Lukisan Cesare Auguste Detti,Très Galant
“Menjadikan diri terbuka kepada atribut-atribut being transendental berarti bahwa seseorang mengutamakan being di atas having. Di dalam hati being terbaringlah kesatuan, kebenaran, kebaikan dan keindahan yang mengundang kita kepada sebuah komunitas bersama dengan being dan mengisi pikiran kita dengan kesempurnaan”.
Leo. J. Elders
Transendental dan kategori
Ada adalah realitas pertama yang ditangkap dan dimengerti oleh intelek sehingga dari ada yang dimengerti oleh intelek terjadilah pengetahuan[1]. Konsekuensinya segala gagasan intelek diperoleh dengan cara menambahkan sesuatu kepada gagasan ada itu sendiri. Artinya sebagai berikut: ketika kita mengetahui dan memahami sesuatu, ini terjadi karena kita mempersepsikan realitas dengan ada. Kita mengetahui misalnya manusia yang baik, singa yang besar, bunga yang cantik. Segala yang ada di sekitar kita adalah ada (manusia, singa, bunga) atau properti suatu ada (yang baik, yang besar, yang cantik). Tidaklah cukup kita hanya mengatakan ada tanpa aspek-aspeknya misalnya manusia, singa, bunga tetapi kita harus menambahkan aspek atau properti kepada ada sehingga ada menjadi ada dengan properti-propertinya misalnya singa yang besar, manusia yang baik, bunga yang cantik.
Thomas Aquinas dalam De Veritas., q.I, art I. mengatakan bahwa semua konsep kita yang paling determinatif (menentukan) tidak mengandung karakter-karakter yang ditambahkan kepada ada seolah-olah dari luar karena setiap karakter atau determinasi itu sendiri tetaplah selalu ada bahkan determinasi (karakter) telah diimplisitkan pada konsep ada[2]. Tetapi juga dikatakan oleh Thomas bahwa beberapa aspek-aspek determinatif ditambahkan kepada ada untuk menyatakan suatu cara ada, yang tidak terekspresikan dari kesederhanaan nama ada. Selanjutnya, Thomas menambahkan bahwa determinasi (karakter) ada ini dapat terjadi melalu dua cara: atau di dalam cara yang sedemikian rupa sehingga determinasi membatasi eksistensi konsep ada, kiranya determinasi tersebut hanya menjadi properti suatu ada tertentu dan determinasi tersebut bukanlah segalanya; atau di dalam cara di mana determinasi, meskipun menyatakan konsep ada secara lebih baik, tetapi kiranya melingkupi ada itu sendiri dan oleh karena itu menjadi milik semua ada. Konsekuensinya, dari karakter ada dapatlah dibedakan antara transendental dan kategori.
Karakter-karakter definitif yang hanya mengekspresikan suatu ada dan membatasi ada dengan suatu atmosfer determinatif tertentu atau kelas-kelas karakteristik yang unik disebut dengan kategori; determinasi-determinasi yang menjadi milik setiap ada disebut dengan transendental. Dengan kata lain kategori-kategori adalah aspek-aspek yang membedakan ada di dalam kelas-kelas yang berbeda-beda: sebagai contoh, aspek “qualitas” tidaklah menjadi properti setiap segala ada, tetapi aspek qualitas adalah suatu cara ada untuk mengada yang unik yang mengalir dari forma substansi. Transendental adalah karakter-karakter yang menjadi milik ada dalam segala extensinya yang memenuhi setiap ada: satu (unum), baik (bonum), benar (verum) dan indah (pulchrum). Dengan transendental dan kategori tentu saja kita dapat mengetahui dan memahami ada dengan lebih baik. Keduanya saling melengkapi dan membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan akan ada.
- Pengetahuan ada lewat kategori
Kata Thomas Aquinas: “Ada haruslah dibatasi di dalam beberapa kelas yang berasal dari cara mengada ada yang berbeda-beda menurut cara predikat yang unik; sebab “ada diartikan”, misalnya, sesuatu diartikan menjadi demikian, “dalam banyak cara” (atau di dalam banyak pengertian) sebagaimana kita membuat predikat-predikat. Dan untuk alasan inilah kelas-kelas yang membuat ada terbagi pertama-tama disebut kategori, karena kelas-kelas dibedakan menurut cara predikat yang berbeda-beda. Jadi, karena beberapa predikat mengartikan apa (misalnya substansi); jenis apa, berapa banyak dan seterusnya, maka pastilah ada suatu cara ada yang bersesuaian dengan masing-masing tipe predikat. Sebagai contoh, ketika dikatakan bahwa manusia adalah binatang berarti hal ini merupakan substansi dan ketika dikatakan bahwa manusia itu berkulit putih berarti qualitas; dan seterusnya”[3]. Maka dengan kategori-kategori, kita dapat bertanya tentang sesuatu, misalnya: apa itu?; apa warnanya?; bagaimana bentuknya?; kapan terjadi?; di mana?; dan seterusnya sekaligus mendapatkan jawaban-jawaban sehingga intelek kita memahami, mengartikan dan memaknai ada. Ada yang terpahami, terartikan dan termaknai oleh intelek dalam kategori-kategori berarti telah tercipta pengetahuan.
