Lukisan Natale Attanasio, Uomo Seduto, 1882
Manusia adalah misteri yang tak pernah selesai disingkapkan sementara peranan manusia terhadap hidup semesta ini tak tergantikan. Di satu sisi, manusialah penentu hidup entah hidupnya sendiri, sesamanya, maupun semesta. Semua tergantung pada manusia. Namun di balik ketergantungan apa yang ada pada manusia, manusia itu sendiri terbatas, lemah-rapuh, binasa dan manusia sendiri tergantung kepada entah Tuhan, semesta ataupun kepada hasil dari perbuatan dirinya sendiri (baca: karma). Itulah sebuah paradok tentang manusia. Paradoks tentang manusia merupakan sebuah keagungan tetapi juga realitas yang menjadi pergulatan baik filsafat timur maupun barat. Pada artikel ini, kita akan melihat bagaimana para filsuf Tiongkok kuno menguak realitas manusia. Siapa manusia?; apa hakikat manusia?. Itulah segelintir pertanyaan yang memantik manusia untuk terus-menerus menyelidiki dirinya. Sebab kemisterian dan keagungan manusia itu sungguh menawan, memukau manusia untuk bertanya dan menyelidiki dirinya sendiri.
Manusia memiliki ciri universalitas yang dimiliki oleh setiap pribadi yang menunjukkan eksistensi dan kiprahnya yang disebut dengan natura. Natura manusia itu menjadi obyek permenungan para pemikir Tiongkok. Sebab natura manusia menentukan dan mempengaruhi hidup manusia secara definitif. Konfusius berpendapat bahwa natura manusia itu terbentuk dari hukum alam (Tien Ming). Hsun Tsu menegaskan premis Konfusius tersebut bahwa natura manusia termasuk natura alami (Hsing) dalam pengertian sudah demikian adanya sejak semula. Dalam konteks Hsing, Konfusius dan Mensius yakin bahwa natura manusia pada dasarnya baik. Artinya manusia itu makhuk yang merindukan sekaligus bertindak untuk dan demi kebaikan. Ini dikarenakan di dalam natura manusia ada cinta kasih (Jen). Pandangan Mensius dan Konfusius bahwa natura manusia itu baik bertolak belakang dengan pemikiran Hun Tsu dan Mo Tsu. Hun Tsu yakin bahwa natura manusia itu pada dasarnya jahat. Artinya segala kejahatan dan malapetaka yang terjadi itu diakibatkan dan berasal iri hati, kebencian dan keinginan untuk menyakiti sesama manusia yang merupakan sifat jahat dari natura manusia. Itulah gagasan Mo Tsu untuk menjelaskan asal-usul kejahatan yang terjadi. Sikap jahat manusia, menurut Lao Tsu bertentangan dengan Tao[1].
Berpijak dari natura manusia para filsuf Tiongkok merumuskan kecermelangan manusia sebagaimana Nietzsche menggagasnya. Kalau Nietzsche menggagas bahwa manusia unggulan itu adalah manusia yang mewujudkan nafsunya, tidak demikian dengan para filsuf Tiongkok. Sebaliknya, menurut para filsuf Tiongkok, manusia yang cemerlang ialah manusia yang mampu mengendalikan nafsu. Nafsu itu sumber bencana dan malapetaka. Dari nafsulah, segala kejahatan dan ketidakteraturan mengalir (Hun Tsu). Melepaskan diri dari nafsu membuat manusia mampu melaksanakan tugas dengan baik (Mo Tsu). Menurut Mo Tsu salah satu cara untuk melepaskan dan mengalahkan nafsu itu melalui latihan atau membina diri. Cara membina diri dilakukan dengan menegakkan diri sendiri untuk menegakkan orang lain, menyempurnakan diri sendiri untuk menyempurnakan diri orang lain. Latihan mencakup merubah hal-hal yang buruk yang ada pada diri sendiri, membuang sifat buruk, kelakuan yang tidak sesuai dengan aturan maupun kebiasaan yang tidak baik. Semuanya dirubah dan diperbaiki supaya hidup sesuai dengan Tao dan dia pun menjadi pribadi yang berbudi pekerti agung. Berbudi pekerti yang demikian sudah pasti mampu melepaskan diri genggaman nafsu. Dan suatu keadaan yang bebas dari nafsu oleh Lao Tsu disebut dengan kemurnian batin.
