Lukisan Franceso Beda, Parlor Scene
Memang sepatutnya seorang penyair itu berwatak murni dan suci; namun untuk syair-syairnya tidaklah perlu demikian
(Catullus)
Arti puisi dan identitas penyair
Manusia di waktu luangnya bahkan di tengah kesibukannya senang membuat, membaca, mendengar puisi. Ketika sebuah puisi dibuat dan dibaca serta diperdengarkan maka puisi menawan setiap hati karena puisi menciptakan kesenangan estetika dan kesenangan intelektual bahkan kesenangan transendental. Sudah tak terkira banyaknya puisi yang dibuat dan dihasilkan. Kiranya puisi menjadi bagian dari ada, eksistensi, aktivitas dan hidup manusia. Lalu kita bertanya apa itu puisi, siapakah seorang penyair itu ?
Puisi merupakan suatu fenomena bahasa karena puisi tidak bisa didefinisikan secara dogmatis, ketat. Mengapa? Penyair dengan puisinya merupakan orang yang bergulat, berjuang dengan realitas lalu mengatakan, mengumandangkan, membahasakan realitas dengan dan dalam keindahan kata-kata. Tetapi bersamaan dengan itu, horizon realitas selalu lebih luas dari horizon bahasa-kata. Ada keterbasan bahasa-kata dalam mengatakan dan membahasakan realitas. Seorang penyair ingin mendekati kenyataan yang dialaminya secara penuh, namun terhalang oleh kata-kata. Apa yang dikatakan seorang penyair selalu mengandung bekas dari apa yang tak dikatakan (Bertold Anton Parreira). Maka Jean Claude Renard mengatakan bahwa persoalan puisi ialah berhasil mengatakan apa yang ia katakan dengan cara yang sedemikian rupa, sehingga dalam waktu yang sama ia menyampaikan apa yang tidak dapat dikatakan. Hal inilah yang disebut dengan ekspresionisme epistemologis oleh Karl Popper karena bagian–bagian suatu uraian tidak dianggap sebagai proposisi-propisi yang dapat didiskusikan secara obyektif, tetapi harus diterima sebagai ekspresi keadaan mental, situasi kejiwaan atau percikan yang keluar dari suatu interioritas yang pribadi dan intim.
Puisi adalah bahasa dalam bahasa, kata di dalam kata. Dalam puisi, bahasa bukan saja sarana pengungkapan, tetapi juga isi pengungkapan (Bertold Anton Parreira). Ada dua alasan yang menjelaskan: pertama, bahasa itu menciptakan sebuah peristiwa di antara pelakunya, sebuah peristiwa komunikasi: antar manusia, antar manusia dengan realitas bahkan dengan sesuatu yang melampaui dirinya. Yang kedua kata bukanlah tanda atau pun ekspresi letupan yang sederhana tetapi kata mengatakan dan mensakralkan apa yang dikatakan dan dimaksudkannya. Kata itu menciptakan suatu makna dengan cara membangun, mendeskripsikan dan memelihara realitas, dengan berpaling dari suatu wajah realitas ke wajah realitas lainnya sehingga kata mengenali diri sekaligus membuktikan makna dirinya (Paul Gilbert, 2000). Realitas itu sendiri merupakan tempat terjadinya hubungan konkret antara manusia dengan makna. Dengan demikian puisi meski dengan keterbatasan linguistik membahasakan realitas dalam keindahan dan keagungan bahasa-kata karena ada keharmonisan hubungan antara kata-kata dan benda, antara manusia dan alam. Puisi membuka cakrawala manusia tanpa batas sehingga menjadi modal mencipta.
Dalam modal mencipta, dapat diketahuilah siapakah identitas penyair. Penyair pada dasarnya tidak hanya bergulat dengan ide, tetapi dengan pengalaman dan kontemplasi. Dia bukan saja bekerja dengan kata tetapi menciptakan kata, peristiwa dan makna. Ide bisa datang dari penyair, tetapi ide itu -untuk dapat menjadi bagian organ puisi- haruslah ide yang dialami, gagasan yang tidak hanya dipikirkan, tetapi diajak bergulat dengan daging dan darah sekaligus ia mengkontemplasikannya di hadapan kehidupan dan berbagi dengan kehidupan (bdk Ignas kleden). Jadi penyair bergulat dengan yang imanen sekaligus yang transendental, ia bersifat sosial sekaligus eksistensial.
Aktivitas dan kreativitas seorang penyair bersandar pada kebebasan bahkan kebebasan adalah jiwanya. Di dalam kebebasan, si penyair menunjukkan pengetahuannya, menjadi seorang guru dalam mengatur komposisi dan memiliki sihir akan kata-kata puitisnya. Kebebasan seorang penyair terjadi karena adanya pengertian, perasaan dan pengamatan yang tersatukan di dalam harmoni jiwa, hati dan pikiran. Menurut Adonis, mereka yang terpenjara dalam kungkungan eksternal ataupun internal tidak akan mungkin menjadi penyair[1]. Selama seorang penyair segan, malu dan takut menyatakan apa yang ada dalam diri, dia tidak dapat berpuisi. Misalnya soal seksualitas yang mungkin tidak bisa diutarakan karena orang yang taat beragama merasa tabu mengungkapkannya (Maria Hartiningsih). Terlebih, seorang penyair membutuhkan bukan hanya kebebasan tetapi juga harus punya sesuatu yang bergolak dalam dirinya. Sesuatu yang bergolak di dalam dirinya itulahlah yang membakar, mendorong dan menjadi sumber inspirasi untuk menulis sebuah puisi. Bahkan demi penulisan puisi, dia harus hidup di dalam puisi. Hidup di dalam puisi menyatakan bahwa ungkapan seorang penyair amat berbeda dengan cara pemikir, filsuf, alim ulama, atau ahli agama. Seperti kata Adonis pula, saat melihat jendela, seorang pemikir berkata, jendela ini persegi panjang. Tapi penyair bisa bilang jendela adalah perempuan yang membentangkan kedua tangannya (dikutip dari Maria Hartiningsih). Dengan demikian, puisi dapat dikatakan seni bahasa dari ungkapan hati manusia.
