Causa Final

Lukisan Arthur John Elsley, A Faithful Guardian, 1908

Causa final menghasilkan perubahan melalui ada tercinta”

Aristoteles

 

Definisi dan karakternya

Causa final didefinisikan sebagai itu yang deminya sesuatu dikerjakan (id cuius gratia aliquid fit), dengan kata lain itu yang menggerakkan agen untuk bertindak. Pengrajin emas bekerja sedemikan rupa untuk menghasilkan perhiasan emas; seorang siswa belajar dengan tekun untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Pengertian causa final yang demikian mendeklarasikan bahwa causa final adalah causa yang real dan benar. Mengapa? Segala sesuatu yang mempengaruhi ada yang lain secara positif adalah suatu causa. Maka, tujuan menentukan efek artinya efek tergantung total pada tujuan karena tujuan menggerakan agen sehingga tanpa tujuan efek tidak akan terjadi.

Sudah pasti bahwa karakter finalitas adalah kebaikan. Suatu hal diinginkan dan dihasratkan sebagai finalitas sejauh memiliki dan berorientasi kepada kebaikan karena kebaikan menyempurnakan. Kebaikan yang menyempurnakan mematri bahwa kebaikan selalu mempesona dan memikat. Maka, causa final terjadi sejauh ada yang menarik atau mempesona sang agen. Kalau materi dan forma menjadi causalitas melalui kesatuan sebagai potensi dan aktus, sementara causa efisien memberikan forma pada materi, maka keterpesonaan merupakan cara causa final menarik agen kepada dirinya. Dengan demikian keterpersonaan menjadi keunikan causa final. Finalitas tidak menggerakkan kehendak hanya dengan serta merta mengetahui kebaikan sebab mengetahui milik intelek dan sering kali kita mengelak untuk melakukan kebaikan meskipun kita mengetahui dan menyetujui kebaikan. Lalu apa yang menggerakkan kehendak? Hanya cintalah yang menggerakkan dan melekatkan kehendak kepada finalitas, oleh karena itu cinta yang melekat pada finalitas itulah yang menyebabkan terjadinya causalitas.

Tipe finalitas

Finalitas memiilki banyak bentuknya, tergantung dari aspek mana yang dipertimbangkan. Sebagai contoh, seseorang siswa yang belajar memiliki beberapa finalitas: dia belajar agar dia lulus dengan baik; selain itu juga mendapatkan ilmu pengetahuan; dia belajar dengan baik agar mendapatkan pekerjaan yang baik; ilmu pengetahuan yang didapatnya untuk kepentingan masyarakat. Tipe finalitas kiranya dapat dijabarkan sebagai berikut:

  • Finalitas objektif dan finalitas subyektif

Finalitas objektif adalah kebaikan yang kita hasratkan; dan finalitas subyektif adalah dia yang untuknya kita mengharapkan kebaikan. Ketika seorang ayah berkerja untuk menafkahi anaknya, nafkah adalah finalitas objektif dan anaknya adalah finalitas subyektif dari pekerjaan sang ayah.

  • Finalitas terakhir dan finalitas perantara

Finalitas terakhir adalah itu yang untuknya kita harapkan seluruhnya dan kita menghasratkan hanya untuk itu sendiri tanpa yang lain. Finalitas perantara adalah itu yang tidak kita cari demi dirinya sendiri tetapi untuk yang lain yang dibawa olehnya. Ketika seseorang berdoa untuk memperoleh rahmat, Tuhan adalah tujuan terakhir dari doanya, rahmat hanyalah finalitas perantara.

  • Finalitas objektif (finis qui) dan finalitas formal (finis quo)

Finalitas objektif (finis qui) adalah hal yang kita harapkan sementara finalitas formal (finis quo) adalah tindakan yang dengannya kita memiliki hal yang kita hasratkan. Pengetahuan adalah finalitas objektif dari suatu studi dan kesuksesan dalam bekerja adalah finalitas formal dari suatu studi.