- Pengetahuan ada lewat transendental
Transendental dari bahasa Latin transcendere yang berarti melampaui. Terminus-terminus seperti ada, hal, sesuatu, benar dapat dikatakan sebagai karakter segala hal, substansi maupun aksiden-aksiden. Namun juga bahwa gagasan ada transendental pun menambahkan pengetahuan dan pemahaman kita akan ada:[4]
- Gagasan transendental unum (satu) dan aliquid (sesuatu)[5]
Gagasan unum dan gagasan aliquid menambahkan suatu negasi bagi gagasan tentang ada. Unum (satu) menegasi perpecahan, divisi di dalam suatu ada sementara aliquid (sesuatu) menyangkal kesamaan identitas suatu ada dengan ada lainnya. Oleh karena itu, unum dan aliquid tidak menambahkan sesuatu yang baru bagi ada tetapi hanya menyatakan karakter dan aspek-aspek yang dimiliki suatu ada.
- Gagasan transendental verum (kebenaran), bonum (kebaikan) dan pulchrum (keindahan)[6]
Kebenaran, kebaikan dan keindahan menambahkan suatu relasi akal budi terhadap gagasan akan ada. Jelas bahwa kesempurnaan ada menjadi objek dan tujuan akal budi dan kehendak. Maka tujuan akal budi dan kehendak manusia memiliki relasi dengan ada sebagai yang benar, indah dan baik yang disebabkan ada memiliki esse; ada itu benar, baik dan indah karena memiliki esse dan bukan karena dikehendaki dan diketahui oleh manusia. Dengan demikian kebenaran, kebaikan, dan keindahan menjadi ukuran bagi intelek dan kehendak manusia. Kata Thomas Aquinas “tetapi tidak satupun dari ketiga aspek tersebut menambahkan segala perbedaan yang membatasi ada, namun justru suatu qualitas yang mengikuti setiap ada; sebagaimana satu menambahkan qualitas akan ketidakterbagian, kebaikan qualitas akan finalitas, dan kebenaran qualitas pentabihsan kepada pengetahuan”[7].
- Gagasan res, thing (hal) tidak menambahkan sesuatu yang real kepada ada[8]
Res, thing, hal hanya menyatakan quidditas (esensi) dan quidditas merupakan suatu pokok bagi realitas ciptaan yang terbatas. Hal-hal adalah ada-ada, dan ada adalah sesuatu yang mengada atau suatu qudditas yang mengaktual. Konsekuensinya res, thing mengada di dalam dirinya sendiri sebagai ada. Res itu sendiri adalah akar dari terminologi realitas. Realitas didefinisikan sebagai ada yang terdiri dari suatu esensi dan eksistensi, dua aspek yang berbeda tetapi tak terpisahkan satu sama lain dan begitu intim satu dengan yang lain sehingga esensi tidak punya realitas tanpa eksistensi dan sebaliknya. Gagasan tentang realitas adalah gagasan abstrak dan dipecahkan ke dalam ada: sesuatu real karena ada; realitas dapat diinderai karena ada. Jadi ada adalah itu yang paling real dari sesuatu hal[9]. Mengapa? Karena ada adalah aktualitas dari segala aksi dan segala kesempurnaan dari setiap kesempurnaan. Intelek manusia memiliki kemampuan untuk memahaminya karena intelek merupakan fakultas ada. Dengan demikian aspek-aspek transendental ada yang dipersepsikan oleh intelek menambahkan kekayaan bagi pengetahuan manusia.
Gagasan tentang ada adalah transendental
Gagasan ada sebagai transendental kiranya mentransendensi segala kategori yang merupakan konsep univox yang paling universal. Mentransendesi segala kategori berarti bahwa gagasan ada sebagai transendental merupakan gagasan yang lebih luas, lebih dalam daripada setiap kategori. Misalnya baik ditemukan di semua kategori (misalnya dalam kategori kualitas, kuantitas, aksi, sejauh hal-hal itu ada, maka hal-hal itu baik adanya). Konsekuensinya, lewat gagasan ada transendental dimengertilah gagasan yang lain. Sebab gagasan tentang ada transendental secara implisit tidak hanya menyatakan soal konsep-konsep hal-hal tetapi juga segala konsep determinasi, konsep akan kualitas, perbedaan dengan konsep yang lain[10], dengan demikian gagasan ada dipredikatkan kepada segala realitas[11]. Untuk lebih jelas marilah kita lihat perbedaan konsep kategori (misalnya binatang) dan konsep ada. Konsep binatang tentu dapat dipredikatkan kepada manusia, kucing, anjing tetapi konsep binatang tidak dapat dipredikatkan kepada rasionalitas manusia, warna kulit kucing, kesetiaan anjing. Ada sebaliknya memang dipredikatkan kepada manusia, kucing, anjing tetapi ada juga dipredikatkan kepada rasionalitas manusia, warna bulu kucing dan kesetiaan anjing.
Lalu apa yang bisa kita simpulkan dari contoh ini? Yang pertama terbuktilah bahwa gagasan ada adalah gagasan trandensental karena melampaui kategori tetapi juga berada di dalam setiap kategori. Yang kedua berkaitan dengan segala aspek yang mendeterminasi ada, perbedaan yang menetapkan ada sebagai ada yang demikian dan unik tidak dapat ditambahkan kepada ada dari luar, dengan kata lain ada yang mendeterminasi tidak dapat menjadi ada yang ekstrinsik, asing pada konsep ada tetapi ada yang mendeterminasi tersebut menjadi ada intrinsik, menjadi cara mengada dari ada. Misalnya substansi tidak menambahkan sesuatu yang baru ataupun suatu perbedaan yang menimpa ada dari luar, tetapi dengan nama substansi diekspresikan suatu cara (modus) mengada yang unik dari ada. Tentu saja, gagasan transendental ada menambahkan aspek-aspek baru bagi gagasan tentang ada hanya sebagai cara kita untuk mengetahui realitas, namun gagasan transendental itu bukan menambahkan realitas-realitas baru terhadap realitas ada itu sendiri. Gagasan ada transendental secara eksplisit menyatakan aspek-aspek yang tidak ditunjukkan secara ekspresif oleh gagasan tentang ada.