Bagi Ignas Kleden, seorang penyair pastilah bukan seorang yang mengerjakan dan menawarkan konsep-konsep. Sebuah puisi bukanlah sebuah bangun-pikiran, tetapi merupakan kesaksian tentang pengalaman dan kontemplasi penyair. Puisi harus membumi dan menjadi milik bumi, mengakar di tanah dan bukan melulu letupan kata dan ide. Maka, ia mengajak pendengarnya untuk mendekatkan pada inti terdalam seorang manusia yaitu hati, jiwa dan pikirannya. Kesaksian dan kontemplasi itu pada gilirannya mempunyai berbagai sifat: reflektif, imajinatif, naratif bahkan iman yang berasal dari sumber yang sama: makna yang dipetik dari pohon kehidupan. Kehidupan bukanlah suatu obyek tetapi suatu alter ego (Ignas Kleden). Jadi, seorang penyair adalah guru kehidupan dan kebenaran, seorang bijak yang diilhami sang ilahi karena sang penyair dengan sihir kata-katanya dalam puisi tahu bagaimana merayu, bernyanyi, menyakinkan, melatih, menasihati mereka yang mendengar, membaca, menginterpretasi puisi agar sampai kepada sang kebijaksanaan, sang kebenaran dan sang keindahan itu sendiri.
Organ puisi
Sebuah puisi bukanlah sebuah vas rapuh yang setiap tangan dengan mudah menjatuhkan dan menghancurkannya berkeping-keping. Artinya puisi memiliki kedalaman makna dalam hidup manusia sehingga puisi selalu merupakan hasil pemaknaan dengan realitas. Puisi dapatlah dianalisis, diobservasi seperti dengan menggunakan mikroskop; dan semakin dekat dan detail pengobservasian, pengamatan, semakin kita terpesona dan mengaguminya sebagai karya sastra (Margareth J. O ‘Donnel). Sebagai salah satu bagian dari karya sastra lain seperti cerita, hikayat, dongeng, puisi memiliki organ yang sama dengan jenis sastra lainnya. Organ puisi pada umumnya terdiri dari:
- Karakter
Berbicara mengenai karakter berarti berbicara mengenai agen, pelaku, aktor, orang-pribadi yang di dalam puisi baik para tokoh yang ada dalam puisi maupun si penulis. Karakter menciptakan alur puisi dan selalu mengacu kepada tindakan-aksi. Tanpa ada tindakan-aksi tak mungkin ada karakter. Maka, puisi dapat dibedakan dari tujuan karakter melakukan imitasi: puisi yang bertujuan mengimitasi tindakan atau yang meniru akan persona-pribadi.
Ada empat unsur yang menjadi karakter puisi. Yang pertama dan utama adalah nilai. Sebuah puisi memiliki nilai ketika peristiwa dan tindakan puisi menciptakan setiap proporsi yang jelas yang mana kejelasan proporsi-proporsi tersebut justru merupakan nilai puisi. Yang kedua adalah kecakapan sebuah puisi. Kecakapan di sini berkaitan dengan kecermelangan karakter si pelaku, agen di dalam puisi. Kecermelangan merupakan kuatnya karakter tertentu sehingga pendengar (audiens) bergulat, diobrak obrak baik pada tataran emosi, intelektual, kehendak. Maka, unsur yang ketiga adalah ingatan. Puisi menciptakan ingatan bagi pendengar. Berkat ingatan tersebut pendengar mendapatkan pencerahan, kesadaran lalu bertindak dalam hidupnya entah disadari atau tidak karena nilai, makna, peristiwa dan tindakan puisi telah mengendap, dicerna sehingga menjadi arahan, refleksi pendengar. Jadi ingatan merupakan sintesis dari nilai dan kecakapan puisi. Yang keempat adalah konsistensi atau koherensi. Konsistensi karakter menunjukkan keteguhan dan kesetiaan pelaku (agen) terhadap misi yang diperjuangkan. Keteguhan si pelaku puisi memberi kekuatan dan keteguhan bagi pendengar karena setiap kali pendengar membaca puisi tersebut pendengar akan menemukan kekuatan, kesegaran kembali arti, makna dan keindahan puisi tersebut.
Ada juga karakter sololoqui (dialog interior). Dialog, pergulatan, si agen dengan dirinya sendiri ditampilkan, dibahasakan, diceritakan dan disuguhkan kepada pendengar. Karakter sololoqui atau interior monolog merupakan usaha teknik si penyair untuk memberikan kepada pendengar pandangan sepintas akan pikiran, pikiran, ide atau imajinasi yang tercipta dari karakter sehingga terjadi juga interior monolog di dalam diri pendengar.
- Alur (plot)
Alur dapat diartikan sebagai pengaturan peristiwa atau elemen dinamis dan berkelanjutan dalam literatur sastra. Elemen sastra itu dinamis karena ada pengamatan yang cermat akan tindakan dan pergerakan, perubahan dan suksesi peristiwa yang berfokus pada bagaimana satu bagian cerita berkaitan dengan yang lain melalui kontinuasi dari bagian sebelumnya atau melalui antisipasi terhadap aksi selanjutnya. Maka alur terdiri dari awal, tengah dan akhir.
Menurut Aristoteles, akhir dari suatu alur (plot) adalah tragedi atau komedi. Apa itu komedi dan tragedi? Komedi dalam pengertian Aristoteles bukanlah melulu lelucon, pertunjukkan yang sifatnya humor. Komedi adalah imitasi, pengendapan seseorang akan nilai-nilai yang kurang berbobot ; kurang berbobot karena efek pedagogis komedi tidak menyebabkan suatu kegelisahan, penderitaan, ketakutan bagi audiens karena ending dari komedi merupakan happy ending dan karakter komedi sifatnya menghibur. Komedi selalu membawa kesenangan dan tawa. Tawa dihasilkan dari bahasa dan realitas: Dari bahasa yaitu dari homonim, sinonim, paronim, pengulangan, nama timangan, metafora, penyimpangan suara. Tawa yang dihasilkan dari realitas: kesamaan (misalnya ada kesamaan bentuk wajah seseorang dengan yang lain), cacat (tubuh yang kerdil, gemuk, dll), tarian vulgar atau ketika seseorang meskipun mampu mempertahankan hal yang penting, tetapi membiarkan kehilangannya, misalnya demi kekayaan, orang mengorbankan kejujuran. Komedi berbeda dengan ejekan karena ejekan melulu menunjukkan keburukan dan sifatnya mencemooh, menghina kekurangan, kecacatan.
