Lukisan Maurice de Vlaminck, Bouquet De Marguerites Et Bleuets
Disadur dari
L’uomo e la sua rappresentazione simbolica
Carlo Rocchetta
Ternyata hidup manusia diwarnai dan tersatukan dengan simbol-simbol karena manusia menciptakan dan berinteraksi dengan mereka. Lalu mereka menjadi bagian dari kesadaran, pemahaman dan aktivitas manusia. Akibatnya ruang lingkup hidupnya seperti ekonomi, politik, budaya, ekonomi bisa dipandang sebagai simbol. Misalnya sistem ekonomi dianggap sebagai simbol pertentangan kelas atau simbol dari hasrat, kesadaran sebagai simbol dari ketidaksadaran, budaya sebagai sebagai simbol dari imajinasi. Manusia sendiri adalah suatu simbol dan mempresentasikan dirinya secara simbolis pula.
Simbol berbicara dan berdiam di dalam bahasa. Bahasa adalah suatu sistem yang terdiri dari simbol-simbol yang tersusun dengan makna referensial. Kenyataan ini memantik kita untuk bertanya apa itu simbol dan hubungannya dengan manusia, apa bedanya simbol dengan tanda, apa hubungannya dengan bahasa dan bagaimana peranan simbol bagi hidup manusia? Bagaimana hubungan simbol dengan agama?
I. Manusia sebagai ada bahasa
Manusia adalah suatu ada bahasa. Pengertian bahasa, ketika dipahami dalam definisi manusia sebagai ada bahasa, maka bahasa dapat diartikan secara global: bahasa tidak hanya dimengerti sebagai bentuk verbal (kata yang diucapkan), tetapi bahasa juga memiliki segala bentuk ekspresif yang menyelusup ke dalam fenomena komunikasi melalui cara yang beragam dan saling melengkapi. Cara yang beragam dan saling melengkapi itu meliputi: dari atas- yaitu bahasa isyarat dan obyek (gerak-isyarat atau ekspresi tubuh, asumsi realitas sebagai wahana pesan) menuju bawah yaitu bahasa yang tidak disadari yang menyertai kita dan yang mengatakan sering kali pengertian komunikasi kita (bentuk-bentuk diam, postur) sampai pada kesejajaran yaitu bahasa yang kita gunakan untuk mengekspresikan diri kita dalam keberagaman cara (bahasa ruang, bunyi, musik, artistik). Maka definisi bahasa adalah suatu sistem tanda/simbol yang melaluinya setiap orang dapat hidup. Hidup berlangsung karena berkat aspek personal-kognitif-budaya yang termuat di dalam bahasa, kita mewujudkan dan memberikan bentuk ekspresif kepada kepribadian kita dalam keanggotaan suatu grup sosial sehingga memampukan diri untuk berkomunikasi dengan orang lain dan untuk mengaktualkan eksistensi kita dalam cara yang manusiawi.
Struktur bahasa manusia berasal dari identitas relasionalnya atau segala sesuatu yang terhubung kepada identitasnya dan dari konstitusi spiritual-tubuh yang mana ada manusia berada dan direalisasikan.
Mengada adalah mengada bersama
Ada manusia adalah ada yang terbuka kepada yang lain; suatu ada bersama. Mengada adalah mengada bersama. Jadi, struktur fundamental ada manusia bukanlah aku-sendiri tetapi aku-kamu. Studi–studi tentang pemikiran sebagaimana yang digagas M. Buber, E. Levinas, A. Heschel, E. Brunner, G. Marcel, E. Mounier, M. Nedoncelle, mereka semua bersepakat -meskipun bertitik tolak dari epistemologi yang berbeda- bahwa kebenaran terdalam dari ada manusia berada di dalam perihal relasi. Manusia tidak dapat dipahami dan tidak teraktualkan dalam cara yang manusiawi seandainya dirinya dipisahkan dari perjumpaannya dengan orang lain (realitas penerimaan dan pemberian): eksistensi kamu menyatakan kepada diriku dan menempatkan diriku dalam level untuk menjadi manusia. Antropologi aku yang soliter, yang berasal dari Cartesian yaitu aku yang tertutup di dalam diriku sendiri, yang mempertahankan akan kemampuan menciptakan abstraksi tentang orang lain, tidaklah sesuai dengan kebenaran terdalam ada manusia. Dialetika formasi diri dan kemanusiaan secara definitif melewati perjalanan dari aku menuju kamu (pemberian) dan perjalanan dari kamu menuju aku (penerimaan). Akibatnya, ketika setiap kali seseorang menolak atau mengingkari dialetika tersebut dalam perjumpaan dan komunikasinya dengan orang lain, dia kehilangan dirinya sendiri: yang lain –sebagaimana diamati oleh E. Mournier – berubah menjadi asing (alineus), dan aku pada diriku pun berubah menjadi asing (alineus), sesuatu yang asing di hadapan yang lain.
Tubuh, suatu “simbol real”
Struktur relasional aku-kamu menunjukkan bahwa tubuh adalah suatu simbol nyata. Manusia, kenyataannya, tanpa tubuh, tidak dapat mengekspresikan dan mengaktualkan ada bersama dengan orang lain secara sejarawi karena ada bersama dengan selalu mengacu kepada eksistensi tubuh. Tubuh memanifestasikan kesejarahan ada manusia dan tubuh mengatakan kemanusiaan sehingga manusia dengan tubuhnya membuktikan eksistensinya. Eksistensi manusia itu sendiri tidak hanya menyoal suatu suksesi temporal peristiwa-peristiwa, tetapi juga berada di dalam gambaran akan jaringan yang sempurna yaitu tentang hubungan-hubungan intersubyek dan budaya yang membentuknya. Di sini secara spesifik tubuh berfungsi memberikan kehadiran manusia di dalam dunia. Jadi tubuh yang berada di dalam jaringan hubungan yang demikian pada waktu yang bersamaan adalah suatu representatif dan suatu realisasi penanda dari aku personal dalam ada bersamanya dengan orang lain.
