Lukisan Pierre-Auguste Renoir, Jardín en la Calle Cortot Montmartre
Satu-satunya kebenaran yang sederhana adalah bahwa tidak yang simple di dalam semesta yang kompleks ini. Segala sesuatunya terkait. Segala sesuatunya berhubungan.
Johnny Rich
Causalitas merupakan aspek penting metafisika karena ada ternyata mempengaruhi ada yang lain yang disebabkan aktivitas ada. Dalam konteks ini, causalitas dapat dideskripsikan sebagai sisi dinamis dari ada yang melalui esse ada memiliki kapasitas untuk mengkomunikasikan kesempurnaannya dan memproduksi ada baru. Maka, mempelajari causalitas memberikan kita suatu visi dan horizon akan keteraturan (order) di dalam semesta dan kesatuan internalnya. Terlebih, kita mengetahui causa-causa untuk keteraturan tersebut, mengklarifikasikan pengalaman yang paling mendasar bahkan menemukan realitas pertama dan absolut.
Pengertian dan natura kausa
Causalitas bukanlah melulu ide atau gagasan tetapi suatu fakta yang terjadi di dalam hidup sehari-hari. Setiap hari kita melihat, merasakan dan mempersepsikan realitas causalitas: ada yang menyebabkan dan ada baru karena disebabkan. Sebagai contoh, benih mawar yang tumbuh menjadi mawar yang indah karena ditanam oleh petani mawar, seniman yang melukis sehingga menghasilkan lukisan yang menawan. Dengan demikian, kehidupan kita penuh dengan pengalaman real yang mana causalitas dieksplorasi.
Eksplorasi tentang causalitas adalah eksplorasi tentang substansi yang sedang menjadi atau aksinya terhadap substansi yang lain. Ketika sebuah substansi sedang menjadi pasti substansi tersebut merupakan suatu efek dari causa; efek adalah itu yang menjadi ada sementara causa adalah itu yang membawa sesuatu sehingga menjadi ada. Oleh sebab itu, causa didefinisikan oleh scholastic sebagai principium per se influens esse in aliud: causa adalah prinsip yang melalui dirinya sendiri mempengaruhi ada sesuatu yang lain.
Bagaimana kita mengetahui dan membentuk gagasan dan konsep causalitas? Pertama, dari pengalaman baik pengalaman external misalnya kita melihat hal yang berubah, air yang menjadi es karena cuaca yang dingin; dan pengalaman internal sebagai contoh setiap individu memiliki kesadaran bahwa dia adalah causa untuk segala tindakannya seperti menggerakkan tangan, mengedipkan mata, dan seterusnya. Maka, sejatinya causalitas menyatakan satu dari pengalaman dasar manusia. Bahkan pengalaman dasar akan causalitas tersirat dalam linguistik yang tertuang di dalam kata kerja seperti membuat, melakukan, beraksi, menerima, menjalani. Dengan demikian causalitas adalah fakta dasar dari keaslian dan keunikan pengalaman manusia sebagai manusia[1]. Yang kedua, Thomas menyatakan bahwa ketika manusia melihat suatu efek pasti dia berharap dari kodratnya untuk mengetahui penyebabnya[2]. Secara natural jelaslah bahwa manusia mengetahui causalitas: segala sesuatu yang menjadi ada berasal dari sesuatu yang lain; segala yang ada di semesta memiliki causa dan disebabkan.
Ada dan causalitas
Prinsip causalitas merupakan kelanjutan dari prinsip pertama metafisika. Maka dengan sendirinya causalitas menyatakan ada, being tetapi bukan sebaliknya karena terdapat ada, being tanpa causa misalnya seorang pembangun rumah adalah causa untuk rumah tetapi jika ia tidak membangun, ia tetap ada (orang yang membangun tetap ada). Dengan demikian prinsip causalitas tidak bisa dideduksikan hanya secara ekslusif dari gagasan ada tetapi didapat dari pengalaman secara induktif. Prinsip causalitas juga mengatakan ada banyak hal yang pada dasarnya tidak mengada secara otentik dan kemudian baru mengada, artinya dari ketiadaan baru menjadi ada, maka proses menjadi ada selalu mensyaratkan causa.
Faktanya pula, ada being yang tidak menyatakan sebab (causa) maupun disebabkan (efek) yaitu Tuhan karena Tuhan adalah Ipsum esse Subsistens. Bukankah Tuhan adalah causa semesta? Ya, tetapi secara bebas: tidak ada keharusan bagi Tuhan untuk menyebabkan semesta ini. Ada Tuhan, ada yang sempurna memang menyatakan aktivitas akan tetapi tidak menyatakan aktivitas secara niscaya untuk penciptaan. Artinya, seandainya bahwa tidak ada kehendak kreatif Tuhan, tidak akan ada causa dan efek, tetapi masih tetap ada being yang tidak menyebabkan dan maupun disebabkan yaitu ada Tuhan yang sempurna dan tak terbatas serta memuat segala kesempurnaan ciptaan dalam cara real yang tak terbatas.