Bijak dan baik itu menjadi karakter utama manusia yang cemerlang. Para filsuf Tiongkok memiliki pandangan yang berbeda tentang manusia yang bijak. Menurut Konfusius kebijaksanaan dan kebaikan itu terbentuk dari adat-istiadat dan pergaulan cara hidup. Maka Konfusius bersama dengan Hun Tsu yakin bahwa lingkungan hidup manusia itu amat menentukan: lingkungan yang baik membentuk manusia yang baik sekaligus bijak sebaliknya lingkungan yang buruk menghasilkan manusia yang jahat. Lain lagi dengan Lao Tsu. Menurut dia, menjadi bijak berarti orang yang mendengar Tao dan kemudian mengikuti suara Tao. Sebabnya Tao adalah pokok dari hati nurani manusia, hati nurani itu sendiri adalah akar yang diberikan Tuhan kepada manusia dan sumber utama dari jiwa kita
Untuk menjadi bijak tidak cukup hanya dengan itu semua. Untuk menjadi bijak dan baik itu juga perlu guru. Guru itu sebagai seseorang yang menemani, mendampingi, dan membimbing seseorang agar dapat menjadi manusia yang bijak dan baik. Manusia yang bijak dan baik pasti dan selalu berorientasi pada hal-hal yang mendatangkan manfaat dan kegunaan bagi dirinya, orang lain dan dunia (Mo Tsu).
Maka, pendidikan kiranya menjadi hal yang krusial dalam membangun dan membentuk manusia yang cemerlang. Manusia menjadi bijak dan pintar karena ia didik. Melalui pendidikan terciptalah kehidupan yang baik. Karena kehidupan yang baik tidak terlepas dan ditentukan oleh pemerintahan yang baik, maka tujuan pendidikan ialah membentuk pejabat yang baik. Cikal bakal pejabat yang baik itu terletak pada generasi muda. Lantas keluarga yang baik mempunyai peran yang berarti untuk membentuk generasi muda yang baik. Salah satu cara untuk membentuk generasi muda yang baik dan aktivitas hakiki dari pendidikan adalah membaca. Maka baik Konfusius dan maupun Hun Tsu menekankan pentingnya membaca. Sebuah ucapan Konfusius yang terkenal berkaitan dengan membaca sebagai berikut: “Membaca tanpa berpikir membuat bingung, berpikir tanpa membaca membuat linglung”. Buku-buku tentang alam dan buku klasik itu membina diri sendiri dan orang lain untuk menjadi orang terpelajar. Sebab membaca buku-buku tersebut membuat budi semakin terarah dan semakin tajam dalam berpikir (Hun Tsu). Orang terpelajar merupakan salah satu ciri orang bijaksana dan baik. Pendidikan juga membentuk moralitas. Maka pendidikan moralitas merupakan hal yang amat penting bagi Mensius. Mengapa? Moralitas itu merupakan sebuah indikator apakah suatu pemerintahan itu baik atau buruk. Pemerintahan itu sendiri juga mencerminkan rakyatnya. Suatu pemerintahan yang memiliki moralitas yang baik dan tinggi mencerminkan juga tingginya dan baiknya moralitas rakyatnya. Dengan demikian karena pemerintah dan rakyat memiliki moralitas yang baik maka kejahatan pun semakin berkurang.
Manusia yang cemerlang berarti juga orang yang cakap di dalam pemerintahan. Artinya ia mampu memimpin negara dan pemerintahan dengan baik. Rajalah yang memimpin negara. Maka dari itu, seorang raja harus cerdas (Hun Tsu) dan juga tegas (Mo Tsu). Sikap raja yang demikian membuat rakyat segan dan tunduk kepada raja. Raja itu sendiri, menurut Konfusius, adalah putra surga. Maka kehendak raja adalah kehendak surga. Pernyataan konfusius ini didukung oleh Mo Tsu. Sebaliknya, kesewenangan raja merupakan sumber kehancuran dan malapetaka. Kesewenangan itu berarti memaksakan kehendak sendiri. Nah menurut Lao Tsu, orang yang memaksakan kehendak sendiri membuat irama alam kacau dan hasilnya adalah malapetaka. Sebaliknya jika pemerintahan itu benar dan tidak ada kesewenangan maka darinya akan mengalir segala kebaikan seperti aturan, sopan santun, upacara, musik bahkan keselarasan. Pemerintahan yang baik juga mencukupi kebutuhan rakyatnya. Kebutuhan rakyat yang tercukupi dan sarana kehidupan yang baik membuat rakyat senang. Dengan demikian semuanya itu menciptakan negara yang baik (Mensius). Menurut Lao Tsu, terlalu banyak undang-undang dan hukum makin menciptakan kejahatan karena makin banyaknya aturan dan hukum merangsang dan menggoda orang untuk melanggarnya. Selain itu, rakyat yang memiliki banyak pengetahuan akan membuat dirinya sulit diatur. Maka lebih baik rakyat tetap bodoh dan hanya penguasalah yang pintar.
