berguna.
B. Prosedur harus dijalankan secara lengkap dan benar
Peresmian monumen tersebut harus ada tata caranya kemudian dihadiri dan disaksikan masyarakat dan pejabat pemerintahan bahkan media massa yang meliputnya. Peresmian monumen itu bukan secara diam-diam, tanpa tata cara, tanpa seremoni. Harinya sudah dipersiapkan, momennya adalah hari pahlawan dan tidak mungkin pada momen misalnya bencana alam. Selanjutnya monumen itu disahkan dengan ditanda tangani oleh pejabat yang berwenang. Tanpa ada semuanya, tindak tutur menjadi sia-sia karena monumen tersebut belum resmi.
C. Biasanya, i. Penutur tersebut harus memiliki pikiran, perasaan dan intensi yang diperlukan, sebagaimana ditentukan dalam prosedur agar tindak tutur menjadi efektif dan tepat, dan ii. Jika perilaku konsekuensi yaitu efek yang dikhususkan telah ditentukan, maka pihak terkait yaitu mitra tutur harus melakukannya. Artinya, komunikasi harus dilakukan oleh orang yang tepat, di tempat yang tepat, pada waktu yang tepat dan, biasanya, dengan maksud tertentu. Sebaliknya, jika ketiga kondisi ini tidak terpenuhi, maka yang terjadi adalah prosedurnya akan disalahgunakan. Hasilnya tindak tutur tidak akan berhasil, tindakan tidak akan tercapai dan akan macet. Unsur-unsur yang tidak ada dan tidak terpenuhi di dalam kondisi felicitas yang berujung pada kegagalan tindak tutur disebut dengan kondisi infelicitas.
Searle mengafirmasi gagasan Austin sekaligus menyempurnakannya bahwa kondisi felicitas dari suatu tuturan merupakan aturan yang sifatnya konstitutif. Sebabnya, tuturan bukan hanya sesuatu yang bisa dinilai benar (atau salah) atau disalahgunakan tetapi ia adalah sesuatu yang membentuk dan mendefinisikan tindakan itu sendiri. Tidak mengherankan kalau tindak tutur memiliki aturan yang harus diikuti agar ia menjadi berhasil yaitu sesuai yang diinginkan. Dengan aturan yang ia miliki maka bisa dikatakan bahwa tindak tutur merupakan bahasa tertentu.
Searle membagi kondisi felicitas menjadi empat kondisi:
- Kondisi proporsional:
Kondisi ini menggambarkan konten semantik dari proporsional kalimat tuturan. Konten semantik tersebut berkaitan dengan daya ilokusi yang menentukan kondisi-situasi yang kiranya dapat diterima dalam hubungannya dengan konten proporsional tersebut. Jadi, kondisi proporsional merupakan kondisi-situasi yang diusulkan oleh baik penutur ataupun mitra tutur. Kondisi ini memuat aturan peka logika karena apakah tindak tutur yang ada memungkinkan atau rasional dalam hubungannya keadaan-situasi penutur ataupun mitra tutur. Misalnya, si mitra tutur mengerti bahasa yang digunakan di dalam tindak tutur. Seandainya penutur memakai bahasa asing yang tidak dimengerti oleh mitra tutur tentu adalah suatu irasional.
- Kondisi persiapan:
Ia adalah prinsip nyata untuk setiap tindakan ilokusi sehingga prinsip ini merujuk pada si penutur yang memiliki kemampuan dan keyakinan akan tindakannya dan kondisinya jika memang dia memiliki hak untuk melakukannya. Namun di dalam kondisi ini, penutur juga berasumsi dan mempertimbangkan bahwa kiranya mitra tutur dapat melakukan tindak tutur tersebut. Di samping itu, penutur dituntut juga untuk memiliki kekuasaan dan otoritas atas mitra tutur. Otoritas penutur dan keadaan-situasi tindak tutur harus tepat dan sesuai untuk ditunjukkan secara gemilang. Maka dalam kondisi ini terlihat keadaan kontekstual si penutur yang berbeda bahkan beroposisi kepentingan dengan mitra tutur. Oleh karena itu, kondisi persiapan mengacu kepada suatu aturan peka sosial-budaya.