Tragedi adalah imitasi, peniruan terhadap tindakan yang serius dan lengkap melalui pemikiran, karakter, yang memiliki efek pedagogis yang tinggi. Efek pedagogis yang tinggi terjadi karena adanya belas kasihan dan ketakutan yang menjadi jiwa tragedi. Lewat tragedi, audiens dicelupkan ke dalam ketakutan karena tragedi meletakkan audiens di hadapan peristiwa memilukan atau menyeramkan yang berasal dari tokoh tragedi yang menderita dan remuk- redam yang disebabkan oleh kebodohan, keteledoran, kesalahan fatal padahal awalnya tokoh tersebut memiliki kualitas hidup yang baik, sejahtera dan bahagia. Selain itu, audiens juga menjadi takut karena bisa saja peristiwa itu pun menimpa dirinya. Jadi seolah-olah audiens dihadapkan kepada kemungkinan terjadinya peristiwa tragedi dalam kehidupannya.
Lewat tragedi pula, audiens memiliki belas kasihan karena orang baik yang jatuh di dalam kemalangan sungguh tidak pantas dan di luar perkiraan serta membuat dan membangkitkan rasa iba dan belas kasihan audiens. Maka, dalam tragedi yang menjadi penekanannya bukan melulu tindakan tetapi terlebih pada motivasi (sebabnya) seseorang untuk melakukan perbuatan. Di sini kita dapat membedakan pola komedi dan pola tragedi. Komedi berpola dari ketidakberuntungan menuju happy ending, sebaliknya pola tragedi dari keberuntungan atau kebahagiaan menuju sad ending. Alur tragedi bergerak dari peluang, kesempatan nasib yang baik ke yang buruk, yang memilukan. Umumnya alur tragedi dipenuhi dengan tokoh atau suasana yang memiliki karakter yang cacat atau penilaian yang salah dan biasanya terlambat untuk mengetahui penyebab kegagalan di bagian akhir. Sebaliknya komedi merupakan kebalikan dari tragedi yaitu dari bahaya, ancaman menuju ke kesejahteraan. Komedi juga sering menonjolkan tingkah laku manusia yang konyol yang membuat kita tertawa.
Karateristik tragedi -ketakutan dan belas kasihan- berfungsi untuk mengingatkan audiens agar jangan melakukan kesalahan yang sama, menghancurkan kesombongan manusia, menunjukkan keterbatasan dirinya di hadapan wajah kekuasaan sang nasib, memulihkan kesadaran, memberi pencerahan dan penerangan serta memberikan visi akan realitas kehidupan. Penderitaan, kemalangan dalam kehidupan tokoh-tokoh tragedi menjadi wilayah pemahaman dan pembelajaran serta pemurnian akan kehidupan. Jadi, sebenarnya tema dan nilai tragedi mengembalikan dan mengantarkan audiens kepada suatu perjumpaan dengan dirinya sendiri yang akan menghasilkan self-knowledge.
Maka Aristoteles pun mengatakan bahwa tragedi merupakan suatu kesenangan. Kesenangan bagi Aristoteles bukan kesenangan sensual tetapi kesenangan yang memberikan katharsis (pemurnian) terhadap emosi-perasaan dan intelektual bahkan kehidupan itu sendiri. Kesenangan katharsis ini mengalir dari self-knowledge. Kesenangan katharsis membutuhkan kesendirian karena dengan kesendirian orang dihadapkan pada diri sendiri untuk melihat, merenungkan dan merefleksikan semua peristiwa yang terjadi dalam tragedi lalu mengetrapkan di dalam hidup pribadinya sehingga menghasilkan edukasi. Praksis tragedi berkorespondensi dengan etika, kesalahan tokoh dalam tragedi dengan moral, ethos tragedi dengan kepribadian.
- Bahasa gambaran
Kata-kata dan bahasa gambaran telah dipilih dan dipakai dalam puisi untuk menciptakan image gambaran dalam pikiran kita. Ketika kita membaca sebuah puisi, kita melihat, mendengar, mengecap, merasakan dunia, horizon puisi yang disuguhkan kepada kita. Puisi melakukan semuanya itu dengan menggunakan bahasa gambaran. Bahasa gambaran dapat diartikan deviasi intensional (yang dikehendaki) dari penggunaan bahasa umum.
Maka, bahasa gambaran merupakan jantung hati puisi (Bertold Anton Parreira). Bahasa gambaran memberikan rangsangan untuk melihat, berpikir, merasakan dan mengalami kembali. Bahasa gambaran yang biasa dipakai dalam puisi meliputi perbandingan dan metafora.
- Metafora: kedatangan makna
Terminologi metafora memiliki dua arti, arti generalnya dan arti spesifiknya. Arti generalnya: semua bentuk bahasa gambaran yang menggunakan asosiasi, perbandingan dan kesamaan dapat disebut dengan metafora, sementara arti khususnya yaitu bahasa gambaran yang memperbandingkan dua hal dengan mengatakan bahwa sesuatu hal itu merupakan sesuatu hal yang lain. Jadi metafora mengandung dual elemen yang berlainan tetapi yang tersatukan oleh perbandingan. Metafora menghidupkan bahasa sehari-hari, umum, lazim yang melulu harafiah karena metafora menciptakan arti baru, dan berkat metafora, ia memampukan kita untuk menuliskan perasaan, pikiran, hal-hal dan pengalaman kita yang terdalam. Tidak mengherankan kalau sihir kata-kata puisi terletak pada metafora. Ketika sebuah puisi kaya dengan metafora, hal itu menunjukkan suatu disposisi natural yang brilian dan cemerlang dari seorang penyair. Lalu apa sebenarnya metafora itu?