Para filsuf Tiongkok juga memberikan etika hidup dalam pergaulan dengan sesama. Etika Konfusius itu menekankan kasih persaudaraan dan kasih keluarga. Kasih persaudaraan itu menyoal memperhatikan kepentingan sesama. Sementara kasih keluarga itu berarti nenek moyang, leluhur, dan keluarga harus dihormati dan dijunjung tinggi. Lain lagi sumbangan Mensius berkaitan dengan etika hidup. Menurutnya, manusia harus memiliki hati yang lurus. Hati yang lurus itu dapat mengalahkan kejahatan yang ada di dalam dirinya. Sementara sumbangan Mo Tsu berkaitan dengan emosi. Emosi itu harus dikalahkan karena emosi itu menghambat manusia untuk melaksanakan tugasnya dengan baik. Etika yang digagas para filsuf Tiongkok dibangun atas aturan dan tata krama klasik yang terdiri dari dari 4 kaidah yaitu sopan santun (Li), satria, fair (I), bersih tidak korupsi (lien), tahu malu (tze) dan 3 aturan yaitu atasan sopan bawahan setia, orang tua kasih sayang anak berbakti, suami-istri harmonis. Etika Tiongkok klasik itu diresapi dengan Chang (kaidah abadi): Pengasih/ penyayang, bijaksana, sopan santun, cerdas atau pikiran tenang, tahu mana yang salah dan mana yang benar, pegang janji atau dapat dipercaya. Etika hidup yang telah disebutkan di atas mencapai kepenuhannya di dalam cinta universal sebagaimana yang dikatakan oleh Mo Tsu. Cinta universal itu memberi manfaat bagi dirinya sendiri, orang lain bahkan dunia.
Memang filsafat Tiongkok tidak dapat dipisahkan sekaligus identik dengan keharmonian dan keselarasan. Keharmonian dan keselarasan merupakan konsep kunci dalam pemikiran Tiongkok. Keselarasan (Li) merupakan asal usul segala sesuatunya (Konfusius) dan tujuan keselarasan (Li) adalah keharmonisan atau keselarasan itu sendiri. Maka tujuan hidup manusia adalah menyelaraskan dengan Li itu sendiri (Hun Tsu & Konfusius).
Hidup manusia juga tidak dapat dipisahkan dari Sang Pencipta. Kesadaran ini sudah dipikirkan oleh para filsuf Tiongkok. Untuk menyebut Tuhan, mereka memakai istilah yang beragam. Antara lain Langit, Tien, Surga. Semua istilah itu mau mengatakan bahwa para filsuf Tiongkok menganut paham Theisme. Menurut Konfusius Tuhan itu mengatur dan menata segala sesuatunya termasuk alam semesta dan hidup manusia. Ada penyelenggaraan ilahi yang menata segala sesuatunya. Pendek kata ada predestinasi. Lain lagi Hun Tsu dan Mo Tsu. Mereka berdua tetap menghormati adanya Tuhan tetapi menolak predestinasi. Gejala alam itu tidak menentukan hidup manusia. Namun manusialah yang menjadi penentu hidupnya. Artinya hidupnya tergantung pada dirinya bukan pada alam ataupun Tuhan sebagaimana yang dikatakan oleh Konfusius. Apa yang diajarkan oleh Konfusisus menurut Mo Tsu membuat manusia menyerah pada nasib (fatalitas) sehingga manusia hidup di dalam kemalasan. Agar manusia dapat mengalahkan kemalasan dan cakap dalam memimpin serta menentukan hidupnya, maka diperlukan kecerdasan. Bagi Mo Tsu Tuhan adalah Tao dan Tao menyadarkan manusia dan mengajak setiap orang untuk hidup selaras dan berkelakuan sesuai dengan hati nuraninya. Selain itu, menurut Lao Tsu, Tuhan dapat dihayati dan dirasakan kehadirannya melalui pengalaman personal.
Panorama pandangan para filsuf Tiongkok tentang kiprah manusia dan hakikatnya dari Konfusius sampai dengan Mo Tsu mengungkapkan bahwa manusia adalah makhluk kontekstual, berdikari yang menyelaraskan dirinya dengan Tuhan, sesama, lingkungan termasuk hewan-tumbuhan dan semesta.
[1] TAO adalah kebenaran dari seluruh jagat raya sehingga bisa dikatakan TAO adalah kebenaran atau aturan. Kebenaran TAO tidak berubah. Sejak adanya jagat raya , jagat raya selalu berubah, manusia dan segala yang ada di semesta ini selalu berubah, tetapi hanya TAO yang tidak pernah berubah. TAO ini tiada bentuk, tak tampak, tiada suara, tidak dapat diperlihatkan, tidak dapat digambarkan. Tapi bila di jagat raya ini tidak terdapat TAO, maka semuanya tidak akan berkelanjutan. TAO ini ada di langit dan di bumi, di benda- benda, di segala ada yang ada termasuk di dalam hati nurani manusia. Kebenaran Tao ada di dalam hati manusia sehingga bila ada seseorang melakukan hal-hal yang berlawanan dengan hati nurani dan kebenaran maka perbuatannya telah melawan kehendak Tuhan. Begitu juga sebaliknya, bila hidupnya sesuai dengan Tao maka dia akan berbahagia bahkan keluar dari lingkaran kehidupan-kematian.
Copyright © 2018 ducksophia.com. All Rights Reserved