Menurut Etienne Gilson perbedaan ada transendental dan ada bukan terletak pada tataran ontologis tetapi pada tataran kognitif. Bagi ada itu sendiri, aspek-aspek transendental adalah sesuatu yang tak “berguna”[12] karena aspek-aspek transendental ada merupakan buah abstraksi dari intelek. Maksudnya ketika ada itu indah, baik dan benar, satu kita tidak menambahkan sesuatu yang real kepada ada. Kita hanya mengeskpresikan dan mempersepsikan aspek-aspek yang menjadi milik setiap ada. Dengan demikikan haruslah diperhatikan bahwa konsep aspek-aspek transendental mengacu kepada ada sejauh ada ditetapkan di dalam dirinya sendiri, terbuka kepada intelek dan dihasratkan oleh fakultas kehendak.
Transendental ada dan pengetahuan
Kata Thomas Aquinas: “Ada adalah pengetahuan yang pertama, yang paling dikenali dan yang paling universal yang kita punyai, suatu pengetahuan yang mengeksplisitkan segala yang lain. Ada adalah pengetahuan karena ada dieksplisitkan di dalam pengetahuan, juga karena setiap realitas adalah ada, maka mustahil bahwa konsep-konsep lain didapat dengan menambahkan sesuatu pada konsep ada dengan cara mengkarakterkan ada, karena tambahan ini selalu akan menjadi sesuatu hal, namun perlulah bahwa konsep-konsep lain yang lebih determinatif kiranya berada di dalam suatu cara yang telah terimplisit di dalam ada, konsep-konsep yang lebih determinatif itu menyatakan sesuatu yang telah menjadi suatu isi, meskipun di dalam cara yang tak terekspresikan di dalam konsep ada”[13].
Maka, ada sebagai yang pertama dikenali menyatakan bahwa ada adalah objek intelek yang benar -ada adalah aspek formal pada basis di mana lewat ada segala hal dapat diakses oleh intelek. Selanjutnya, karena ada mencakup segala yang ada dan tidak meniadakan segala yang ada, akibatnya, intelek memiliki objek yang paling komprehensif (obiectum communissimum); ada adalah ens universale[14].
Subjek metafisik dan objek yang komprehensif dari intelek menyatakan realitas transendental ada. Keterbukaaan intelek kepada transendental ada merupakan kondisi kemungkinan metafisik yaitu ada sebagai ilmu pengetahuan manusia. Artinya bahwa pemahaman akan transendental ada adalah awal dan dasar dari aktivitas rasional dan kehidupan intelektual manusia. Transendental ada membuka konsep-konsep intelek yang pertama karena ada adalah maxime primum yaitu kondisi untuk kemungkinan pemahaman dan ilmu pengetahuan. Ada sebagai maxime primum membuktikan bahwa ada adalah ens primum notum yang berarti ada adalah apa yang dipahami dan ditangkap oleh intelek manusia sebagai hal yang paling umum.
Lalu apa hal yang paling umum? Yang paling umum adalah ada dan aspek-aspek transendentalnya: satu, baik, benar, dan indah dan berkat aspek-aspek transendentalnya, ada dapat dijelaskan dan diuraikan. Maka, prinsip pertama demonstrasi tersusun dari gagasan-gagasan ada transendental sehingga intelek mampu menangkap prinsip pertama demonstrasi ini. Bagaimana intelek dapat memahami prinsip pertama ini? Menurut Thomas Aquinas intelek menangkap prinsip pertama lewat dua cara:
- yang pertama adalah secundum rem[15] yaitu ketika demonstrasi dibuat melalui causa-causa ekstrinsik atau efek-efek: baik melalui komposisi yaitu ketika kita bertitik tolak dari causa menuju kepada efek dan juga melalui resolusi yaitu ketika berangkat dari efek menuju causa. Maka, secundum rem adalah itu yang pertama dalam tataran hal-hal yaitu penyebab ada yang universal. Secundum rem berkaitan dengan causalitas.
- yang kedua adalah secundum rationem[16] yaitu ketika kita memulai dengan causa-causa intrinsik: melalui komposisi yaitu ketika kita berangkat dari bentuk-bentuk yang paling universal menuju kepada bentuk-bentuk yang lebih partikular dan juga melalui komposisi ketika berangkat dari bentuk-bentuk yang paling partikular menuju bentuk yang paling universal. Secundum rationem merupakan suatu analisa akan penyebab-penyebab (causa) intrinsik dan suatu pereduksian kepada bentuk yang paling umum. Akhir dari proses secundum rationem adalah ada yaitu itu yang dipredikatkan kepada segala hal. Dengan demikian secundum rationem adalah itu yang paling umum yaitu ada dan aspek-aspek transendentalnya.
Akibatnya, intelek itu merupakan suatu kesadaran akan segala hal (intellectus entis et principiorum). Kesadaran intelek membuktikan bahwa intelek memiliki visi intuitif akan ada transendental sehingga terjadi pengetahuan.
Kekayaan ada transendental
Sebagaimana yang dikatakan ada adalah ens primum notum yang berarti apa yang dipahami dan ditangkap oleh intelek manusia sebagai hal yang paling umum. Maka pertanyaannya adalah dapatkah kita mengklasifikasikan ens primum notum dalam tingkatan transendental? Tentu saja tidak bisa, karena transendental mentransendensi segala klasifikasi: ens pertama dipredikatkan kepada substansi, tetapi juga kepada aksiden-aksiden, konsekuensinya transendensi tidak bisa diklasifikasikan ke dalam setiap kategori, karena transendensi bukanlah hal yang eksklusif untuk setiap kategori tetapi juga melingkupi dan merangkul segala kategori .
