II
Kematian
Francis Bacon
Lukisan Henry Wallis,
1856Manusia takut akan kematian, ibarat seorang anak yang takut pergi ke tempat yang gelap; seperti ketakutan alami seorang anak yang ditumbuhkan lewat dongeng-dongeng, demikian juga dengan kematian.
Tentu saja, kontemplasi akan kematian sebagai upah dosa dan kematian hanyalah beralih ke kehidupan kekal tentu adalah suci dan religius; namun takut akan kematian sebagai upeti yang harus dibayar karena kodrat adalah lemah. Dalam meditasi-meditasi religius ada kalanya kesia-siaan dan takhayul bercampur. Anda seharusnya membaca buku-buku mortifikasi para biarawan yang membuat seorang manusia berpikir bersama dengan dirinya sendiri tentang apa itu rasa sakit sekiranya jari-jari tangannya ditindih atau disiksa; dengan demikian dia akan membayangkan rasa sakit akan kematian yaitu ketika seluruh tubuh terkorupsi dan hancur; ketika sering kali kematian itu sendiri berlangsung dengan sedikit rasa sakit daripada melalui siksaan dari anggota-anggota tubuh; karena anggota-anggota tubuh yang paling vital bukanlah substansi yang paling cepat hancur. Hal ini dikatakan dengan baik oleh Seneca[1], yang berbicara sebagai seorang filsuf dan seorang manusia biasa, Pompa mortis magis terret, quam mors ipsa (yang menyertai kematian itulah yang lebih menakutkan daripada kematian itu sendiri). Erangan dan kejang-kejang, wajah yang pucat pasi, sahabat-sahabat yang menangis, pakaian kabung dan penguburan menunjukkan betapa mengerikan kematian itu.
Maka, bergunalah suatu pengamatan yang menyatakan bahwa dengan tidak adanya hasrat dalam pikiran seseorang yang begitu lemah, malah justru menaklukkan dan mengatasi rasa takut akan kematian. Dari sebab itu, kematian bukanlah seorang musuh yang begitu menakutkan ketika seseorang mempunyai begitu banyak penolong untuk dirinya sehingga ia dapat memenangkan pertempuran yang melawan dirinya sendiri. Balas dendam menang atas kematian; cinta menghina kematian; kehormatan mencita-citakan kematian; kesedihan terbang di atas kematian, ketakutan mengantisipasi kematian, ah tidak, kalau kita membaca sebuah kisah sejarah dalam buku Plutarch[2], setelah Otho[3] -sang Kaisar- bunuh diri, rasa kasihan (suatu perasaan yang paling lembut) memprovokasi banyak orang untuk mati bunuh diri mengikuti sang kaisar, rasa kasihan yang berasal dari belas kasih tersebut telah menguasai kedaulatan mereka dan menjadikan mereka semacam pengikut-pengikut yang paling setia. Ah tidak, Seneca merefleksikan pula kematian dengan mengkaitkannya dengan kerewelan dan kekenyangan: Cogita quamdius eadem feceris; morri velle, non tantum fortis aut miser, sed etiam fastidiosus (Berpikirlah berapa lama kamu telah melakukan hal yang sama; tidak hanya sebagai seorang yang berani atau seorang yang malang, tetapi juga sebagai seorang yang rewel yang mampu untuk berharap akan kematian. Artinya, walaupun seseorang bukanlah seorang yang berani maupun seorang yang malang, manusia pasti akan mati hanya karena lelah melakukan hal yang sama begitu sering terus dan terus. Tidak juga tidak berguna untuk mengamati bagaimana adaptasi kecil dalam jiwa yang tenang dibuat untuk menyongsong kematian; sebab sikap-sikap tersebut nampak dalam orang-orang yang sama sampai dengan contoh orang yang terakhir. Kaisar Augustus[4] yang meninggal dalam pujian berkata; Livia[5], conjugii nostri memor, vive et vale (Selamat tinggal, Livia, dan janganlah melupakan hari-hari pernikahan kita). Tiberius[6] mati dalam kemunafikan; seperti yang dikatakan Tacitus[7], Jam Tiberium vires et corpus, non dissimulatio, deserebant (Kekuatan-kekuatan tubuh Tiberius memang telah pergi, namun kekuatannya akan kemunafikan masih tetap). Vespasianus[8] yang mati dalam canda, duduk di atas bangku menyongsong kematiannya dengan berkata; Ut puto deus fio (seperti yang aku pikirkan, aku sedang menjadi Tuhan). Galba[9] sambil mencekik lehernya mengatakan sebuah kalimat; Feri, si ex re sit populi Romani (Pukullah, jika hal ini memang menjadi kebaikan untuk Roma). Septimius Severus[10] yang mati dalam perutusan tugas berucap; Adeste si quid mihi restat agendum (Terlaksanalah, jika ada sesuatu yang lebih yang dapat aku lakukan). Dan yang semacamya. Tentu saja mazhab Stoa[11] yang amat memuji kematian dan persiapan-persiapan mereka dalam menyongsong kematian yang demikian tenang justru membuat kematian menjadi semakin menakutkan. Kata mazhab Stoa, adalah lebih baik bagi seorang muda yang menganggap berakhirnya kehidupan sebagai salah satu keuntungan bagi kodrat.