- Kondisi ketulusan:
Faktor-faktor psikologis si penutur seperti perasaan, intensi, keyakinan pada saat suatu tindakan ilokusi dilakukan digambarkan dan direpresentasikan oleh kondisi ini. Dalam melakukan tindakan felicitas, pelaku harus memiliki sikap psikologis tertentu mengenai isi proposisional dari tuturan. Maka, yang menjadi tekanan pada kondisi ketulusan adalah tindakan penutur yang didasarkan pada niat-intensinya. Supaya efektif, tindak tutur diucapkan dan dibuat secara sungguh-sungguh dan tidak ruwet. Dengan demikian kondisi ketulusan mengacu kepada aturan peka psikokognitif. Misalnya, ketika seseorang membuat janji, dia harus memiliki niat untuk menepatinya.
- Kondisi esensial:
Kondisi esensial dari suatu tuturan berkaitan dengan niat penutur untuk membuat mitra tutur melakukan tindakan yang dimaksud olehnya. Kalau kondisi ketulusan menekankan pada niat si penutur dalam tindakannya sendiri maka pada kondisi esensial ini niat penutur berfokus bagaimana tindakan yang dibuat oleh si mitra tutur. Konsekuensinya, kondisi ini menggambarkan sesuatu yang dianggap sebagai esensi dari apa yang dilakukan oleh penutur demi efek perlokusi. Kondisi esensial memuat aturan peka sintaksis-semantik. Aturan peka sintaksis-semantik membangun tuturan yang nantinya menghasilkan tindak tutur. Tuturan yang tidak terkonstruksi dalam aturan sintaksis dan semantik maka tidak ada pula tindak tutur.
Berikut ini adalah contoh kondisi felicitas (Searle: 1969, 66-67)
- Kondisi felicitas untuk permohonan
Kondisi proporsionalnya menunjukkan tindakan yang akan dibuat nantinya (di masa depan) oleh mitra penutur. Kondisi persiapan terkait dengan kemampuan mitra tutur untuk melakukan permohonan penutur. Diharapkan bahwa ada kemudahan bagi mitra tutur untuk melakukan seperti yang dimintakan oleh penutur. Latar belakang kondisi persiapan adalah belum ada kejelasan bagi penutur dan mitra tutur bahwa mitra tutur akan melakukan permohonan penutur dalam situasi normal berdasarkan persetujuan mitra tutur. Kondisi ketulusan merujuk kepada intensi dan harapan penutur yaitu bahwa mitra tutur melakukan permohonan seperti yang diinginkannya. Kondisi esensial mengacu kepada segala usaha yang dibuat doleh penutur agar mitra tutur melakukan permohonannya.
- Kondisi felicitas untuk menasihati
Kondisi proporsionalnya diklasifikasikan kepada suatu tindakan tertentu yang akan dilakukan oleh mitra tutur di masa depan. Kondisi persiapan mengarah kepada alasan dan keyakinan penutur bahwa tindakan tertentu akan memberi keuntungan bagi mitra tutur. Memang belum jelas baik bagi penutur maupun mitra tutur bahwa mitra tutur akan melakukan tindakan yang diharapkan dalam situasi normal. Kondisi ketulusan juga identik dengan kondisi persiapan yaitu penutur berkeyakinan bahwa tindakan akan memberi kebaikan bagi mitra tutur. Kondisi esensialnya mencakup efek yaitu bahwa suatu tindakan tertentu (di masa depan) merupakan yang terbaik bagi mitra tutur.
- Kondisi felicitas untuk pemberian (mengucapkan) selamat
Kondisi proporsionalnya mengacu kepada suatu momen, acara yang terhubung dengan mitra tutur. Kondisi persiapan menggambarkan acara tersebut merupakan minat ataupun kepentingan mitra tutur Kondisi ketulusan menunjukkan bahwa penutur merasa senang dalam acara tersebut. Kondisi esensialnya dalam bentuk ekspresi kesenangan dalam momen tersebut
- Kondisi felicitas untuk berjanji
Kondisi proporsionalnya menyoal janji penutur di masa depan. Kondisi persiapan mengungkapkan komitmen penutur dan keyakinan penutur bahwa mitra tutur berkeinginan janjinya dilaksanakan karena mitra tutur akan mendapat keuntungan dari janji tersebut. Selain itu penutur juga memiliki kapasitas ataupun mampu untuk mewujudkan janjinya karena peristiwa tidak akan terjadi dengan sendirinya. Kondisi ketulusan pun mengacu kepada ketulusan dan kesungguhan penutur untuk mewujudkan janjinya. Kondisi esensialnya terkait dengan usaha penutur untuk menyakinkan mitra tutur terkait janjinya yang akan dilakukan olehnya. Dengan janjinya, penutur mengubah non-kewajiban menjadi kewajiban.
