Lukisan Fritz Thaulow, Cottage by River, 1900
“Manusia tidak menemukan kebenaran di dalam hal-hal, tetapi justru penemuan-penemuannya membangun kebenaran.Oleh sebab itu, eksistensi manusia (Dasein) juga memproyeksikan kebaikan pada hal-hal”.
Martin Heiddeger
Ada dan Kebaikan
Kebaikan ada dibangun oleh esse (act of being) dan eksistensi. Dalam kaitannya dengan esse, sejauh esse itu aktual maka kebaikan juga aktual, sejauh esse itu potensial maka kebaikan juga potensial, sejauh esse itu partisipatif maka juga kebaikan partisipatif. Eksistensi ada menunjukkan esensi kebaikan. Tidak mungkin suatu ada tidak memiliki eksistensi; demikian pula terdapat keniscayaan bahwa segala yang ada adalah baik karena memiliki eksistensi; tidak ada kebaikan yang tidak memiliki ada. Segala yang ada adalah baik karena esse dan cara mengadanya (eksistensinya) bersesuaian dengan esse.
Maka, kebaikan mewarnai dan melingkupi kehidupan. Kita menyebut sesuatu itu baik dalam tataran bahwa sesuatu mengarah kepada kesempurnaan atau memenuhi tujuan. Misalnya: ketika segala sesuatunya berjalan sesuai dengan yang kita harapkan maka kita berkata bahwa itu baik; ketika alat-alat yang dipakai berfungsi maka kita berkata bahwa alat itu baik. Kita juga mengatakan orang yang baik, kesehatan yang baik, hidup yang baik, moral yang baik, budaya yang baik. Kebaikan dapat dideskripsikan dan dirasakan dari akibatnya (efeknya). Melihat kenyataan ini, jelas bahwa kebaikan dipredikatkan kepada segala yang ada tetapi bukan di dalam arti yang sama melainkan secara analogi.
Segala yang ada atau ada sebagai yang ada adalah baik. Segala yang baik pun adalah ada. Melihat kenyataan yang demikian terbuktilah bahwa ada dan kebaikan dapat bertukar alih: ens et bonum convertuntur. Ada dan kebaikan adalah hal yang sama tetapi berbeda di dalam konsep atau ide. Kebaikan merupakan aspek atau properti yang ditambahkan kepada ada. Maksudnya, kebaikan menghadirkan dan mempresentasikan aspek yang dihasratkan yang tidak dinyatakan oleh gagasan ada itu sendiri. Namun, kebaikan dibangun di atas ada, bersumber dari ada, kembali pula kepada ada karena kebaikan membuat ada semakin ada. Maka ada memiliki kebaikan secara formal sekaligus ens et bonum convertuntur adalah benar.
Ens et bonum convertuntur menyatakan pula bahwa kebaikan adalah suatu keberadaan, suatu cara, suatu eksistensi yang selalu mengikuti ada sehingga kebaikan ada di dalam kesepuluh kategori ada. Konsekuensinya kebaikan tidak dapat menjadi suatu cara determinatif ada karena ens et bonum convertuntur menyatakan bahwa kebaikan ada adalah transendental.
Kebaikan adalah ada sejauh dihasratkan
Esensi kebaikan adalah kebaikan selalu dihasratkan, kebaikan adalah apa yang dihasratkan (quod omnia appetunt). Tetapi kebaikan itu tidak sama dengan hasrat karena kebaikan adalah objek dari hasrat bukan hasrat itu sendiri[1]. Kebaikan itu berkaitan fakultas kehendak manusia (potenza appettitiva).
Sesuatu itu dihasratkan sejauh sesuatu itu sempurna atau memiliki kesempurnaan sebab segala hasrat bergerak dan menginginkan kesempurnaan. Segala sesuatu itu sempurna karena aktual. Sesuatu itu aktual karena memiliki esse. Jadi, tidak ada sesuatu pun yang dihasratkan selain ada itu sendiri dan konsekuensinya tidak ada yang baik selain ada. Kebaikan dalam tataran tertentu dihasratkan ketika masih di dalam potensi sehingga dalam konteks ini kita dapat mengatakan bahwa kebaikan dihasratkan bahkan ketika kebaikan itu belum menjadi ada. Sebagai contoh: kehadiran anak sudah dihasratkan oleh orang tua sebelum anak itu ada.