Eksistensi bersama dengan orang lain merupakan suatu eksistensi bersama dari tubuh-tubuh secara sejarawi. Setiap relasi manusia dengan sesamanya diekspresikan dan dibangun lewat ketubuhan meskipun melalui tahapan yang berbeda-beda. Maka, syukurlah atas tubuh ini karena aku sebagai persona ini terbuka pada yang asing karena tubuh dalam pengertian yang utuh adalah suatu ada bersama, suatu representasi penanda dari aku spiritual yang dipahami sebagai eksistensi bersama dengan. Artinya, aku sendiri tidak dapat menyatakan diriku kepada dirimu dan aku tidak dapat pula memasuki suatu misteri tentang engkau yang berdiri di hadapanku jika tidak dimediasikan oleh tubuh yang nyata dan bahasa yang dinyatakan dan diaktualkan oleh tubuh itu sendiri. Bahkan kata-kata yang diucapkan (tidak hanya tingkah laku) menjadi wilayah dan ranah tubuh nyata manusia dan tentu saja tidak akan ada pengalaman batiniah tanpa memiliki sebuah refleksi akan tubuh. Tubuh sebagai wacana ekspresi dari aku-spiritual adalah tempat di mana tujuan-tujuan batiniah menjadi kenyataan kemudian dipersepsi atau diinderai oleh orang lain.
Tubuh pada saat yang sama adalah suatu kehadiran dan suatu bahasa karena tubuh maupun setiap bagian tubuh berkata, berbicara dalam setiap momen, disertai dengan atau mengatakan tujuan batiniah. Lantas, kita bisa mengatakan bahwa tubuh mempunyai karakter sakramen: tubuh adalah sebuah pewahyuan dan pada saat yang sama pula tubuh menyembunyikan misteri manusia. Pewahyuan karena mau tidak mau, dimediasikan dengan tubuhnya, manusia terbuka dan dapat diakses oleh sesamanya. Misteri karena tubuh manusia juga memanifestasikan intensitas aku yang personal dalam keberagaman cara. Maksudnya, manusia tetap bebas mengungkapkan keinginannya, momen ekspresi ketubuhannya yang berasal dari pilihan bebas dan tindakannya.
Pada prinsipnya, perjumpaan personal (antara aku dan orang lain) berkembang dari dialektika sebagai berikut: ketika seorang manusia bersama dengan realitas tubuhnya menyatakan dirinya secara spontan kepada orang lain lalu orang lain menyambut atau menerima pernyataan diri tersebut dan meresponnya secaranya spontan pula. Itu berarti tubuh adalah simbol nyata dari dialetika tersebut dan tubuh pula yang memungkinkan untuk membuat dialektika yang seperti itu.
Walaupun demikian, semuanya ini belum mengungkapkan seluruhnya tentang tubuh. Sebab tubuh sebagai simbol real membangun suatu tugas yang harus direalisasikan. Tentu saja bahwa aku sebagai manusia secara sejarahwi diciptakan, direalisasikan pada ada-nya sehingga menjadi makhluk berdimensi sejarah-relasional. Namun tubuh juga mengambil bagian pada perwujudan dari aku-spiritual. Manusia sebagai subyek tidak hanya mengada di dalam tubuh individu. Dari sebab itu, manusia sebagai subyek tidak diwujudkan hanya dengan mengekspresikan dan mengkomunikasikan dirinya sendiri lewat tubuhnya yang nyata dan terlihat, tetapi juga kepada orang lain dan dunia. Kata Scheneider: tubuh adalah tanda kelihatan dari kepribadian (persona) dan juga tanda yang merealisasikan persona itu sendiri. Di dalam tandalah kemanusiaan itu diwujudkan dan tubuh merupakan tanda yang mengejewantahkan manusia, keakuannya, kepribadiannya, pemikiran dan tindakannya serta aktualisasi dirinya. Semuanya ini membantu kita untuk mempersepsikan bahwa dimensi tubuh itu ternyata tidak dinilai dan dianggap melulu sebagai suatu bagian dari komposisi manusia, tetapi malahan sebagai suatu perwujudan konstitutif dari ada manusia sedemikan rupa yaitu sebagai satu dan sempurna.
Persepi tentang tubuh sebagai simbol nyata mengandaikan intensionalitas aku manusia. Tubuh sebagai realitas jasmani bukanlah suatu simbol yang merealisasikan dan mempresentasikan kepribadian diriku jika tubuh tidak mengekspresikan suatu perwujudan kesadaran dari aku spiritual. Jadi, agar dapat menghadirkan sebagai suatu simbol nyata, tubuh harus dapat mempresentasikan suatu identitas kesadaran spiritual. Maksudnya, tubuh tetap tidak cukup hanya untuk menghadirkan dirinya secara fisik demi orang lain melalui komunikasi. Sebab, perjumpaan yang sejati sebagaimana dikatakan- menyiratkan suatu pertukaran intensitas, fakta penerimaan-pemberian, revelasi-jawaban. Oleh sebab itu, tubuh sebagai simbol real hanyalah sebuah kendaraan untuk pertemuan dan komunikasi. Buktinya, pada satu sisi, suatu kehadiran tubuh untuk dirinya jelas bukanlah mencerminkan ada bersama dengan ataupun komunikasi. Di sisi lainnya kita tahu bahwa dengan baik bahwa jika tubuh secara fisik tiada ataupun terpisah dalam jarak begitu jauh, tetaplah mungkin untuk mempertahankan suatu hubungan batiniah, sebuah kesadaran akan kontak personal yang intim, suatu realitas yang dikonkretkan dengan simbol dan tanda.
Natura simbol dari bahasa manusia
Realitas material simbol menyusup ke dalam permainan pertukaran, komunikasi dan memberikan keaslian bagi bahasa interpersonal secara simbolis. Jika tubuh adalah simbol nyata manusia dan tubuh merupakan ada bersama dengan, maka bahasa adalah “struktur yang melahirkan” yang berasal dari arti harafiah ekspresi, ibarat sebuah forma yang membentuk ada manusia dan melahirkannya. Heiddeger menegaskan kenyataan ini dengan mengatakan bahwa demikanlah manusia sehingga untuk mengerti manusia pentinglah memulainya dari bahasa. Jadi, bukanlah tanpa sebab, jika banyak pemikir-pemikir kontemporer mencari poin yang menjadi titik tolak khusus untuk menguraikan manusia (antropologi) filosofis dalam level linguistik.
Bahasa pada dasarnya adalah aktualisasi dari eksistensi kodrat sosial manusia sehingga bahasa adalah suatu eksistensi fundamental yang membuat manusia merealisasikan dirinya dalam dunia (aku spiritual-tubuh dalam dunia). Namun, pada saat yang sama, bahasa juga membangun suatu atmosfer vital yang membuat manusia menjadi subjek. Maka, persoalannya bukanlah membahas manakah yang benar yaitu apakah manusia yang memiliki bahasa ataupun bahasa yang menguasai manusia tetapi jelaslah bahwa tanpa bahasa, manusia tidak akan mengenali dirinya dan tidak akan mampu menempatkan dirinya dalam suatu kelompok manusia.