Aspek-aspek transendental ada merupakan properti-properti yang melekat pada ada secara general yaitu semua ada (tidak hanya melulu substansi, atau qualitas ataupun aksiden-aksiden yang lain tetapi semua kategori). Kebaikan, keindahan dan kesatuan diatribusikan kepada semua ada. Dengan kata lain semua ada secara universal memiliki karakter satu, baik, indah dan benar. Aspek-aspek transendental bukanlah aksiden tetapi identik dengan ada itu sendiri.
Bagaimana transendental itu ditemukan dan apa saja aspek-aspek transendental tersebut?[17]
- Dengan mempertimbangkan ada di dalam dirinya sendiri (secara intrinsik): ada itu satu. Tanpa membandingkan dengan ada yang lain, segala ada adalah satu. Hal itu terjadi sebagai berikut[18]:
- Dalam cara yang positif yaitu tanpa negasi, bahwa segala yang ada itu memiliki esensi di mana dengan esensi tersebut ada mengada dengan cara yang definitif. Ketika ada memiliki esensi maka ada menjadi res, thing, hal. Menurut Thomas (De Veritate, q.1,a.1,c) ens, being itu diambil dari esse (act of being) sementara res, thing, hal menyatakan apa itu atau yang disebut dengan quidditas, essence dari ens (being, ada) yaitu pembatasan-pembatasan ada sehingga res menjadi suatu kekhususan dan spesifikasi, keunikan tingkatan dan cara ada untuk mengada; res juga berarti pembatasan ada, being, ens yang terjadi di dalam cara tertentu (determinatif). Maka, ada (being, ens) dan hal (thing, res) tidak sepenuhnya sama.
- Dalam cara yang negatif. Dengan menyangkal perpecahan internal dalam ada, kita menyatakan bahwa setiap ada memiliki suatu kesatuan. Jika ada kehilangan kesatuan atau terpecah di dalam dirinya sendiri maka ada tidak bisa disebut lagi sebagai ada.
- Dengan mempertimbangkan relasi suatu ada dengan ada-ada yang lain (secara ekstrinsik), maka ada dua hal yang dapat disimpulkan: yang pertama keunikan dan perbedaan suatu ada dengan ada-ada yang lain sekaligus kesesuaian suatu ada dengan ada-ada yang lain[19].
- Melalui keunikan dan distingsi suatu ada di antara ada-ada, kita bisa mengatakan bahwa masing-masing ada adalah sesuatu (something, aliquid).. Aliquid ini mengisyaratkan ada dan kesatuan. Ada dan kesatuan mau membuktikan bahwa sesuatu menolak terjadinya divisi di dalam dirinya tetapi distingsi, divisi terjadi untuk memisahkan suatu ada dengan ada-ada yang lain. Sesuatu di sini dipahami sebagai sesuatu yang lain (aliud quid), natura yang lain dan bukan sebagai ketiadaan. Suatu ada adalah sesuatu yang lain dalam hubungannya dengan ada yang lain. Dengan demikian apa yang kita tambahkan pertama-tama pada konsep ada dengan mengatakan ada sebagai satu adalah soal negasi akan divisi. Ada yang kita pikirkan adalah ada yang tidak terbagi di dalam dirinya sendiri. Kita memikirkan ada yang memiliki identitasnya sendiri, sebagai satu di dalam dirinya sendiri, bukan ada yang terisolasi dari segala ada yang lain tetapi ada yang unik dalam identitasnya dengan ada-ada yang lain.
- Konformitas (kesesuaian) suatu ada dengan ada-ada yang lain hanya dapat dipertimbangkan dalam relasinya dengan sesuatu yang melampaui ada sebagai yang demikian yaitu dalam relasinya dengan jiwa intelektual. Di dalam jiwa manusia terdapat potensi intelek (potenza conoscitiva) dan potensi kehendak (potenza appettitiva). Jiwa manusia adalah “bagaimanapun juga segalanya” (quaddammodo omnia) karena universalitas objek-objek intelek dan kehendak. Aspek-aspek transendental ada yaitu verum, bonum, dan pulchrum berkaitan dengan jiwa manusia (potenza conoscitiva dan potenza appettitiva)[20]:
- Dalam konformitasnya dengan intelek, ada adalah verum (benar)[21] dalam pemahaman bahwa ada dan hanya ada yang dapat menjadi objek dari aksi suatu pemahaman yang sejati dan otentik (potenza conoscitiva). Ada adalah objek yang benar dari visi intelek, ada adalah terang untuk akal budi. Intelek itu sendiri merupakan fakultas ada sehingga natura dari intelek adalah melihat ada[22]. Di hadapan act of being, atto di essere, pengalaman yang nyata merupakan kapasitas intelek untuk mengenal ada. Pengalaman intelek[23] merupakan suatu pengalaman yang sempurna bahkan suatu sumber pengetahuan dan kebahagiaan. Menurut Thomas kebahagiaan tertinggi manusia berada di dalam aktivitas yang paling agung yang adalah intelek[24]. Jadi, ilmu pengetahuan dan kebahagiaan adalah suatu pengalaman akan ada.
- Dalam relasi dengan kehendak, ada adalah baik (bonum) karena segala yang baik itu selalu dikehendaki dan dicintai oleh jiwa[25].
