Kebenaran Menurut Metafisika

Lukisan Cesare Auguste Detti, Refreshments At A Wayside Inn

Kita harus mencintai kebenaran dan menunjukkan segala tindak tanduk kita demi kebenaran“.

Karl Jaspers


“Semua manusia dari kodratnya menghasratkan pengetahuan”[1] karena pengetahuan menyoal kebenaran. Sebaliknya, gagasan kebenaran mensyaratkan suatu pemahaman dan sebuah keotentikan akan konsep pengetahuan. Suatu pengetahuan menjadi otentik ketika benar sehingga kebenaran selalu terkait dengan pengetahuan manusia. Karena hidup dari pengetahuan dan kebenaran, maka manusia segala zaman bertanya apa itu kebenaran. Pencarian akan kebenaran dan pengetahuan melukis usaha dan pergulatan manusia yang terus-menerus sepanjang bergulirnya peradaban.

Maka, pertanyaan akan apa itu kebenaran merujuk kepada ada itu sendiri. Kebenaran sama dengan ada karena apa yang benar menambahkan dan menyingkapkan ada. Kalau kebaikan menambahkan aspek hasrat kepada ada maka kebenaran menambahkan suatu referensi intelek terhadap ada. Artinya sebagai berikut: kebaikan terkait dengan kehendak yaitu bahwa kebaikan adalah objek dari kehendak; jadi kebaikan bukan kehendak itu sendiri, sementara kebenaran berelasi dengan intelek yaitu bahwa kebenaran adalah intelek itu sendiri[2]. Kehendak dikatakan baik jika objeknya baik, tetapi kebenaran terjadi di dalam intelek sejauh ada kesesuaian (konformitas) antara intelek dan objek yang dimengerti.

Rujukan pertama ada adalah intelek sehingga kebenaran ada di dalam intelek karena ketika mengafirmasi atau menyangkal sesuatu hal (membuat pernyataan-pernyataan), intelek kitalah yang melakukannya. Suatu penilaian itu benar dan valid ketika penilaian menegaskan bahwa sesuatu yang ada sungguh ada atau yang tidak ada memang tidak ada. Walaupun demikian, kebenaran dari penilaian tergantung pada ada. Akal budi tidak akan menjadi benar dalam pemahamannya jika ada-ada itu sendiri tidak memiliki kebenaran. Melihat kebenaran berada di dalam intelek dan hal maka kebenaran dapat didefinisikan sebagai persesuaian intelek dan hal (adeguatio intellectus et rei). Jadi adeguatio intellectus et rei menyatakan bahwa hal-hal bersesuaian dengan intelek; intelek yang demikian ditata dan diatur menyesuaikan kepada hal-hal.

Kebenaran adalah ada dan didasarkan kepada ada (ens): veritas supra ens fundatur[3]. Melalui ada kebenaran sungguh dapat dikenali dan dimengerti; sebaliknya jika bukan ada, kebenaran tidak akan dimengerti dan dipahami. Kata Agustinus: “segala sesuatunya itu benar dalam tataran bahwa segala sesuatunya adalah ada”[4].

Maka, ada dan kebenaran dapat bertukar-alih atau equivalen: ens et verum convertutur. Kebenaran berdiam di dalam intelek dan hal. Kebenaran di dalam hal-hal equivalen dengan ada dalam kaitannya sebagai substansi, sementara kebenaran yang berada di dalam intelek equivalen dengan ada sebagai perwujudan dengan yang diwujudkan[5].

 

Kebenaran sebagai relasi

Kebenaran selalu menunjukkan suatu hubungan atau relasi: intelek dan realitas. Dua hal tersebut merupakan komponen dan fundamen utama dalam membentuk kebenaran. Jadi kebenaran adalah relasi intelek dan realitas yang diketahui, relasi antara subyek-obyek.

Maka, kebenaran menyiratkan adanya dua relasi. Adanya dua relasi menunjukkan dua kebenaran: kebenaran ontologis (veritas ontologica) dan kebenaran akal budi (veritas logica). Yang pertama adalah kebenaran ada, satu dari aspek-aspek transendental. Yang kedua adalah kebenaran akal budi (veritas logica) yaitu kebenaran pengetahuan, kebenaran intelek spekulatif yang mana intelek bukan menciptakan tetapi menemukan realitas yang mengada yang berada di luar dirinya dan menjadi benar ketika terjadi persesuaian dengan realitas.

  

Kebenaran ontologis (veritas ontologica)

Kebenaran ontologis disebut juga kebenaran metafisika atau kebenaran transendental. Dalam kebenaran ontologis, yang menjadi dasar dan jangkar adalah ada itu sendiri. Ada sejauh ada adalah benar, segala yang ada adalah benar. Jadi kebenaran ontologis adalah kebenaran hal-hal atau kebenaran segala yang ada.