Dalam arti ini, bahasa tidak dapat direduksi hanya sebagai pengantara yang berfungsi sebagai sarana ekspresi diri dan cara untuk berkomunikasi dengan orang lain. Alasannya, bahasa merupakan suatu fenomena yang dalam dan luas. Jika dilihat dalam alur tubuh manusia, bahasa menunjukkan being, ada manusia dan bagaimana being, ada manusia dipanggil untuk direalisasikan dalam perjumpaan dengan orang lain sekaligus mempertahankan perjumpaan ini. Dengan kata lain, bahasa adalah apa yang membuat manusia menjadi subjek personal dalam tindakan. Manusia sebagai subyek yang bertindak dan sebagai bahasa berkolaborasi bersama. Manusia membangun dirinya sebagai subjek di dalam bahasa dan dengan perantaraan bahasa. Manusia adalah ada kata. Konsekuensinya, andaikan manusia menolak merealisasikan dirinya maka syukur kepada bahasa sebab melalui bahasa mau tak mau manusia mengenali dirinya dan dikenali dalam kesatuan aku dan eksistensi relasionalnya. Juga adalah bahasa yang membuat hal objektif menjadi mungkin dan dalam bahasa manusia dilibatkan di dalam persona pertama.
Adalah suatu kebenaran bahwa bahasa, dalam cara apa pun realisasinya, selalu membutuhkan sebuah relasi pertukaran (aku-kamu). Setiap kata yang kiranya penting nilai referensial dan informasinya senantiasa diformulasikan dari titik tolak “siapa aku bagimu, siapa kamu untukku” dan bekerja dalam pola tersebut. Bahkan setiap kata, meskipun direduksi pada fungsi perantara yang sederhana yaitu sebagai komunikasi ataupun informasi tetap meminta identifikasi melalui tindakan yang didasarkan identitasku dan identitas orang lain. Hal ini membuktikan bahwa yang kita katakan, apa pun maksudnya, kita mengatakannya kepada orang lain, dan juga sebaliknya orang lain mengatakannya kepada kita. Dengan demikian bahasa tidaklah melulu bunyi verbal ataupun murni aktivitas harafiah ataupun gerak isyarat. Bahasa membuktikan bahwa orang lain dan tubuh adalah suatu revelasi. Kategori revelasi menyatakan natura dari bahasa interpersonal yang menjadi fungsi esensial bahasa. Oleh karena itu, terima kasih kepada bahasa sebab dengan bahasa dunia dapat ditinggali dan manusia bisa mengenali tidak hanya apa yang diketahui tetapi juga memiliki pengetahuan; terima kasih kepada bahasa karena berkat bahasa, manusia diposisikan untuk mengekspresikan dan mewujudkan suatu komunikasi yang benar dengan sesamanya dengan menyebut hal-hal melalui nama dan menyisipkan konteks-konteks linguistik dengan sinonimnya. Pengarang kontemporer seperti halnya E. Benvenistes, E. Ortigues dan L. –M. Chauvet telah mendeskripsikan natura bahasa dengan skema segitiga.
Mereka
Aku Kamu
Menurut skema di atas, aku linguistik tidak akan dimengerti tanpa kamu linguistik dan mereka linguistik, di mana di dalam pembalikan komunikasi yang terjadi adalah kamu menjadi seorang aku, dan sebaliknya. Bahkan mereka linguistik juga mempresentasikan suatu dukungan linguistik terhadap pertukaran aku-kamu tetapi dukungan tersebut tidaklah menjadi penting lagi ketika “mereka” disatukan di dalam pertukaran aku-kamu. Jadi, dalam cara ini, bahasa merobek segala status realitas anonim dan kebinatangan manusia dengan menciptakan penanda dari manusia dan untuk manusia.
Buhler dan J. P Rudder, berbicara mengenai tiga fungsi bahasa manusia dalam dimensi komunikasi linguistik:
- Bahasa seperti suatu auto pewahyuan bagi manusia yang selalu ingin dikenali sebagai ada personal dengan suatu identitas yang tepat dan peran yang sesuai.
- Bahasa ibarat suatu provokasi (pro-vocare = undangan yang berasal dari luar, undangan melalui) yang berpaling kepada kamu yang lain dalam visi suatu dialog.
- Bahasa ibarat sebuah seruan realitas yang membuat realitas mengada sebagai penanda dari manusia dan untuk manusia.
Dari simbol menuju simbolisasi
Bahasa manusia pada dasarnya adalah suatu realitas simbolis. Karena berada di dalam kodrat eksistensi personal kita dan ada pada dunia hal -hal, maka bahasa –menurut- A. Vergote- memproduksi suatu makna yang melampaui fenomen fisik; makna bahasa yang seperti itu- baca simbol- tidak dibuat oleh manusia dengan suatu tindakan imperatif, dengan suatu keputusan yang dikehendaki ataupun dengan suatu sikap dominasi. Memang manusia dapat memecahkan segala persoalannya dan membawa kepenuhan perkembangan dirinya. Tetapi simbol, ketika dituntut agar benar dan tepat seperti dalam logika, maka jelaslah simbol tidak dapat menghasilkan ataupun memproduksi tuntutan yang demikian. Sebab simbol adalah realitas pertama yang membentuk manusia dalam eksistensinya.
Secara terpisah paham utilitas sekarang ini mereduksi segala yang ada ke dalam cara berbicara yang umum (simbol ibarat sesuatu inkonsistensi dalam pertentangan dengan yang real) sehingga semangat paham utilitas berubah menjadi kebiasaan umum di dalam bahasa ilmiah kita. Psikologi dalam C.G Jung mengacukan kata (simbol) kepada arketipe-arketipe yang menjadi milik ketidaksadaran kolektif manusia. Aliran Freudian melihat konsep simbol sebagai ekspresi imaginasi individual di dalam figur universal (atau fantasi) yang menghasilkan ketidaksadaran manusia. Bermacam-macam sektor sosiologi linguistik menggunakan konsep simbol dalam pemahaman tentang suatu tanda yang berasal dari tipe tabuisme atau normatif yang dengannya tersebut kelompok mempertahankan eksistensi kelompoknya dari bahaya subyek yang sewenang-wenang atau dari kekacauan. Interpretasi Marxis memahami simbol sebagai suatu bentuk pengasingan mitos atau ritual manusia dari dirinya sendiri dan simbol disinonimkan dengan suatu pelarian dari realitas.