Kata berkarakter polisemi. Maksudnya demikian: forma setiap kata adalah sederhana (dalam arti kata mempunyai arti literal yang konstan sehingga kurang arti) dan komplek (maksudnya kata menjadi kompleks karena kata dibentuk dari arti literalnya yang kurang arti lalu kemudian diberikan dan ditambahkan dengan makna baru). Maka arti kata bisa menjadi dobel, triple, multiple karena suatu kata bisa harafiah, keterangan, terjemahan, figuratif, kata baru; dilebarkan, selesai, diubah artinya.
Kata, di dalam suatu sistem bahasa, sebagai tanda memiliki makna yang tunggal (univox) dan kemungkinan beragam makna yang mencakup equivox dan ambiguitas. Ambiguitas kata tidak dihitung sebagai kecacatan yang harus dihilangkan tetapi justru sebagai sesuatu yang dapat digunakan secara kreatif. Maka, metafora adalah kreativitas terhadap penggunaan kata yang berkarakter polisemi dengan menggunakan suatu kinerja dan eksploitasi predikasi (analogi). Dalam sebuah metafora, seorang penyair menulis bahwa x adalah y. Contoh metafora: Tuhan gunung batuku; putriku adalah malaikatku. Kita mengerti bahwa kita tidak bisa memahami perbandingan tersebut secara harafiah, tetapi metafora membantu kita untuk melihat x (Tuhan, putri) dalam cara yang baru berkat y (gunung batu, malaikat). Ketika kita menggunakan metafora kita mempunyai dua buah konsep dari hal yang berbeda tetapi memakai satu frase yang artinya serempak hasil interaksi konsep tersebut. Di sini dapat disimak pula bahwa metafora mengaplikasikan suatu predikat pada subyek dengan cara esktrinsik dan absurd. Definisi dan pengertian umum batu jelas tidak bisa diatribusikan kepada Tuhan. Selanjutnya, pada saat metafora digunakan, sebuah predikat yang artinya bersangkutan dengan arti sebenarnya (malaikat, gunung batu) berubah menjadi tidak bersangkutan sama sekali dengan arti sebenarnya setelah digandeng dengan subyek (Tuhan gunung batuku, putriku adalah malaikatku). Inilah yang dimaksud dengan absurditas metafora: mengaplikasikan secara absurd predikat (gunung batuku dan malaikatku) pada subyek (Tuhan dan putriku). Namun sebenarnya logika absurd tersebut merupakan suatu strategi yang memuat sesuatu yang lain daripada yang dimaksudkan sehingga metafora memampukan kita untuk memahami, mendapatkan suatu pengertian (sense) yang baru lewat yang absurd. Arti harafiah dan kehancurannya menjadi sebuah keharusan supaya lahirlah makna yang baru. Dalam contoh Tuhan adalah gunung batuku arti baru yang muncul adalah kesetiaan dan perlindungan Tuhan selalu menjadi kekuatan, harapan, keteguhanku yang tak tergoyahkan. Dalam metafora, makna tercipta dari pertentangan dan ketidakmengertian, absurditas dari ketidaksamaan.
Pertanyaannya bagaimana metafora menemukan suatu arti atau makna baru yang muncul dari kehancuran arti literalnya? Untuk menjawab hal ini Riceour mengacu kepada imajinasi. Imajinasi adalah suatu eksploitasi yang lewat eskploitasi tersebut kesamaan dimengerti di dalam perbedaan, di dalam kontradiksi. Imajinasi merupakan persepsi intuitif yang mana pertalian di antara dua hal yang berada di dalam jarak yang jauh dibawa kepada terang pemahaman. Jadi imajinasi adalah agen, pelaku yang begitu kuat dalam mencipta dan mengeskploitasi karena kebebasannya. Kebebasan imajinasi terletak pada fakta bahwa imajinasi menskematisasi tanpa konsep. Tidak mengherankan kalau apa yang kita sebut indah, intelektual sebenarnya ada di dalam wilayah dan tataran imajinasi.
Eksploitasi imaginasi dimengerti sebagai seeing as. Seeing as berasal dari interaksi di antara elemen-elemen yang membangun metafora dan hasilnya ialah suatu kegunaan baru. Ketika saya mengatakan bahwa penderitaan adalah suatu mantel, saya tahu dengan tepat bahwa penderitaan bukanlah mantel. Jadi seeing as meliputi yang sebenarnya dan yang bukan sebenarnya. Dalam konteks puisi, imajinasi merupakan dimensi dari subyek yang menjawab teks sebagai puisi (yang menciptakan sesuatu) karena imaginasi memahami bahwa teks puisi adalah proses metaforis itu sendiri: makna ditemukan dan diciptakan dalam image yang terbentuk ketika suatu pertalian di antara hal- hal telah dilihat, dipahami oleh imajinasi melalui kontradiksi. Imajinasi memuat suatu mediasi atau sintesis antara makna dan literal, atap umum yang melingkupi yang universalitas dan yang partikularitas (Derrida, 1997).
Bagaimana metafora itu melalui imajinasi memberikan suatu image? Menurut Bachelard seperti yang dikutip Ricoeur image itu terbentuk dari gema yang muncul dari hal-hal yang dikatakan. Bagaimana metafora menciptakan gema ini? Itu terjadi karena pada saat menskematisasi atribusi metaforis, imajinasi tersebar ke segala arah, menghidupkan kembali pengalaman pengalaman sebelumnya, membangunkan kembali memori memori yang tertidur, mengairi ranah sensorial yang saling berbatasan. Dengan mengutip Bachelard, Ricoeur mengatakan bahwa gema dari hal-hal yang dikatakan berarti image telah menjadi ada baru (new being) di dalam bahasa kita, kemudian mengeskpresikan kepada kita apa yang menjadi tujuan ekspresi image itu sendiri; dengan kata lain, secara simultan image telah menjadi ekspresi dan menjadi our being. Akibatnya, cara dalam memahami metafora adalah pertama mengesampingkan fungsi referensial dan empiris yang dihadirkan lalu mengetrapkan aktivitas imaginasi yang terskematisasi yang terbentuk pada puisi atau pun pada cerita.