Kematian adalah hal yang alami sebagaimana juga kelahiran; dan bagi seorang bayi kecil yang lahir mungkin sama sakitnya dengan orang yang mati. Dia yang mati dalam perjuangan adalah seperti seseorang yang terluka di dalam darah yang mendidih, yang untuk suatu waktu, nyaris tidak merasakan rasa sakit; karena pikirannya terpatri dan dipalingkan atas sesuatu hal baik yang sungguh mengalihkan rasa sakit akan kematian.
Tetapi, yang terpenting dari semuanya itu, percayalah, bahwa kidung yang paling manis adalah, Nunc dimittis (Sekarang biarkanlah…dirimu berpulang[12]); dikumandangkan ketika manusia telah mendapatkan akhir hidup yang indah dan pengharapan yang baik. Kematian juga memiliki makna ini, bahwa kematian membuka gerbang bagi ketenaran yang agung dan membinasakan iri hati (pribadi yang sama yang mana orang-orang iri hati kepadanya ketika dia masih hidup, akan dicintai setelah dia mati).
[1] Lucius Annaeus Seneca adalah seorang negarawan yang handal, filsuf Stoa yang hebat, penulis drama dan satir yang genius. Dia adalah pengasuh dan penasihat Kaisar Nero (tentang Kaisar Nero, lihat essai XIX; no. 2). Ia menulis banyak buku filsafat Stoa, misalnya de Ira (kemarahan); de Consolatione (Penghiburan), dst; tentang drama misalnya: Hercules Furens (kegilaan Hercules), dst.Tahun 65 Seneca diperintahkan bunuh diri oleh Nero karena tuduhan konspirasi membunuh Nero meskipun tuduhan itu tidak terbukti. Ia bunuh diri dengan memotong nadinya. Tetapi karena faktor usia dan diet, darah yang keluar begitu lambat dan sedikit sehingga dia merasakan sakit dan penderitaan yang hebat sampai maut menjemputnya.
[2] Plutarch adalah seorang sejarahwan, penulis biografi dan essai, filsuf, imam, duta besar. Ia menulis banyak buku. Dua buku karya tulisnya yang terkenal adalah Parallel Lives dan Moralia. Parallel Lives, berisi tentang suatu seri biografi dari tokoh-tokoh Yunani dan Romawi yang disusun secara berpasangan (paralel) maupun yang tanpa pasangan. Misalnya yang disusun secara paralel, hidup Alexander Agung dan hidup Julius Caesar, Scipio Africanus dan Epaminondas, Galba dan Otho. Tujuannya adalah menunjukkan keutamaan, keburukan dan moral dari masing-masing tokoh sehingga pembaca mendapat pencerahan dan iluminasi dari tokoh-tokoh yang ditampilkan. Sayangnya, banyak bagian dalam Parallel Lives yang hilang (diperkirakan 12 kisah yang hilang). Sementara buku Moralia berisi tentang essai-essai dengan berbagai tema misal tema filsafat, dialog humoris, agama.