Berkat kebenaran ontologis realitas dapat dipahami, memiliki intelegibilitas dan mempunyai kesesuaian dengan intelek. Maka, ada berubah menjadi pengetahuan bagi intelek. Ada yang menjadi pengetahuan mau mengatakan bahwa kebenaran selalu bereferensi dan identik dengan pengetahuan. Sejauh segala sesuatunya memiliki ada, maka dapat diketahui dan terjadilah pengetahuan. Dengan demikian ada adalah benar sejauh ada memiliki intelegilibitas: apa yang ada dapat diketahui, apa yang tidak ada tidak dapat diketahui. Ada dapat diketahui karena memiliki esse yang merupakan akar dari segala intelegibilitas. Akibatnya semakin ada-ada itu benar, semakin ada-ada itu memiliki esse. Ada-ada itu sendiri memiliki keteraturan (order).

Karena dapat diketahui berarti ada bersifat komunikatif. Sifat komunikatif ada merupakan properti aksidental dalam arti bahwa seandainya intelek manusia tidak ada, ada masih tetap memiliki kebenaran intrinsik untuk dikomunikasikan dan dibagikan. Ada-ada tidak mengada sendirian tetapi selalu di dalam koridor komunikatif dan berbagi[6]. Fakta ini disebabkan karena ada-ada tidak memiliki esse oleh diri mereka sendiri tetapi melalui partisipasi; ada-ada menerima esse mereka dari Tuhan. Terlebih, ada-ada itu benar dalam tingkatan bahwa ada-ada berpartisipasi di dalam esse Tuhan. Jadi Tuhan adalah Sang Kebenaran dan causa pertama untuk kebenaran-kebenaran ada-ada sementara ada-ada itu sendiri adalah causa kebenaran di dalam intelek manusia.

Maka, suatu hal dikatakan benar oleh karena relasinya kepada intelek Tuhan dan intelek manusia[7]. Intelek Tuhan: ada-ada itu benar sejauh ada-ada menyelesaikan dan mencapai tujuan yang telah diarahkan dan ditetapkan oleh Tuhan. Ada itu benar dalam intelek manusia ketika ada-ada mampu membangkitkan suatu pemahaman yang benar dan dikatakan salah ketika penampilan ada-ada tidak sesuai dengan ada mereka atau cara mengada mereka. Dalam logika ini kita mengatakan bahwa suatu besi yang kelihatan seperti emas faktanya adalah emas yang keliru. Karena ada menyesuaikan dengan intelek (baik intelek Tuhan maupun intelek manusia) veritas ontologica ini dapat diartikan sebagai persesuaian hal kepada intelek (adequatio rei ad intellectum).

Kebenaran ontologis menunjukkan esensi kebenaran: kebenaran adalah ada; kebenaran didasarkan kepada ada. Dengan menunjukkan esensi kebenaran, maka kebenaran ontologis berarti:

 

  • Kebenaran ontologis adalah basis dan ukuran intelek manusia

Kebenaran ontologis menunjukkan pada saat yang bersamaan kapasitas intelek untuk mengetahui ada sebagaimana adanya. Artinya bahwa ada-ada menentukan dan memperkaya intelek. Kesesuaian ada kepada intelek justru membuat intelek mendapatkan pengetahuan. Segala ada diketahui karena  aktualitasnya. Aktualitas itu sendiri merupakan terang yang terdapat di dalam ada, terang intelegibilitas, terang yang berasal dari Tuhan[8]. Terang itu adalah esse yang membuat ada itu benar dan dapat dipahami. Oleh karena itu, realitas –ada- menjadikan intelek sempurna.

Sekarang jika kebenaran didasarkan pada ada dan ada itu sendiri didasarkan pada esse, maka kebenaran ontologis difondasikan kepada esse daripada esensi walaupun kebenaran ontologis menunjukkan esensi ada. Relasi ada-ada kepada intelek manusia adalah relasi akal budi karena ada-ada tidak mendapatkan relasi-relasi yang baru ketika dipahami oleh manusia. Kebenaran ada-ada tidak tergantung kepada manusia. Sebaliknya, manusia dengan dan lewat akal budinya memiliki ketergantungan kepada kebenaran ada-ada.

Dalam hal-hal, kebenaran ontologis menjadi yang utama dan pertama daripada menjadi kebenaran yang kedua karena referensinya kepada intelek ilahi yang mengada lebih dahulu daripada intelek manusia[9]. Bahkan seandainya tidak ada intelek manusia, hal-hal tetap dikatakan benar karena relasinya dengan intelek Tuhan. Tetapi seandainya intelek manusia tidak ada dan hal-hal berlangsung terus untuk mengada, konsekuensinya kebenaran esensial tidak akan ditemukan[10].