Maka, apa yang ditunjukkan oleh predikasi metaforis itu (Tuhan gunung batuku) melampaui kekuatan ekspresi bahasa. Artinya bahasa metaforis tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa diskursif tetapi harus dialami dalam wadah dan konteksnya sehingga interpretasi sastra (dalam hal ini puisi) harus mengambil tempat di dalam sastra itu sendiri (misalnya di dalam puisi). Aktivitas metaforasisasi berasal dari instuisi akan kesamaan dan pendekatan terhadap dua terminus yang secara in se tidak berkaitan satu sama lain, tetapi terbuka untuk diberikan suatu makna baru dan benar (dalam tataran logika) bermediumkan dengan suatu konjungsi. Maka menghasilkan metafora dengan indah berarti mengetahui, melihat dan memilih kesamaan yang ada kemudian diaplikasikan kepada ada yang berbeda. Aristoteles menegaskan bahwa penggunaan yang tepat akan metafora merupakan suatu tanda dari bakat alam dan tidak dapat dipelajari dari orang lain, hal itu berasal dari persepsi intuitif untuk mencermati dan mengamati kesamaan kesamaan dalam ketidaksamaan.
Selanjutnya menurut Funk dan Wilder metafora secara khusus tepat untuk mengekspresikan dua karakter dan unsur penting dari pengalaman religius: langsung dan transenden. Sebuah pengalaman religius -dalam pengertian keterpesonaan akan yang suci atau tertangkap oleh yang ilahi- sifatnya langsung dan berupa pengalaman individual serta di luar logika. Biasanya literatur religius yang berbicara pengalaman akan yang ilahi yang ada di dalam sejarah manusia diekspresikan dalam gambaran fisik dan sensual (contoh kitab Kidung Agung). Pada saat yang sama pengalaman religius melibatkan suatu perasaan, sense yang unik sehingga dia terbawa dan ditarik keluar dari diri sendiri menuju yang transendental tetapi bersamaan itu pula ada keterbatasan bahasa dalam mengatakan pengalaman transendental tersebut. Ada absurditas, keterbatasan namun juga kejelasan, keindahan, ketidakterbatasan dalam pengalaman transendental itu. Proses yang demikian sebenarnya merupakan kinerja dan logika metafora karena metafora mengungkapkan keindahan, kejelasan dalam absurditas, keterbatasan. Jadi, aktivitas metafora menunjukkan aktivitas, pergerakan transendental.
Pada akhirnya, esensi metafora terletak pada tindakan karena aktivitas puitis seluruhnya adalah imitasi, peniruan dan esensi dari imitasi adalah tindakan. Tindakan merupakan realitas karena realitas itu sendiri adalah suatu fakta bersumber dari suatu tindakan dan sebuah presentasi yang dinyatakan dan diaktualkan.
- Perbandingan
Suatu perbandingan adalah bahasa gambaran yang membandingkan dua hal yang berbeda yang diawali dengan partikel seperti dan bagai. Dengan perbandingan, kita menciptakan dan membuat deskripsi, penjelasan menjadi lebih berwarna, lebih hidup, lebih dramatis dan lebih menarik. Cintaku seperti mawar merah. Perbandingan juga merupakan metafora. Perbedaan antara metafora dan perbandingan sangat komplek. Metafora disebut perbandingan implisit (karena metafora tidak memakai partikel seperti, bagai) sementara perbandingan dinyatakan secara ekplisit dengan partikel: seperti dan bagai. Menurut Norman Perrin, metafora mengkontraskan kategori realitas yang berbeda secara fundamental sehingga ia mengusik dan menggoncang imaginasi; sementara perbandingan sifatnya ilustratif. Perbandingan menentukan suatu hal yang kontras dengan hal yang lain: hal yang kurang diketahui dijelaskan dengan hal yang lain yang diketahui dengan lebih baik. Sebaliknya, di dalam metafora kita memiliki image sehingga mengejutkan secara kuat imajinasi lalu secara langsung mengatakan visi yang ditunjukkan.
Puisi dan agama
Puisi dan agama memiliki hubungan yang erat satu sama lain. Dalam mengatakan, menyuarakan Tuhan, setiap agama menggunakan bahasa cinta dan bahasa cinta sifatnya puitis. Bagi Boccacio teologi tak lain adalah “puisi” akan Tuhan yang begitu indah. Kitab suci yang menjadi sumber wahyu, sebenarnya, merupakan bahasa cinta Tuhan kepada manusia. Jadi kitab suci merupakan suatu ekspresi puitis yang selalu membawa setiap insan ke dalam keindahan. Sebagai contoh: gema keindahan text puitis Mazmur adalah saat Mazmur dimadahkan dan didoakan dengan suara daripada dalam keheningan. Bahasa metaforis yang tinggi, rasa bahasa yang indah dan tekstur suara yang teratur suatu puisi tidak hanya mengantar kepada kesenangan asketik tetapi membangkitkan makna spritual dan membawa kita kepada realitas ilahi karena ide, pengalaman, pergulatan puisi merupakan sesuatu yang bersumber, berasal dan diinspirasikan dari Tuhan. Dari sebab itu, bisa dikatakan bahwa seorang penyair lewat puisinya merupakan seorang pewarta, seorang nabi, seorang imam.
Ketika penyair dengan puisinya menampilkan diri sebagai pewarta, ia bekerja dalam medium revelasi. Dalam konteks ini, puisi sebenarnya merupakan penyingkapan dan ungkapan kebijksanaan dan kehadiran ilahi. Bagaimana hal itu terjadi? Revelasi mengambil wadahnya sebagai ephifani dan theophany: Tuhan mewahyukan diri-Nya dalam keterpesonaan, ketakjuban yang melampaui indra dan kesadaran manusia. Ada cakrawala makna yang begitu luas akan makna teks kitab suci dan misteri Tuhan. Namun sayangnya sering kali terjadi stagnasi penafsiran dan makna teks kitab suci serta kedangkalan pemahaman akan misteri Tuhan. Hal itu terjadi karena akal dan imajinasi terpenjara dalam aturan normatif dan kaku karena menafsir hanya berdasarkan otoritas dan sesuatu yang tak berubah sehingga menghasilkan kepastian makna teks yang sudah final. Asumsi akan kepastian teks yang final menutup kemungkinan adanya cara penafsiran yang berbeda dan makna serta pemahaman yang lain. Kepastian makna teks rapuh karena memastikan makna teks berarti membendung makna teks padahal makna teks kaya berlimpah-limpah. Stagnasi juga terjadi ketika teks membekap realitas. Artinya apa yang dikatakan teks harus menjadi padanan realitas. Teks mendikte realitas: revelasi dan misteri Tuhan dalam keterbatasan linguistik dan dogmatik.