Ada itu sendiri membuka dan memberikan dirinya kepada manusia; kodrat manusia mendorong dirinya untuk menerima dan mencintai ada. Maka, kebaikan ada itu tergantung kepada esse bukan kepada hasrat manusia. Segala yang ada itu baik bukan karena manusia menghasratkan ada tetapi kita menghasratkan segala yang ada karena ada adalah baik, sempurna atau karena ada itu sendiri. Oleh karena itu, manusia bertendensi untuk memilih hal-hal yang lebih sempurna atau instrumen yang lebih baik untuk tujuan tertentu. Ada tingkatan kebaikan dan pada akhirnya kebaikan merupakan causa final dari hasrat manusia.
Kebaikan dan kesempurnaan
Jelaslah bahwa sesuatu dihasratkan karena memiliki kesempurnaan. Kesempurnaan ada terjadi karena segala yang ada bergerak dan menuju kepada kesempurnaan karena kesempurnaan menyingkapkan hasrat dan kebaikan. Segala sesuatu itu sempurna karena mengaktual (in quantum est actu). Sesuatu mengaktual karena esse. Akibatnya, melalui esse aktivitas mengada (eksistensi) membangun kesempurnaan yang pertama dari ada. Kesempurnaan mensyaratkan unitas: semakin sesuatu memiliki kesatuan yang utuh, semakin sesuatu itu sempurna. Maka, kesempurnaan adalah kelengkapan yang utuh dari natura ciptaan sehingga tercipta kebaikan. Kesempurnaan merupakan kepenuhan ada yang disyaratkan oleh ada agar menjadi yang terbaik. Tentu kesempurnaan bisa merupakan kesempurnaan keseluruhan maupun bagian, kesehatan yang sempurna berarti keseluruhan kesempurnaan, mata yang sempurna berarti kesempurnaan yang parsial. Kesempurnaan juga bisa murni ataupun bercampur, misalnya hidup adalah kesempurnaan yang murni, bercampur karena tidak seutuhnya tidak sempurna, misalnya kemampuan berpikir: selagi merupakan aktivitas mengagumkan tetapi juga tidak sempurna karena kemampuan kita berpikir terbatas sehingga kita tidak mengetahui realitas secara sempurna. Apapun kesempurnaan, yang pasti karena kebaikan suatu kesempurnaan hadir sedemikan rupa secara formal; suatu kesempurnaan hadir secara real dan nyata, bahkan suatu kesempurnaan yang hadir di dalam cara yang mentransenden pengalamaan ciptaan sungguh ada. Menurut Aristoteles dan Thomas kesempurnaan itu terdiri dari empat hal[2]:
- Menurut dimensinya (quantitas continua) misalnya: bunga mawar itu sempurna karena daun bunganya proporsional secara alami.
- Menurut kekuatan-kekuatan operatifnya (quantitas virtutis): kecepatan lari seekor kuda sempurna.
- Pencapaian akan tujuan akhirnya (consecutio finis): manusia yang mencapai kebijaksanaan adalah sempurna.
- Terakhir, sesuatu dikatakan sempurna jika mampu menyempurnakan ada-ada yang lain. Di sini kebaikan kiranya mengkomunikasikan dan menyempurnakan kebaikan-kebaikan yang lain.
Maka, ada tiga makna kebaikan dalam kaitannya dengan kesempurnaan:
- Segala yang ada adalah baik (omnia ens est bonum): fakta ini disebut sebagai ontologi kebaikan atau properti transendental ada. Jadi ada sejauh memiliki esse memiliki kesempurnaan dan karena memiliki kesempurnaan pasti memiliki kebaikan sehingga kebaikan pun menunjukkan kesempurnaan.