- ketika ada interaksi dan persinggungan antara pemahaman dan kehendak, maka ada adalah yang indah karena yang indah selalu menciptakan kesenangan. Keindahan didefinisikan sebagai itu yang menyenangkan pelihatnya.
Aspek-aspek trandesental ada dimiliki ada karena ada memiliki esse, act of being. Karena memiliki esse, segala yang ada memiliki aspek-aspek transendental (satu, baik, benar dan indah) di mana aspek atau propertinya dapat bertukar alih satu sama lain. Kenyataan ini diekspresikan dengan pernyataan ens et unum (et bonum, et verum, et pulchrum) convertuntur bahwa ada dan aspek-aspek transendental itu equivalen dan dapat bertukar-alih satu sama lain sehingga aspek-aspek transendental tersebut memiliki nama yang berbeda untuk realitas yang sama- ens. Segala yang ada niscaya memiliki aspek-aspek transcendental, tak mungkin ada tidak memiliki aspek transendentalnya. Keniscayaan ini mau mengatakan bahwa ada memanifestaikan dirinya di dalam aspek-aspek transendentalnya sekaligus ada menyatakaan aktualitasnya melalui aspek–aspek transendentalnya. Konsekuensinya, kita dapat mengatakan bahwa segala yang ada adalah baik, satu, benar dan indah. Namun kita tidak bisa mengatakan bahwa segala yang ada adalah binatang (genus) karena binatang adalah genus bukan aspek transendental ada. Selain itu, ens et unum (et bonum, et verum) convertuntur berarti bahwa term ens dan aspek-aspek transendentalnya dapat bertukar posisi sebagai subjek dan predikat di dalam suatu kalimat. Kita dapat mengatakan bahwa segala yang baik sejauh adalah kebaikan maka adalah ada. Sebaliknya pula, kita juga dapat berkata segala yang ada sejauh adalah ada, maka adalah baik. Posisi ada dan aspek-aspek transendental ada yang dapat bertukar-alih membuktikan identitas real transendental ada[26]. Jacques Maritain mengatakan bahwa banyak konsep dibutuhkan bagi satu realitas ada karena ada terlalu kaya untuk dipahami di dalam satu konsep tunggal.
Transendental ada menunjukkan ada itu sendiri tetapi jika dilihat secara formal aspek transendental adalah adalah being of reason (ens rationis) di mana akal budi melihat aspek transendental ada sebagai yang terpisah dan kemudian mengatribusikan atau menempelkan kepada ada. Secara definitif, transendental ada berbicara tentang aspek-aspek transendental ada bukan dengan distingsi konkret tetapi dengan akal budi.
Transendental Tuhan
Segala yang ada niscaya dan definitif memiliki aspek-aspek transcendental yang selalu menyertai ada dan menjadi bagian dari ada. Tak mungkin ada tidak memiliki aspek transendentalnya. Keniscayaan ini mau mengatakan bahwa ternyata ada memanifestasikan dirinya sekaligus menyatakan aktualitasnya di dalam dan melalui aspek –aspek transendentalnya. Lalu apa yang menyebabkan segala yang ada memiliki aspek –aspek transendentalnya? Tentu saja adalah Tuhan: Tuhan sebagai ipsum esse subsistens itulah yang sebagai causa aspek-aspek transcendental ada; Tuhan adalah causa unitas, kebenaran, kebaikan ada-ada ciptaan.
Sebagaimana setiap ada ciptaan tidak pernah tanpa properti–properti transendentalnya, maka ada Sang Pencipta tak pernah pula tanpa kesempurnaan kesatuan, kebenaran dan kebaikan. Dalam konteks transcendental, ipsum esse subsistens berarti kesatuan yang subsistens, kebenaran yang subsistens, kebaikan yang subsistens. Transendental-Nya disebabkan karena esensi Tuhan sama dengan esse-Nya sehingga Tuhan adalah kesempurnaan, tak memiliki aksiden dan suatu transendensi yang melampaui segala yang ada. Sebagai contoh segala potensi untuk mencintai, menjadi kudus, murah hati, damai, sukacita, indah, kekal di dalam Tuhan selalu diaktualkan secara infinitas sehingga kita menyebut Tuhan sebagai Tuhan Maha Cinta, Maha Kudus, Maha Murah, Maha Damai, Maha Kuasa, Maha Indah dan kekal. Semua potensi diaktualkan secara sempurna baik di dalam esse-Nya dan esensi-Nya karena Tuhan adalah satu, kebenaran dan kebaikan yang subsistens. Setiap aspek transendental-Nya diaktualkan secara tak terbatas. Tetapi kita tidak bisa menyebut ada ciptaan sebagai kesatuan yang subsistens, kebenaran yang subsistens, kebaikan yang subsistens karena kesatuan, kebaikan dan kebenaran ada ciptaan adalah terbatas, tak sempurna dan partisipatif. Karena bersifat partisipatif maka aspek –aspek transendental ada ciptaan merupakan pantulan dari kesatuan, kebaikan dan kebenaran di dalam ipsum esse subsistens.
Jadi hanya di dalam Tuhan yang adalah kebenaran sejati atau kebenaran subsistens ciptaan dapat memproklamasikan kebenaran; hanya di dalam Tuhan sang kebaikan yang sejati dan tertinggi hasrat ciptaan terpuaskan; hanya di dalam satu yang abadi dan kesatuan yang sempurna yaitu Tuhan, ciptaan menjadi satu yang utuh sehingga pada akhirnya hanya di dalam Tuhan ciptaan menemukan justifikasi dan sumber transendentalnya. Definitif bahwa segala eksistensi ciptaan ditopang, diresapi, dipayungi dan dipenuhi dengan segala kesempurnaan Tuhan seperti cinta-Nya, kemurahan hati-Nya, kedamaian-Nya, kebahagiaan-Nya, pengetahuan-Nya, keindahan-Nya, kekelan-Nya.