Sekali lagi, seandainya kondisi-kondisi tersebut gagal dipenuhi yang terjadi adalah kondisi infelicitas. Misalnya, seorang penutur tidak bersungguh-sungguh untuk mewujudkan janjinya, maka tindakan dapat dikatakan sebagai penyelewengan. Penutur menasihati dengan tujuan mencelakakan mitra tutur hasilnya dapat disebut dengan penyimpangan.
Beragamnya kondisi felicitas tentu menimbulkan penafsiran yang berbeda. Perbedaan penafsiran mengacu kepada tipe tuturan itu sendiri entah tuturan berupa pernyataan, permintaan atau peringatan. Konsekuensinya, tindak tutur dapat dinilai efektivitasnya dalam koridor felicitas ataupun infelicitas menurut kondisi ini dan penafsirannya yang berbeda tersebut (Austin:1962).
Niat komunikatif penutur dan ketersediaan kesimpulan mitra tutur
Tindak tutur juga bergantung pada niat komunikatif dari penutur dan ketersediaan kesimpulan yang dibuat oleh mitra tutur demi penjelasan terbaik (Grice, 1989). Dua hal tersebut kiranya dapat dikatakan sebagai fundamen keefektifan dan kelancaran komunikasi. Terkait dengan pihak penutur yaitu supaya makna-pesan tuturan si penutur dimengerti oleh mitra tutur, menurut Grice ada tiga hal yang harus terpenuhi: pertama, penutur harus bermaksud untuk menghasilkan efek pada mitra tutur; yang kedua penutur bermaksud agar niat ini dikenali oleh mitra tutur; dan yang ketiga penutur bertujuan bahwa setidaknya efek dihasilkan kepada mitra tutur dipahamai dan terjadi lewat pengakuan atau pengetahuan mitra tutur terhadap niat penutur. Niat penutur untuk menghasilkan suatu kepercayaan kepada mitra tutur atau sikap lain disebut niat komunikatif refleksif. Mekanisme niat komunikatif refleksif tersebut adalah sebagai jangkar komunikasi dan memiliki peran yang penting karena menciptakan dan membangun proses korporatif. Keuntungan proses korporatif mencegah dan menampik hambatan komunikasi sekaligus ia merupakan upaya preventif terhadap bahaya komunikasi yang paling sering terjadi yaitu bahwa mitra tutur menangkap bukan apa yang menjadi pesan-makna penutur (what is the message) tetapi mitra tutur justru pada bagaimana pesan itu dikatakan (how is the message). Akibatnya pesan-makna tidak tersampaikan ataupun kalaupun tersampaikan justru mitra penutur menangkap bagaimana pesan itu dikatakan sehingga how the message lebih mendominasi dan menghantui daripada apa yang menjadi pesan itu sendiri. Hasilnya tujuan komunikasi dan niat penutur tidak tercapai karena dalam logika how the message mengandung paksaan, tekanan sehingga membuat mitra tutur terdekap dalam ketakutan ataupun suasana yang tidak menguntungkan bagi proses komunikasi. Terlebih, proses korporatif memungkinkan dan membantu mitra tutur untuk mengurangi banyaknya makna konsekuensinya yang ditimbulkan dari multiplisitas tindak ilokusi penutur (Searle). Karena semakin kompleks intensi penutur dalam tindak ilokusinya, semakin rumit pula penafsiran dan kesimpulan yang harus dibuat oleh mitra tutur.