- Itu yang mencapai tujuannya adalah baik. Kenyataan ini merupakan arti yang penuh tentang apa itu kebaikan. Sebagai contoh kita mengatakan Michael Phelps adalah seorang perenang yang baik. Perenang dikatakan baik ketika dia berenang dengan cepat. Tujuan akhir dari perenang adalah mencapai finis dan setelah mencapai finis dalam hitungan waktu dan kecepatan tertentu, maka pencapaian finis menambahkan kebaikan si perenang karena pencapaian tersebut menyempurnakan dirinya. Dalam kehidupan moral, seorang manusia dikatakan baik ketika dia mengarahkan dirinya kepada tujuan akhir (Tuhan) melalui keutamaan moral. Kebaikan juga merupakan pencapaian akan tujuan imanen yang terjadi melalui perolehan kesempurnaan-kesempurnaan yang sesuai dengan natura yaitu quantitas continua dan quantitas virtutis. Maka, tujuan imanen seorang anak adalah pertumbuhan fisik yang sesuai untuk menjadi seorang dewasa (quantitas continua); dalam konteks ini kita mengatakan bahwa seorang dewasa lebih sempurna daripada seorang anak. Hal yang sama pula terjadi di dalam quantitatis virtutis, misalnya kita menyebut seorang pengrajin yang baik karena kemampuan untuk menciptakan kerajinan yang indah dan kreativitasnya[3].
- Bonum est diffusivum sui (Kebaikan menyebarkan dirinya). Dalam hubungannya dengan kesempurnaan, kebaikan memiliki kapasitas untuk menyempurnakan hal lain. Suatu ada yang sempurna menyebarkan dan membagikan kebaikannya kepada ada-ada yang lain karena kesempurnaannya.
Kesempurnaan itu sendiri menyangkut kebaikan dan kebenaran: kebaikan menyempurnakan kehendak; kebenaran menyempurnakan akal budi. Selanjutnya, karena ada-ada itu sendiri berada di dalam tatanan (order) maka timbullah pertanyaan metafisika manakah yang lebih dahulu antara kebenaran dan kebaikan dalam konteks kesempurnaan?
Menurut Thomas, tatanan kesempurnaan dapat dilihat dalam dua sudut[4]:
- Dari sudut kesempurnaan:
Jika kebenaran dan kebaikan dipertimbangkan secara per se, maka kebenaran lebih dahulu (prius) daripada kebaikan dalam hal makna (arti). Bagaimana hal ini terjadi? Kebenaran menyempurnakan ada secara spesifik, sedangkan kebaikan menyempurnakan ada tidak secara spesifik tetapi menurut eksistensi yang dimiliki ada di dalam realitas. Konsekuensinya karakter kebaikan mencakup lebih banyak gagasan daripada kebenaran tetapi kebaikan ditetapkan oleh karakter kebenaran yang ditambahkan kepada karakter kebaikan. Maka, kebenaran menyempurnakan esensi ada sementara kebaikan menyempurnakan ada baik esensinya maupun eksistensinya. Akibatnya, kebaikan mensyaratkan kebenaran, tetapi kebenaran mensyaratkan satu (unum) karena gagasan kebenaran tercipta oleh pemahaman akal budi. Sesuatu bersifat intelligible dan dipahami oleh akal budi karena satu (unum) sehingga tanpa satu tak seorang pun dapat memahami. Maka skema suksesinya adalah sebagai berikut: sesudah ada adalah satu, sesudah satu adalah kebenaran, dan sesudah kebenaran adalah kebaikan[5].
Pengetahuan secara natural mendahului hasrat. Kebenaran terkait dengan pengetahuan sementara kebaikan dengan hasrat, maka kebenaran lebih dahulu daripada kebaikan secara natura karena pemahaman selalu mendahului hasrat. Jadi dalam proses pengetahauan kebenaran serentak bersama ada sementara kebaikan mengikuti ada.