Walaupun demikian, diskursus yang sama juga bermanfaat untuk membedakan antara simbol dan tanda. Ilmu-ilmu seperti linguistik, semiotik, psikologi, dan sosiologi, demikian juga seperti refleksi di dalam ranah filsafat-teologi, memberikan dua kategori definisi ini yang begitu berbeda atau secara absolut bertentangan. Lewat premis-premis yang diberikan, tidaklah mengherankan jika –lewat apa yang telah kita lihat- tanda dan simbol terbatasi pada beberapa pengamatan, ketika dibuat pilihan-pilihan akan karakter personal simbol (dan kemungkinan diskusi-diskusi) di antara perbedaan-perbedaan opini yang dipresentasikan.
Persepsi fisik dan persepsi simbol
Persoalan pertama berkaitan dengan pendekatan manakah yang dipakai dalam membaca realitas: apakah suatu pendekatan fisik ataukah pendekatan simbolis. Ternyata pada level literer, bahasa simbolis merupakan persepsi untuk memahami dunia yang mempunyai karakter meta-fisik; bahasa simbolis adalah suatu persepsi yang melampaui konsistensi fisik realitas untuk menangkap atau menuliskan makna yang melampaui materialitas murni dan sederhana dari apa yang diketahui atau yang dipresentasikan kepada kita. Suatu keyakinan sekarang ini di dalam sejarah pemikiran Kristiani menegaskan bahwa fisika dan kimia tidak menjelaskan sepenuhnya universalitas ada. Pada kenyataannya, terdapat suatu keterbatasan realis dan ada beberapa hubungan interpersonal yang melampaui aspek fenomennya ataupun soal faktual empirisnya. Sayangnya, pembacaan simbolis akan dunia tampaknya berada dalam keterbatasan persepsi yang seperti itu. Jelas, pembacaan simbolis akan dunia tidak dapat dinilai seperti sebuah bentuk kesadaran pre-logika dunia, yang terarah untuk digantikan- sebagaimana dikemukan oleh Agustus Comte- oleh suatu kesadaran ilmiah yang nantinya akan membangun kebenaran dan kepenuhan pemahaman akan totalitas realitas.
Sebaliknya banyak studi etnologi dan antropologi budaya menunjukkan kepada kita bahwa persepsi yang lebih tinggi tentang dunia yang dicapai oleh manusia, melalui evolusinya, terjadi hanya ketika manusia sampai pada suatu level ketika dia sendiri mampu mengalahkan fase ketidakpercayaan ataupun kegunaan realitas yang sifatnya instrumental sederhana kemudian mencapai pada suatu pembacaan dalam term simbol secara tepat. L. Bohft menegaskan hasil-hasil dari ilmu-ilmu ini dengan akurasi yang mengagumkan: “ada tiga fase yang akan berlangsung dalam menguasai dan memahami dunia
Pada level pertama, manusia membuktikan suatu pemahaman akan ketidakpercayaan. Dia membuktikan keterpukauan akan hal-hal bahkan termasuk ketakutannya. Dia menguji hal-hal dari semua bagiannya. Dia mengganti keterkejutan dengan kepastian. Fase kedua mempresentasikan terminologi proses berikut ini yang adalah menjinakkan. Manusia mengambil resiko untuk menginterpretasi dan oleh karena itu menaklukkan apa yang sebelumnya merupakan motivasi akan ketidakpercayaan bagi dirinya. Ilmu pengetahuan ditemukan pada level ini: membingkai fenomena-fenomena pada internal suatu sistem yang koheren dalam tujuan menjinakkan fenomena tersebut. Pada akhirnya manusia terbiasa pada objek; fenomena-fenomena yang menjadi bagian pandangan manusia. Sementara itu, permainan ini telah memodifikasi manusia dan objek-objek. Fenomena-fenomena itu tidak melulu objek-objek yang sederhana. Fenomena-fenomena itu berubah menjadi tanda-tanda dan simbol-simbol akan pertemuan, kekuatan, penaklukkan, interioritas manusia. Pada bingkai yang semacam ini, dunia manusia termasuk materi dan teknik tidak hanya sekedar materi dan teknik tetapi adalah simbol dan muatan arti.
Dalam visi yang seperti itu yang bertentangan dengan apa yang dipercayai oleh kaum positivisme, Boff menyatakan bahwa bukanlah kesadaran ilmu pengetahuan tetapi kesadaran akan simbol-lah yang mempresentasikan fase yang lebih tinggi untuk memahami dunia. Homonisasi mengenali suatu lompatan qualitas ketika manusia, dengan melampaui sebuah persepsi eksterior realis, mulai memiliki suatu visi batiniah. Dengan demikian, simbol adalah tempat dan wacana untuk mengungkapkan hidup sosial manusia dalam kepenuhan manusia. Dalam ranah yang seperti ini, benarlah apa yang dikatakan oleh Benard yaitu bahwa untuk mengungkapkan aspirasi-aspirasi dan entusias rohaninya, kesadaran manusia telah menciptakan seruan dari keaslian sampai kepada kreasi mistikal dan produksi artistik dengan menggunakan simbol. Jadi, kita dapat mengatakan bahwa kesadaran primitif adalah perihal simbol sejak awal mulanya. Sayangnya, ilmu-ilmu moderen dengan kesadaran rasional telah membuat suatu keterpecahan di antara persepsi ilmu pengetahuan dan persepsi simbol sampai pada kerusakannya. Walaupun demikian, kesadaran simbolis ditemukan kembali di dalam bentuk yang tepat misalnya di dalam semua cerita tentang pencarian spiritual yang panjang.
Apa itu simbol?
Simbol, sebagaimana diperhatikan, berasal dari bahasa Yunani syn-ballein/symbol. Menurut arti harafiahnya syn-ballein berarti melemparkan dengan; melemparkan bersama: Dalam bentuk transitif, simbol mengasumsikan arti spesifik yaitu menyatukan kembali, meletakkan dalam publik; dalam bentuk intransitif simbol menyatakan pengertian tentang saling menemui, saling mengerti. Simbol, pada suatu masa tertentu secara literal berarti artikulasi siku atau lutut, menurut arti terjemahan berarti ide ganda dari persatuan/pertemuan dan persetujuan/pertentangan. Lalu, terminologi ini dipergunakan dalam juridiksi kuno sehingga simbol adalah suatu objek (sebuah cincin, tablet,) yang terbagi di dalam dua buah bagian yang setara yang mana masing-masing bagian diberikan kepada seorang rekan dengan tujuan untuk mengenal kembali atau untuk keterlibatan publik. Setiap kedua bagian ini memiliki arti simbolis dalam tataran di mana setiap bagian mengkondisikan si pembawa simbol untuk membuktikan identitas yang sebenarnya atau mengotoritaskan pembawa pesan untuk membuat bernilai objek yang asli; setiap bagian mendapatkan kepenuhan arti dalam suatu peristiwa ketika bagian itu disatukan pada tujuannya sehingga para rekan saling mengenali satu sama lain atau memanifestasikan bagian secara resiprokal.