  • Kebenaran ada-ada ciptaan (ontologica) didasarkan kepada intelek Tuhan

Pikiran Tuhan adalah causa, aturan dan ukuran bagi segala yang ada. Dengan kata lain ada-ada  diciptakan dan diaktualkan oleh intelek Tuhan. Maka, di dalam intelek-Nya segala hal hadir ibarat suatu karya seni yang hadir di dalam pikiran sang seniman[11]. Intelek Tuhan adalah yang pertama karena segala ada ciptaan tergantung kepada posibilitas yang berasal dari pengetahuan posibilitas di dalam pikiran-Nya sebelum ciptaan memiliki eksistensinya. Jadi, kebenaran ada atau ontologis bergantung kepada intelek Tuhan: Tuhan mengetahui ide-ide segala ada sehingga ada–ada ciptaan dapat berpartisipasi ke dalam ada-Nya. Tentu saja ciptaan memiliki relasi real dengan Tuhan tetapi Tuhan tidak memiliki relasi yang real dengan ciptaan. Walaupun tidak memiliki relasi real dengan ciptaan tetapi sebagai Sang Pencipta Tuhan memiliki kedekatan yang paling sempurna kepada ciptaan-ciptaan-Nya. Untuk itu, manusia -ada ciptaan yang tertinggi- yang membuka diri kepada kebenaran ada berarti membuka dan menyerahkan diri kepada Tuhan Sang kebenaran.

Agustinus mengatakan bahwa kebenaran intelek Tuhan adalah satu dan dari intelek Tuhan ditariklah banyak kebenaran yang ditanamkan di dalam intelek manusia sebagaimana wajah seorang manusia yang  terpantulkan di banyak kaca atau di satu kaca yang terpecah-pecah sehingga ada banyak wajah[12]. Dengan mengatakan hal tersebut, Agustinus menunjukkan fakta tentang pluralritas kebenaran ciptaan dalam kaitannya dengan kebenaran intelek Tuhan:

  1. Kebenaran ada (kebenaran ontologis) dikatakan sebagai kebenaran pertama karena segala hal adalah benar oleh karena satu kebenaran pertama yaitu kebenaran intelek Tuhan. Meskipun esensi atau forma hal-hal banyak tetapi kebenaran intelek Tuhan tetap satu. Kebenaran ciptaan selalu di dalam kesesuaian dengan intelek Tuhan sehingga segala yang ada dikatakan benar. Jadi, intelek Tuhan sebagai causa kebenaran ada-ada. walaupun demikian ada-ada juga terkait dengan intelek manusia sebagai efek dalam arti bahwa intelek manusia menerima pengetahuan dari ada-ada. Untuk alasan ini pula ada dikatakan sebagai prinsip kebenaran oleh karena tatanan ada merujuk kepada intelek Tuhan yang mengada lebih dahulu daripada kebenaran intelek manusia[13]. Ada Tuhan adalah kebenaran infinitas itu sendiri yang adalah kesempurnaan simpliciter yang menjadi satu dengan intelek-Nya yang tak terbatas.
  1. Ada-ada juga dapat dikatakan sebagai kebenaran yang kedua dalam kaitannya dengan intelek manusia. Karena adanya konformitas antara ada kepada intelek, tentu saja kebenaran pertama-tama berada di dalam intelek dan yang kedua di dalam ada-ada ketika ada-ada tersebut terkait dengan intelek di mana intelek sebagai prinsip untuk ada-ada tersebut.[14] Jika ada-ada dikatakan sebagai kebenaran yang kedua, konsekuensinya, ada banyak kebenaran untuk banyak ada yang benar bahkan banyak kebenaran di dalam pikiran-pikiran yang berbeda tentang kebenaran satu ada. Jadi, dalam konteks ini kita berbicara tentang kebenaran ciptaan dalam kaitannya dengan intelek manusia. Kebenaran ada-ada sebagai yang mengada di dalam intelek manusia menciptakan ada banyak kebenaran di dalam banyak intelek bahkan di dalam intelek yang satu dan sama, menurut jumlah ada-ada yang diketahui[15].
  1. Pada akhirnya jika kebenaran ontologis dipahami dalam ranah bahwa segala ada adalah benar, konsekuensinya ada banyak kebenaran untuk banyak ada yang benar, tetapi hanya satu kebenaran untuk satu ada yang benar yaitu kebenaran Tuhan[16]. Tetapi hanya melalui cara yang tak langsung dan lewat perantara kita dapat mereduksi banyak kebenaran dari pengetahuan kita untuk sampai kepada satu Kebenaran yang tertinggi dan utama.

Tentang intelek Tuhan, ciptaan dan intelek manusia Thomas menyimpulkannya sebagai berikut:

                Intelek Tuhan menentukan segala ada, tetapi intelek Tuhan tidak ditentukan oleh segala yang   ada –mensurans non mensuratus. Ada-ada natural menentukan pikiran manusia dan ada–ada natural ditentukan oleh pikiran Tuhan –mensurans et mensurata. Intelek manusia ditetapkan   oleh ada-ada tetapi intelek manusia tidak menentukan ada-ada  –mensuratus, non mensurans[17].

