Icône Ortodoks
Suatu misteri agung, suatu misteri cinta, suatu misteri yang tak terlukiskan, yang di hadapan-Nya kata-kata harus digantikan oleh keterpesonaan dalam keheningan dan adorasi. Suatu misteri ilahi yang menantang dan melibatkan kita karena berbagi dan berpartisipasi dalam kehidupan Tritunggal diberikan kepada kita melalui rahmat, melalui Inkarnasi Sabda yang menebus dan karunia Roh Kudus.
Yohanes Paulus II
Saat ini, di era sekularisasi, beriman merupakan suatu tantangan. Ateisme sebagai pioner sekularisasi setelah menyangkal eksistensi Allah mereka sekarang memproklamasikan akan kematian Allah. Dalam dunia sekularisasi dan pengaruh filsafat modernitas yang mengagungkan rasinonalitas gagasan tentang Allah tampaknya suatu gagasan yang berlebihan dan banal; agama hanya soal cetusan ilusi yang hanya membuat manusia mengasingkan diri dari realitas karena agama hanyalah entitas imajiner dan menghentikan manusia untuk menggunakan akal budinya. Dalam agama orang hanya menerima mentah-mentah dan percaya kepada ajaran agama tanpa lagi mempunyai daya rasionalnya karena akal budinya dikerdilkan oleh gagasan tentang Allah yang digelorakan oleh agama. Demi nama agama, orang terbuai dengan harapan yang disampaikan oleh agama sehingga membuat dirinya menjadi pecandu agama. Akibatnya, muncul semakin banyak keraguan dan pertanyaan terhadap iman Kristiani terutama tentang misteri Allah Tritunggal yang memang sudah rumit dan sulit: bagaimana kita bisa memahami Allah Tritunggal pada hari ini, di masa ateisme dan sekularisasi yang semakin getol, bagaimana mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan mendalam tentang misteri Allah Tritunggal?; Apakah iman terhadap Allah Tritunggal relevan dengan manusia moderne dan orang Kristen?; Bagaimana misteri ini diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari ?
Sebenarnya, semua pertanyaan tersebut dapat diajukan kepada setiap orang yang mengaku Kristen karena pertanyaan yang dikemukakan mengeksplorasi seberapa penting peranan Allah bagi hidupnya. Tetapi juga bahwa pergulatan dalam usaha menjawab pertanyaan tersebut justru menimbulkan dan memperdalam iman bagi orang yang mencintai-Nya. Sebabnya misteri Allah yang digulati membentuk paradoks iman artinya orang selalu mencari Allah tetapi dia tak akan pernah menemukan-Nya secara total. Allah dicari untuk ditemukan karena Dia lepas tetapi Dia tetap dicari sesudah ditemukan karena Dia infinitas, yang tak terbatas (St Augustinus). Iman Kristiani tidak mungkin melarikan diri dari pergolakan zaman dan tantangannya dan orang Kristen juga tidak mungkin melepaskan diri dari pengaruh modernitas. Namun, dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang eksistensi Tuhan dan iman ini bukan untuk menenggelamkan kebenaran iman Kristiani yang sudah direvelasikan melainkan pertanyaan-pertanyaan fundamental ajaran Kristen ini membantu memperteguh dan menguatkan misteri Allah Tritunggal di tengah derasnya ateisme dan sekularisasi. Jawaban yang ditemukan dan pencerahan yang diperoleh makin menunjukkan kemuliaan Allah Tritunggal dan terang ajaran Kristen di tengah kabut kelam keruwetan dan dangkalnya modernitas. Lantas, penulis J. Schumacher membuat sintesis rasional untuk menjelaskan iman Allah Tritunggal dan relevansinya di zaman modern.
Setiap orang di dalam lubuk hatinya memiliki naluri terhadap yang tak terbatas; naluri menampilkan dirinya dalam bentuk kegelisahan kepada yang melampaui dirinya (baca: Allah) sekaligus mendorong dirinya untuk bertanya-tanya siapakah Dia itu. Pertanyaan tentang Allah selalu membangkitkan dan terus-menerus menimbulkan minat manusia kepada-Nya meskipun bisa jadi orang tersebut menolak-Nya. Artinya, kegelisahan akan Allah tidak dapat dihilangkan, seperti yang telah dicatat oleh St. Agustinus karena pertanyaan tentang Allah adalah bagian nalurinya, bagian dari kodratnya sebagai makhluk metafisika.