Kategori simbol diansumsikan menjadi tiga fungsi semantik:
- adalah suatu mediasi identitas/pengertian mutual
- adalah suatu mediasi pertemuan /komunikasi
- adalah suatu mediasi aktual dari keterlibatan teori, sebagai suatu kesaksian atau persetujuan
Suatu karakter fundamental simbol yang pertama adalah sebuah manifestasi kelihatan dari suatu pengalaman batiniah yang melibatkan seluruh hidup. Simbol terdiri dari fakta linguistik yang tidak ditemasisasi atau ekspresi dari suatu pengalaman yang tidak terkatakan. Di bawah aspek ini, simbol dibedakan dari metafora yang adalah suatu figura linguistik umum yang kekuatannya didasarkan pada seni berkata secara baik. Sementara simbol memiliki fungsi untuk menyatakan pengalaman-pengalaman eksistensi manusia secara lebih mendalam (di dalam pengalaman cinta), yang tidak dapat dikatakan hanya pada level konseptual ataupun kategorial dengan cara melalui penterjemahan, pendisiplinan dalam suatu sistem-ekspresif yang diorganisir, pemanifestasian dan penuangan lewat komunikasi manusia dalam pengalaman bersama orang lain.
Semua fakta ini menunjukkan suatu aspek fundamental simbol yang kedua: simbol adalah suatu bahasa operatif persekutuan dan manifestasi dari persekutuan (communion). Fungsi utama simbol tidak melulu memfasilitasi suatu kesadaran intelektual, tetapi yang utama justru membangun suatu relasi yang mengandalkan suatu pertemuan, suatu pengertian, suatu keterlibatan. Simbol memiliki suatu nilai interpersonal yang radikal: suatu testimoni akan persekutuan (communio) dan pada saat yang sama adalah kinerja dari komunio itu sendiri. Di dalam arti ini, simbol menolak suatu penjelasan rasional murni dan simbol telah membawa semantik pro-vocare, con-vocare, e-vocare sampai pada pengalaman, kepada pemaknaan-pemaknaan bahwa simbol menginkarnasikan dan mengaktualkan apa yang dikenali seperti yang demikian. Membatasi simbol secara rasional berarti bahwa menghancurkan simbol pada nilainya: simbol-lah yang membuat manusia hidup secara layak karena simbol mengeluarkan yang real di dalam sebuah struktur ekspresi/komunikasi intersubjektif dan mengerjakan suatu pertukaran linguistik yang tidak terekspresikan.
Simbol dan tanda: dua buah polaritas bahasa dalam kosmos
Apakah ada suatu perbedaan yang relevan antara simbol dan tanda? Beberapa ahli mendiskusikan perbedaan dan kesamaannya dengan saling membenturkan dua bentuk ekspresi tersebut. Melalui metodologi yang tepat dan jelas, terjadilah usaha untuk memperhatikan tanda dan simbol lewat suatu keinginan yang tidak memahami simbol dari perspektif tanda, dan juga sebaliknya. Tanda dan simbol haruslah dideskripsikan pada level-levelnya sendiri. Berdasarkan beberapa studi dan secara khusus studi dari G.Durand dan L-M. Chauvet, tampaklah bahwa hubungan khusus antara simbol dan tanda kiranya dapat diilustrasikan secara skematis kurang lebih menurut bentuk berikut ini:
Simbol | Tanda |
1. Menghubungkan dua penanda
|
Menghubungkan penanda dan makna
|
2. Memperkenalkan kepada suatu tatanan yang mana suatu tatanan itu sendiri merupakan suatu bagian
|
2. Mengenalkan tatanan lain |
3. Mempresentasikan suatu aksi komunikasi |
3. mempresentasikan suatu aksi pengetahuan
|
4. Tidak dapat dibatasi secara razional
|
4. Dapat dibatasi secara rasional |
Berdasarkan maknanya masing-masing, tanda menyatakan kesatuan antara penanda dan makna, sementara simbol menyatakan relasi antara dua penanda; simbol bukanlah sesuatu melalui dirinya sendiri, tetapi melalui relasinya dengan penanda yang lain: yaitu penanda dari penanda dan juga sebaliknya. Tanda adalah bagian dari struktur yang melibatkan referensi yang berfungsi sebagai jembatan, yaitu antara penanda dan makna serta struktur dapat dipahami sebagai pemahaman terakhir: sebagai contoh fonem rumah (penanda) mengacu kepada konsep rumah (referensi) menuju realitas konkret rumah (makna) yang ditunjukkan oleh konsep. Struktur yang demikian menetapkan, melahirkan dan membuat tanda dapat dimengerti. Simbol itu sendiri adalah suatu penanda dari penanda lain yang bersesuaian dengan penanda lain tersebut dalam kesetaraan referensial timbal balik. Maka, suatu realitas yang sama bisa suatu simbol maupun tanda, menurut modalitas yang diekspresikan dan yang dialami. Sebagai contoh, andaikan bendera Italia memang mempresentasikan tanda akan tanah air maka pengibaran bendera dari peleton tentara Italia adalah simbol dari ke-itali-an mereka, simbol dari kepemilikan tentara Italia, simbol dari kesetiaan untuk membela negara, dan lain-lain. Di dalam cara yang sama, jika fonem rumah digunakan untuk menggambarkan konsep rumah, maka hal ini adalah tanda linguistik; sebaliknya jika rumah dipergunakan sebagai ekspresi kepemilikan umum pada bangsa Italia atau sebagai identitas pengakuan, maka hal ini adalah simbol.
