XVII
Ketakhayulan
Francis Bacon
Lukisan Albert Anker, The Grape Harvest Festival
Kiranya lebih baik tidak beropini sama sekali tentang Tuhan, daripada beropini tentang Tuhan tetapi tidak berguna. Sebab yang satu adalah ketidakpercayaan, yang lain adalah hinaan; dan tentu saja ketakhayulan secara jelas dan sah adalah penghinaan kepada Ketuhanan. Plutarch[1] mengatakan dengan tegas akan perihal ketakhayulan: Pastilah (katanya) saya akan amat menyetujui orang-orang yang berkata bahwa tidak ada sama sekali tipe manusia seperti Plutarch, daripada perkataan mereka yang berkoar-koar bahwa ada seorang yang bernama Plutarch yang akan menyantap anak-anaknya segera mungkin setelah dilahirkan; seperti para penyair yang berbicara tentang dewa Saturnus[2].
Dan sebagaimana hinaan kepada Tuhan menjadi semakin sengit, maka bahaya penistaan kepada manusia pun menjadi begitu dasyat. Memang ateisme membuat manusia untuk memaknai, untuk berfilsafat, untuk berbelas kasih secara alami, untuk membuat hukum, untuk memiliki reputasi; semuanya ini kiranya menjadi petunjuk keutamaan moral yang sifatnya lahiriah saja, tentu saja agama tidak menghasilkan perihal tersebut; tetapi ketakhayulan menyingkirkan semuanya ini dan membangun suatu monarki yang absolut di dalam pikiran manusia. Oleh karena itu, ateisme tidak pernah menggelisahkan negara, karena ateisme hanya membuat manusia letih akan dirinya sendiri, ibarat orang yang tidak dapat melihat lebih jauh lagi: dan kita menyaksikan bahwa sebuah zaman yang akan condong kepada ateisme (seperti pada zaman Kaisar Augustus) adalah zaman dalam keadaan sejahtera. Tetapi ketakhayulan telah menjadi suatu keresahan di banyak negara dan menciptakan suatu primum mobile[3] yang baru yang memperkosa semua sendi pemerintahan. Guru ketakhayulan adalah rakyat dan di dalam segala ketakhayulan orang-orang bijak mengikuti orang-orang tolol; serta argumen-argumen ketakhayulan memang amat cocok dengan prakteknya tetapi dalam bentuk keteraturan yang terbalik. Hal ini dikatakan dengan tegas oleh beberapa prelatus dalam konsili Trente[4], berkaitan dengan doktrin para Cendekiawan yang melahirkan suatu keyakinan baru, bahwa kaum Cendekiawan ibarat para astronom yang berpura-pura menemukan eccentric dan epicycles[5] dan sistem orbit demi mempertanggung-jawabkan fenomena tersebut; meskipun mereka tahu bahwa hal yang seperti itu tidak ada, dan dengan cara yang sama, bahwa Kaum Cendekiawan telah menyusun suatu seri axiom dan dalil yang jeli dan berbelit-belit untuk menyelamatkan praktik gereja.
Penyebab ketakhayulan adalah ritus dan seremoni yang menyenangkan dan sensual; ekses akan kesucian lahiriah dan yang sifatnya farisi, pemujaan yang berlebihan terhadap tradisi yang mewarnai gereja, tipu daya para prelatus demi ambisi mereka sendiri dan uang; bantuan-bantuan yang berlebihan yang bersumber dari intensi-intensi yang baik sehingga membuka gerbang kesombongan dan gerbang untuk hal-hal yang baru; mengambil-alih hal–hal yang seharusnya menjadi wewenang ilahi dan menjadikannya urusan manusia yang sebenarnya tidak dapat dilakukan sehingga membiakkan suatu campuran imajinasi; dan, yang terakhir, zaman yang biadab terlebih ketika zaman berbaur dengan kemalangan dan bencana.
Ketakhayulan tanpa sebuah kerudung adalah buruk rupa; karena sebagaimana makin memperjelek seekor monyet yang mau menyerupai manusia; maka demikian juga ketakhayulan yang menyerupai agama akan membuat dirinya makin buruk rupa. Dan sebagaimana daging yang seluruhnya dirusak oleh belatung-belatung kecil, demikian juga bentuk-bentuk dan keteraturan yang baik dirusak oleh suatu rentetan ibadah yang picik. Ada ketakhayulan yang terjadi karena menghindari ketakhayulan, ketika manusia berpikir bahwa dirinya melakukan yang terbaik jika dia menjauhkan diri sejauh mungkin dari ketakhayulan yang dianut sebelumnya; oleh karena itu solusinya kiranya adalah bahwa (ketika solusinya berlangsung di dalam penghapusan yang keliru) semoga kebaikan tidak dipisahkan dengan keburukan; yang pada umumnya terjadi ketika rakyat menjadi sang reformator.
[1] Tentang Plutarch lihat essai II; no 2.
[2] Saturnus adalah dewa Romawi penguasa semesta sepanjang masa. Menurut mitologi Romawi, Saturnus adalah ayah dari dewa Ceres, dewa Jupiter, dewa Veritas, dewa Pluto, dewa Neptunus dan dewa Juno. Kemudian ketika Jupiter naik takhta menjadi dewa tertinggi, Saturnus melarikan diri ke Roma dan di Roma dewa Saturnus berhasil membuat Roma dalam keadaan damai dan harmonis. Maka, demi menghormati dewa Saturnus orang-orang Roma mempersembahkan pesta Saturnalia yang diadakan setiap tahunnya. Pada pesta Saturnalia, tuan dan budak di duduk di meja yang sama; tidak ada perang; semua hukuman mati ditunda.
[3] Tentang primum mobile lihat essai XV; no 11
[4] Konsili Trente (13 Desember 1545- 4 Desember 1563) diselenggarakan untuk menjelaskan beberapa pokok iman katolik (misalnya tentang dosa asal, Tradisi, Pembenaran, Sakramen, praktik penghormatan kepada orang-orang Kudus) sekaligus menjawab dan memberi pertanggungjawaban atas 95 tesis Martin Luther yang mempertanyakan dan mengkritik dengan keras pokok iman Katolik.
[5] Menurut astronomi Ptolemaeus, semua planet bergerak di dalam lingkaran-lingkaran yang disebut dengan epicycles, pusat planet-planet yang bergerak di dalam lingkaran-lingkaran disebut eccentrics, karena pusat-pusat dari planet-planet berada di luar bumi.
Copyright © 2016 ducksophia.com. All Rights Reserved