Kegelisahan metafisika ini menyeruak dalam rupa pengetahuan pra-ilmiah akan asal usul dunia yang transenden. Kegelisahan metafisika tersebut melekat dalam jiwa agama natural, dalam keberadaan dan kondisi manusia sehingga semua budaya dan semua zaman sejarah, termasuk zaman modern selalu menghadapi pertanyaan tentang Allah dan keberadaan manusia itu sendiri. Jadi, dalam bingkai metafisika, pertanyaan tentang Allah sebenarnya adalah pertanyaan yang paling total, vital dan radikal tentang eksistensi manusia itu sendiri karena Allah merupakan alasan dari eksistensi manusia, karena manusia adalah gambar dan rupa-Nya sendiri, manusia diciptakan oleh Allah dan ditebus oleh Kristus .
Modernitas yang amat memuja rasionalitas menjadikan pertanyaan tentang eksistensi Allah dan iman menjadi pertanyaan rasional dalam koridor filsafat sehingga harus dapat diterima oleh akal budi dan jawaban-pergumulan perlu dijelaskan secara rasional dan sesuai dengan logika. Filsafat telah menunjukkan bahwa dengan akal budi seseorang dapat mengkontemplasikan misteri Allah dan memahaminya karena akal budi memang memiliki kapasitas untuk merenungkan Allah yang merupakan Ada yang paling cemerlang. Akal budi secara natural dapat menemukan bahwa Allah adalah penyebab utama dari semua yang ada, kebenaran dan kebaikan dan finalitas dari semua eksistensi dan semua yang terjadi. Untuk alasan natural ini maka akal budi dapat disebut sebagai suatu kapasitas ontik transendental yang sudah menyebabkan kegelisahan metafisik dan kegelisahan metafisik sudah tertanam di dalam jiwa, hati dan akal budi manusia secara natural. Hebatnya, lewat kapasitas ontik pengetahuan transendental ini manusia dapat sampai bahkan mengerti gagasan ilahi, numen divinum. Numen divinum telah meninggalkan jejaknya di dalam cara yang dapat dikenali, yang dapat dialami dan yang dapat dipahami sehingga manusia dengan akal budinya sejatinya dapat mencari dan menemukan-Nya tanpa perlu wahyu. Konsekuensinya adalah siapa pun manusia termasuk ateis tidak bisa menutup mata terhadap realitas numen divinum. Terlebih lagi, menurut J. Schumacher, kontribusi positif dari ilmu-ilmu modern terhadap Allah bahwa mereka selalu menunjukkan dengan jelas bahwa Allah memang melampaui ilmu-ilmu tersebut meskipun kenyataan ini tidak selalu diperhitungkan dengan sepatutnya oleh mereka.