- Dari ada-ada yang disempurnakan[6]
Jika tatanan antara kebenaran dan kebaikan dilihat ada yang disempurnakan, yang terjadi sebaliknya: kebaikan secara natura lebih dahulu daripada kebenaran. Ada dua alasan yang menjelaskan:
- Kesempurnaan kebaikan memiliki extensi yang lebih luas daripada kebenaran. Kebenaran menyempurnakan ada-ada per se menurut karakter formal ada tetapi bukan berdasarkan karakter eksistensialnya. Berkat karakter formal yang disempurnakan oleh kebenaran, ada-ada menerima sesuatu secara immaterial dan memiliki kekuatan pengetahuan (pemahaman). Misalnya species sebuah batu secara formal berada di dalam akal budi tetapi berdasarkan act of existing species batu berada di dalam batu. Kebaikan menyempurnakan ada-ada per se baik secara spesifik maupun secara eksistensi, akibatnya, ada-ada menerima sesuatu secara material dari esse. Berdasarkan ekistensinya, segala hal mencari kebaikan tetapi tidak segalanya mengetahui kebenaran.
- Hal-hal kiranya mampu disempurnakan baik oleh kebenaran dan kebaikan tetapi kebaikan menduhului kebenaran. Mengapa? Faktanya bahwa ketika hal-hal berbagi di dalam esse, hal-hal disempurnakan oleh kebaikan; tetapi ketika hal-hal bersifat intelligibile atau dapat dipahami hal-hal disempurnakan oleh kebenaran. Kebaikan berasal dari eksistensi sementara pengetahuan mengikuti atau merupakan kelanjutan dari eksistensi. Maka kebaikan mendahului kebenaran.
Kesimpulannya ada disempurnankan baik oleh kebaikan dan kebenaran. Karena kebenaran dalam tatanan tertentu adalah kebaikan dan demikian pula bahwa kebaikan adalah kebenaran. Ini adalah sama dengan intelek dan kehendak yang dibedakan menurut distingsi antara kebaikan dan kebenaran. Jadi terdapat relasi penyempurna menuju kepada suatu kesempurnaan yang diverifikasi oleh kebaikan atau kebenaran. Akal budi disempurnakan oleh kebenaran tetapi setiap ada real disempurnakan oleh kebaikan.
Esensi kebaikan di dalam modus, species dan tatanan (order)
Menurut Thomas, esensi kebaikan segala hal itu mencakup dan melingkupi modus, species dan tatanan atau tingkatan (order). Apa artinya?
- Sesuatu hal dikatakan sempurna dan baik karena memiliki forma. Forma itu meminta dan mensyaratkan determinasi dari prinsip-prinsip material dan causa efisien. Determinasi ditunjukkan oleh modus. Forma itu sendiri ditunjukkan oleh species karena segala sesuatu yang diklasifikasikan di dalam species-speciesnya terjadi lewat forma-formanya. Berkaitan dengan tendensi menuju kepada tujuan, maka segala sesuatu berada dalam ranah tindakan. Tindakan itu memiliki tendensi sesuai dengan formanya sehingga kesesuaian ini merupakan ranah dari tatanan (order). Dengan demikian ada hubungan erat antara modus, species dan tatanan (order). Hubungan ketiga hal ini menunjukkan bahwa esensi kebaikan mencakup ketiga hal tersebut.
- Segala ciptaan mengarah dan berorientasi kepada Tuhan. Ciptaan dikatakan baik karena orientasinya kepada Tuhan. Maka ada tiga hal yang menjadi syarat agar ciptaan dapat dikatakan baik: ciptaan itu mengada, ciptaan itu dikenali dan ciptaan itu memiliki orientasi[7]. Sesuatu mengada karena modus, sesuatu dikenali karena speciesnya dan sesuatu berorientasi karena tatanan (order). Maksudnya, berkat species sesuatu memiliki karakter yang spesifik; modus sesuatu hal ada karena adanya esse dan sesuatu berada di dalam order karena statusnya sebagai sesuatu yang memiliki dan bergerak menuju kepada kesempurnaan[8]. Maka esensi kebaikan pun menjangkau modus, species dan order.
Modus, species dan order dikatakan sebagai ada dan baik bukan karena subsistent,tetapi karena melalui ketiga hal tersebut hal-hal yang lain menjadi ada dan baik. Ketiga hal tersebut menetapkan dan membangun kebaikan hal yang lain. Sebagai contoh kehitaman, kehitaman bukan dikatakan sebagai suatu ada yang disebabkan oleh segala sesuatu yang lain; tetapi karena bahwa melalui kehitaman, sesuatu yang lain memiliki ada aksidental, sebagai suatu objek yaitu hitam[9].