  • Finalitas karya (finis operis) dan finalitas agen (finis operantis)

Finalitas karya adalah itu yang kepadanya karya secara natural bertendensi, sementara finalitas agen adalah itu yang mana dia tetapkan menurut kesukaannya. Finalitas objektif tukang kayu adalah menghasilkan mebel, finalitas agen tukang kayu bisa jadi ketenaran. Finalitas obyektif karya sedekah adalah membantu yang miskin, finalitas agen dia yang memberikan sedekah bisa Tuhan bisa pula untuk pamer.

  • Finalitas utama dan finalitas sekunder

Finalitas utama adalah itu yang diintensikan pertama dan dikehendaki sungguh oleh agen; finalitas sekunder adalah itu yang dikehendaki sebagai konsekuensi. Maka pendidikan yang baik untuk anak–anak haruslah menjadi finalitas utama dari seorang guru sementara menerima uang atau upah pendidikan kiranya menjadi finalitas sekunder.

  • Finalitas natural dan finalitas supernatural

Finalitas natural adalah itu yang tidak melampaui kekuatan-kekuatan natural; finalitas supernatural hanya dapat dicapai melalui bantuan rahmat. Maka, kesehatan adalah tujuan natural kesehatan; contemplasi yang membahagiakan (vision beatific) adalah tujuan supernatural manusia.

 

Prinsip finalitas: segala natura memiliki finalitasnya

Setiap agen bertindak demi dan untuk suatu tujuan sehingga tanpa finalitas agen tidak akan berbuat apa-apa atau tidak akan ada efek. Fakta ini dapat dilihat dalam aktivitas segala natura. Segala hal yang ada mengarah dan menunjukkan suatu finalitas di dalam naturanya masing-masing. Hal ini menunjukkan bahwa semesta ini berada di dalam keteraturan (order). Order itu sendiri merupakan penataan segala yang ada dalam relasinya kepada finalitas. Order dalam bahasa Yunani disebut sebagai cosmos dan lawannya adalah chaos.

  • Finalitas ada natural yang tanpa intelegensi

Ada-ada natural yang tanpa intelegensi (tumbuhan) bertindak secara pasif dan eksekutif demi suatu finalitas. Pada dasarnya, finalitas mereka terjadi karena ada internal order di dalam aktivitas natural mereka. Maka, semua proses natural dianugerahi dengan suatu keraturan yang definitif sehingga berkat keteraturan tersebut proses natural selalu berada dalam pergerakan menuju finalitas. Hal ini dibuktikan dengan suksesi proses: proses yang satu diikuti proses selanjutnya sampai pada proses yang terakhir.  Tumbuhan apel menghasilkan buah apel sebagai hasil dari kesuburan pohon apel.

  • Finalitas benda-benda anorganik

Memang sulit untuk mempersepsikan finalitas dari ada anorganik karena absennya kehidupan berarti semakin tak sempurna ada tersebut. Tetapi jelas bahwa keberadaan ada anorganik untuk ada-ada yang hidup dan untuk menopang kehidupan kosmos ini. Misalnya batu-batu diperlukan untuk membangun rumah. Jadi, ada-ada anorganik memiliki finalitas pada makhuk hidup. Ada-ada anorganik pun lewat aktivitasnya menuju finalitas. Aktivitas mereka adalah pemenuhan untuk ada mereka; aktivitas mereka mengarahkan kepada suatu akhir meskipun mereka tidak mengetahuinya dan mereka tergantung sepenuhnya kepada causa efisien. Maka segala yang ada di kosmos ini memiliki peran unik masing-masing demi mencapai finalitas sehingga ada kolaborasi dan adaptasi yang satu terhadap yang lainnya[1].

  • Finalitas binatang (juga tumbuhan)

Jelaslah bahwa binatang (termasuk tumbuhan) mengejar finalitas dalam apa yang mereka lakukan: mencari makan, menggali lubang, memiki keturunan dan mempertahankan diri.