Lantas, kita dapat mengartikan dan menguraikan aspek-aspek transcendental-Nya dalam terang sebagai berikut:
Kebenaran yang subsistens:
- “Intelligere Dei est suum esse artinya esse intelek Tuhan adalah esse-Nya dan sebaliknya. Jadi esse intelek Tuhan sama dengan esse-Nya sehingga kebenaran dan ada-Nya saling mengikuti satu sama lain. Maka sebagaimana Dia adalah ada pertama dan yang paling sempurna demikian pula Ia adalah kebenaran pertama dan yang paling sempurna sekaligus kebenaran tertinggi. Kebenaran sempurna dan tertinggi membuktikan pula bahwa Tuhan juga adalah eternal act of intellect atau subsisting Self-Thinking Act of Esse. Jelas pula bahwa intelek-Nya mengukir pula kebaikan-Nya sehingga kebenaran-Nya adalah kebaikan-Nya sendiri. Kebenaran adalah suatu kebaikan intelek-Nya; jadi tak mungkin ada kesalahan dan kecacatan di dalam intelek-Nya. Dengan demikian Tuhan adalah kebenaran segala kebenaran. Dia adalah ada yang sesungguhnya karena Dia adalah satu-satunya ada yang benar.
- Subsisting act of intellect berarti Tuhan adalah intelek dan intelegibilitas pertama sehingga semua kebenaran ontologis dan kebenaran epistemologis berasal dari-Nya. Tidak ada being kecuali Tuhan adalah intelegibilitas (intelegibilitas adalah act of being) dan tidak ada being selain Tuhan adalah intellection (intellection adalah act of knowing) yang keduanya berarti bahwa intelek Tuhan melalui pengetahuan-Nya adalah causa segala hal. Intelegibilitas merupakan kebenaran ontologis sementara intellection kebenaran epistemologis. Kebenaran adalah kesesuaian akal budi dan realitas sehingga ada dua kebenaran: kebenaran intelek yaitu kebenaran yang ada di dalam intelek dan kebenaran hal. Kebenaran intelek berarti hal-hal bersesuaian dengan intelek Tuhan. Kebenaran hal sebagai berikut: suatu hal dikatakan benar ketika hal tersebut meraih aksi naturanya secara benar sehingga merupakan properti ada yang dibangun di dalam adanya. Jadi, kebenaran hal berlaku sejauh hal-hal yang adalah natura memberikan suatu kebenaran berdasarkan dirinya dan sejauh hal-hal mengimitasi pikiran ilahi karena causa formal ekstrinsik. Maka pusat dan dasar kebenaran intelek dan kebenaran hal tentu adalah kebenaran Tuhan. Sebagai kebenaran ontologis dan kebenaran epistemelogis ipsum esse subsistens adalah kebenaran ada dan kebenaran pengetahuan. Oleh karena itu Tuhan adalah ukuran kebenaran segala hal dan kebenaran intelek. Segala kebenaran intelek harus diukur dengan kebenaran intelek-Nya; pengetahuan-Nya adalah ukuran segala yang ada seperti seni adalah ukuran benda-benda yang mana benda-benda itu sempurna sejauh bersesuaian dengan seni. Dengan demikian kebenaran Tuhan adalah kebenaran kekal per se yang subsistens.
- Karena Tuhan adalah kebenaran ontologis dan kebenaran epistemologis maka kebenaran-Nya mencakup keabadian dan totalitas realitas. Tuhan adalah kebenaran yang subsistens yang mana segala kebenaran tergantung kepada kebenaran yang subsistens. Kebenaran yang subsistens berarti kebenaran-Nya esensial karena apa yang menjadi milik suatu hal secara esensial menjadi milik hal itu secara sempurna. Kebenaran-Nya adalah kebenaran esensial, bukan kebenaran partisipatif karena Dia adalah ada-Nya yang tidak berpartisipasi kepada apapun. Dia adalah sang kebenaran-Nya sendiri.
- Kebenaran adalah kesempurnaan pemahaman atau kesempurnaan operasi intelektual. Jadi kebenaran adalah kebaikan dari act of the intellect sehingga kebenaran mengantar untuk menciptakan tindakan yang baik. Intelek Tuhan adalah kesempurnaan ada yang tertinggi; inteleknya sempurna karena natura-Nya atau substansi-Nya. Substansi-Nya adalah pemahaman-Nya artinya pengetahuan-Nya adalah sempurna karena diri-Nya sendiri. Substansi-Nya adalah kebenaran sehingga menjadi dasar dan kiblat pemikiran dan kesadaran segala yang ada.
Kesatuan yang subsistens:
- Unum et ens convertuntur berarti bahwa Tuhan sebagai Ada yang sempurna dan tak terbatas mengaktualkan semua kesempurnaan-Nya secara tak terbatas di dalam esensi-Nya sehingga dia satu dengan kesempurnaan-Nya. Kesempurnaan-Nya menyingkapkan kesatuan transendental-Nya. Segala aspek transendental Ada-Nya terkait satu sama lain dalam arti aspek transendental saling memuat dan saling meresapi satu sama lain di dalam esensi-Nya.
- Dalam makna numerik, hanya ada satu dan satu-satunya ipsum esse subsistens di dalam totalitas realitas. Hanya ada satu-satunya kebaikan tertinggi dan kebaikan segala kebaikan dan kebenaran dari kebenaran sehingga hanya ada satu Tuhan yang esa.