Grice menambahkan sumbangan pemikirannya supaya terjadi keberhasilan dan realisasi maksud-niat si penutur dalam komunikasi. Ia menhipotesiskan suatu prinsip kerja sama: “Berikanlah sumbanganmu dalam pertuturan sebagaimana yang diperlukan sesuai dengan tujuan atau arah pertukaran tuturanmu yang terlihat di dalamnya. Supaya terjadi sumbangan yang diharapkan lantas ia mengemukakan empat maksim atau prinsip kerja sama (cooperative principles) yang harus ditaati oleh peserta tuturan dalam upaya melancarkan jalannya proses komunikasi. Maksim itu sendiri dapat diartikan sebagai suatu prinsip yang harus dipahami oleh dua belah pihak, penutur dan mitra tutur, saat berdialog atau bercakap-cakap supaya proses komunikasi dapat berjalan dengan baik. Prinsip-prinsip percakapan (maxims of conversation) meliputi:
- Prinsip kuantitas yaitu memberi informasi yang diminta (proporsional) supaya informasi tidak melebar atau jauh dari yang sebenarnya. Prinsip ini menghendaki kontribusi yang sekucupnya atau yang dibutuhkan oleh mitra tutur.
- Prinsip kualitas menyatakan hanya yang benar atau cukup bukti kebenarannya yang harus diungkapkan di dalam tuturan. Kebenaran tersebut setidaknya memuat bukti-bukti yang dapat diverifikasi. Ketidakbenaran membuat tujuan komunikasi tidak tercapai; tanpa bukti atau kurang bukti mengacaukan prinsip kualitas sehingga tuturan menjadi tak berarti atau omong kosong.
- Prinsip hubungan atau revelansi yaitu memberi sumbangan informasi yang relevan. Tuturan yang relevan membantu mitra tutur untuk segera bertindak ataupun juga mempersingkat waktu penafsiran terhadap tuturan penutur sehingga maksud penutur yang ada di dalam tindak tutur tak langsung ditangkap dengan tepat olehnya.
- Prinsip cara menyangkut upaya menghindari ketidakjelasan pengungkapan seperti berbelit-belit, samar, kerancuan makna; sebaliknya prinsip ini menuntut untuk mengungkapkan tuturan secara sederhana dan beraturan-runtut sekaligus mudah dimegerti. Keruntutan dan logika yang jelas amat membantu mitra tutur dalam menangkap pesan dan tujuan si penutur.
Demi mengefektifkan prinsip kerja sama, Grice menambahkan prinsip kesantunan. Prinsip ini memuat aturan- aturan yang bersifat sosial, estetis, dan moral dalam bertindak tutur. Prinsip kesantunan ini melengkapi prinsip kerja sama karena prinsip kesantunan kiranya mengatasi kesulitan yang timbul akibat penerapan prinsip kerja sama tersebut. Prinsip kesantunan juga bertujuan agar peserta tutur dapat bertutur kata secara santun baik di dalam pemilihan kata, emosi, pikiran dan menjaga hubungan sosial dengan mitra tuturnya (bdk Hadi Susanto). Dengan prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan, si penutur disarankan untuk menyampaikan maksud tuturannya sesuai dengan konteks terjadinya peristiwa tuturan, tujuan tuturan dan giliran tuturan yang ada.
Sekarang, terkait dengan pihak mitra tutur, pertanyaan yang muncul dari mitra tutur adalah bagaimana mengerti intensi si penutur misalnya dalam contoh aku lelah merupakan bentuk penolakan. Untuk menjawabnya, maka adalah penting untuk menggaris-bawahi pernyataan Searle tentang kekuatan umum rasionalitas dan kesimpulan dari pihak mitra tutur. Pernyataan Searle yang menekankan rasionalitas dan kesimpulan si mitra tutur sebenarnya memuat tugas mitra tutur untuk menafsirkan intensi si penutur dalam tuturannya. Rasionalitas mitra tutur memahami bahwa semua tindak tutur harus disimpulkan dari bukti kontekstual, termasuk apa yang dikatakan dan pemilihan kata yang diucapkan oleh penutur. Ditambah pula bahwa intensi penutur biasanya dapat diduga dari tingkah lakunya atau gerak geriknya. Maksud tuturan harus diidentifikasi dengan melihat situasi yang melatarbelakanginya. Situasi tuturan mempunyai peran sangat penting bagi penafsiran yang dibuat oleh mitra tutur (Rustono). Situasi tuturan yang dimaksud menunjuk pada aneka macam latar belakang pengetahuan yang muncul dan dimiliki bersama-sama baik oleh penutur maupun mitra tutur, serta aspek-aspek non linguistik yang menyertai, mewadahinya seperti faktor sosial, faktor ekonomi, dan lain-lain. Aspek yang mendukung situasi tutur: mitra tutur, konteks tindak tutur, tujuan tindak tutur, tuturan sebagai tindakan, tuturan sebagai produk verbal. Dengan memperhatikan situasi tuturan diharapkan penafsiran berlangung dengan baik sehingga terciptalah kesimpulan yang tepat dan jitu.