Binatang meraih finalitasnya melalui suatu pengetahuan yang mereka miliki tetapi mereka bertindak untuk finalitasnya tidak secara langsung, bebas dan elektif karena mereka tidak mengetahui hubungan finalitas dengan sarana-sarananya; pengetahuan binatang dan keinginan mereka ditentukan oleh insting mereka[2].

Struktur internal binatang (dan tumbuhan) juga menyatakan eksistensi finalitas karena masing-masing organ mereka memiliki fungsi masing-masing. Misalnya mata untuk melihat, organ-organ seksual untuk reproduksi, daun untuk fotosintesis dan sebagainya.

  • Finalitas di dalam malum fisik

Secara kontras eksistensi malum fisik juga menunjukkan kehadiran finalitas. Andaikata aksi tidak mengarah kepada tujuan tertentu, maka tak seorang pun akan berbicara soal malum ataupun kegagalan untuk mencapai finalitas karena sesuatu dikatakan buruk-gagal karena tidak mencapai kesempurnaannya. Eksistensi keturunan yang cacat yang ada di dalam generasi natural justru menegaskan eksistensi finalitas karena tanpa eksistensi finalitas keturunan yang cacat tidak bisa dikatakan sebagai malum fisik.

Peristiwa alam yang destruktif misalnya gempa bumi, angin topan, banjir memang menghancurkan panen, membinasakan ciptaan yang ada. Tetapi peristiwa alam yang demikian juga mengisi suatu peran yang unik di dalam dunia fisik (secara geologi dan meterologi). Tetapi eksistensi malum fisik sifatnya aksiden.

  • Finalitas dalam free being

Free being mengetahui finalitasnya sebagai intensi dari fakultasnya sehingga mereka memiliki kuasa atas tindakannya untuk mencapai finalitas. Maka, finalitas manusia berada di dalam fakultas kehendak dan akal budi. Thomas menyebut hal ini dengan voluntas ut natura, artinya di satu sisi kehendak diarahkan kepada sebuah objek, dan sisi lain objek bukan hanya suatu kebaikan partikular tetapi juga kebaikan secara umum yang diketahui oleh intelek. Misalnya, seorang pemahat memutuskan memahat sebuah patung. Ia memilih batunya, bentuknya, alat yang digunakan untuk menghasikan pahatan. Jadi,  manusia bertindak demi tujuan bukan hanya secara eksekutif tetapi secara direktif dan elektif. Karena manusia dianugerahi dengan akal budi, dia mengenali sarana-sarana untuk mencapai finalitas; dia memilih yang baik dan menolak yang lain.

Realitas direktif dan elektif juga membuktikan bahwa dia juga memiliki kebebasan. Kebebasan di sini bukan berarti memilih finalitas yang baru tetapi memilih finalitas yang benar dan baik. Kebebasan juga berarti tidak ada paksaan dari luar untuk melakukan apa yang harus dilakukan.

Kesimpulannya bahwa tidak ada bedanya apakah segala ada yang berintensikan kepada finalitas merupakan ada yang mengetahui atau ada yang tidak mengetahui, menghendaki atau tidak menghendaki. Meskipun setiap agen baik natural dan voluntary bertujuan kepada suatu finalitas, tetapi tidak berarti bahwa setiap agen mengetahui finalitas dan menghendaki finalitas[3]. Berkaitan dengan agen natural, tindakan mereka kepada finalitas telah dideterminasi sehingga tidak perlu memilih sarana untuk mencapai finalitas. Demikian juga bahwa mereka tidak perlu menghendaki finalitas karena telah  memiliki tendensi natural kepada finalitas. Sebab targetnya adalah finalitas baik bagi si pemanah maupun bagi pergerakan anak panah.