- Ada Tuhan bukan hanya total being; totum esse tetapi juga ada yang benar, maka ada-ada yang yang lain hanyalah ada parsial. Walaupun demikian, Tuhan sebagai satu–satunya kebaikan dan satu-satunya kebenaran meresapai dan menjaga segala yang ada di dalam kesatuan ada-Nya.
- Tuhan sebagai kesatuan yang subsistens menunjukkan simpliciter-Nya dan bukan berarti bahwa simpliciter-Nya merupakan aspek ada yang terbatas tetapi justru melampaui segala yang ada sehingga mengukir transendental-Nya dan transendental-Nya membuat ada-ada ciptaan berpartisipasi di dalam transendental-Nya.
Kebaikan yang subsistens:
- Tuhan adalah sang kebaikan karena ada dan kebaikan adalah hal yang sama dan berbeda hanya di dalam gagasan saja: Bonum convertuntur cum ente. Karena Dia adalah ada-Nya,; karena Dia adalah esensi-Nya maka Dia adalah simpliciter. Simpliciter-Nya membuktikan kebaikan identik dengan diri-Nya sehingga dia adalah kebaikan-Nya. Karena itu pula Dia adalah causa pertama dan sebagai causa pertama Tuhan selalu dihasratkan oleh segala yang ada. Segala yang ada tentu menghasratkan aktualitas yang adalah natura kebaikan. Jelas bahwa segala potensi bukanlah aktualitas tetapi menjadi aktualitas adalah kebaikan setiap ada. Karena Dia adalah ada tanpa potensi maka Dia adalah kebaikan yang tertinggi. Karena itu, Dia adalah eksistensi yang tertinggi sekaligus model yang paling dihasratkan oleh ciptaan dalam setiap aktualisasi potensi segala kebaikan ciptaan. Dia tidak hanya aktualitas tetapi juga adalah esse-Nya: ipsum esse subsistens. Dengan demikian kebaikan-Nya adalah kebaikan transendental. Dalam hubungannya dengan aspek transendental ada ciptaan, kebaikan bukan suatu aspek terbatas dari ada malahan kebaikan melampui dan memayungi ada sendiri sehingga membuktikan bahwa kebaikan adalah aspek transcendental ada yang bersumber dari kebaikan Sang Pencipta.
- Tuhan adalah kebaikan tertinggi yang tidak terbatas bahkan melampaui segala yang ada. Tetapi juga Dia sendiri adalah causa eksemplar bagi ada-ada ciptaan sehingga tidak ada yang baik kecuali ada memiliki kesamaan kebaikan dengan kebaikan-Nya. Maka berpartisipasi di dalam ada-Nya sama dengan berpartisipasi di dalam diri-Nya sebagai kebaikan itu sendiri. Tentu saja kebaikan-Nya bukan partisipasi atau kebaikan yang diperoleh tetapi Dia adalah kebaikan yang subsistens; dia adalah kebaikan oleh karena natura kebaikan yang abadi itu sendiri. Hanya di dalam Dia bahwa segala yang ada memiliki natura kebaikan; segala sesuatunya dikatakan baik karena kebaikan-Nya. Kebaikan-Nya tercetak di dalam ada-ada ciptaan karena ada merupakan ide-ide yang berasal dari intelek-Nya (causa eksemplar) dan Dia sendiri yang mengaktualkan ide-ide tersebut (causa efisien). Oleh sebab itu, Dia adalah kebaikan esensial sementara kebaikan ada ciptaan adalah kebaikan ada yang berpartisipasi yang berarti ada di dalam potensi dan ada di dalam potensi bukanlah ada sesungguhnya tetapi ada sesungguhnya adalah aktualitas. Masing-masing kebaikan yang bukan kebaikannya sendiri disebut kebaikan partisipasi. Kebaikan partisipasi berarti ada menerima karakter kebaikan. Konsekuensinya, semakin ciptaan menjauhkan atau semakin kurang di dalam partisipasi kepada kebaikan semakin dia tak sempurna dan buruk.
- Tuhan sebagai sang kebaikan itu sendiri berarti segala kesempurnaan yang dihasratkan berasal dari diri-Nya karena Dia adalah causa pertama dan ipsum esse subsistens. Kebaikan-Nya adalah kebaikan absolut yang abadi sehingga kebaikan-Nya adalah kesempurnaan di dalam keseluruhan realitas. Kesempurnaan-Nya mencakup dan memahami kesempurnaan segala yang ada. Karena Dia adalah ipsum esse subsistens maka Dia adalah kesempurnaan dan itu berarti pula bahwa Dia adalah kebaikan. Kesempurnaan-Nya adalah kebaikan-Nya sehingga kebaikan-Nya bukan sesuatu ditambahkan kepada ada-Nya tetapi karena ada-Nya; ada-Nya adalah sempurna; Ada-Nya adalah kebaikan. Maka hanya ada satu kebaikan tertinggi dan banyak kebaikan ciptaan. Oleh karena itu pula kebaikan-Nya memahami dan mencakup segala kebaikan. Jadi Dia adalah kebaikan dari segala kebaikan[27].
