Lukisan: Michaelangelo, The Creation of Adam, 1512
Manusia dilahirkan bukan untuk mengisi rekening banknya
Dia dilahirkan untuk menemukan Tuhan dan mencintai sesamanya
Cardinal Robert Sarah
Predestinasi
Kehidupan selalu baik adanya berkat adanya penyelenggaraan ilahi. Realitas ini merupakan suatu intuisi bahkan suatu pengalaman yang disodorkan kepada manusia sehingga manusia dipanggil untuk mencari dan memahami alasan yang lebih dalam serta merefleksikannya supaya alasan dan refleksi setidaknya diinkorporasikan dalam praktis kehidupan. Tampaknya, hal ini mematri tugas dan seolah-olah berupa tuntutan tetapi sebenarnya justru demi kebahagiaan manusia sendiri. Alasannya, dengan penyelenggaraan ilahi, setiap manusia ditakdirkan untuk bahagia dan kebahagiaan manusia yang utama -sebagaimana yang dikatakan oleh Thomas- adalah kontemplasi akan Tuhan sang Pencipta. Pengarahan manusia menuju finalitasnya yaitu kontemplasi akan sang pencipta secara istimewa disebut predestinasi. Predestinasi jelas menggandeng penyelenggaraan ilahi karena penyelenggaraan ilahi meliputi apa yang terjadi di semesta dan apa yang terjadi dalam sejarah, apa yang mempengaruhi komunitas manusia dan yang menyangkut kehidupan setiap manusia secara individu untuk dibawa kepada finalitasnya yaitu Tuhan sang Pencipta.
Bagaimana memahami predestinasi sebagai bagian dari penyelenggaraan ilahi? Predestinasi berasal dari dua kata pre dan destinasi; pre yang berarti sebelum dan destinasi yang adalah tujuan, mendestinasi berarti mengarahkan atau mengirim, maka predestinasi berarti tujuannya sudah ada sebelumnya atau tujuan sudah termuat (pre-eksis) di dalam pikiran Tuhan karena Tuhan adalah tujuan segala sesuatunya[1].
Iman mempercayai bahwa predestinasi menyoal keselamatan kekal[2] karena Tuhan menghendaki keselamatan manusia supaya ia berbahagia. Lalu, tujuan predestinasi tercapai melalui penyelenggaraan-Nya. Sebabnya, sebagaimana dikatakan bahwa finalitas manusia yaitu keselamatan sudah ada di dalam pikiran-Nya (causa eksemplar); oleh karena itu disebut dengan predestinasi. Sementara, penyelenggaraan ilahi melaksanakan rencana keselamatan yang ada di intelek-Nya. Untuk itu, Sang pencipta sebagi agen (baca: causa efisien) mengarahkan manusia menuju keselamatan dengan penyelenggaraan-Nya. Indahnya adalah bahwa penyelenggaraan-Nya juga memanifestasikan kehendak-Nya. Kehendak untuk mencapai tujuan diperlukan sebelum direksinya kepada finalitas karena tidak ada seorang pun yang mengarahkan segala sesuatunya jika ia tidak menghendaki. Kehendak-Nya agar manusia mencapai kebahagiaan dan keselamatan sudah terancang dan terpatri sebelum Ia menciptakan manusia. Jadi, sejatinya di dalam penyelenggaraan ilahi sudah termuat predestinasi.
Lalu, predestinasi pun dapat dimaknai bahwa sejak semula, sebelum penciptaan, Tuhan menganugerahi dan mendestinasikan manusia supaya ia dapat berpartisipasi di dalam kehidupan-Nya. Tuhan yang menghendaki keselamatan manusia dijumpai secara sempura dan teraktual dalam diri Putra-Nya: Yesus Kristus sang penyelamat. Di sini arti pengutusan Putera Yesus Kristus ke dunia terurai: supaya keselamatan itu aktual, Tuhan mengutus Putera-Nya terkasih untuk menebus dan menyelamatkan manusia dari kuasa dosa melalui sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya. Kuasa dosa memang mengaburkan predestinasi. Namun, justru karena Tuhan amat mencintai manusia maka Sang Putra menggantikan upah dosa yaitu maut supaya predestinasi kembali dicapai oleh manusia. Di dalam Yesus Kristus Sang Putera, predestinasi tidak mungkin dikaburkan oleh kelemahan, dosa dan kematian. Sekarang, dalam Yesus Kristus, predestinasi menemukan finalitasnya dan kepenuhannya. Bersama dan di dalam Yesus Kristus, manusia memiliki alasan yang mendalam tentang kehidupan yang baik dan penuh cinta, merefleksikannya, menjadikannya pusat tindakan-praktisnya dan tentu saja kebahagiaannya. Yesus Kristus menjadi makna universalitas kehidupan. Makna universal Yesus Kristus membentangkan cakupan keselamatan bahwa dalam Kristus keselamatan bukanlah untuk indvidu tertentu, golongan tertentu tetapi buat segala ciptaan karena Tuhan adalah cinta yang mencintai segala ciptaan-Nya di dalam diri Putera-Nya Yesus Kristus.