Simbol menyatukan dua kesatuan dari tatanan yang sama (dua bagian dari suatu obyek yang unik, pengibaran bendera atau kata rumah) sebagai ekspresi ke-itali-an); tanda tetap tinggal sebagai sesuatu hal yang lain yang berasal dari dirinya sendiri (saya melihat sebuah bendera dengan warna-warna tertentu dan saya berpikir akan suatu bangsa yang dipresentasikan oleh bendera tersebut; pengucapan kata rumah dan aku berpikir akan realitas material yang ditunjukkannya). Simbol adalah, dalam pemahaman tertentu, realitas yang disimbolisasikan meskipun tidak menjadi realitas. Kita juga dapat mengatakan: tanda menunjukkan suatu nilai separasi, suatu nilai alteritas yang berkaitan dengan benda-benda atau orang-orang yang ditunjukkan; tetapi simbol lebih menunjukkan suatu nilai relasional, akan perjumpaan dan keterlibatan dari penanda menuju kepada penanda.
Simbol secara konsekuen muncul di dalam tindakan komunikasi dan pengakuan umum: simbol adalah tindakan bahasa yang mengekspresikan dan mengimplementasikan mediasi identitas atau komitmen. Sementara tanda terletak pada tingkat pengetahuan, tanda menyoal tentang transmisi konsep atau informasi; tanda menempatkan hal komunikasi tetap sebagai hal yang sekunder sehubungan dengan aksi pengetahuan. Di bawah aspek ini, sementara simbol berfungsi sebagai realitas yang dinamis, sebagai aksi komunikasi-produksi, tanda berfungsi sebagai realitas statis. Nilai tanda adalah tatanan logika sementara nilai simbol adalah tatanan interpersonal-perasaan.
Oleh karena mengenali sesuatu yang lain dari dirinya sendiri, simbol tidak bisa dihadapkan kepada rasionalitas subyek, tetapi simbol melibatkan subyek di dalam sikap-sikap dan kepentingan-kepentingan subyek yang vital; kenyataan simbolis tidak dapat diraih atau didominasi oleh deskripsi rasional. Jadi simbol adalah sesuatu yang tidak dapati dikekang atau yang tidak terlukiskan melalui dirinya sendiri; siapa yang ingin menjelaskan simbol dalam terminologi yang konseptual (rasional) justru akan menghancurkan simbol sebagai simbol. Sebaliknya, tanda, di dalam batasan-batasan tertentu, dapat dibatasi atau setidaknya dapat dibenarkan yang mensyaratkan akan tatanan ciptaan (tanda-tanda natural) atau kesempatan sosial (tanda-tanda konvensional) atau kedua faktor (tanda-tanda mistik). Simbol -menurut observasi H.Cox- bukanlah suatu bentuk tentang diskursus rasional yang mengharapkan untuk dijelaskan atau dilukiskan. Simbol adalah suatu cara berkomunikasi yang penuh arti, apa yang memiskinkan simbol atau yang secara absolut mengaburkan simbol justru terjadi ketika diterjemahkan di dalam terminologi yang lain.
Walaupun dibedakan pada tingkat semantik, dua kutub bahasa (simbol dan tanda) ini terkait erat satu sama lain dan hadir di dalam setiap ekspresi linguistik, dalam semacam osmosis yang nyata. Bahkan, dua polaritas bahasa tersebut mewakili dua modalitas pelengkap dari hubungan kita dengan realitas dan situasi kita dalam berkomunikasi antara kita dengan orang lain. Dan jika cara-cara mengoperasikan penandaan (atau ekspresi) sungguh berbeda, dua tipe bahasa tersebut diuraikan bersama-sama dengan saling berinteraksi satu kepada yang lain. Namun, penjelasan makna lebih membutuhkan ekspresi simbolis, sebab ekspresi simbolis cenderung diasumsikan dalam suatu diskursus pengetahuan yang memberi tahu makna atau motifnya dan sebaliknya.
II. Ko-prinsip aktivitas simbolis
Bagaimana kita membentuk aktivitas simbolis dalam konteks keberadaan kita dengan orang lain di dunia?
Ada 3 ko-prinsip fundamental yang harus dipegang: kesadaran manusia akan simbol; fundamen ontologi simbolisasi; konteks kultural kelahiran dan interpretasi simbolis.
Kesadaran simbolis
Bukti pertama adalah kemampuan asli manusia untuk menilai realitas di dalam dunia kesadaran bersama dengan simbol-simbol yang dengan simbol-simbol tersebut manusia membuat dirinya mengungkapkan eksistensi -bersama –dengan- orang lain (dengan menyimbolkan eksistensi itu) dan mempertahankan eksistensi yang hidup itu secara sosial pada keseluruhan kondisi sejarahnya. Aktivitas simbol yang demikian (simbol yang kedua) amat berbeda dengan aktivitas imaginasi atau “simbol pertama”.
Pada aktivitas imaginasi berlakulah aku individual, sebuah tipe narcisitik, yang mengasingkan manusia dari realitas, dalam suatu kemunduran manusia atas dirinya sendiri yang menyebabkan dirinya kehilangan kontak dengan realitas, suatu antitesis terhadap ada-bersama sehingga mengantarnya kepada kematian sosial. Di dalam aktivitas simbol, sebaliknya, realitas dunia melibatkan seluruh realisme dirinya pada dinamika relasional aku-kamu, karena aktivitas simbol berubah menjadi kendaraan identitas dan kendaraan pertemuan, pengenalan yang sifatnya bersama, komunikasi dan komitmen vital. Jadi, kesadaran simbolis itu tidak berkerja menurut daftar suatu pendekatan individualis dan dunia yang mereduksi realis menjadi irrealis dan sebaliknya. Justru kesadaran simbolis itu bekerja melampaui materi eksistensi dan dunia untuk mengikat materi eksistensi dan dunia dengan cara yang baru yaitu mentransfigurasikannya sampai kepada pengalaman relasional yang tepat dan dengan mengubah dunia dan materi eksistensi menjadi momen komunikasi linguistik yaitu keterbukaan dan pertukaran, pemberian dan penerimaan.
Fundamen ontologi
Jika memang benar bahwa kesadaran manusia adalah sebuah prinsip simbolis, maka tepat mengatakan bahwa jika realitas obyektif, being, yang dipresentasikan di hadapan mata kita, adalah sebuah prinsip bersama aktivitas simbolisasi: realitas obyektif adalah tentang pertukaran primodial dan terus-menerus di antara kesadaran manusia dan realitas obyektif yang menyusun simbol yang kita jumpai dengan ciri-ciri umum di tingkat universal. Dalam pemahaman ini, tidaklah cukup menganalisa keotentikan simbol hanya pada tingkatan subyektif-psikologi melulu; karena keotentikan simbol pada waktu yang bersamaan juga menunjukkan fondamen ontologi.
