LVI
Pengadilan
Francis Bacon
Lukisan Theodoor van Thulden, Allegory of Justice and Peace
Para hakim haruslah ingat bahwa tugas mereka adalah jus dicere dan bukan jus dare; untuk menafsir hukum, dan bukannya membuat hukum atau memberikan hukum. Para hakim haruslah lebih terpelajar daripada cerdas, haruslah suci daripada logis dan haruslah bijaksana daripada percaya diri. Yang terpenting, integritas haruslah menjadi ukuran mereka dan menjadi keutamaan yang harus dimiliki. Terkutuklah (kata hukum) dia yang menghapus referensi yang penting. Lapisan yang keliru untuk batu batas patutlah dipersalahkan. Tetapi hakim yang tidak adil adalah dia yang menjadi penyebab utama dalam menghapus referensi yang penting yaitu ketika dia mendefinisikan tanah–tanah dan properti-properti secara keliru. Suatu hukuman yang keliru sungguh lebih menyakitkan daripada contoh-contoh yang salah. Sebab contoh yang salah ibarat mengkorupsi sungai kecil tetapi hukuman yang keliru bagai menghancurkan sumber air. Jadi, kata Salomo[1], “fons turbatus, et vena corrupta, est justus cadens in causa sua coram adversario” (seorang benar yang terjatuh di pelukan si jahat adalah bagai sumber air yang keruh atau mata air yang tercermar)[2]. Tugas para hakim haruslah bereferensi kepada pihak-pihak yang mengajukan gugatan; kepada para pengacara yang mengajukan pembelaan; kepada pegawai dan pejabat keadilan yang ada di bawah mereka; dan kepada kekuasaan atau negara yang ada di atas mereka.
Pertama, kepada sebab-sebab atau pihak-pihak yang mengajukan gugatan. “Kiranya terjadi (kata kitab suci) mengubah keadilan menjadi ipuh”[3]; dan tentu saja kiranya terjadi pula mengubah keadilan menjadi cuka; karena ketidakadilan membuat penghakiman pahit dan penundaan membuat penghakiman masam. Tugas utama seorang hakim adalah untuk memberangus kekuatan dan kebohongan; karena kekuatan lebih berbahaya ketika terbuka sementara kebohongan ketika tertutup dan tersembunyi. Tambahan, di pengadilan yang penuh kenyang dengan gugatan-gugatan, maka gugatan-gugatan tersebut harus dimuntahkan keluar. Seorang hakim haruslah menyiapkan caranya supaya menghukum dengan adil, ibarat Allah yang mempersiapkan jalan-Nya, dengan mengangkat lembah-lembah dan menjatuhkan bukit-bukit: jadi ketika muncul tangan yang teracung tinggi dari setiap penjuru, gugatan yang sengit, keuntungan-keuntungan licik yang diambil, kombinasi, kekuatan, nasihat-nasihat yang mulia, maka terlihatlah keutamaan seorang hakim, yang mengubah ketidaksetaraan menjadi kesetaraan; bahwa dia kiranya melaksanakan penghakimannya bagai di atas tanah yang adil. Qui fortiter emungit, elicit sanguine[4] (kalau hidung ditekan dengan keras, darah yang keluar); dan di mana perasan anggur dibuat keras, maka akan menghasilkan anggur yang kasar dan berasa anggur batu. Artinya, para hakim haruslah waspada akan tafsiran-tafsiran yang keras dan kesimpulan-kesimpulan yang kaku; karena tidak ada penyiksaan yang paling kejam selain daripada penyiksaan hukum. Khususnya dalam kasus mengenai pasal-pasal hukum perihal hukuman, para hakim haruslah memperhatikan sungguh-sungguh bahwa yang apa yang diartikan sebagai kengerian kiranya tidak diubah menjadi kekerasan dan para hakim tidaklah menurunkan hujan di atas masyarakat seperti yang dikatakan dalam kitab suci, “pluet super eos laqueos”[5], (Tuhan akan menghujani jerat-jerat di atas mereka); karena pasal-pasal hukum perihal hukuman yang dituntutkan adalah sebuah pancuran akan jerat-jerat atas masyarakat[6]. Oleh karena itu, biarkanlah pasal-pasal hukum perihal hukuman, seandainya pasal-pasal tersebut telah tidur untuk waktu yang lama atau menjadi tidak relevan dengan keadaan sekarang, terlaksana eksekusinya oleh hakim yang bijaksana: Judicis officium est, ut res, ita tempora rerum, etc. (seorang hakim haruslah memperhitungkan perihal waktu sebagai hal yang sama pentingnya dengan perihal persoalan). Dalam perkara kematian dan kehidupan, para hakim (sejauh hukum mengizinkan) mengingat pula akan belas kasihan dalam keadilan; dan memberikan pandangan yang tegas atas keteladanan, tetapi pandangan yang berbelas kasih atas pribadi.
