Lukisan: George Sheridan Knowles, Little Ones
Mendidik pikiran, tanpa mendidik hati
sama sekali bukan pendidikan
Aristoteles
Sekarang ini korupsi yang semakin merajalela mengambil wadah rasionalisasi. Korupsi dibenarkan dan dilogiskan sehingga tindakan korupsi bukan perbuatan yang salah. Kejahatan bertambah pintar dalam modus operandinya. Akibatnya, bangsa ini semakin terpuruk. Yang aneh bahwa aneka bentuk korupsi dan kejahatan itu menunjukkan kemajuan teknik korupsi dan modus kejahatan yang semakin canggih. Otak diputar sedemikian rupa agar tindakan korupsi terhindar dari hukum dan kejahatan bebas dari sanksi. Koruptor dan penjahat itu seakan berlomba mencari metode dan cara untuk mengelak dari hukum. Memang akhirnya banyak koruptor dengan dalihnya tak dapat dicekal hukum dan para penjahat tak mampu ditangkap polisi. Keanehan ini mengatakan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang pintar tetapi jelas tak beretika. Peliknya aneka persoalan itu perlu dirunut kembali kepada sistem pendidikan bangsa ini karena peradaban suatu bangsa-baik/buruknya- ditentukan oleh sistem pendidikannya.
Isolasi pendidikan
Kalau sistem pendidikan bangsa ini dicermati sungguh, sistem pendidikan yang berlaku ternyata mengisolasi siswa. Isolasi itu berwujud pada kurikulum dan metode pendidikan yang bertujuan untuk mencerdaskan bangsa. Kurikulum sebagai komponen utama sistem pendidikan dikondisikan secara total pada soal intelektual. Pengkondisian nampak dalam mata pelajaran yang diberikan sekolah. Mata pelajaran yang ada hanya menggarap intelektual tanpa menyentuh hati. Metode pengajaran juga membentuk mental siswa untuk diam dan taat pada isi pendidikan tanpa punya mental bertanya. Tanpa ada mental bertanya berarti menjerumuskan diri kepada ketakpekaan karena hanya menyerap isi dan tak memberi jarak untuk berefleksi. Orientasi humanistik dan empati sosial jarang sekali mendapat tempat dalam pendidikan. Jadi bisa disimpulkan bahwa pendidikan Indonesia mencerdaskan aspek kognitif melulu tanpa memberi ruang kepada bidang yang lain.
Dampaknya, pendidikan Indonesia mengisolasi siswa pada tatanan kognitif. Siswa jadi pintar dan mahir tapi tak pernah punya empati akan sosial dan orientasi humanistik. Ini adalah suatu bentuk pengisolasian diri yang menghasilkan manusia ego soliter. Manusia ego soliter bisa dipahamai sebagai manusia yang terkungkung dalam kenikmatan kesendirian. Manusia ego soliter bersuara lantang bahwa dalam kesenanganku, aku hanya ada untuk diriku sendiri tanpa ada ruang bagi kamu yang lain (Levinas, 1969: 175).
Dehumanisasi
Pendidikan yang menghasilkan manusia ego soliter adalah keterbelakangan dalam bentuk lain (bdk Herta Mϋller, 2009). Lalu, pendidikan yang semacam itu justru mempersubur dan menguatkan habitus buruk bangsa karena sistem pendidikan yang demikian menyebabkan seseorang tidak pernah berpikir dan merasa bahwa segala tindakannya selalu mempunyai efek sosial dan hidup ini menggandeng realitas aku-kamu (Bubber, 1997).
Dampaknya, pendidikan Indonesia menetaskan dehumanisasi sehingga menjadi bumerang peradaban bangsa yang terealisasi sebagai homo homini lupus: manusia menjadi srigala bagi yang lain. Tingkat korupsi dan kejahatan yang tinggi bangsa ini bukti nyata bahwa bangsa ini didiami homo homini lupus
Disiplin etika : habitus keutamaan
Paulo Freire mengatakan bahwa pendidikan itu membebaskan. Pendidikan yang membebaskan hanya terjadi jika sistem pendidikan mengedepankan disiplin etika. Disiplin etika bisa diartikan sebagai latihan akan keutamaan. Keutamaan adalah kualitas hati dan budi yang cemerlang yang mengarahkan manusia pada hidup yang benar dan tak mungkin membawa manusia kepada kejahatan (Thomas Aquinas, Ia2ae.18.5). Latihan keutamaan memuat suatu teknik, metode, aplikasi di mana seseorang memberlakukan keutamaan secara repetitif pada tingkah laku. Tujuannya membentuk suatu karakter keutamaan yang kokoh. Jadi dispilin etika adalah trains of virtue karena keutamaan itu bukan barang jadi tetapi sesuatu yang ditempa, diusahakan dan dilatih terus–menerus. Contoh disiplin etika adalah terlibat langsung dalam kegiatan sosial dan karya sosial, berbagi pengalaman dalam wadah sharing untuk belajar mendengarkan.
Namun kegiatan-kegiatan tersebut tidak sebatas pada aktivitasnya. Maksudnya disiplin etika menuntut refleksi. Refleksi berarti memaknai aktivitas dalam nilai-nilai keutamaan. Mekanisme refleksi membantu menginternalisasikan keutamaan dalam budi dan hati sehingga seseorang mengenal dan memahami dinamika hidup serta mengantar orang untuk bersentuhan dan menyatu dengan realitas. Lalu dari sentuhan dan persatuan dengan realitas terciptalah pemikiran, perasaan dan tindakan untuk menanggapi persoalan yang ada di tempat ia hidup. Dengan demikian disiplin etika membebaskan dan mengeluarkan diri dari ego soliter serta membentuk integritas pribadi.
Selain itu, melalui disiplin etika, terbentuklah self-constancy in virtues yang terpatri dalam tingkah laku dan sikap sehingga menghasilkan habitus baru: habitus keutamaan. Habitus bukanlah sesuatu yang sifatnya statis dan terpola, tetapi suatu tendensi dinamis untuk bertindak dalam suatu cara yang determinatif (Peter Kreeft, 1990). Disipilin etika melekatkan keutamaan sebagai tendensi dinamis dalam cara yang determinatif itu.
Habitus keutamaan mendorong orang mempertanggungjawabkan diri dan tindakannya pada tempat orang lain. Tanggung jawab yang terbentuk dari habitus baru membuka cakrawala kesadaran bahwa orang lain adalah aku yang kedua sekaligus merealisasikan empati dan tindakan sosial. Dengan demikian tak mungkin orang melakukan tindakan yang menyakiti sesama seperti korupsi dan kejahatan. Disiplin etika harus menjadi tempat utama dalam sistem pendidikan agar bangsa ini bisa bangkit dari keterpurukannya.
Copyright © 2019 ducksophia.com. All Rights Reserved