Maka, betapa pentingnya apa yang dibuat oleh K. Rahner di dalam penyelidikannya On Theology of Symbol yang diterbitkan pada tahun 59-60. Menurutnya bahwa ada, being berada di dalam simbol itu sendiri. Karena secara definitif mengekspresikan dan berdiam sebagai realitas dengan konotatif-konotatif ontologis yang literal, maka setiap ada adalah suatu realitas ekspresif dari dirinya sendiri, oleh sebab itu being adalah suatu realitas simbolis (adalah in se simbol). Simbol yang menjadi realitas espistemologi adalah realitas ontologi, menciptakan ada sebagaimana demikian. Pada suatu waktu, karena being dikenali dan dicintai oleh manusia dan being itu mengaktualkan horizon eksistensial-sosialnya, maka kenyataan ini diasumsikan di dalam dinamika intersubyek melalui simbol, sehingga tanpa hal ini kiranya simbol kehilangan rujukan ontologi dari adanya.
Penting untuk menggaris-bawahi pemahaman dimensi ontologi simbolisme karena dimensi ontologi simbolisme mencegah simbol direduksi menjadi suatu invasi romantisme yang murni, menjadi suatu ciptaan yang melulu berubah-rubah dari pihak manusia atau menjadi suatu proyeksi subyektif, tanpa suatu fundamen yang real. Simbol mensyaratkan ketebalan ontologi yang tak terbantahkan, meskipun meminta pada saat yang sama kesadaran simbolis manusia (dan oleh karena itu disebut dengan aktivitas simbolisasi) untuk dapat diasumsikan seperti demikian.
Konteks budaya
Aspek terakhir ini haruslah digaris-bawahi yang berkaitan dengan proses simbolisasi. Kenyataannya, setiap aktivitas simbolis manusia berasal dan diekspresikan dalam konteks budaya yang mendahului dan menetapkannya. Sebagaimana ditulis oleh P. Tillich:
Aksi yang diciptakan oleh simbol adalah suatu aksi sosial, juga ketika simbol muncul pertama-tama dari seorang individu. Individu dapat menemukan tanda-tanda melalui kebutuhan-kebutuhannya yang khusus, tetapi individu tidak dapat memproduksi simbol-simbol; seandainya pun suatu hal diubah menjadi simbol oleh individu tersebut tetaplah bahwa simbol-simbol selalu berada di dalam fungsi komunitas yang suatu waktu dapat mengenali simbol-simbol tersebut. Hal ini menjadi nyata melalui cara yang eksplisit di dalam simbol pengakuan yang tak lain adalah tanda-tanda yang mana anggota-anggota suatu kelompok yang saling mengenali satu sama lain. Simbol sendiri adalah pengetahuan akan tanda-tanda pengakuan yang berasal dari pengakuan-pengakuan, simbol adalah pengetahuan akan pengakuan-pengakuan tersebut.
Simbol menjadi bagian dari tatanan budaya dan dalam hubungan pertukaran sosial. Akibatnya ketika simbol telah menjadi bagian dari suatu budaya tertentu, bersama dengan sistem tanda-tanda spesifiknya, being manusia mampu secara historis menyadari eksistensinya dalam arti yang manusiawi. Dalam perspektif ini, penting untuk membalikkan mentalitas yang sering kita alami. Memang tampaknya simbol-simbol diciptakan untuk memaknai dan mengekspresikan pengalaman dan sikap tertentu. Namun, pada kenyataannya, sama seperti bukanlah manusia yang menciptakan bahasa tetapi manusia mengasimilasi kekuatan berbicara melalui bahasa, maka dengan cara yang sama manusia harus mengenali dan membuat kekuatan simbol sendiri.
Sistem simbol mewakili mediasi yang disyaratkan oleh tiga hal yaitu pengetahuan diri sendiri, pengetahuan orang lain, landasan kemungkinan komunikasi dan pertukaran intersubyektif. Jadi, pada kedua hal yaitu simbol dan tanda di dalam kosmos aktualisasi bahasa simbol terikat pada aktivitas manusia dan kapasitasnya untuk membuat bahasa berfungsi sebagai simbol. Syarat tersebut harus sungguh diperhatikan karena simbol tidak pernah dimengerti hanya sebagai objek material yang dipaksakan sendiri tanpa intervensi kesadaran simbolis manusia; kesadaran manusia akan simbol yang menstranformasikan elemen yang dianggap sebagai simbol dan kesadaran manusia akan simbol-lah yang membuat simbol mampu beroperasi pemaknaannya sehingga menjadi suatu komunikasi yang nyata[1].
III. Ekspresi Simbolis
Pada bagian ini, kita masuk ke dalam persoalan kompetensi di hadapan simbol dan ekspresi simbolis. Yang dimaksud dengan kompetensi adalah kemampuan untuk bergerak dalam wacana simbol yang diberikan, dengan kemampuan untuk mempraktikkan simbol dalam cara yang ditawarkan.
Singkatnya simbol itu berbicara. Dalam pengertian yang seperti itulah yang dimaksud kategori ekspresi simbolisasi.
Pemahaman fenomenologi
Kata ekspresi (berasal dari bahasa Latin ex- pressio) berarti pemampatan sesuatu hal (sebagai contoh setandan anggur atau jeruk) yang isinya ada di dalam dibuat keluar. Dalam analogi yang seperti itu, ekspresi mengindikasikan sebuah perjalanan dari dalam menuju ke luar, dari internal menuju external. Dan tentu saja arti ekspresi berlawanan dengan pengertian impresi. Impresi itu sendiri adalah kebalikan dari ekspresi yaitu menerima sesuatu dalam dirinya sendiri dari luar. Dalam level interpersonal, kata ekspresi menunjukkan tindakan yang efeknya berasal dari dirinya sendiri atau sesuatu dari dirinya sendiri untuk yang lain.
Antropologi budaya, psikologi, dan semiotik – dengan cara yang sama – menegaskan bahwa ekspresi simbolis adalah bentuk bahasa yang menyalurkan intensi dan perasaan batin, yang membuat kita mengenali, mengaktualisasikan dan merealisasikan intensi dan perasaan batin kepada orang lain untuk menjadikannya tempat pertemuan atau pertukaran. Jelaslah bahwa fenomena ekspresi berbeda secara radikal dengan fenomena fungsional. Fenomena fungsional (sebagai contoh, membuka keran air, menekan tombol lampu) hanya menunjukkan suatu tindakan instrumental yang ditujukan demi tujuan eksternal pula bagi orang yang melakukannya. Jadi dalam fenomena fungsional manusia terlibat dengan cara tidak langsung dan juga kemampuan tubuhnya pun memainkan peran fungsional dengan cara yang sama seperti cara teknis yang digunakan. Sebaliknya, fenomena ekspresif (sikap cinta, senyum) adalah suatu tindakan yang ditujukan untuk mengekspresikan suatu disposisi batin, mewujudkan atau memperdalam suatu relasi interpersonal. Dengan eskpresi simbolis manusia menyelami dirinya maka demikian juga bahwa tubuh mengasumsikan makna simbolis yang sesuai di dalam ekspresi simbolis tersebut[2].