[3] Salveus Otho Caesar Augustus sebelum menjadi Kaisar Romawi (hanya selama tiga bulan) adalah sahabat Kaisar Nero dan Galba (lihat no. 9) yang nantinya menggantikan Kaisar Nero. Persahabatan dengan Kaisar Nero berakhir dan ia dibuang ke provinsi Lusitania karena istrinya Poppea Sabina menceraikannya dan menikah dengan Kaisar Nero. Dalam perjalanan waktu, Galba memberontak dan didukung oleh Otho. Setelah Galba naik takhta, tak lama kemudian Galba dibunuh oleh pasukannya sendiri sehingga senat mengangkat Otho menjadi Kaisar. Banyak orang meragukan kemampuan Otho dalam memerintah. Tampaknya ramalan itu terbalik; Otho memerintah dengan penuh kebijaksanaan. Tetapi ia tetap tidak populer karena pengaruh Nero masih kuat dan kalah pamor dibandingkan dengan Vitellius, seorang jenderal Romawi, yang mendapat banyak dukungan dan simpati untuk menjadi kaisar Romawi. Akibatnya, Romawi terbelah menjadi dua: pro Otho dan pro Vitellius. Maka, demi menghindari pertempuran dan perang saudara, Otho bunuh diri. Tentara pendukung Otho menangis dan merasa iba kepada sang kaisar dan baru setelah kematiannya Otho dicintai dan dihormati.
[4] Gaius Julius Augustus Caesar adalah Kaisar Romawi yang pertama. Terlahir dengan nama Gaius Octavius Thurinus, Octavius diasuh, dibesarkan dan diadopsi oleh pamannya Gaius Julius Caesar sehingga Octavius mendapat nama baru Julius. Usaha melenggang ke takhta Romawi dimulai setelah sang paman Julius Caesar dibunuh pada 15 Maret 44 SM. Ia bergabung bersama Markus Antonius dan Markus Lepidus dalam persekutuan militer yang dikenal nama Triumvirate yang kedua. Dalam perjalanan waktu, Octavius berhasil menyingkirkan lawan-lawan politiknya termasuk Markus Antonius dan Lepidus sehingga ia melenggang sendirian ke takhta Romawi. Kaisar Augustus adalah seorang pemimpin yang amat cemerlang karena berhasil memperbaiki ekonomi Romawi; memperbaharui prinsip-prinsip politik Romawi; mendirikan bangunan dan kuil yang indah, membentuk armada militer yang tangguh (misalnya membentuk pasukan khusus dengan nama Praetorian); memperbarui sistem pajak; membangun jaringan jalan dengan sistem kurir; mengambil alih jabatan kepala tertinggi imam, Pontifex Maximus (semenjak saat itu jabatan imam tertinggi selalu dipegang oleh para Kaisar Romawi). Bahkan ia membuat Pax Romana (Damai Roma) dengan menaklukkan bangsa-bangsa dan menjadikan Romawi sebagai kemaharajaan sehingga wilayah Romawi meliputi hampir seluruh Eropa sampai ke Afrika dan Timur Tengah (Yerusalem). Dengan demikian ia memenuhi kerinduan dan semangat Roma untuk menjadi penguasa dunia yang bersumber dari puisi Virgil: tu regere imperio populos, Romane, memento (Hai, orang-orang Romawi, ingatlah untuk memerintah penduduk-penduduk bumi dengan kekuatanmu). Setelah kematiannya, para senator menjadikan Augustus sebagai dewa yang harus dihormati oleh seluruh rakyat Romawi. Lalu bulan ke enam dalam penanggalan Romawi yaitu Sextilis diganti dengan nama Augustus. Yang perlu dicatat pula bahwa ketika Kaisar Augustus mengadakan sensus penduduk untuk pertama kalinya, Yesus Kristus lahir.