Dengan menegaskan bahwa esensi kebaikan berada di dalam modus, species dan order yang mengkarakterkan segala hal[10] Thomas membuktikan bahwa kebaikan bukanlah hal yang statis tetapi kebaikan merupakan suatu perjalanan di dalam kekayaan realitas yang unik.
Divisi kebaikan
Berdasarkan kebaikan universal, Thomas aquinas membagi kebaikan menjadi tiga[11]:
- Bonum utile
Kebaikan adalah suatu pergerakan kehendak. Bonum utile adalah ketika hal yang dihasratkan yang mengakhiri pergerakan kehendak hanya sebagai sarana untuk menuju sesuatu yang lain atau dengan sarana tersebut sesuatu memiliki tendensi kepada sesuatu yang lain. Di sini sesuatu disebut kebaikan karena ada yang memimpin kepada suatu akhir.
- Bonum honestum
Bonum honestum adalah ketika sesuatu yang dihasratkan merupakan tujuan terakhir. Bonum honestum berkaitan dengan akal budi yang benar dan dengan keutamaan karena keutamaan adalah sesuatu yang dihasratkan untuk dan demi keutamaan itu sendiri tanpa ada hal yang lain. Dalam konteks yang kecil bonum honestum berkaitan dengan moral dan dalam konteks yang lebih besar bonum honestum terhubung dengan segala sesuatu yang menyempurnakan natura subjek seperti kesehatan, pengetahuan dan lain-lain. Bonum honestum menyatakan bahwa segala sesuatu yang mengikuti tujuan akhir juga dapat disebut kebaikan.
- Bonum delectabile
Bonum delectabile adalah ketika pergerakan kehendak telah mencapai hal yang dihasratkan sehingga pergerakan kehendak beristirahat dalam ketenangan. Kebaikan memuaskan kehendak. Pada bonum delectabile yang terjadi bahwa ternyata ada memiliki kemampuan untuk menyempurnakan ada yang lain sesudah mencapai suatu tujuan.
Tiga divisi kebaikan bukanlah tiga hal sebagai sesuatu yang univox tetapi sebagai suatu analogi berdasarkan prius dan posterius. Oleh sebab itu berdasarkan analogi prius dan posterius dan tatanan (order) kebaikan yang pertama adalah bonum honestum, bonum delectabile dan terakhir bonum utile.
Dengan menunjukkan tiga pembagian kebaikan ini, divisi ini tidak hanya diaplikasikan melulu kepada kebaikan moral dalam tindakan manusia tetapi juga kebaikan ontologis artinya tatanan moral terhubung dengan tatanan ontologis.
Penyebab kebaikan
Segala hal adalah baik karena berkaitan dengan kebaikan Tuhan. Segala yang ada menerima adanya dan kebaikan dari Ada Pertama yang adalah ada dan kebaikan melalui esensi-Nya. Segala ciptaan berpartisipasi di dalam kebaikan-Nya dan partisipasi itu sendiri diberikan oleh-Nya melalui causa efficient. Mengapa Tuhan dikatakan sebagai causa efficient (pelaku) kebaikan segala yang ada?
Kebaikan terkait dengan Tuhan karena kebaikan dihasratkan. Sekarang, segala sesuatu mencari kesempurnaannya di mana kesempurnaan dan forma suatu efek memuat keserupaan dengan sang pelaku (agen). Alasannya, setiap pelaku membuat segala sesuatunya serupa dengan dirinya; oleh karena itu sang agen itu sendiri dihasratkan dan jelas memiliki natura kebaikan. Maka, segala sesuatu dihasratkan karena partisipasi dalam keserupaan dengan sang agen: Tuhan (causa efficient). Oleh karena itu, karena Tuhan adalah causa efficient yang pertama untuk segala yang ada, jelaslah bahwa aspek kebaikan dan hasrat akan akan kebaikan menjadi milik-Nya. Tuhan sebagai causa efficient menunjukkan bahwa Tuhan adalah kebaikan karena melalu diri-Nya segala sesuatu hidup[12].