Tidak demikian dengan puisi. Puisi dengan logika, cara dan kebebasannya mewartakan, mengumandangkan misteri dan revelasi Tuhan yang terlalu kaya itu dalam keindahan dan kesakralan kata. Bagi Maria Hartiningsih, teks puisi berproses dalam situasi yang terus berubah dan menjadi sekaligus puisi merupakan tindakan awal tanpa akhir karena yang akhir selalu menjadi awal bagi puisi. Puisi memberi ruang bagi sang liyan dalam berbagai bentuknya bahkan menjadi identitas puisi yang terus-menerus melakukan hijrah dalam bahasa (Maria Hartiningsih). Konsekuensinya, puisi menembus batas interpretasi teks-teks agama sehingga sampai kepada suatu pemahaman dan horizon baru yang tak dapat dijangkau dengan interpretasi dogmatis ketat dan kaku. Puisi membedah dan membuka dunia yang tak terlukiskan yang tak terjangkau oleh penafsiran biasa. Ia membantu meluaskan arti teks kitab suci dengan menafsirkan secara berbeda sekaligus membantu teks agar teks dimengerti dengan cara yang lain. Karena itulah, teks puisi selalu memberi tempat akan revelasi kebesaran dan kekayaan Tuhan yang berlimpah-limpah.
Revelasi mewujudkan bentuknya secara nyata dalam ajaran sehingga revelasi pun dapat terjadi di dalam puisi karena sifat puisi adalah didaktik. Ada keunggulan puisi dibanding dengan yang lain ketika puisi menampilkan diri sebagai didaktik: ajaran puisi tidak terburu-buru menohok, menunjuk, menyudutkan sesuatu permasalahan tetapi pertama–tama puisi mengajak orang untuk mendengarkan dirinya yang terdalam dan sejati bahkan dibawa kepada keagungan Tuhan. Pada saat manusia mendengar dirinya yang sejati dan dibawa kepada keagungan Tuhan, manusia tak berkuasa untuk tak menerima revelasi tersebut. Sebab revelasi itu adalah dirinya sendiri: ada dan eksistensi serta hidupnya. Selain itu, kelebihan puisi sebagai didaktik ialah puisi mengajar perlahan-lahan dan penuh kesabaran seperti seorang ibu yang dengan tenang dan sabar mengajari seorang anak membaca dan menulis (Bdk J. Dryden). Edukasi puisi pun tidak terjebak di dalam pertimbangan baik atau jahat, tetapi ia menawarkan pilihan dan memupuk imajinasi sehingga kekayaan relevasi ditangkap, terakses oleh manusia secara indah dan mudah. Jadi dengan puisi moral feeling manusia dibangkitkan dan ditanamkan dalam rasa keindahan. Keindahan adalah simbol dari moralitas yang baik namun juga tempat utama revelasi.
Kekayaan dan kebesaran Tuhan yang tak terlukiskan dalam membimbing dan mencintai manusia lewat kontemplasi puisi menjadi kata yang bergema indah dalam syair. Konsekuensinya, kebijaksanaan, keterampilan, kontemplasi seorang penyair menerangi revelasi sehingga semuanya itu menjadi hasrat, dorongan, tujuan, kesukaan dalam menterjemahkan ketaatan terhadap revelasi sebagai otonomi dan kebebasan. Jadi penyair adalah musafir atau pengelena yang mewartakan kemasyuran Tuhan. Penyair membuat puisi menjadi wakil dan representasi agama dalam menterjemahkan revelasi maupun wahyu.
Dalam kaitannya sebagai nabi, puisi menguji, mengkritisi dan mencari kebenaran karena kebenaran adalah sesuatu infinitas yang membutuhkan pencarian akan dirinya terus-menerus. Menurut Heiddeger dan Paul Tillich kebenaran sebagai elemen terpenting dalam hidup dan makna, bukanlah melulu subjek dari logika tetapi muncul secara simultan sebagai ketersembunyian (veilling) dan penyingkapan (unveilling) yang melekat dalam pemikiran simbolis atau puitis.
Menarik bahwa dalam agama selalu ada dua dimensi: dimensi teks dan dimensi sejarah (Maria Hartiningsih). Di sini peran puisi sebagai nabi semakin nampak dan penting. Mengapa? Teks wahyu cenderung membawa pemeluknya kepada fundamentalisme karena keabsolutannya yang mengangkangi kebenaran. Wahyu sebagai dimensi teks adalah jawaban pasti; kebenaran yang ditawarkannya absolut lalu kesimultanan antara ketersembunyian dan penyingkapan tidak terjadi. Ia hanya berupa subjek logika. Akibatnya, teks agama yang membawa dan menyuarakan wahyu sering kali ditafsirkan sebagai alat kekuasaan sehingga terjadilah penafsiran tunggal dan ideologis. Tentu saja penafsiran tunggal dan ideologis cenderung menyembunyikan bahkan menyelusupkan kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok seolah-olah demi kebenaran teks. Penyembunyian kepentingan ini terkait dengan seringnya agama ditumpangi aliran politik despotik dan penafsiran sempit ideologis yang senantiasa melahirkan pemaksaan dan kekerasan (Maria Hartiningsih) tetapi terbungkus di dalam kesucian dan kesalehan yang palsu dan munafik. Sementara itu, dimensi sejarah memperlihatkan bahwa yang kuat dan berkuasa menafsirkan dan menciptakan kebenaran lalu menyuarakan dan mengontrol kebenaran seolah-olah sebagai kebenaran tunggal sekaligus final lewat tafsiran-tafsiran teks. Kebenaran pun menjadi kepastian yang tak perlu dicari, dikritisi, dan diperdalam padahal kebenaran itu sendiri adalah suatu infinitas yang perlu dicari terus-terus. Para penafsir tersebut adalah kolaborasi penguasa, intelektual, dan uang yang mengambil tempat dalam nama agama (bdk Maria Hartiningsih). Jadi, agama lewat dimensi teks dan dimensi sejarah saling bersinergi dan bermuara kepada kebohongan dan kekerasan karena kebenaran dan wahyu agama menjadi hamba dari kepentingan dan politik mereka.