Dengan demikian, kebenaran sebagai aspek transendental ada tidak akan diafirmasi dan terbukti jika tidak mengarfimasi Tuhan sebagai Tuhan yang personal dan pencipta.

 

Veritas logica (kebenaran akal budi)

Kebenaran melibatkan akal budi. Ada adalah apa yang ada dan ada diketahuai karena akal budi. Di sini ada kebenaran yaitu kebenaran akal budi. Kebenaran akal budi manusia atau kebenaran logika dapat didefinisikan sebagai kesesuaian (konformitas) intelek dengan (kepada) realitas: “adeguatio intellectus ad rem[18]. Konformitas intelek dengan ada didasarkan pada esse intelek dan esse hal-hal bukan pada esensi hal-hal maupun esensi intelek. Kemampuan akan konformitas bersumber dari esse dari ada-ada yang diketahui (jika esse itu tidak mengada maka ada-ada tidak dapat dipahami) dan dari esse intelek (ada-ada yang tidak dianugerahi intelek tidak memiliki pengetahuan intelektual).

Intelek manusia itu sendiri selalu mengarah menuju kepada kebenaran karena intelek manusia memiliki kapasitas untuk mengetahui ada sebagai ada. Pengetahuan dari indra-indra dan konsep pengetahuan yang dibentuk oleh intelek menangkap dan mempresentasikan realitas. Di sini harus ada kebenaran. Artinya ada kebenaran antara natura aksi pengetahuan sendiri (kebenaran akal budi) dan kebenaran dari suatu ada tertentu (kebenaran ontologis). Kita menyatakan dengan benar bahwa Neymar sedang berlari jika memang Neymar sedang berlari, penilaian ini akan salah jika ternyata Neymar sedang berdiri. Dalam contoh di atas, akal budi kita tidak hanya mengatakan tentang fakta dan hal, tetapi juga mengetahui fakta dan hal sebagai adanya.

Maka, ekspresi linguistik veritas logica adalah preposisi, meskipun tidak setiap preposisi selalu menjadi bagian dari veritas logica. Sebab preposisi-preposisi dapat berupa pertanyaan, harapan ataupun perintah yang tidak berisi afirmasi atau negasi terhadap realitas sementara veritas logica memastikan afirmasi dan negasi. Preposisi adalah suatu frase yang menegaskan (mengafirmasi) atau menyangkal sesuatu sebagai sesuatu. Bagaimana veritas logica ini terjadi? Ada tiga elemen yang membentuk terjadinya veritas logica:

 

  1. Relasi konformitas

Sebagaimana dikatakan bahwa veritas logica adalah kesesuaian intelek pada hal (adeguatio intellectus ad rem). Maka, veritas logica pertama-tama adalah relasi konformitas dua forma dari realitas yang unik: forma ontologis (dibentuk dari obyek) dan forma logika (dibentuk oleh pikiran yang bersumber dari obyek). Kedua forma tersebut identik atau kiranya terjadi konformitas di antara keduanya namun berbeda di dalam cara mengada: forma pertama: ontologis-material-individual sedangkan forma kedua: logika-spiritual- universal.  Jadi, forma ontologi adalah obyek sementara forma logika adalah subyek.

Baik forma ontologi dan forma logika saling berelasi membentuk pengetahuan di dalam intelek. Forma ontologi membentuk ada substansial yang unik (pohon ini), sementara forma logika juga menghasilkan ada substansial tetapi bedanya adalah forma logika menambahkan suatu ada aksidental dengan qualitas pengetahuan (aku berubah menjadi aku yang mengetahui pohon). Di sini terjadilah relasi non-mutual. Relasi hanya mengada di dalam intelek, bukan di dalam hal karena melalui relasi dengan hal intelek berubah menjadi intelek yang mengetahui. Relasi ini bersifat real karena intelek berubah menjadi intelek yang mengetahui. Sesudah aku membaca sebuah buku, buku tetap demikian adanya secara ontologis tetapi aku sebaliknya masuk ke dalam relasi dengan buku sehingga aku berubah menjadi aku yang mengetahui isi buku. Dalam konteks ini, kesesuaian berarti kesesuaian antara forma logica yang mengada di dalam intelek dengan forma ontologica yang berada di dalam hal. Dari kesesuaian forma logika dan forma ontologis di dalam intelek, lahir dan terjadilah konformitas kebenaran material, kebenaran formal dan kebenaran intelektual. Kebenaran material adalah kebenaran yang dipertimbangkan dari dirinya sendiri. Kebenaran formal adalah kebenaran yang disadari; intelek dengan tindakan refleksinya memiliki kesadaran. Kebenaran intelektual adalah suatu kondisi akan pengetahuan kebenaran karenanya adanya kesadaran; kebenaran intelektual berasal dari kebenaran itu sendiri atau dari kebenaran formal. Buahnya adalah kita mengatakan hal ini sesuai (kebenaran) atau hal ini tidak sesuai. Dengan demikian pengetahuan bukanlah suatu produksi pasif yang sederhana tetapi merupakan suatu partisipasi aktif intelek yang meninggikan, mengangkat secara langsung hal-hal yang diketahui.