Tumbuhan, binatang dan ada anorganik memiliki aktivitas melalui natura. Natura mau mengatakan bahwa  mereka diarahkan menuju finalitas oleh sesuatu yang lain. Jadi, ada suatu intelek yang menata dan mengatur mereka dalam suatu tindakan yang menuju finalitas. Dengan demikian aktivitas natura dari agen natural merupakan titik awal untuk bukti teleologis akan keberadaan Tuhan. Finalitas segala yang ada terkait dengan harmoni semesta, maka finalitas batu, laut, tumbuhan atau segala yang ada adalah memberikan kemuliaan Tuhan dengan mempresentasikan keindahan dan kebaikan Tuhan.

 

Causa causarum (causa segala causa)

Causa final adalah mahkota causalitas sekaligus juga penyebab dan dasar dari causa-causa yang ada. Causa final sebagai penyebab dan dasar causalitas berarti bahwa causa final merupakan syarat mutlak untuk causa-causa lain-lain, sebagai mahkota berarti causa final adalah causa untuk causalitas segala causa (causa causarum). Maka, causa final meskipun dalam tatanan causalitas merupakan causa yang terakhir tetapi ia merupakan causa yang pertama. Realitas causa final sebagai causa causarum dapat dibedah sebagai berikut:

  1. Causa final adalah alasan untuk causa efisien, jadi causa final bukan itu yang mengaktual lalu menjadi causa efisien: causa efisien adalah causa karena bertindak, beraksi dan causa efisien beraksi hanya kerena causa final. Dengan demikian causa efisien mendasarkan causalitasnya pada causa final. Artinya bahwa causa efisien adalah causa dari causalitas baik untuk materi dan forma karena dengan aksinya, causa efisien menyebabkan materi mampu menerima forma dan membuat forma mengada di dalam materi. Dengan demikian karena fundamen causa efisien adalah causa final, maka causa final adalah causa untuk causalitas baik untuk materi dan forma: finalitas menyebabkan materi menjadi materi dan forma menjadi forma, karena materi menerima forma hanya demi finalitas dan forma menyempurnakan materi melalui finalitas. Oleh karena itulah finalitas adalah causa segala causa. Sebagai contoh seorang pelukis memutuskan menggambar lukisan pemandangan (causa final), maka demi motif ini, si pelukis mulai beraksi menggambar (causa efisien) dengan mengikuti pola-rancangan pemandangan tertentu (causa forma) di atas kanvas (causa materi).
  1. Causa causarum juga berarti bahwa meskipun tujuan dicapai dan diselesaikan pada akhir tetapi tujuan adalah causa pertama di dalam tatanan intensi; jadi tujuan adalah itu yang terakhir di dalam eksekusi tetapi yang pertama di dalam intensi. Sebab tanpa ada intensi akan causa final tidak akan ada aksi apapun sehingga causa formal dan causa material tidak terjadi pula. Seseorang pelajar tidak akan belajar kecuali dia dimotivasi oleh hasrat untuk pengetahuan ataupun demi kelulusan. Kelulusan dikatakan sebagai intensi pertama dan mendapat pengetahuan merupakan hal yang terakhir di dalam eksekusi (setelah beberapa tahun studi ia mendapat pengetahuan)

 

Keteraturan keempat causa

Causa final yang mempunyai peran sentral dalam kausalitas menyatakan bahwa adanya keterkaitan di antara keempat causa tersebut. Maka fakta keterkaitan menyuarakan bahwa keempat kausa tidak terpisah satu sama lain atau hanya sekedar diletakkan secara berdampingan tetapi selalu membentuk keteraturan satu sama lain. Keterhubungan keempat causa kiranya dapat dipetakan sebagai berikut[4]:

  • Dalam koridor causa ekstrinsik, causa efisien -dalam hal ini agen- adalah causa untuk finalitas dalam perspektif pemenuhan karena finalitas tercapai melalui operasi agen. Namun, sang agen bukanlah penyebab finalitas sebagai final; sang agen hanya membawa pencapaian akan kebaikan yang disyaratkan oleh tujuan akhir. Jadi, agen digerakkan oleh finalitas tetapi finalitas tidak digerakkan oleh apa pun.
  • Dalam koridor causa intrinsik, materi dan forma adalah causa mutualisme. Forma mengaktualkan materi dan memberikan kepada materi esse sementara materi mendukung forma sebagaimana potensi mendukung forma.
  • Causa ekstrinsik adalah causa bagi causa intrinsik. Materi dan forma sebagai causa intrinsik tidak akan membentuk komposisi tanpa adanya aksi dari agen dan agen sendiri tidak akan bertindak jika tidak memiliki finalitas.
  • Karena finalitas adalah mahkota dari kausalitas, kegagalan untuk finalitas berarti kegagalan total dalam keseluruhan kausalitas. Hanya manusia yang dapat mengenali finalitas terakhirnya yaitu Tuhan. Segala ciptaan demi manusia dan manusia demi dan untuk Tuhan. Keluar dan menyimpang dari finalitas terakhir yaitu Tuhan, maka yang terjadi adalah kekacauan (chaos).

 

Tuhan sebagai causa finalitas

Niscaya bahwa Tuhan adalah causa final segala yang ada. Sebab Tuhan bukan saja Agen pertama yang berkarya untuk mendapatkan finalitas tetapi juga berkehendak untuk mengkomunikasikan kesempurnaan-Nya yang adalah kebaikan-Nya[5]. Setiap ciptaan berkehendak untuk mendapatkan kesempurnaanya masing-masing dan kesempurnaan ciptaan tak lain adalah keserupaan dengan kesempurnaan dan kebaikan Tuhan. Jelasnya, segala yang ada menghasratkan Tuhan sebagai finalitasnya. Hasrat kepada Tuhan sebagai finalitas mencakup baik hasrat intelektual ataupun natural (tanpa pengetahuan) karena tidak ada sesuatu yang baik dan dihasratkan kecuali berpartisipasi di dalam keserupaan dengan Tuhan[6].

Tuhan telah membuat segala sesuatu untuk tujuannya masing-masing” (Amsal 16: 4)

[1] Mazhab nominalisme tegas menolak finalitas yang ada di dalam natura. William Ockham mengatakan bahwa di dalam benda-benda anorganik, tidak mungkin ada finalitas karena mereka beraktivitas berdasarkan suatu keniscayaan yang disebabkan oleh natura mereka dan bukan karena alasan finalitas Jadi meragukan apakah ada-ada yang tak memiliki pengetahuan, bertindak untuk suatu finalitas (Summuluae in libros Physicorum).

[2] Descartes menganggap bahwa binatang hanya sebagai mesin yang telah diatur sedemikan rupa oleh semacam otomatis yang sifatnya rahasia; jadi seperti jam. Dengan demikian Descartes menolak bahwa binatang memiliki pengetahuan. Tetapi pengalaman membuktikan bahwa dengan jelas bahwa binatang memiliki finalitas bukan hanya karena oleh Penyelenggaraan tetapi juga memiliki pengertian akan finalitas. Namun hal ini bukan berarti menyetujui pendapat Pythagoras yang mengatakan bahwa binatang memiliki akal dan berbeda dengan manusia hanya soal fisik saja. Sebab binatang tidak dapat mempersepsikan sarana-sarana untuk meraih finalitas. Karena itu mereka dimbimbing oleh insting yaitu natural judgement yang menetapkan mereka kepada suatu objek tunggal dan bukan dari hasil akal budi tetapi lebih merupakan hadiah dari Pencipta dan disebut vis aestimativa (fakultas estimative).

[3] Thomas Aquinas, Summa Contra Gentiles, Book III, ch.2

[4] Bdk. Tomas Alvira, Luis Clavell, Tomas Melendo, Metaphysics (Manila: Sinag-Tala, 1991) hal 230-231

[5] Ibid, Summa Theologiae, I, q.44 a.4

[6] Ibid.

Copyright © 2017 ducksophia.com. All Rights Reserved

Author: Duckjesui

lulus dari universitas ducksophia di kota Bebek. Kwek kwek kwak

Leave a Reply