Melihat kontribusi ilmu-ilmu modern, J. Schumacher mengungkapkan afiliasi antara wahyu dan filsafat karena dalam pertanyaan akan Allah dan eksistensi manusia yang digagas oleh ilmu modern justru mempertemukan filsafat dan wahyu. Allah wahyu identik dengan numen divinum yang dapat dijangkau oleh rasio dan roh manusia. Rasio dan roh manusia yang mengkontemplasikan kebenaran Allah Tritunggal berarti bahwa Allah filsafat berubah menjadi Allah iman. Pencapaian kepada Allah oleh filsafat adalah tahap dasar menuju iman yang dijustifikasi dan diklarifikasi oleh akal budi. Dan tahap dasar ini merupakan kebutuhan bagi teologi karena filsafat memurnikan iman supaya Allah wahyu tidak berakhir menjadi berhala, proyeksi-ilusi manusia atau kematian Allah seperti yang dikumandangkan oleh modernitas tetapi Allah sungguh adalah Allah yang hidup yang adalah kebenaran, terang dan jalan kehidupan. Dalam wahyu jelas Dia menunjukkan diri-Nya dan misteri-Nya kepada kita. Namun, yang terpenting adalah bahwa Allah mencintai kita yang realitas keberadaan dan cinta-Nya melampaui nalar manusia tetapi juga tidak pernah bertentangan dengan rasionalitas manusia. Ada yang paling sempurna, Actus purus , Ada yang terindah telah mengkomunikasikan diri-Nya kepada dunia, mencari persekutuan dengan manusia bahkan memasukkan manusia ke dalam cinta-Nya dan kebahagiaan-Nya. Jadi, tujuan pertama dari wahyu Tritunggal menyoal keselamatan dan baru kemudian gerakan rasional-akal budi yang diperlukan untuk menyelami wahyu Tritunggal. Allah terus tetap menjadi misteri yang kita dekati dengan terang akal budi sementara dengan iman kita tahu apa yang diperlukan untuk keselamatan. Tuhan mewahyukan dalam manifestasi sayangnya juga menyembunyikan misteri-Nya. Jadi wahyu Allah Tritunggal bukanlah suatu kejelasan intelektual yang terang-benderang karena yang Allah kehendaki adalah keselamatan manusia dan memberi manusia identitas dengan wahyu Tritunggal tersebut.
Satu-satunya Allah Tritunggal tersebut mengungkapkan persekutuan dengan diri -Nya yang dimanifestasikan dalam Kasih yang subsisten. Persekutuan diri yang demikian dimungkinkan karena Ada Yang Tertinggi, numen divinum, memiliki karakter pribadi.
Karakter pribadi numen divinum telah ditunjukkan dan diuraikan dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Dalam Perjanjian Lama karakter pribadi numen divinum diungkapkan dalam Allah yang bersatu di dalam umat-Nya, yang berjalan bersamanya melalui sejarah, yang bagi Israël Allah adalah seorang ayah, seorang ibu, seorang gembala yang mengharapkan penyerahan diri, kepercayaan dan cinta kepada-Nya, mencari persekutuan dengan diri-Nya; juga Dia adalah Allah yang hidup yang lebih tinggi dari kematian. Dalam Perjanjian Baru wajah numen divinum disajikan dan dimanifestasikan dalam pribadi Yesus dari Nazaret.
Lewat cara yang jelas dan definitif, pewahyuan Allah dari Perjanjian Lama sampai ke Perjanjian Baru menunjukkan bahwa orang Kristen dituntun selangkah demi selangkah menuju iman akan Allah Tritunggal. Dalam Perjanjian Lama, orang dapat menemukan pewahyuan tentang kebapaan Allah yang merupakan buah dari perjumpaan Israël dengan Allah dalam pengalaman sejarahnya. Israël disebut sebagai putra Yahweh; yang mana Yahweh adalah Bapa dari bangsa pilihan itu. Jadi, wahyu kebapaan Allah dalam Perjanjian Lama adalah terang dan langkah pertama untuk jalan kepenuhan dan kesempurnaan wahyu Tritunggal dalam Perjanjian Baru.
Dalam Perjanjian Baru, Allah menampilkan diri-Nya sebagai satu-satunya Allah: Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Yesus Kristus sebagai pusat evangelisasi perjanjian Baru -Allah Putra- adalah penyingkapan sempurna akan Allah Bapa dan Allah Roh Kudus. Allah adalah Bapa; Ia adalah Bapa Yesus Kristus sekaligus Bapa manusia tetapi dengan cara yang berbeda. Misterinya, Yesus sebagai Putra Bapa adalah gambar Allah yang sudah ada sebelumnya dan setara, sehakikat dengan Allah Bapa. Sementara Roh Kudus adalah Allah sendiri sebagai Pribadi ilahi – berbeda dari Bapa dan Putra -yang berdiam di dalam diri orang Kristen, yang membenarkan dan menguduskannya.