  1. Intelek yang mengetahui

 Telah dikatakan bahwa kebenaran berada di dalam intelek manusia yang mengetahui, tetapi pertanyaan selanjutnya bahwa kebenaran terletak di dalam operasi intelek yang manakah: apakah di dalam konsep atau abstraksi yang merupakan operasi intelek[19] yang pertama, apakah di dalam penilaian (judgement) yang merupakan operasi intelek yang kedua, apakah di dalam pertimbangan (reasoning) yang merupakan operasi intelek yang ketiga? Untuk menjawabnya perlulah membedakan tiga macam aktivitas mengetahui: yang pertama sekedar mengetahui: berpikir tentang satu konsep tunggal (mawar atau indah); yang kedua, kesadaran mengetahui: menyebutkan penilaian logis (mawar itu indah), dan yang ketiga adalah mengetahui kesesuaian antara pengetahuan dengan realitas yang diketahui secara tepat dan benar: pada aktivitas yang ketiga ini terjadi konfrontasi antara pengetahuan dengan realitas yang diketahui. Melihat ketiga aktivitas ini, maka kebenaran berada di dalam aktivitas yang ketiga. Konfrontasi yang terjadi pada aktivitas mengetahui yang ketiga dapat dikatakan sebagai penilaian (judgement) yang merupakan operasi intelek yang kedua. Penilaian (judgement) yang benar didasarkan pada bukti (evidensi). Penilaian kita merefleksikan kesesuaian apa yang ada di dalam intelek dengan realitas dengan cara mengafirmasinya atau menyangkalnya. Mekanisme penilaian intelek menunjukkan bahwa penilaian akan kebenaran terdiri dari menyusun dan memisahkan dengan cara afirmasi atau negasi[20]. Intelek yang mengenali adalah intelek yang melakukan penilaian entah menyusun atau memisahkan dan pada saat yang bersamaan merefleksikan penilaiannya dengan cara afirmasi atau negasi. Aku mengafirmasi bahwa mawar itu di taman kota memang indah atau aku menolak bahwa mawar di taman kota itu indah. Jadi kebenaran berdiam di dalam intelek yang menyusun dan membagi; kebenaran bukan berada di dalam indra ataupun di dalam intelek yang hanya sekedar mengetahui apa ini.[21]

Judgement bukanlah preposisi sederhana yang menyatakan data realitas (misalnya mawar di taman kota indah) tetapi adalah penilaian eksistensial yang merefleksikan dua terminus: penilaian logika intelek yang mengetahui dan hal-hal yang diketahui: jika mawar yang ada di taman kota sungguh indah dan intelekku menilai demikian maka di antara penilaianku dan mawar konkret ada kesesuaian yang sempurna sehingga itulah kebenaran.

Dalam kesesuaian itu terdapat dua penilaian (judgement): yang pertama, penilaian langsung yang mengafirmasi kebenaran sesuatu hal (mawar itu indah) dan yang kedua, penilaian yang merefleksikan kebenaran yang dinyatakan oleh penilaian yang pertama. Jadi, ada kesesuaian antara afirmasi sebelumnya (penilaian logika) dan realitas atau hal-hal yang telah diafirmasi; kesesuaian antara intelek kepada hal.

Kesesuaian intelek pada hal disebabkan adanya kesamaan intelek dengan hal yang dikenali. Bagaimana terjadinya kesamaan tersebut dan apakah yang dimaksud dengan kesamaan?

Terjadinya kesamaan karena adanya species kognitif yang adalah forma hal-hal yang hadir untuk mempunyai eksistensi baru, di luar hal-hal itu sendiri yaitu di dalam intelek yang menerima[22]. Jelasnya sebagai berikut:

Species kognitif (forma hal) memiliki content yang dapat diketahui karena hal mengkomunikasikan dirinya. Misalnya api, species kognitif api bukanlah hal yang sama dengan material api dan bukan pula pada level hal-hal material konkret, tetapi spesies kognitif adalah komunikasi diri dari hal (api) dalam cara sedemikian rupa sehingga kognitif species tak lain merupakan suatu komunikasi akan isi-isi yang menetapkan fakultas pemahaman[23].