[5] Livia Drusilla adalah istri ketiga Kaisar Augustus. Sebelum menikah dengan Octavius (Kaisar Augustus), Livia telah memiliki dua orang anak yang bernama Nero Claudius Drussus dan Tiberius (Tiberius nantinya menjadi Kaisar pengganti Augustus). Perkawinannya selama 51 tahun dengan Kaisar Augustus tidak memberikan keturunan. Kaisar Augustus dan Livia menjadi model dan panutan untuk rumah tangga keluarga Romawi. Meskipun memiliki kekayaan dan kekuasaan, keluarga Augustus hidup dalam kesederhanaan. Livia tidak memakai perhiasan atau parfum yang mahal; dia dengan penuh kasih sayang merawat, mengasuh dan membesarkan kedua putranya dan sebagai istri yang setia (misalnya pakaian Augustus dibuat dan dirajut oleh Livia sendiri). Setelah kematian Augustus, Livia diangkat dan diterima dalam keluarga Julius sehingga ia memiliki nama baru Julia Augusta.
[6] Tiberius Julius Caesar Augustus adalah Kaisar Romawi yang memerintah dari tahun 14 sampai tahun 37 pengganti Kaisar Augustus. Ayah kandungnya bernama Tiberius Claudius Nero dan ibunya Livia Drusilla. Ia kemudian menjadi anak angkat Kaisar Augustus. Ketika masih seorang jenderal Romawi, ia berhasil menaklukkan Pannonia, Dalmatia, Raetia, Germania, lalu membangun dan meletakkan fondasi-fondasi di perbatasan utara kekaisaran Romawi. Namun setelah menjadi Kaisar, kecemerlangannya pelan-pelan meredup bahkan dalam perjalanan waktu ia menjadi penguasa yang kesepian (ia mengasingkan diri dari Roma dan menyerahkan pemerintahannya kepada Lucius Aleius Sejanus dan Quintus Sutorius Macro), murung, sedih bahkan dijuluki tristissimus hominus (manusia yang paling sedih). Pada masa pemerintahan awal Tiberius banyak orang Yahudi yang berimigrasi ke Roma. Yang perlu dicatat pula bahwa Yesus Kristus berkarya, mengajar dan kemudian disalibkan oleh Ponsius Pilatus pada pemerintahan Tiberius. Dalam Injil, Tiberius hanya disebut satu kali yaitu di dalam Lukas 3:1.
[7] Publius (atau Gaius) Cornelius Tacitus adalah seorang senator dan sejarahwan Romawi. Dua buku sejarah yang utama yang ia tulis yaitu Histories dan Annal dan buku-buku lainnya menjadikan dirinya dikenang sebagai sejarahwan yang termasyur. Karya-karyanya dibaca karena instruksi-instruksi moralnya, narasi drama dan gaya prosanya. Lewat karya-karyanya terselip pula suatu kenyataan bahwa ia adalah seorang ahli politik yang amat berpengaruh. Buku Histories menceritakan kekaisaran Romawi dari tahun 69 sampi tahun 96, sementara Annal dari tahun 14 sampai tahun 68. Dalam buku Annal, Tacitus sempat menyinggung dan membahas Yesus Kristus, Ponsius Pilatus dan pembakaran jemaat Kristen pada bulan Juli tahun 64 oleh Kaisar Nero.
[8] Vespasianus dengan nama lengkap Titus Flavius Caesar Vespasianus Augustus adalah Kaisar Romawi yang memerintah Romawi dari tahun 69 sampai dengan 79 dan pengganti Kaisar Vitelius. Vespasianus dikenal sebagai Kaisar yang memiliki kecerdasan, dan karir militer yang cemerlang. Ia pendiri dinasti Flavianus. Sebelum menjadi Kaisar, ia adalah jenderal yang berpartisipasi dalam menaklukan Inggris dan pemberontakan Yahudi.
[9] Galba dengan nama lengkap Servius Sulpicius Galba Caesar Augustus adalah Kaisar Romawi yang memerintah hanya tujuh bulan dari tahun 68-69, pengganti Kaisar Nero. Dalam masa pemerintahannya Galba berusaha memulihkan keuangan kemaharajaan Romawi. Ia memerintah dengan kejam dan memberlakukan pajak yang amat tinggi kepada wilayah-wilayah jajahan yang tidak mau mengakui dia sebagai kaisar. Dia juga banyak menghukum mati orang tanpa pengadilan dan jarang memberikan kewarganeraan Romawi kepada orang yang meminta. Galba dibunuh oleh tentara Praetorian-nya sendiri dan digantikan oleh Otho.