Kesatuan Bapa, Putra dan Roh Kudus -Allah Tritunggal Maha Kudus- secara gamblang mendeklarasikan kesetaraan derajat ontologis: martabat yang sama, kekuatan yang sama, hakekat yang sama dan kepenuhan hidup yang sempurna. Tetapi mereka adalah tiga yang subsisten berbeda dari masing-masing Pribadi namun saling memberikan diri satu sama lain dalam kesatuan Allah yang satu. Bapa adalah Allah, Putra adalah Allah, Roh Kudus adalah Allah. Iman Kristen tidak mengakui bahwa mereka adalah tiga Allah, tetapi mereka semua adalah satu Allah dengan tiga Pribadi. Tiga Pribadi tetapi satu substansi. Satu substansi menjelaskan bahwa ketiga Pribadi tidak bercampur satu sama lain, juga tidak terbagi, tetapi bersatu secara berbeda dan dipersatukan dengan menjadi berbeda sekaligus menjadi satu: bersatu dalam kodrat, berbeda dalam pribadi. St. Agustinus menguraikan natura Allah Tritunggal sebagai berikut:
Tidaklah mudah untuk menemukan nama yang sesuai untuk mengungkapkan kesempurnaan yang begitu agung, kecuali mengatakannya dengan lebih baik: Tritunggal, satu Allah, yang darinya adalah segala sesuatu, yang melaluinya adalah segala sesuatu, yang di dalamnya adalah segala sesuatu. Jadi Bapa dan Putra dan Roh Kudus dan masing-masing dari diri-Nya sendiri adalah Allah dan pada saat yang sama mereka semua adalah satu Allah; dan masing-masing dari mereka sendiri adalah substansi yang lengkap, namun mereka semua tetap satu substansi. Bapa bukanlah Putra ataupun Roh Kudus; Putra bukanlah Bapa ataupun Roh Kudus; Roh Kudus bukanlah Bapa ataupun Putra : tetapi Bapa adalah Bapa, Putra adalah Putra dan Roh Kudus adalah Roh Kudus. Ketiganya memiliki kekekalan yang sama, ketakberubahan yang sama, keagungan yang sama, kekuatan yang sama. Di dalam Bapa ada kesatuan, di dalam Putra ada kesetaraan, di dalam Roh Kudus ada keselarasan persatuan dan kesetaraan. Dan ketiga karakter ini semuanya satu karena Bapa, semuanya setara karena Putra dan semuanya harmonis karena Roh Kudus.
Kesatuan ketiga Pribadi menunjukkan bahwa ketiga Pribadi saling berelasi satu sama lain dalam kesempurnaan kasih sehingga relasi ketiga Pribadi menipis kesendirian maupun kesepian. Kehidupan intim Allah Tritunggal bukanlah kehidupan yang soliter melainkan relasi Kasih. Allah adalah Persekutuan tiga Pribadi dan dialog Kasih yang tak terbatas. Relasi dan dialog Kasih di antara ketiga Pribadi itu menyingkapkan identitas Allah Tritunggal: Allah adalah Cinta yaitu Yang Tercinta, Yang Mencintai dan Cinta.
Kesatuan kasih Tritunggal bukanlah suatu monade yang abstrak tetapi suatu suksesi gradasi yang hidup dalam wahyu, suatu triade ekonomi. Suksesi gradasi yang hidup dalam triade ekonomi menyatakan bahwa Bapa tidak diciptakan oleh siapa pun, juga tidak dijadikan atau diperanakkan. Putra hanya diperanakkan oleh Bapa, tetapi bukan dijadikan dan juga tidak diciptakan. Roh Kudus berasal dari Bapa dan Putra tetapi Roh kudus juga tidak dijadikan, tidak diciptakan ataupun diperanakkan. Gregorius Niza menjelaskan relasi Kasih ketiga Pribadi bahwa dia yang menerima Roh mengetahui Putra (Gambar yang tak terbatas) dalam Roh yang sama dan di dalam Putra (Gambar) dia mengenal Bapa (Arketipe). Maka jika Bapa, Putra dan Roh Kudus tidak memiliki kodrat yang sama dan layak mendapatkan kemuliaan yang sama, dia tidak mungkin mengenal Bapa dan Putra dalam Roh, sebaliknya dalam pengetahuan ini ia juga mengenal Bapa lewat Putra dan Roh kudus karena Bapa, Putra dan Roh kudus memiliki kodrat yang sama, sehakikat dan saling berelasi di dalam kasih.