Berkat species kognitif, indra-indra dan intelek (pada level pertama dari operasi intelek) menerima isi-isi yang dipersepsikan oleh indra dan intelek sebagai hadiah artinya intelek tidak memproduksi isi-isi tetapi hanya sekedar menerima. Intelek tidak menambahkan apa pun terhadap content yang diterimanya tetapi intelek hanya memberikan suatu modus ada yang berbeda terhadap content yang mengaktual di dalam hal-hal. Modus itu adalah bahwa intelek hanya menyesuaikan (konformitas) kepada hal yang diketahui secara aksidental dengan cara berpartisipasi di dalam esse hal melalui cara yang unik yang disebut intensional ada baru. Intensional ada baru berarti bahwa segala yang diterima, selalu diterima menurut cara sang penerima.

Intensional ada baru membuat intelek mempresentasikan esensi hal dengan suatu cara yang sungguh unik yaitu kehadiran hal di dalam subjek yang mengetahui. Artinya bahwa di dalam fakultas kognitif subjek ada kesamaan antara species kognitif dan intelek. Kesamaan species kognitif kepada intelek bukanlah suatu gambaran primitif ataupun suatu tatanan quantitatif dan cukup berbeda dengan suatu foto[24]. Maksudnya, kesamaan kognitif spesies pada intelek melampaui segala kesamaan quantitatif karena hal-hal mengkomunikasikan dirinya sehingga pengetahuan kita identik dengan hal yang dapat diketahui. Selanjutnya kesamaan membuat subjek yang mengetahui berkontak dengan apa yang ada di luar subjek. Kontak tersebut tak lain adalah abstraksi sehingga terbentuk pemahaman yang sederhana yang merupakan operasi intelek pertama. Tetapi, pemahaman tersebut tidak memuat penilaian: tidak benar dan tidak salah[25]. Memang suatu pengetahuan tetapi bukanlah kebenaran. Ketika intelek mengabstrasikan esensi misalnya manusia adalah binatang berakal budi, intelek memiliki suatu gambaran manusia tetapi intelek tidak menilai bahwa manusia adalah binatang berakal budi.

Selanjutnya terjadi operasi intelek yang kedua yaitu intelek yang menilai (judgement). Pada kinerja intelek yang kedua tersebut intelek tidak hanya memiliki gambaran hal-hal yang dikenali tetapi juga merefleksikan gambaran ini dengan cara menyusunnya dan memisahkannya lewat afirmasi dan negasi.  Konsekuensinya, ada forma logika (akal budi) yang didapatkan dengan mengenali hal-hal sehingga ada kesamaan antara forma logika dan forma hal-hal. Semenjak ada kesamaan antara forma logika dan forma hal-hal, kebenaran material terbentuk dan terdefinisikan: kesesuaian (forma logica) intelek dengan (forma ontologis) hal-hal. Kemudian, pada saat intelek mengenali dan menyadari persesuaian tersebut yaitu terbentuklah kebenaran formal: hal dalam forma ontologi adalah demikian adanya di dalam forma logika yang diterima intelek dari hal yang sama. Sekarang di dalam penilaian, intelek mengenali dan menyatakan kebenaran. Dengan menyatakan kebenaran berarti bahwa kesempurnaan intelek adalah mendapatkan kebenaran yang dikenali.

Thomas menegaskan kesempurnaan intelek yaitu bahwa hal-hal tidak akan diketahui, jika hal-hal tersebut memang berkarakter tidak dapat diketahui, tetapi intelek dapat mengetahui hal-hal tanpa perlu mengetahui kemampuan mengetahui dari hal-hal tersebut[26]. Dalam konteks ini intelek menetapkan, membentuk dan membangun hal-hal yaitu sebagai intelek yang mengetahui.

  1. Dengan realitas yang diketahui

Konsep benar pada dasarnya menyatakan suatu relasi intelek pada hal: veritas logica (kebenaran akal budi). Veritas logica menunjukkan makna dan intelegibilitas segala ada atau realitas. Realitas mengacu kepada eksistensi. Maka realitas di sini adalah segala yang dapat diketahui oleh intelek.

Realitas yang diafirmasi ataupun disangkal oleh intelek yang mengetahui mencakup ada real (aktual dan possibilis), ens rationis, dan juga non-ada itu sendiri. Segala ada bahkan non-ada memiliki fondasi kepada eksistensi.  Eksistensi berarti bahwa realitas yang menentukan, mengkondisikan, dan menjadi model bagi intelek haruslah menjadi realitas yang dipahami sebagai realitas yang mengada. Fondasi dari kebenaran akal budi adalah eksistensi hal-hal yang diketahui. Mau tak mau, eksistensi intelek itu tergantung kepada eksitensi hal-hal dan ketergantungannya dalam wujud entitas logika; dan bukan tergantung kepada esensi hal yang diketahui karena esensi hanya merupakan kehadiran representatif di dalam intelek lewat abstraksi. Eksistensi itu sendiri bersinonim dengan esse karena nama ens itu sendiri berasal dari eksistensi[27]. Di dalam penilaian yang mana intelek mempersepsikan eksistensi ada sebagaimana adanya melalui suatu asimilasi terhadap ada, terbangunlah suatu hubungan kesesuaian dan di dalam kesesuaian tersebut berdiamlah kebenaran. Jelas, tanpa eksistensi kebenaran tidak pernah ada. Dalam veritas logica eksistensi hal-hal adalah causa eksemplar bagi intelek atau causa kebenaran preposisi yang ada di dalam intelek sehingga membuat kebenaran berdiam di dalam intelek.