Segala ciptaan memiliki kebaikan karena partisipasi dan keserupaan dengan kebaikan Tuhan yang hadir di dalam segala ciptaan. Dengan demikian, berkat partisipasi dan keserupaan dengan kebaikan-Nya, kebaikan segala ada memiliki kebaikan dari dirinya sendiri: segala sesuatu baik karena adanya secara formal. Dalam konteks causa formal, segala kebaikan ada atau ciptaan terjadi melalui kebaikan ada-ada itu sendiri; bukan disebabkan oleh kebaikan Tuhan. Seandainya, Tuhan adalah causa formal kebaikan segala yang ada, maka yang terjadi adalah bahwa semua kebaikan adalah kebaikan Tuhan; tidak ada perbedaan kebaikan Tuhan dan ciptaan; padahal Tuhan sebagai ada yang pertama memiliki kebaikan karena esensi-Nya sementara kebaikan ciptaan terjadi karena partisipasi. Kebaikan segala yang ada berasal dari Tuhan dalam konteks causa efficient dan causa final: Tuhan adalah pelaku (agen) yang memberikan kebaikan kepada ciptaan (causa efficient) atau berkat causa efficient (Tuhan) segala yang ada memiliki causa formal kebaikan (kebaikan ada sendiri) dan Tuhan adalah finalitas dari segala yang ada (causa final).
Kebaikan ada secara formal berasal dari adanya dan kebaikan ada secara efficient dan final berasal dari Tuhan menunjukkan bahwa hanya ada satu kebaikan esensial dan ada banyak kebaikan yang terciptakan. Satu kebaikan esensial dan banyaknya kebaikan yang terciptakan menunjukkan bahwa cinta Tuhan memberikan isi dan makna terhadap segala yang ada. Ada itu sendiri adalah cinta, rahmat yang diberikan cuma-cuma yang berasal dari kebaikan dan kebebasan-Nya. Tuhan mencintai segala ciptaan-Nya; oleh karena itu ciptaan itu baik adanya sekaligus ciptaan merefleksikan dan mencerminkan Ada-Nya, dalam tataran bahwa esse ciptaan berpartisipasi di dalam Esse-Nya. Kebaikan pun selalu terakses dihasratkan dan dipuji dan kebaikan yang dipuji adalah keindahan. Dalam arti ini pula bahwa hanyalah kebaikan yang dicintai[13]. Maka, mencintai berarti menghasratkan kebaikan bagi yang dicintai[14]. Segala perasaan manusia memiliki daya-dayanya di dalam pergerakan hatinya yang menuju kepada kebaikan dan kebaikan adalah tanda hati yang penuh cinta.
Pada akhirnya kebaikan ada terjadi karena tiga hal berikut ini:
- Segala yang ada adalah baik karena adanya sehingga disebut dengan kebaikan formal ada
- Segala yang ada adalah baik karena memiliki propietasnya.
- Segala yang ada adalah baik karena berpartisipasi di dalam kebaikan tertinggi yaitu Tuhan.
Manusia adalah baik karena adanya; dia baik karena bijaksana; manusia adalah baik karena manusia ditakdirkkan untuk bahagia sehingga ia berpartisipasi di dalam kebaikan Tuhan.
Tuhan, ciptaan dan kebaikan
Semangat dan hati kebaikan selalu di dalam konstalasi berikut ini:
Segala ciptaan Tuhan adalah baik dan Tuhan adalah kebaikan tertinggi. Oleh karena itu, segala yang ada adalah baik.[15]
Tuhan sebagai kebaikan tertinggi (summum bonum) semakin memperjelas kekayaan makna bonum est diffusivum sui. Tuhan sebagai sumber kebaikan memancarkan kebaikan yang tersebar di seluruh semesta. Dalam hubungan dengan bonum est diffusivum sui, manusia di dalam ketergantungan dengan Tuhan dikatakan baik ketika dia memperhatikan dan mempedulikan kebaikan-kebaikan yang lain yang mana dia bertindak (baca: causa efisien). Ketika ciptaan mengkomunikasikan kebaikan-kebaikan mereka, semakin ciptaan menyerupai Tuhan.