Tuhan yang menghendaki keselamatan manusia dalam diri Yesus Kristus jelas memuat cinta dan pilihan. Cinta karena Tuhan mempredestinasi manusia hanya sejauh Dia mencintai manusia, terbukti dengan dia mengirim Putra-Nya yang terkasih untuk menebus dan menyelamatkan manusia dan segala yang ada. Pengutusan Putra, penderitaan-Nya, kematian-Nya dan kebangkitan-Nya membuktikan suatu cinta yang tidak dapat dipikirkan, yang jauh melampaui cinta itu sendiri: cinta segala cinta. Pilihan karena orang kristen dipilih oleh Kristus sendiri untuk mengimitasi diri-Nya. Maka, melalui unsur cinta dan pilihan yang menjadi pilar keselamatan, predestinasi menemukan realisasinya karena predestinasi adalah mengimitasi Yesus Kristus dalam setiap momen kehidupan dari kelahiran sampai kematian. Manusia dipredestinasikan untuk meniru gambar Anak Allah yang menjadi manusia, “gambar Allah yang tidak kelihatan” (Kol 1:15), sehingga Kristus akan menjadi anak sulung dari banyak saudara dan saudari (lih. Ef 1: 3-6; Rm 8:29)[3]. Artinya, Yesus Kristus bagi orang Kristiani adalah ukuran, kriteria, tujuan hidupnya karena Yesus Kristus adalah rekapitulasi, culminasi, rekonsiliasi dan mediasi segala realitas bahkan arti segala realitas sehingga hanya di dalam dan bersama Kristus kepenuhan hidup menjadi realitas itu sendiri.
Mengimitasi Kristus ataupun mengkorporasikan Kristus dalam ada dan eksistensi manusia mengukir predestinasi yang paling konkret; predestinasi bukan lagi sesuatu yang abstrak ataupun yang tidak dapat dipikirkan, bukan lagi sesuatu yang jauh untuk dibayangkan tetapi yang ada di dalam hati setiap insan dan menyatu di dalam realitas sehari-hari karena Kristus adalah penyelenggaraan ilahi yang menjadi manusia, yang mendaging yang mana sabda-Nya dan tindakan-Nya selalu hadir dalam setiap momen supaya manusia dapat mencapai kebahagiaan di dalam hidup ilahi. Maka, hanya Kristuslah yang dapat memberikan makna predestinasi karena dialah pusat sejarah dan finalitas segala yang ada. Eksistensi-Nya, sabda-Nya, tindakan-Nya dan karya-Nya memberi warna sejarah dalam terang-Nya. Bahkan, Yesus yang menjadi manusia melampaui kepenuhan sejarah karena Yesus adalah manifestasi konkret dari cinta segala cinta dan dari penyelenggaraan ilahi. Di dalam Kristus yang bangkit, predestinasi berjalan seiring dengan penyelenggaraan Kristus. Jalan predestinasi adalah jalan yang dipaving dengan cinta Kristus agar di jalan predestinasi kita melihat, merasakan, mencercap keindahan penyelenggaraan ilahi dengan penuh harapan dan iman. Dengan demikian, dalam predestinasi Tuhan membimbing, mengarahkan dan memandu hidup manusia sampai kepada finalitasnya dengan kebijaksanaan dan keadilan-Nya.
Predestinasi memiliki dua efek yaitu kemuliaan dan rahmat karena finalitas predestinasi adalah kemuliaan manusia dalam diri Kristus dan demi mencapai tujuan ini, Kristus sendiri yang menolong dan merahmati manusia[4] supaya manusia mampu mengimitasi diri-Nya di dalam segalanya dan semuanya. Rahmat dalam konteks ini harus pula dimaknai bahwa karena manusia diciptakan sesuai gambar dan rupa Allah, maka orientasi manusia ada di dalam imitasinya kepada Yesus yang adalah gambar dan rupa Allah yang sempurna. Rahmat adalah inkarnasi diri-Nya karena dia menjadi manusia seperti kita supaya Dia menyempurnakan kita agar kita menjadi seperti diri-Nya. Dengan menjadi manusia Kristus menunjukkan gambaran manusia yang sejati. Dia membawa segala kebaharuan bagi kehidupan dengan inkarnasi diri-Nya. Kebaharuan tak lain adalah bahwa dia mendominasi segala sesuatunya agar segala sesuatunya ada di dalam kemuliaan-Nya. Predestinasi melukis peristiwa Kristus yang menyelamatkan dan mengkuduskan kehidupan. Kristus menjadi rahmat yang paling indah bagi segala sesuatunya. Kemuliaan dan rahmat mengerucutkan makna predestinasi: dengan predestinasi, manusia menerima kepastian penyelenggaraan ilahi bukan hanya melulu dari visi rasional tentang keharmonisan alam semesta, tetapi oleh kedekatannya dengan Yesus Kristus sejauh dia meniru, mengimitasi Yesus Kristus di dalam hidupnya untuk mengkontemplasikan-Nya.