Kedua, untuk para pengacara dan penasihat yang memohon. Kesabaran dan keseriusan dalam hal mendengarkan merupakan bagian penting keadilan; dan hakim yang banyak bicara tak lain adalah gembreng yang gemerincing. Tidaklah benar bagi seorang hakim pertama-tama untuk menyelidiki apa yang telah dia dengar dari pengacara dalam waktu yang dinantikan; atau menunjukkan kecepatan dalam memutuskan bukti karena arogansi atau memberikan nasihat terlalu singkat; atau membatasi informasi dengan pertanyaan-pertanyaan yang menohok kepada yang bersangkutan lewat informasi tersebut. Ada empat hal yang harus dilakukan oleh hakim dalam hal mendengarkan: mengarahkan bukti; mengontrol panjangnya pembicaraan, pengulangan pembicaraan, penyimpangan pembicaraan; merekapitulasi, memilih, dan memeriksa poin-poin material yang telah dikatakan; dan memetakan aturan-aturan atau hukuman. Apa pun yang dilakukan seorang hakim di luar semuanya ini, maka adalah tindakan yang terlalu berlebihan bahkan hal-hal yang dilakukannya bersumber dari entah kehebatan maupun keinginan untuk berbicara, atau ketidaksabaran dalam mendengarkan atau disebabkan ingatannya yang kurang ataupun kebutuhan akan perhatian yang serius dan setara. Adalah hal yang aneh melihat bahwa para pengacara lebih berani daripada para hakim sementara para hakim itu sendiri seharusnya meneladani Allah sendiri, yang menundukkan kelaliman[7] dan mengasihani yang rendah hati[8] yang takhta-Nya mereka duduki. Tetapi yang lebih aneh lagi adalah bahwa para hakim yang memperhatikan para favorit yang seharusnya tidak boleh diperbuat yang menyebabkan penggandaan tarif dan kecurigaan dari semua pihak. Tentu saja hakim memiliki hak untuk mempromosikan pujian dan kehormatan bagi pengacara atas kasus-kasus yang ditanganinya dengan baik dan yang diajukannya dengan adil; khususnya kepada pihak yang tidak mendapatkan penanganan dengan baik dan pengajuan yang adil; sehingga menegakkan reputasi advokasinya dalam diri kliennya dan mengalahkan kesombongan yang ada di dalam dirinya. Demikian juga dalam publik, ada celaan masyarakat kepada pengacara yaitu pengacara yang memberikan nasihat-nasihat yang licik, pengabaian yang besar, informasi yang kurang, tuntutan yang tidak bijaksana ataupun pembelaan yang terlalu berani. Jangan biarkan para pengacara bertutur kata dengan bejat kepada para hakim, maupun pengacara memenangkan dirinya sendiri untuk melakukan penanganan perkara sekali lagi sesudah sang hakim mengumumkan hukuman; tetapi di pihak lain jangan biarkan sang hakim menangani kasus setengah-setengah maupun memberikan kesempatan kepada pihak untuk bertutur kata namun seolah-olah pembelaan atau bukti-buktinya tidaklah didengarkan.
Ketiga, berkaitan dengan pegawai-pegawai dan pelayan-pelayan. Tempat keadilan adalah tempat yang suci; oleh sebab itu, pengadilan bukan hanya kursi tetapi lobi, wilayah dan area, yang harus dijaga tanpa skandal dan korupsi. Sebab tentu saja buah anggur (seperti yang dikatakan oleh kitab suci) tidak dipetik dari semak duri atau rumput duri[9], demikian juga pengadilan tidak dapat memberikan buahnya dengan rasa manisnya di antara semak-semak para pegawai dan pelayan yang memeras dan korup. Ruang pengadilan menjadi subjek untuk empat instrumen yang buruk: Jenis yang pertama, orang-orang tertentu yang adalah penabur segala gugatan[10], yang membuat pengadilan membengkak dan negara merana. Jenis yang kedua, mereka yang berurusan di dalam pengadilan terlibat pertengkaran jurisdiksi dan mereka yang bukan amici curae (sahabat pengadilan), tetapi parasiti curiae (parasit pengadilan), yaitu mereka yang menggembungkan biaya pengadilan melampaui batasnya demi keuntungan dan kesejahteraan mereka. Jenis yang ketiga adalah mereka yang dianggap sebagai tangan-tangan kiri pengadilan, yaitu pegawai–pengawai yang penuh dengan trik-trik dan tipu daya yang gesit serta kejam sehingga mereka menyesatkan jalan pengadilan yang lurus dan langsung dan membawa keadilan menuju kepada garis yang bengkok dan jalan yang simpang siur. Jenis yang keempat adalah pemeras dan penarif biaya yang menjustifikasikan pengadilan sama dengan semak-semak di mana ketika kawanan ternak itu lari karena cuaca buruk, dia malah memastikan mencukur bulu domba-dombanya. Di sisi yang lain, pegawai yang tua, yang keahliannya menjadi teladan, yang berhati–hati di dalam cara bekerja dan mengerti dengan baik urusan pengadilan, merupakan jari tangan pengadilan yang sempurna dan sering kali amat membantu kerja para hakim.