Tuhan adalah kebaikan secara esensial. Bagaimana menjelaskan hal ini? Dan apa artinya? Sebagaimana dikatakan bahwa segala sesuatu dikatakan baik menurut kesempurnaannya. Kesempurnaan suatu hal terjadi karena tiga hal: yang pertama menurut konstitusi adanya sendiri, yang kedua dalam kaitannya dengan segala aksiden yang ditambahkan sebagai suatu keharusan untuk operasinya yang sempurna; yang ketiga kesempurnaan terjadi karena pencapaian akan sesuatu sebagai akhir. Sebagai contoh: kesempurnaan pertama dari api (menurut konstitusi adanya) berasal dari eksistensi api itu sendiri yang dimilikinya berkat forma substansialnya. Kesempurnaan yang kedua dari api (berdasarkan aksiden yang ditambahkan untuk operasi) terdiri dari panas, terang, kering. Kesempurnaan yang ketiga dari api (menurut pencapaian sesuatu sebagai akhir) berada di tempatnya sendiri. Ketiga kesempurnaan ini tidak dimiliki oleh ciptaan secara esensial tetapi oleh Tuhan: Yang pertama berkaitan dengan ada: esensi-Nya adalah eksistensi-Nya. Yang kedua berhubungan dengan aksiden: di dalam diri-Nya tidak ada aksiden-aksiden karena segala aksiden yang dimiliki oleh ciptaan dimiliki Tuhan secara esensial: esensinya adalah kebijaksanaan-Nya, keadilan-Nya, kebaikan-Nya, dan seterusnya. Yang ketiga Tuhan tidak digerakkan oleh sesuatu untuk menuju akhir, justru sebaliknya dia adalah tujuan terakhir dari segala yang ada dan kebaikan Tuhan adalah abadi. Maka, Tuhan memiliki segala kesempurnaan secara esensial. Oleh karena itulah Tuhan adalah satu-satunya kebaikan esensial[16]. Satu-satunya kebaikan esensial juga menyatakan bahwa Tuhan adalah kebaikan tertinggi (summum bonum) karena Tuhan memiliki kesempurnaan yang tertinggi dan merupakan kebaikan terakhir. Summum bonum juga membuktikan bahwa kebaikan Tuhan adalah bonum simpliciter sehingga ciptaan berpartisipasi di dalam kebaikan-Nya, oleh karena itu kebaikan-Nya digandakan dan terbagi. Akhirnya, keseluruhan alam semesta mempresentasikan kebaikan Tuhan dengan lebih baik daripada satu ciptaan saja.
[1] Bandingkan dengan kebenaran: kebenaran bukan objek dari intelek melainkan intelek itu sendiri sementara kebaikan adalah objek dari hasrat dan bukan hasrat itu sendiri.
[2] Tomas Alvira, Luis Clavell, Tomas Melendo, Metaphysics (Manila: Sinag-Tala, 1991) hal 161
[3] Ibid., hal 162
[4] Thomas Aquinas, De Veritate, q. 21, a. 3
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid., De veritate, q. 21, a. 6
[8] Ibid.
[9] Ibid., Summa Theologiae, q.1, q.5, a.6, ad. 2
[10] Ibid., I,q.5, a.5
[11] Ibid., I, q.5, a.6. Divisi ini kiranya diinspirasikan oleh pandangan Pythagoras tentang tiga tujuan akhir yang dipilih oleh manusia: kebijaksanaan atau kehormatan; keuntungan (profit); kenikmatan. Ketiga tujuan akhir ini dicontohkan dengan athet yang menang dalam pertandingan (kehormatan), penjual-pedagang (profit); public umum di Olimpic Games (kenikmatan).
[12] Ibid., I, q.6, a.1
[13] Agustíne, Trinity. 8, 3, 4.
[14] Thomas Aquinas, Summa Theologiae, 1-2, 26, 4
[15] Ibid., I, q. 5, a. 3
[16] Ibid., I, q. 6, a. 3
Copyright © 2017 ducksophia.com. All Rights Reserved