- Dia tidak hanya causa efisien, cuasa formal (causa eksemplar) tetapi juga adalah causa final segala ciptaan karena Ia menjadi tujuan kebaikan segala yang ada. Segala yang ada memiliki hasrat karena segala yang ada secara natural memiliki finalitas yaitu kebaikan. Jadi natura kebaikan adalah itu yang dihasratkan sehingga segala yang ada adalah baik karena finalitasnya maupun terarah kepada finalitas. Di dalam finalitas, segala yang ada menerima natura kebaikan. Oleh karena itu, satu-satunya takdir segala ciptaan adalah untuk semakin berpartisipasi di dalam kebaikan-Nya, mengkomunikasikan kebaikan-Nya dan menyebarkan kebaikan-Nya. Bahkan Sang kebaikan itu sendiri tiada henti memanggil dan mengundang segala ada untuk berpartisipasi di dalam kebaikan-Nya yang maha hadir itu. Dia tidak hanya mengundang tetapi dia mengkomunikasikan dan memberikan kebaikan-Nya kepada ciptaan: bonums est diffusivum sui. Bonum est diffusivum sui berarti komunikasi ada dan kebaikan ada berasal dari kebaikan itu sendiri. Fakta ini jelas dari natura dan definisi kebaikan. Karena naturanya kebaikan setiap ada adalah aktualitasnya dan kesempurnaannya. Maka ada adalah aktualitas sejauh dia mengaktual dan di dalam aktualitas dia menyebarkan ada dan kebaikan kepada ada-ada lain. Ada yang mengkomunikasikan kebaikan dan adanya adalah tanda dan bukti kesempurnaannya. Natura kebaikan pada saat yang bersamaan adalah itu yang menjadi hasrat setiap ada sehingga kebaikan adalah finalitas dan finalitas adalah motivasi bagi setiap agen untuk bertindak. Kebaikan Tuhan itulah yang menjadi alasan mengapa ciptaan selalu merindukan kebaikan dan mengaktualkan kebaikan sekaligus mengkomunikasikan kebaikan. Sebenarnya, keseluruhan sejarah penciptaan dan kemudian keselamatan adalah semata-mata adalah sejarah komunikasi Tuhan atau kemurahan Tuhan dengan ada-ada ciptaan.
Pada akhirnya kebenaran-Nya bagai matahari yang menyinari segala yang ada, kebaikan-Nya ibarat udara yang mewarnai segala yang ada, keesaan-Nya memberikan rahmat kepada ada yang mana kebenaran, kebaikan dan keesaan-Nya terangkai menjadi cinta-Nya: cinta-Nya berlangsung selama-lamanya.
[1] Thomas Aquinas, De Veritate, q.1,a.1,c
[2] Aksiden-aksiden disebut ada-ada, bukan karena aksiden-aksiden tersebut mengada di dalam diri mereka sendiri tetapi karena eksistensi mereka mengakar dan melekat pada suatu substansi.
[3] Thomas Aquinas dalam V Metaphysics, lect. 9, no. 890.
[4] Tomas Alvira, Luis Clavell, Tomas Melendo, Metaphysics (Manila: Sinag-Tala, 1991) hal 137
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Thomas Aquinas, I Sentential 19. 5. ad 3
[8] Tomas Alvira, Luis Clavell, Tomas Melendo, Metaphysics (Manila: Sinag-Tala, 1991) hal 137
[9] E. Bruno Porcelloni, Filosofia della Conoscenza (Roma: Urbaniana University Press, 1996) hal 294
[10] Aspek-aspek ada transendental: unum, verum, bonum, pulchrum menjadi prinsip utama metafisika: prinsip identitas, prinsip kecukupan (ragion sufficiente) atau prinsip inteligibilitas real, dan prinsip finalitas. Aspek transendental ada verum, pulchrum, bonum kiranya tidak dapat menjadi suatu kenyataan dan tidak akan diartikan secara sempurna jika tanpa mengacu kepada Tuhan.
[11] Vanni Rovighi, Elementi Di Filosofia (Brescia:Editrice La Scuola, 1999) hal 14
[12] E.Gilson, Constantes Philosophiques De l’être (Paris: Libraire Philosophique J.Vrin, 1983) hal 115-117
[13] Ilud quod primo intellectus concipit quasi notissimum, et in quo omnes conceptiones resolvit est ens, ut Avicenna dicit in principio Metaphysicae suae. Unde oportet quod omnes aliae conceptiones intellectus accipiantur ex additione ad ens. Sed enti non potest addi aliquid quasi extranea natura, per modum quo differentia additur generi, vel accidens subiecto, quia quaelibet natura essentialiter est ens: unde etiam probat Philosophus in III Metaph. quod ens non potest esse genus; sed secundum hoc aliqua dicuntur addere supra ens, in quantum exprimunt ipsius modum, qui nomine ipsius entis non exprimitur. Thomas Aquinas, De Veritas.,q.I, art.I.
[14] Ibid., Summa Theologiae, I. 78.1
[15] Ibid., In Boethius. De Trinitate, Q.5 art.4
[16] Ibid.
[17] Tomas Alvira, op.cit., hal 132
[18] Ibid.
[19] Tomas Alvira, op.cit., hal 132
[20] Vanni Rovighi, op.cit., hal 24
[21] Thomas Aquinas, De Veritate., q.I, art.I
[22] E. Bruno Porcelloni, op.cit., hal 295
[23] Agustinus mengatakan bahwa intelek manusia adalah seolah-olah suatu terang yang diterangi oleh terang Sabda Ilahi. Thomas Aquinas, Summa Theologiae, III. q.5, a.4, ad 2.
[24] Ibid., De Anima, a.5
[25] Ibid., De Veritas, q.I, art I.
[26] Tomas Alvira, op.cit., hal 136
[27] Segala yang ada mencari kesempurnaan dan kesempurnaan ada adalah kebaikan-Nya. Ada disebut baik karena memiliki keutamaan. Keutamaan ada menyebabkan ada memiliki kebaikan. Maka keutamaan adalah kebaikan.
Copyright © 2017 ducksophia.com. All Rights Reserved