Manusia: kolaborator penyelenggaraan ilahi
Sejatinya, pemahaman dan refleksi akan penyelenggaraan ilahi ditemukan tidak hanya melalui pengalaman tetapi ketika manusia bertindak dalam kepedulian dan pemeliharaan kehidupan. Jadi dengan predestinasi sebenarnya, manusia dipanggil untuk menjaga dan melestarikan kehidupan. Rahmat dan kemuliaan manusia malah menyingkapkan tanggung jawab dan panggilannya sehingga predestinasi menemukan tempat dan aktualitasnya dalam diri dan kehidupan. Panggilan dan tanggung jawab manusia yang menjadi bagian dari predestinasinya mengacu kepada obyektivitas manusia dalam arti bahwa manusia adalah kolaborator penyelenggaraan ilahi atau rekan kerja Tuhan karena di dalam penyelenggaraan-Nya, Tuhan membutuhkan manusia dan kerjasamanya untuk menyelesaikan rencana-Nya. Sejak Tuhan menciptakan manusia dengan kebebasan-Nya dan karena ia ingin dikenal secara bebas pula oleh manusia, Dia tidak dapat memastikan penyelenggaraan ilahi tanpa keterlibatan manusia ciptaan-Nya yang paling agung itu. Keterlibatan manusia dalam penyelenggaraan ilahi bukanlah tanda kelemahan, tetapi lebih sebagai tanda kebesaran dan kebaikan diri-Nya yang Maha Kuasa[5].
Karena kebaikan dan kebesaran-Nya, terhadap manusia ciptaan-Nya yang paling ia cintai, Ia tidak hanya memberikan sekedar eksistensi kepada manusia tetapi juga martabatnya. Hidup yang diberikan kepada manusia berbeda dengan makhluk hidup yang lain meskipun sama-sama berasal dari tanah dan debu. Perbedaannya dengan ciptaan lain itu meliput bahwa kepada manusia, Tuhan menganugerahi akal budi yang memampukan dia bertanggung jawab atas tindakan-tindakannya. Bertanggung jawab karena manusia dengan rasionalitasnya melalui kehendak bebasnya ia dapat mencipta tindakannya sekaligus memiliki kontrol atas tindakannya; ia adalah tuan atas tindakannya.
Kehendak bebas itu terakses karena manusia dianugerahi dengan kebebasan. Dengan kebebasan manusia mampu mencipta keteraturan dan mampu mewujudkan keteraturan itu dengan kekuatan operatifnya tetapi ciptaan lain hanya memiliki kekuatan operatif, bertindak dan beroperasi berdasarkan kepastian naturanya. Memang manusia diciptakan oleh Allah tetapi penciptaan bukan meniadakan kebebasan. Justru karena diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, manusia diberikan kebebasan dalam mencapai finalitasnya. Manusia dengan kehendaknya dan pilihannya mencapai finalitasnya karena dia mampu bertindak dengan bebas. Kebebasan tidak diambil dan ditiadakan oleh penyelenggaraan ilahi bahkan Tuhan menghormati kebebasan manusia. Oleh sebab itu, kebebasan pun harus dimaknai sebagai rahmat. Dengan mengakui Yesus Kristus sebagai Tuhan, manusia diberikan rahmat kebebasan: Kristus adalah dasar kebebasan manusia. Kebebasan dirinya terikat dengan Kristus sehingga ia menjadi milik Kristus. Artinya ia memiliki kebebasan untuk memilih di dalam Kristus. Kebebasan yang berakar pada Kristus dan dideterminasi oleh Kristus adalah kebebasan untuk sesama dan ciptaan lain; kebebasan yang memelihara, merawat, menjaga kehidupan, bukan yang menghancurkan, membunuh tetapi yang membangun, yang merestorasi dan menyelamatkan kehidupan. Dalam penyelenggaraan ilahi, kebebasan memilih di dalam Kristus berarti orang Kristen menjadi pelindung penciptaan, pelindung rencana ilahi yang sudah disisipkan di dalam natura, pelindung sesamanya dan ciptaan lain: lingkungan, hewan, tumbuhan dalam naungan penyelenggaraan ilahi. Jadi, kebebasan Kristiani bukanlah kebebasan yang acak, destruktif namun kebebasan dalam terang kebangkitan. Dengan demikian kebebasan Kristiani adalah aktualisasi bagi kita para pengikut-Nya dari apa yang diartikan oleh kebangkitan di dalam sejarah (Walter Kasper).