Veritas logica menunjukkan eksistensi kebenaran.  Oleh karena suatu evidensi bahwa ada itu mengada, maka demikian juga bahwa eksistensi kebenaran merupakan suatu evidensi. Akal budi menyempurnakan realitas karena akal budi menjadikan kebenaran realitas terakses dan makna intelegibilitasnya serta pesan-pesan diketahui dan terpahami.

 

Veritas ontologica & veritas logica: perbedaannya

Kita dapat melihat perbedaan antara veritas ontologica dan veritas logica. Pada veritas ontologica ada dan kebenaran saling bertukar-alih, bertepatan, sementara pada veritas logica, ada dan kebenaran terpisah[28]. Sebabnya adalah bahwa di dalam hal-hal terdapat eksistensi ontologis, esensial; sementara pada intelek terdapat eksistensi logika dan aksidental.

Veritas

Adeguatio rei et intellectus

     Veritas ontologica:                                                                                                                     veritas logica:

Adeguatio rei ad intellectus                                                                                                     Adeguatio intellectus ad rem

Relasi akal budi                                                                                                                 Relasi real

Karena ada tidak mendapat relasi baru ketika dipahami oleh akal budi   Karena akal budi mendapat relasi dan pengetahuan ketika terjadi konformitas dengan ada

 

Perubahan dan kebenaran

Apakah kebenaran itu berubah?

Dalam veritas logica dikatakan bahwa kebenaran berada di dalam intelek. Veritas logica terjadi ketika ada kesesuaian intelek terhadap hal. Karena berkaitan dengan intelek maka veritas logica berubah[29].  Mengapa?

Kadang kala kita mengubah pandangan kita akan sesuatu hal untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih baik. Kadang kala kita juga memiliki opini yang sama tentang suatu hal walaupun hal tersebut berubah. Akibatnya, intelek kita mendapatkan bermacam-macam pengetahuan. Bermacam-macam pengetahuan menunjukkan bahwa di dalam intelek kita terdapat variasi kebenaran karena adanya perubahan opini tentang hal-hal itu sendiri yang mana sebenarnya mereka berubah ataupun tidak berubah sama sekali. Kebenaran preposisi yang ada di dalam intelek manusia tidak tetap. Di sini jelas bahwa veritas logica berubah sebab kebenaran intelek berubah. Kebenaran intelek berubah bukan karena intelek adalah subjek perubahan tetapi karena intelek dapat berubah dari benar menjadi salah.[30] Jika faktanya Valdes berdiri tetapi penilaian kita menegaskan bahwa Valdes duduk maka tidak ada lagi kebenaran.  Karena berubah, maka veritas logica bersifat tidak kekal.

Apakah kebenaran ontologis (veritas ontologica) juga berubah? Kenyataannya, hal-hal berubah dan tidak berubah. Yang tidak berubah adalah esensinya. Selama hal-hal itu mengada, tidak ada perubahan esensial yang terjadi. Maka, penilaian yang benar akan esensi ada merupakan kebenaran yang tidak berubah. Perubahan berkaitan dengan aksiden-aksiden. Yang berubah dalam hal-hal berkaitan dengan aksidentalnya dan cara mengadanya tetapi esensi mereka tidak berubah. Valdes berdiri, Valdes duduk, Valdes menjadi sakit tetapi Valdes tetaplah manusia (esensinya). Ketidakberubahan kebenaran ontologis didasarkan pada ketidakberubahan ada[31]. Kebenaran tidak berubah sebagaimana ada tidak berubah. Konsekuensinya jika ada binasa maka kebenaran juga hilang.

Kebenaran ontologis tidak kekal. Bagaimana mungkin kebenaran ontologis tidak kekal padahal kebenaran ontologis disebabkan oleh intelek Tuhan yang kekal karena di mana ada causa yang sama ada pula efek yang sama? Segala yang ada dapat binasa; ada ciptaan hanya berpartisipai kepada Ipsum esse subsistens. Maka, ciptaan tidak abadi; tidak ada yang kekal di dalam ada ciptaan sehingga kebenaran ontologis tidak kekal meskipun Tuhan sendiri merupakan causa eksemplar bagi kebenaran ada-ada ciptaan[32]. Hanya ada satu kebenaran kekal yaitu kebenaran intelek Tuhan karena kebenaran intelek Tuhan adalah Tuhan sendiri dan kebenaran intelek Tuhanlah yang memiliki keabadian[33]. Tentu saja hanya di dalam Tuhan kebenaran hadir dari keabadian.