Sebaliknya, puisi dalam kiprah kenabiannya mengkritik, memperdalam, mempertanyakan segala kemapanan, ketidakbenaran, kepalsuan demi keadilan dan kebenaran dalam cakrawala ilahi. Tidak mengherankan kalau puisi sebagai nabi sering menciptakan ketegangan dengan semua pihak yang mengklaim dirinya sebagai kebenaran tunggal; kejahatan yang terbungkus dalam kesucian; kepalsuan dalam kekuasaan despotik. Sebabnya, kiprah puisi bukanlah untuk memberikan jawaban yang benar melainkan bagaimana mengajukan pertanyaan secara benar. Tidak mengherankan kalau pertanyaan-pertanyaan para penyair merupakan pertanyaan yang radikal, pertanyaan yang paling berbahaya di dalam sejarah karena pertanyaan penyair dalam puisi-puisi memuat suara perubahan (Ahmad Munjid). Penyair dengan puisinya dengan bebas mempertanyakan segala sesuatunya sehingga hasil permenungan yang tertuang dalam puisi membantu orang mengambil jarak terhadap teks agama-wahyu karena puisi membongkar unsur yang melekat pada prinsip intern teks agama-wahyu. Pembongkaran itu bertujuan untuk melucuti bagian irasionalitas suatu teks dan juga mempertanyakan, mengkritisi kemapanan teks yang resisten untuk dipertanyakan supaya teks itu sungguh menjadi murni dan memberi kehidupan agama yang benar. Justru karena itulah, puisi memperkaya dan terbuka terhadap teks. Terbuka terhadap penafsiran teks itu berarti diperkaya oleh cakrawala penafsiran yang berbeda sehingga menjaga agama-wahyu dari bahaya fundamentalisme dan irasionalitasnya. Bahkan seandainya penafsiran salah atau jauh dengan makna yang sejati, teks agama-wahyu justru semakin dimurnikan. Sebab dengan kesalahan, makna dan arti ditemukan dan diperdalam. Kesalahan merupakan invers dari kebenaran yang menuntun kepada kebenaran asalkan sikap terbuka dan pencarian akan kebenaran melekat dan menjadi jiwa yang meresapi usaha mencari kebenaran. Jadi, puisi dengan kata kenabiannya dan kebebasannya merupakan dekontruksi terhadap rezim dogma kepastian karena mengkritik dan menunjukkan ke jalan mana seharusnya penguasa berjalan, membuka kebenaran–kebenaran yang lain yang tersembunyi untuk mengikis fundamentalisme, untuk melawan segala aneka kejahatan yang terbungkus dalam klaim kebenaran agamawi. Dengan dekonstruksinya puisi meretakkan tatanan ilusi kebenaran agama yang selama ini menjadi bagian realitas. Konsekuensinya, puisi menciptakan ketidakstabilan bagi politik agama yang palsu. Pohon status quo itu diguncangkan oleh tiupan keras angin syair puisi. Puisi menampilkan rupanya sebagai kenabian karena perannya dalam menyuarakan kebenaran dan ia mencari kebenaran dalam terang ilahi. Itu pula jantung perbedaan antara puisi, teks dan agama sebab puisi menyampaikan kisahnya sendiri, menilai realitas dengan horizonnya. Dalam horizonnya, ia punya keberanian untuk berbicara bahkan menuntut untuk didengar.
Puisi juga menyiratkan suatu devosi dan doa. Banyak tokoh-tokoh mistik berbagai agama menulis doa dan pengalamannya akan Tuhan dalam puisi. Yohanes dari salib, Jalal Rumi merupakan contoh-contoh penyair yang menjadi tokoh–tokoh mistik agama yang puisinya mencerminkan kekuatan dan keindahan iman. Seorang penyair dengan kata-kata dan nyanyian puisinya ia berdoa, melukiskan dan menceritakan Tuhan. Bagaimana itu terjadi? Puisi menyiratkan kesadaran akan kekuatan, keindahan dan metafora bahasa. Dari kesadaran akan kekuatan, keindahan, dan metafora bahasa, seorang penyair menyatukan diri dengan Tuhan. Ada dua alasan yang menjelaskan: Yang pertama dari segi fakultas bahasa yang mencakup kekuatan, keindahan dan metafora bahasa. Fakultas bahasa menyebabkan bahasa mengembara, berkelana sehingga ia lebih kaya daripada pengetahuan dan akibatnya ia mampu menciptakan pergerakan yang lebih jauh, lebih tinggi, lebih luas dan lebih dalam daripada keniscayaan- hasil dari ilmu pasti- yang tenang dan menetap itu. Yang kedua, dari segi estetika puisi. Aspek estetika puisi membawa kepada sang keindahan. Maksudnya demikian: estetika Tuhan diterjemahkan ke dalam realitas tanpa rival dalam suatu teks -baca wahyu-. Tetapi faktanya, di dalam keabsolutan estetikanya itu, Tuhan adalah seorang pemberontak yang melawan Diri-Nya sendiri; Tuhan adalah sebuah pertanyaan akan Diri-Nya sendiri. Konsekuensinya, ketika penyair menghasilkan puisi maka puisi memberikan kepada penyair kelimpahan dan semangat untuk memberontak kepada Tuhan yang berasal dari Tuhan sendiri. Lalu penyair mampu mengalami dan merasakan pilihan Tuhan akan puisi demi penjelasan wahyu dalam tantangannya terhadap cengkraman ontologis, etis dan religius sehingga muncullah permenungan, doa yang bersumber pergulatan, pencarian yang otentik akan Tuhan. (bdk. George Steiner, 2000). Semua itu tersatukan di dalam keindahan: keindahan bahasa, keindahan makna, keindahan imajinasi, keindahan iman yang menghasilkan keindahan transendental yaitu Tuhan. Jadi, puisi tidak hanya merupakan suatu bentuk diskursus yang menarik bagi imaginasi, persepsi, intelek, estetika tetapi juga sifat manusia yang paling dasar yaitu makhluk religius.