Allah Tritunggal sejak misteri penciptaan menciptakan manusia agar manusia dapat berpartisipasi dalam kehidupan intim-Nya. Lalu, dalam misteri Penebusan Allah Tritunggal menyelamatkan setiap orang yang percaya kepada Yesus Kristus dan menyatakan diri-Nya kepada setiap orang yang mengasihi Yesus Kristus. Dengan cara ini misteri Tritunggal ternyata adalah misteri Inkarnasi yang merupakan inti dari wahyu ajaran Kristen. Dan seperti Inkarnasi, Allah Tritunggal menyatakan identitas-Nya dan memberikan fitur khusus terhadap iman Kristen yang membedakan iman Kristen dengan iman Muslim dan iman Yahudi yang juga mengakui satu-satunya Tuhan.
Menurut J. Schumacher misteri dan pewahyuan Allah Tritunggal meresap ke dalam kehidupan sehari-hari orang Kristen. Orang Kristen dalam tindakan imanennya baik tindakan iman, tindakan kasih tindakan harapan dan doa- kontemplasinya bahkan adanya mencerminkan dan merefleksikan kesatuan internal dan perbedaan Allah Tritunggal. Jelas, bagi orang Kristen Allah Tritunggal merupakan landasan hidup dalam pendekatannya kepada Tuhan dan relasinya yang hidup kepada Allah sendiri berkat baptisan yang diterima. Melalui baptisannya, orang Kristen menyerahkan dan menyatukan diri mereka seutuhnya kepada misteri Tritunggal dalam nama Bapa, Putra dan Roh Kudus. Tak heran gereja ada, terbentuk dan hadir ketika mereka berkumpul dalam kesatuan Bapa, Putra dan Roh Kudus. Dengan demikian misteri Tritunggal Mahakudus adalah totalitas kekristenan yang merupakan esensi kekristenan. Sebab kekristenan adalah suatu panggilan yang ditujukan kepada setiap orang oleh Bapa untuk berpartisipasi dalam kehidupan Putra melalui karunia Roh Kudus.
Orang-orang yang berkumpul dalam kesatuan Tritunggal mengacu pada panggilan ontologisnya : untuk berperilaku sebagai anak Allah karena di dalam Kristus setiap orang Kristen telah diangkat untuk berpartisipasi dalam filiasi Putra. Berperilaku sebagai anak Allah dinyatakan dan diungkapkan dalam kesatuan kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama lewat tindakan dan doa. Orang Kristen mengerti bahwa ia harus menapaki jalan menuju Bapa melalui Kristus dalam Roh Kudus dan bahwa hanya dengan cara dan jalan inilah ia akan dapat menjalani dan sampai kepada kemuliaan Allah. Maka, beriman kepada Allah Tritunggal bukan sekedar suatu abstraski maupun diskursus rasional-teologis tetapi beriman kepada Allah tritunggal adalah hidup itu sendiri yang konkret dalam mengarungi abad demi abad dengan segala tantangannya. Terkait dengan liturgi, tentu saja liturgi Kristiani adalah tanggapan iman terhadap pewahyuan Allah Tritunggal dalam memuliakan, memuji, menyembah dan suatu doa kepada Bapa Putra dan Roh Kudus. Dengan demikian liturgi Kristiani adalah kemuliaan dalam nama Bapa, Putra dan Roh kudus.