  

Kesimpulan

Kata Aulus Gellius “Kebenaran adalah putri sebuah zaman”[34]. Kebenaran membuat manusia selalu jatuh cinta dan mencintainya. Mencintainya berarti ada suatu sukacita yang nyata tetapi juga tersembunyi sekaligus kegelisahan, kebebasan dan menghukum. Tersembunyi karena tidak semua menerima kebenaran dan kebenaran menyatakan diri di dalam keheningan, secara rahasia dan bahkan di dalam kegelapan. Kegelisahan karena kebenaran selalu mendorong kodrat manusia untuk mencari, bergulat dan memperdalam kebenaran. Membebaskan karena kebenaran menyinari dan membawa kepada kesejatian; menghukum karena menolak kebenaran mengantar kepada kegelapan.

Pada akhirnya, kebenaran menunjukkan suatu kesempurnaan suatu natura dan kesalahan menunjukkan kecacatan suatu natura. Esensi kebenaran yang tergali lewat metafisika berasal dari kebenaran atau pengetahuan dan pernyataan-pertanyaan akan kebenaran itu sendiri.

[1] Aristotele, Metafisica, I, 1, 980 a, 19

[2] Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.16

[3] Ibid., De Veritate, q.10, a.12, ad.3

[4] Agustinus, De Vera Religione, XXXVI

[5] Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.16, a.3, ad.1

[6] Ibid., De Potentia, 2,1

[7]  Ibid., De veritate, q.1, a. 6

[8]  Ibid., Expositio in librum De Causis, prop.6, n.168: “Ipsa actualitas rei est quoddam lumen ipsius.

[9]  Ibid., De Veritate, q.1,a.2

[10] Ibid, q.1,a.2. Dikatakan kebenaran esensial karena berkaitan dengan esensi ada yaitu cara mengada ada.

[11] Ibid.

[12] Ibid., q.10, a.11, ad.12

[13] Ibid., q.1, a.4

[14] Ibid., Summa Theologiae, q.16, a.1

[15] Ibid., q.16, a.6

[16] Ibid., De Veritate, q.1, a.4

[17] Ibid., q.1, a.2

[18] Ibid., Summa Theologiae, I, q.16, a.1

[19] Ada tiga operasi di dalam intelek: operasi intelek yang pertama (prima operatio intellectus) adalah pemahaman sederhana (simplex apprehensio). Simplex apprehensio dapat diartikan sebagai operasi intelek yang dengan operasi tersebut intelek memahami suatu esensi tanpa mengafirmasi atau menolaknya. Operasi intelek tersebut disebut dengan abstraksi. Abstraksi itu sendiri dapat diartikan sebagai operasi intelek yang mempertimbangkan sesuatu hal tanpa mempertimbangkan hal yang lain berdasarkan kesatuan di dalam realitas. Konsep dan gagasan termasuk operasi intelek yang pertama. Operasi intelek yang kedua (secunda operatio intellectus) adalah penilaian (iudicium): aksi intelek yang menyusun dan memisahkan dengan cara mengafirmasi atau menyangkal. Yang termasuk operasi intelek yang kedua antara lain: preposisi, divisi. Operasi intelek yang ketiga (tertia operatio intellectus) adalah pertimbangan (ratiocinium) aksi pikiran yang dengan aksi tersebut ketepatan atau ketidaktepatan dua gagasan (ide) disimpulkan oleh proporsi yang dimiliki kedua gagasan tersebut dengan merujuk kepada gagasan yang ketiga. Yang termasuk operasi intelek yang ketiga antara lain: demonstrasi, silogisme, argumentasi.

[20] Ibid., Summa Theologiae, I, q.16, a.2

[21] Ibid

[22] E. Bruno Porcelloni, Filosofia Della Conoscenza (Roma: Urbaniana University Press, 1996) hal 60

[23] Leo J. Elder, The Metaphysics of Thomas Aquinas In A Historical Perspective (Leiden: E.J Brill, 1993) hal 109

[24] Ibid., hal 108

[25]  Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.16, a.2

[26]  Ibid.

[27] Karena esse sama dengan eksistensi, maka esse ada adalah causa veritas logica

[28] E. Bruno Porcelloni, op.cit., hal 68

[29] Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, q.16, a.7

[30] Ibid., I, q. 16, a.8

[31] E. Bruno Porcelloni, op.cit., hal 176

[32] Ibid., Summa Theologiae,I, q.16, a.7

[33] Bdk. Ibid., I, q.16, a.7

[34]Aulus Gellius, (Noctes Att.12,11,7)

Copyright © 2017 ducksophia.com. All Rights Reserved

Author: Duckjesui

lulus dari universitas ducksophia di kota Bebek. Kwek kwek kwak

Leave a Reply