Keempat, menyangkut kekuasaan dan negara. Yang terpenting para hakim haruslah ingat akan kesimpulan Dua Belas Daftar Hukum Romawi[11]; Salus populi suprema lex (Hukum tertinggi dari semua hukum adalah demi kesejahteraan manusia); dan mengetahui bahwa, kecuali hukum adalah keteraturan yang mengantar kepada kesejahteraan, hukum adalah hal-hal yang suka cari gara-gara dan sebuah revelasi yang tidak diilhami dengan baik. Oleh karena itu, adalah suatu hal yang membahagiakan dalam suatu negara bahwa raja dan para negarawan sering berkonsultasi dengan para hakim dan hakim bertukar pikiran dengan raja dan para negarawan: yang satu: yaitu ketika ada masalah-masalah hukum yang menyangkut urusan negara; yang lain, ketika ada pertimbangan kenegaraan yang berhubungan dengan hukum. Sebab sering kali masalah-masalah yang dibawa ke pengadilan kiranya meum dan tuum masalahku dan masalahmu, ketika prinsip dan konsekuensi masalah-masalah tersebut menyentuh poin kenegaraan: saya menyebut masalah kenegaraan, bukan hanya masalah yang menyangkut bagian-bagian kedaulatan, tetapi semua hal apa pun yang menyebabkan perubahan penting, atau patokan-patokan yang berbahaya, atau berkaitan dengan hal-hal yang amat menentukan hidup masyarakat secara nyata. Dan jangan sampai seorang pun merasa gamang bahwa hukum-hukum yang adil dan kebijakan yang benar saling bermusuhan satu sama lain, karena baik hukum yang adil dan kebijakan yang benar seperti roh dan tubuh yang saling menggerakkan satu sama lain.
Kiranya para hakim ingat bahwa takhta Salomo ditopang oleh singa-singa di kedua sisinya, biarkanlah para hakim menjadi singa-singa tersebut, tetapi singa-singa yang ada di bawah mahkota, juga sungguh berhati-hati bahwa para hakim tidaklah menentang dan melawan segala perihal kedaulatan. Jangan sampai juga para hakim menjadi bodoh akan hak-hak mereka sendiri, seperti berpikir bahwa tidak ada hak untuk mereka sebagai bagian penting dari tugas mereka, pelayanan dan aplikasi hukum yang bijak. Sebab semoga mereka ingat apa yang dikatakan oleh Sang rasul[12] tentang hukum yang lebih besar daripada hukum-hukum mereka; “nos scimus quia lex bona est, modoquis ea utatur legitime”; “kita tahu bahwa hukum adalah baik jika manusia menggunakan hukum dengan sah secara hukum”[13].
[1] Tentang Salomo lihat essai IV; no. 1
[2] Bdk. Amsal 25:26; “Seperti mata air yang keruh dan sumber yang kotor, demikianlah orang benar yang kuatir di hadapan orang fasik”.
[3] Amos 5:7
[4] Amsal 30:33
[5] Bdk. Mazmur 11:6 : “Tuhan menghujani orang-orang fasik dengan arang berapi dan belerang”.
[6] Ibid.
[7] Bdk. Mazmur 5:5: “Sebab Engkau bukanlah Allah yang berkenan kepada kefasikan”.
[8] I Petrus 5:5; lengkapnya: “Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati”.
[9] Matius 7:16
[10] Tentang gugatan lihat essai Gugatan (XLIX).
[11] 12 Daftar Hukum (Leges Duodecim Tabularum) adalah perundang-undangan yang menjadi fondasi hukum Romawi. 12 Daftar Hukum memainkan peran yang vital bagi kehidupan Romawi ketika Romawi masih berbentuk Republik. Latar belakang terbitnya 12 Daftar Hukum adalah sebagai berikut: Setelah raja Romawi yang terakhir yaitu Tarquinus Suberbus diusir, Romawi diperintah oleh hirarki hakim dan hirarki hakim ini berasal dari kaum Patrician (kaum elit Romawi baik yang didapat karena kelahiran maupun anugerah) sehingga memicu ketidaksenangan dan kecemburuan dari kaum Plebeian (warga negara Romawi pada umumnya di mana kedudukan mereka lebih tinggi dari budak, tetapi berada di bawah kaum Patrician) bahkan kaum Plebeian mengancam akan meninggalkan kota yang akan berakibat roda perekonomian berhenti. Jadi, setelah Tarquinus Suberbus pergi, ada semacam pertentangan antar kelas di Roma. Pertentangan antar kelas ini dijembatani dengan pembentukan 12 Daftar Hukum pada tahun 451 SM, yang berisi tentang hak-hak orang Romawi satu terhadap yang lainnya. Tentu saja 12 Daftar Hukum mendapat pertentangan dari kelas Patrician. Walaupun demikian, 12 Daftar Hukum tetap disusun, dirancang dan dikerjakan oleh Decemviri (tentang Decemviri lihat essai X; no. 5) dan kemudian dipromulgasikan tahun 449 SM serta ditempelkan di Forum Roma sehingga semua orang bisa melihat dan membaca Leges Duodecim Tabularum.
[12] Sang Rasul yang dimaksud di sini adalah Rasul Paulus. Tentang St. Paulus lihat essai III; no. 4.
[13] Bdk I Timoteus 1:8
Copyright © 2016 ducksophia.com. All Rights Reserved