Struktur ekspresi simbol
Dalam perbedaannya dengan fenomena yang melulu fungsional, ekspresi simbol menyatakan suatu rangkap referensi atau isi: pengalaman sebagai premis /asumsi dan tindakan sebagai hasil dari aktualisasinya.
Pengalaman————–Ekspresi——————Tindakan
Linguistik kontemporer berbicara tentang simbol di dalam dua level: level ekspresi dan dalam level apa yang menjadi isi; pemaknaannya berasal dari hubungan dua level ini.
Pengalaman – ekspresi
Ekspresi simbolis secara radikal dikaitkan dengan pengalaman batin dan hal itu berlangsung di dalam dua cara: lantaran mengikuti pengalaman dan lantaran memberikan bentuk dan memanifestasikan pengalaman itu sendiri.
Tidak ada pengalaman simbolis tanpa pengalaman hidup yang mendahuluinya, yang membangunnya dan yang membentuk isinya, namun di sisi lainnya pengalaman batin meminta untuk dikanalisasikan dalam ekspresi agar dapat dimengerti dan dikomunikasikan secara penuh. Maka dari itu, korelasi antara pengalaman dan ekspresi simbol sifatnya timbal balik, hubungan timbal balik yang sifatnya datang- pergi dan saling tergantung.
Fungsi ekspresi simbolis, dilihat dari sudut pandang ini, adalah menempatkan being manusia dalam dua level: level pengalaman hidup yang tidak dapat diungkapkan dan level media linguistik yang melalui media linguistik manusia mempresentasikan dirinya dan masuk di dalam suatu komunikasi dengan orang lain.
Menurut tiga referensi yang mendasar, fungsi ekspresi simbol memiliki karakter sebagai berikut:
- mengambil suatu pengalaman
- terjemahannya untuk level kesadaran
- karakternya untuk berkomunikasi secara personal
Ekspresi-tindakan
Ekspresi adalah bentuk pengalaman; pada gilirannya ekspresi adalah tindakan sehingga ekspresi dapat disebut juga sebagai tindakan. Dengan demikian orang yang mengekspresikan adalah orang yang memposisikan dirinya di dalam tindakan. Dasar kesatuan antara ekspresi dan tindakan berasal dari tubuh manusia: aku spiritual adalah aku yang tidak terpisahkan dari aku-tubuh jasmani. Ekspresi diriku secara simbolis disisipkan secara definitif pada eksistensi tubuhku dan tubuh merealisasikannya. Di sisi lainnya, pada saat ekspresi simbolis bekerja, ia menyerukan tindakan, artinya, ekspresi simbolis bertindak sesuai dengan modalitas yang ditunjukkan atau dibawa.
Ada sebuah korelasi yang dalam antara apa yang dikatakan dalam simbol dan apa diserukan dalam ada, being: dalam peristiwa ketika ekspresi simbol mengatakan sesuatu ternyata mensyaratkan juga untuk diwujudkannya sesuai dengan apa yang telah dikatakannya. Kenyataan ini menunjukkan bagaimana simbol membangun antara subyek dan obyek suatu hubungan linguistik yang tidak hanya terdiri dari sebuah kombinasi sederhana yang temporal, tetapi juga mempresentasikan tindakan linguistik di dalam realitas; suatu tindakan yang pada saat bersamaan adalah suatu komitmen karena seseorang yang mengatakan adalah untuk perkataannya sendiri; adalah dia sendiri yang membuat dirinya berbicara dan dia berbicara kepada dirinya dan melalui dirinya.
Persepsi akan hubungan struktrur yang demikian antara makna nyata dan ekspresi simbol membuka – menurut beberapa teolog modern- suatu hidup baru tentang pendekatan akan misteri perjumpaan antara Tuhan dan manusia dalam tindakan sakramental gereja dan memunculkan kesatuan antara iman dan sakramen, sakramen dan kehidupan.
[1] Barang kali kebenaran (atau salah satu kebenaran) berdiri di dalam fakta ini yang menjelaskan mengapa dalam liturgi sakramental kita sedikit saja orang terlibat. Hanya lewat iman, orang masuk di dalam dialetika fungsi simbolis dari aksi sakramental sehingga melalui iman orang akan mempersepsikan fungsi simbolis dari aksi sakramental kemudian membuat dirinya terlibat sebagai orang pertama. Di dalam kasus yang sebaliknya yaitu ketika orang tak percaya, maka dia tetap hanya seorang penonton yang tidak tertarik; hanyalah seorang penonton terhadap suatu tindakan yang disampaikan kepadanya, tetapi juga dia yang tidak mengenali bahasa simbol lalu membiarkan bahasa sebagai hal yang biasa aja sehingga dia pun tidak akan terusik.
[2]Arti sakramen berada dalam level ekspresi: sakramen adalah ekspresi dari rasa syukur kepada Tuhan yang telah mempertemukan kita dengan diri-Nya sendiri dalam Yesus Kristus, dalam Roh Kudus-Nya. Tetapi juga bahwa sakramen adalah perwujudan (ekspresi) iman Gereja dan eksistensi Kristiani yang membuka dirinya kepada rahmat Tuhan, merayakannya dan menghidupinya sekarang ini dalam tindakan sakramental. Mereduksi sakramen hanya sebagai media rahmat dengan cara membacanya menurut kriteria finalistik-fungsional menyebabkan kita kehilangan kebenaran natura tindakan Tuhan dalam narasi dan tidak menangkap perwujudan simbol dalam Gereja. Sebagaimana tindakan cinta, sakramen merupakan ekspresi simbol yang berarti sarana dan perwujudan kebaikan Tuhan bagi kita sekaligus rasa syukur kita oleh karena dipersatukan di dalam hidup Trinitas.
Bersambung
Copyright © 2019 ducksophia.com. All Rights Reserved
Halo kak, terima kasih sudah menulis ini