[10] Lucius Septimius Severus Augustus yang dikenal dengan Severus, adalah Kaisar Romawi yang memerintah tahun 193 sampai 211. Dalam masa pemerintahannya, Severus berhasil memperluas wilayah kekaisaran Romawi di Afrika; di timur ia berhasil menaklukkan kerajaan Parthean sehingga kekuasaan Romawi meliputi sampai batas sungai Tigris; ia juga memperkuat benteng Hadria di Inggris. Ambisi ekspansi selesai ketika ia jatuh sakit. Jemaat kristiani juga dianiaya demikian hebat. Sebelum ia meninggal di Eboracum (sekarang York, Inggris), dia memberikan suatu nasihat yang terkenal kepada anak-anaknya yaitu Caracalla dan Geta yang menggantikan ayah mereka nantinya, jadilah harmoni, perkayalah para tentara, dan hinalah semua yang lain.
[11] Mazhab Stoa didirikan oleh Zeno. Mazhab Stoa ini terkenal dengan maximnya hiduplah selaras dengan kodrat. Artinya, pertama bahwa manusia harus menyesuaikan diri dengan kodrat universal yaitu hukum akal budi universal, karena alam semesta ini diatur oleh hukum akal budi universal; yang kedua, manusia harus menyelaraskan dengan hukum kodrat yang ada di dalam dirinya, yaitu akal budi yang ada di dalam diri tiap pribadi. Jika manusia mengikuti akal budi maka terciptalah keharmonian dengan kodrat. Untuk mencapai hidup yang demikian, selain hidup yang mengandalkan akal budi, dibutuhkan pula keutamaan (virtue) dan moralitas karena hidup dalam keutamaan dan moralitas adalah cermin makhluk yang rasional. Empat keutamaan kardinal filsafat Stoa yang diadopsi dari Plato, kebijaksanaan (Sophia), keberanian (Andreia), keadilan (dikaiosyne), kesederhanaan (Sophrosyne). Stoa juga menekankan pentingnya berbuat baik dan berbelas kasih kepada semua orang tanpa terkecuali. Akal budi, keutamaan, moralitas, dan kebaikan memastikan hidup yang mengandalkan penguasaan diri dan mampu mengatasi emosi-emosi yang sifatnya destruktif misalnya kemarahan, iri hati, kecemburuan, ketakutan akan kematian karena emosi yang demikian membawa orang kepada penderitaan. Di sini penderitaan dalam pemikiran Stoa adalah kekacauan, ketidaktenangan, kericuhan baik pikiran dan hati. Cara yang ditempuh untuk mengatasi penderitaan adalah dengan askesis yang ketat yang dilaksanakan melalui metode disiplin diri yang meliputi logika, refleksi, kontemplasi akan kematian, konsentrasi, berbuat kebaikan. Semua metode disiplin tersebut harus ditempa, dilakukan dan dipraktekkan secara terus-terus. Konsekuensinya, menurut mazhab Stoa, ketika orang bebas dari kericuhan hati dan pikiran orang akan memilki penilaian yang jelas dan ketenangan batin di hadapan apa pun yang terjadi di dalam kehidupan ini. Maka kata Epictetus: sakit tetapi bahagia, dalam bahaya namun tetap bahagia, sekarat dan tetap bahagia, dalam pembuangan bahagia, dalam kemalangan pun bahagia. Kematian bagi Stoa pun adalah suatu pembebasan dan membuat orang tidak lagi menjadi budak. Bahkan Stoa mengizinkan bunuh diri yaitu jika ada suatu kondisi hidup yang tidak memungkinkan dan jauh dari hidup dalam keutamaan. Filsafat bagi Stoa bukan hanya serangkaian kepercayaan, doktrin, pengetahuan dan klaim-klaim etis namun adalah jalan hidup, sikap hidup, pengingat diri, suatu praktis yang terus-menerus dilakukan.
[12] Kidung ini merupakan kidung Simeon dalam Lukas 2: 29-32 yang dipakai dalam liturgi Katolik sebagai penutup ibadat malam.
Copyright © 2016 ducksophia.com. All Rights Reserved