Schumacher telah membuktikan bahwa iman kepada Allah Tritunggal adalah cara akal budi-rasionalitas untuk mengerti dan mencapai misteri ilahi. Memang Misteri Tritunggal bukanlah melulu hasil spekulasi rasional-logis tetapi jelas merupakan objek Wahyu: misteri Tritunggal bukan revelasi yang merancukan dan membingungkan ataupun bukan yang bertentangan dengan akal budi tetapi justru yang mendorong penggunaan akal budi dalam kapasitas maksimalnya dan penjelajahannya. Dengan demikian, Allah Tritunggal tidak bertentangan Allah para filsuf karena Allah adalah suatu misteri rasionalitas – aliquia mysteriorum intelligentia-. Ada manusia adalah ada rasionalitas sehingga akal budi adalah rahmat Allah sendiri yang dianugerahkan kepada manusia, oleh karena itu rasionalitas meminta persekutuan dan relasi definitif dengan Allah-sang kecermelangan rasionalitas-. Jalan filosofis manusia untuk sampai kepada realitas ilahi yang mengandalkan akal budi selalu menjadi bagian dari misteri penciptaan. Akal budi secara natural mencari causa pertama segala yang ada dan dengan demikian manusia mencapai Allah dalam keintiman-Nya. Definitif bahwa penyangkalan kebenaran Allah Tritunggal berarti mundur kembali ke mitos yang menolak penjelasan rasiona juga berarti penyangkalan terhadap eksistensi manusia karena kegelisahan kepada Allah terpatri di dalam lubuk hati sebagai hasrat untuk mengenal Allah ; sebagai ingatan akan Allah karena di dalam segala ingatan terdapat kesadaran akan Allah; sebagai pikiran akan Allah karena segala pikiran adalah perziarahan kepada Allah. Terlebih, firman Allah yang selalu sama, kemarin seperti hari ini, baik dahulu dan sekarang adalah seperti sengatan yang secara positif membangkitkan perhatian atau setidaknya menyerukan reaksi négatif. Dan firman Allah juga berlaku dan bernilai untuk zaman ini yang ditandai dengan krisis etika, sekularisasi dan ateisme yang mana orang Kristen pun hidup di dalamnya. Konsekuensinya, dengan akal budi, iman dan kasih karunia Allah Tritunggal, pertanyaan siapakah orang Kristen saat ini dapat dijawab: hari ini orang Kristen adalah orang yang ditransendensikan oleh kebesaran dan keindahan Allah Tritunggal dan dituntun oleh-Nya untuk berdoa dan beribadah dalam Roh dan Kebenaran. Orang Kristen adalah dia yang selalu ingat dan sadar akan transendensi misteri Allah Tritunggal yang menyertai perziarahan hidupnya. Orang Kristen adalah dia yang memegang teguh fakta bahwa setiap pribadi manusia diciptakan menurut gambar Allah dan segala ciptaan adalah kasih-Nya. Untuk itu, dia mencari dan memuji pancaran misteri keintiman ilahi yang terukir di dalam diri manusia dan segala ciptaan. Dan karena ia adalah bagian dari anak zaman modernitas, kekuatan spekulatif dan akal budinya didominasi oleh cita-cita luhur: yaitu memuji, memuliakan dan mencintai Allah Tritunggal. Dengan demikian, orang Kristen sejauh sebagai manusia modern, dengan akal budi yang diterangi oleh iman dan kasih karunia Allah Tritunggal menyatakan kebenaran objektif Allah di antara kebenaran relatif modernisme, bersaksi tentang cinta Allah di hadapan cinta dangkal modernisme dan menyatakan cara hidup untuk mencapai kebahagiaan sejati dalam menghadapi pilihan modernisme yang tidak pasti. Penghayatan misteri Allah Tritunggal bagi orang Kristen di zaman modernitas yang sering menyebabkan perpecahan karena kesombongan akal budi adalah seperti yang dikatakan oleh John Of Kronstadt :« Sebagai Tritunggal Mahakudus, Allah kita adalah Satu Wujud, meskipun Tiga Pribadi, demikian pula kita sendiri harus menjadi satu. Karena Allah kita tidak dapat dipisahkan, kita juga harus tidak dapat dipisahkan, seolah-olah kita adalah satu manusia, satu pikiran, satu keinginan, satu hati, satu kebaikan, tanpa campuran kebencian sekalipun yang terkecil – dalam satu kata, satu cinta murni, karena Allah adalah Cinta. Agar mereka menjadi satu, sama seperti kita adalah Satu (Yohanes 17:22).
Tulisan ini disadur dan digubah dari: Schumacher, El Hombre Moderno Y Su Camino Hacia El Dios Trino Scripta Theologica, Facultad de Teología Universidad Navarra vol. XXIV-FASC. 3 septembre-décembre 1992, pp. 965-991
Copyright © 2023 ducksophia.com. Tous les droits sont réservés