Tanpa rasionalitas mitra tutur dan kesimpulan yang dibuat olehnya makna tuturan termasuk implikatur tak mungkin ditangkap. Walaupun tindak tutur terutama tindak tutur tak langsung mensyaratkan suatu dugaan ataupun kesimpulan, pemahaman mitra tutur tentang apa yang dimaksudkan oleh penutur biasanya otomatis. Pemahaman makna oleh mitra tutur dicapai dengan non-aturan, ibarat dengan cara just do it. Artinya dengan sendirinya, mitra tutur akan memahami maksud si penutur. Ada banyak tuturan memang tidak bergayut, tetapi bagi mitra tutur yang mengerti penggunaan bahasa itu dan rasionalitasnya dapat mengerti dan menangkap pesan yang disampaikan oleh penutur dalam konteks dan situasi tertentu. Just do it mengungkapkan kecermelangan kiprah rasionalitas terhadap bahasa.
Si mitra tutur akan menangkap bahwa Budi lelah dan dia tidak akan pergi nonton bioskop. Dengan rasionalitas dan kesimpulan mitra tutur tercermin pula tugas mitra tutur yaitu menjaga percakapan agar berlangsung lancar, tidak macet, tidak sia-sia dan hubungan sosial keduanya tidak terganggu. Akibatnya, sebagai alat komunikasi bahasa mampu menimbulkan adanya rasa saling mengerti antar penutur dan mitra tutur. Jelas, komunikasi bahasa merupakan gabungan antara tujuan ilokusi dan tujuan sosial (Leech, 1985: 17). Tujuan sosial terbentuk karena bahasa adalah sebuah perangkat komunikasi untuk menganalisis pengalaman manusia secara berbeda di setiap masyarakat (Martinet). Lalu, bahasa memungkinkan antar manusia untuk bekerja sama demi memenuhi kepentingan sosial. Tujuan sosial itu adalah kepentingan sosial. Gabungan antara tujuan illokusi dan tujuan sosial menunjukkan setidaknya dua aspek tingkah laku bahasa yaitu fungsi bahasa dalam menciptakan hubungan sosial dan peran yang dimainkan oleh bahasa sebagai pembawa informasi tentang penutur (Trudgil). Tingkah laku bahasa itu terbentuk karena segala sesuatu yang dihayati, dialami, dirasakan dan dipikirkan oleh seseorang dapat diketahui oleh orang lain jika telah diungkapkan dengan bahasa (Hadi Susanto).
Baik tindak tutur tak langsung dan langsung berwadah di dalam percakapan karena tindak tutur dan percakapan saling bergantung. Ketergantungan mereka kokoh karena menuturkan bahasa adalah melakukan tindak tutur seperti memerintah, mengajukan pertanyaan, membuat pernyataan dan tindak tutur tersebut dibuat dengan aturan-aturan tertentu bersama penggunaan unsur-unsur kebahasaan yang mengambil bentuk dalam percakapan. Deskripsi final tindak tutur menyangkut suatu rencana skematis yang memuat tindakan melalui apa yang diucapkan oleh penutur demi menyatakan keyakinan atau kehendaknya. Sebabnya, tindak tutur menunjukkan bahwa ketika orang mengungkapkan apa yang ia inginkan melalui tuturannya, ia melakukan tindakan melalui kata-katanya (Searle). Dengan demikian, tindak tutur membuktikan peran bahasa sebagai alat komunikasi karena maksud penutur dalam tindak ilokusi dirumuskan oleh bahasa kemudian diucapkan di dalam bahasa; apa yang mengendap di dalam batin dan pikiran diungkapkan dan dikanalisasikan oleh bahasa, bahkan bahasa melahirkan perasaan dan juga tindakan oleh karena tindak tutur (bdk Hadi Susanto).
Bersambung
Copyright © 2022 ducksophia.com. All Rights Reserved