Sebagai makhluk religius manusia selalu menyadari kehadiran sang pencipta dan identitas dirinya sebagai ciptaan dari kesempurnaan dan keindahan sang pencipta. Ketika seorang penyair berpuisi tentang Tuhan, maka di balik kata-kata puisinya adalah roh Allah yang bekerja sekaligus pada saat yang sama merupakan ekspresi iman seorang penyair. Dalam puisi, Tuhan melucuti dan memisahkan diri-Nya dari diri-Nya sendiri supaya penyair lewat kontemplasinya terpesona, berbicara, bergulat dan menanyai Tuhan yang imanen. Lalu penyair pun menemukan, menjawab, menanggapi-Nya dalam untaian kata-kata puisi. Jadi bisa dikatakan bahwa suara Tuhan dan suara iman bergema dari dalam puisi. Puisi sebagai doa adalah kolaborasi antara Tuhan dan manusia; antara wahyu dan iman.
Maka, puisi iman membawa diri ke kontemplasi dan persatuan mistik dengan Tuhan. Persatuan mistik terjadi karena adanya ironi dan paradoks akan Tuhan; tipu muslihat Tuhan; jalan terjal untuk sampai kepada Tuhan tetapi lahir dari Tuhan; berasal dari Tuhan dan sekaligus menjadi jalan menuju Tuhan; menjadi kebenaran Tuhan. Kenyataan ini membuktikan karakter ganda puisi: puisi adalah kesimultanan antara penampilan, raga indrawi dan makna-arti yang supra indrawi. Realitas sendiri merupakan koinsidensi antara yang indrawi dan yang non-indrawi. Maka, puisi adalah relasi yang penuh arti yang menghubungkan antara yang indrawi dan non-indrawi sehingga mengantar kepada persatuan ilahi. Karena dunia indrawi tidaklah melulu suatu ketiadaan dan kegelapan tetapi juga cetusan, buah, aliran dan refleksi kebenaran tinggi sehingga mengantar kepada persatuan mistik dengan Tuhan.
Persatuan mistik dengan Tuhan mungkin sulit dipahami dan diungkapkan dengan bahasa, tetapi itulah iman yang sejati ketika seseorang mempercayai Tuhan meskipun ia berada di dalam ketidaktahuan dan keterbatasan yang gelap dan suram. Penyair dan pendengar berada di dalam ketegangan yang menciptakan harmoni antara yang terbatas dan yang tak berhingga. Inilah yang disebut dengan via negativa (jalan negatif) dalam persatuan dengan Tuhan.
Maka, demi menulis sebuah puisi, penyair menjadi segala sesuatunya dan pada saat yang sama pula adalah ketiadaan, bukan apa-apa. Kesadaran puisi membawa pendengarnya untuk memiliki kedaulatan yang tak terbatas yang melampaui segala sesuatunya. Ada dan tiada yang bersamaan adalah karakter yang ilahi. Akibatnya, seorang penyair dengan puisinya membawa pendengarnya untuk memiliki kedaulatan (sovereignty) yang melampaui dan menembus segala sesuatunya. Kedaulatan ini membenamkan diri pendengar dan sang penyair kepada kepada Yang Ilahi. Jadi, penyair menjadi perantara antara manusia dengan Tuhan; ia menjadi imam lewat kontemplasi puisinya.
Seperti yang dikatakan oleh Adonis, meski puisi bergandengan dengan agama bukan berarti bahwa puisi menjadi pelayan agama karena ketika puisi melayani agama, maknanya telah dikebiri, perannya dikerdilkan (dikutip dari Maria Hartiningsih). Puisi yang menjadi hamba agama membuat dirinya tidak lagi menjadi seni dan suara yang menceritakan, menyerukan dan mencari kebenaran sehingga berakhirlah dia. Syair menjadi mandul, tidak produktif dan tak mampu mengungkapkan isi realitas dan kebenaran dalam kebebasan karena syair terdekap dalam rasa takut dan sungkan kepada sang tuan agama. Ia berhenti memberikan alternatif, kritik, pencerahan maupun insight-insight baru. Jelas, puisi bukanlah propaganda ideologi agama karena puisi adalah yang mampu membakar, melintasi, dan melampaui segala keyakinan dan agama; karena puisi merupakan kesadaran intelektual, kesadaran estetika, kesadaran transendental yang membenamkan sekaligus meninggikan semua orang dalam satu fakta di seberang ada: Tuhan.
Pustaka
Buku
Aristoteles, Poetica, Milano: Rizzoli Libri, 1987
Belardi, W., Il linguaggio nella filosofía di Aristotele, Roma: 1975
Funk, Robert W., Language, Hermeneutic, and The World of God, New York: Harper & Row, 1966
Gadamer, Hans-Georg., Truth and Method, New York: Crossroad, 1988.
Gallavotti, C., Dell ‘arte Poetica, a.ca di C.G., Milano, 1974
Gilbert, Paul., Corso di Metafisica, Roma: Piemme, 1997
Steiner, George, Grammar of Creation, Yale University Press: London, 2000
Sutadi Laurensius, Faith, Revelation, and Man. A Theological Implication of Paul Ricoeur’s Hermeneutical Philosophy as a Philosophical Approximation of the Logic of Superabundance, Roma: Urbaniana University Press, 2003.
Majalah
Reist, John S, Poetry or Religion? Text, Tact, and Tactic in Matthew Arnold’s Literary Critical Method, The Intercollegiate Review – Spring, 1998
[1] Pendapat Adonis tertuang dalam wawancaranya dengan Maria Hartiningsih yang ditulis dalam Kompas
Copyright © 2016 ducksophia.com. All Rights Reserved