Karena kebebasan Kristiani adalah aktualisasi dalam kebangkitan Kristus, Tuhan memungkinkan manusia untuk menjadi rasional dan bebas untuk menyelesaikan pekerjaan penciptaan, untuk menyempurnakan keharmonisannya demi kebaikan dirinya sendiri, sesamanya dan ciptaan lain[6]. Memungkinkan karena manusia tetap dapat tidak memilih Kristus sebagai tujuan tindakannnya. Dengan rasionalitasnya, manusia dapat berpikir dan mengaktualkan kehendaknya bahwa dengan karyanya, ia dapat membangun dan meneruskan karya-karya Sang pencipta; ia juga dapat melayani dan menciptakan kebaikan bagi sesamanya, lingkungan termasuk hewan, tumbuhan secara pribadi ia berkontribusi kepada pemenuhan penyelenggaraan ilahi dalam ruang dan waktu: sejarah, kesekarangan, dan masa depan.
Ruang dan waktu mengungkapkan bahwa manusia adalah bagian dari dunia dan dunia itu sendiri tidak terpisahkan dari manusia; manusia tergabung dan tersatukan dengan dunia. Manusia dengan kehadirannya membangun relasinya dengan dunia dengan segala realitasnya. Maka ada manusia yaitu representasi, kehadiran dan tindakannya menentukan tidak hanya hal-hal, komunitas di sekitarnya tetapi juga dirinya karena ada manusia terutama tindakannya melahirkan dan membentuk causalitas dan prinsip-prinsip bagi dan untuk sesamanya maupun ciptaan lain. Keberadaan manusia menjadi causa bagi yang lain karena ia sendiri diberikan causa oleh Tuhan sang causa pertama; causa sekunder memiliki substansinya sendiri yang berasal causa pertama, sehingga dia memiliki kekuatan untuk berkarya, mencipta. Aktivitasnya di dunia yang sesuai, selaras dengan kehendak dan tujuan penyelenggaraan ilahi misalnya mempromosikan keadilan dan kebaikan membuat dirinya merealisasikan citranya dan membuat hidupnya menemukan predestinasinya. Bersama Kristus, manusia berkarya dan bekerja untuk finalitas dunia. Predestinasi akan menjadi predestinasi jika manusia sebagai kolaborator ilahi terbuka kepada dan berkarya bagi dunia. Kehadiran dan tindakan manusia selalu dalam rangka untuk menyempurnakan karya penyelenggaraan ilahi. Jadi, semakin seseorang ditarik ke dalam Kristus, semakin dia harus keluar dari dirinya; yaitu dia harus pergi ke dunia untuk membawa penyelenggaraan ilahi ke dunia tempat hidupnya.
Manusia sebagai kolaborator penyelenggaraan ilahi menunjukkan cermin realitas Allah yang bersinar di dalam dirinya karena penyelenggaraan ilahi bekerja di dalam karya-karya manusia, bekerja melalui tindakan manusia. Kerja sama antara Tuhan dan manusia dalam causalitasnya masing-masing mengungkapkan bahwa Tuhan yang adalah causa pertama bekerja dan berkarya melalui causa sekunder: manusia. Tuhan berkarya di dalam causa sekunder dan efek causa sekunder tetapi mengacu kepada-Nya sebagai causa pertama; jadi segala yang dilakukan oleh setiap individu dalam predestinasinya dan sebagai kolaborator penyelenggaraan ilahi sebenarnya adalah karya-Nya.
Karya dan tindakan manusia yang termuat di dalam penyelenggaraan ilahi ibarat causa partikular yang dimuat di dalam causa universal. Causa pertama yang berkarya melalui causa sekunder membuktikan bahwa manusia adalah perwujudan Tuhan di dunia, tanda kehadiran-Nya, tanda kemuliaan-Nya[7] sekaligus mematri keagungan manusia. Kita pun dapat mengatakan bahwa eksistensi manusia dalam relasinya dengan dunia dan sebagai rekan kerja Tuhan adalah bunga-bunga taman Tuhan, lampu-lampu dari kemegahan ilahi-Nya, anak-anak-Nya yang terkasih, pewaris kerajaan-Nya. Roma 8:28: “Kita tahu sekarang, bahwa Tuhan turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Tuhan”.
[1] Thomas Aquinas, Summa Theologiae, Ia, q.23, a.1
[2] Ibid., Summa Theologiae, Ia, q.23, a.2
[3] Katekismus no. 381
[4] Thomas Aquinas, Summa Theologiae, Ia, q.23, a.4
[5] Katekismus no. 306
[6] Katekismus no. 307
[7] Evangelium Vitae 34
Copyright © 2020 ducksophia.com. All Rights Reserved
Sempurna