Ada Tuhan yang tidak menyebabkan dan tidak disebabkan serta kebebasan-Nya meruntuhkan argumen para rationalism yang menerapkan causalitas baik kepada ada Tuhan dan ada ciptaan. Bagi mereka Ada Tuhan adalah Causa dari dirinya sendiri (Causa sui) daripada uncaused Cause. Causa sui seperti yang digagas oleh Spinoza berarti menyangkal aspek personalitas dan kesadaran Tuhan; Tuhan tidak memiliki akal budi, perasaan maupun kehendak, dia tidak bertindak berdasarkan tujuan, tetapi segala sesuatunya mengalir secara niscaya dari naturanya, menurut suatu hukum yang sifatnya deterministik. Bahkan Tuhan sebagai satu substansi adalah satu-satunya alasan untuk eksistensinya: Tuhan adalah causa untuk dirinya sendiri (causa sui). Oleh karena itu Tuhan tidak dapat dikatakan, dikenali tetapi hanya sebagai sesuatu yang mengada secara niscaya dan sebagai substansi yang demikian (causa sui) dia hanyalah itu yang mengada di dalam dirinya sendiri dan dipikirkan hanya melalui dirinya. Konsep causa sui menyangkal Tuhan yang begitu mencintai da peduli kepada ciptaan.
Bahkan konsekuensi dari rationalism dengan mengklaim bahwa Tuhan adalah Causa sui adalah mensubordinasi Causa pertama kepada efek-efeknya (ciptaan) dan Tuhan merupakan suatu determinasi karena Tuhan tidak akan menjadi Tuhan jika dia tidak menciptakan semesta. Jadi tidak ada kebebasan Tuhan dalam menciptakan dan Tuhan akan menjadi Tuhan jika ada ciptaan, selama ada ciptaan baru ada Tuhan sehingga eksistensi Tuhan tergantung kepada ciptaan.
Hubungan causa dan efek
Relasi causa dan efek tidak terpisahkan dan saling mensyaratkan satu sama lain. Maka hubungan causa dan efek dapat dinyatakan sebagai berikut:
- Secara natura efek tergantung dan berasal dari causa: sebuah causa adalah sebuah causa dalam tataran bahwa efek tidak ada atau tidak terjadi tanpa adanya causa. Dengan demikian terdapat relasi ketergantungan efek kepada causa.
- Perbedaan antara causa dan efek adalah jelas dengan sendirinya karena suatu ketergantungan nyata suatu hal kepada hal lain secara niscaya menyatakan ada mereka yang berbeda satu sama lainnya. Fakta ini dapat dilihat dalam causa efisien dan causa final. Patung yang indah merupakan efek dari causa efisien dan causa final si pemahat. Dalam kaitannya dengan materi dan forma nyatalah bahwa efek materi dan efek forma adalah keseluruhan dari hal yang eksis yang menjadi ada berkat causa materi dan forma.
- Supremasi causa atas efek: pada dasarnya setiap causa lebih dahulu (prius) daripada efeknya karena kesempurnaan yang dihasilkan di dalam efek haruslah ada pertama-tama ada di dalam causa. Causa mendahului efek. Meskipun benar pula bahwa ketika causa berlangsung, efek juga mengada tetapi jelaslah bahwa setiap causa lebih dahulu daripada efeknya sebagai suatu ada yang harus ada pertama di tatanan aksi dan di dalam tatanan natura (efek sebagai hasil dari aksi causa). Maka, supremasi causa berlaku pula di dalam waktu. Misalnya, causa actus prima lebih dahulu (prius) terhadap efek di dalam waktu. Tetapi juga bahwa sejauh berkaitan dengan aksi causa, efek dan causa sifatnya korelatif dan simultan. Causa actus sekunder tidak berlangsung mendahului efek tetapi simultan dengan efek. Seorang dokter adalah causa penyembuhan ketika menyembuhkan seorang pasien, tetapi ia bukan causa pertama karena causa pertamanya adalah obat yang ia berikan.
- Sebagaimana dikatakan bahwa causa adalah itu yang mana berasal suatu efek sehingga causa haruslah memuat di dalam dirinya segala efek, sebab nemo dat quod non habet (tidak ada sesuatu yang dapat diberikan jika si subyek tidak memiliki apa yang akan ia berikan). Artinya, causa menyatakan prinsipnya bahwa tidak ada sesuatu pun yang menghasilkan efek lebih besar daripada dirinya sendiri. Sesuatu yang lebih kecil tidak dapat tidak memberikan sesuatu yang lebih besar.
- Walaupun demikian, dalam aspek-aspek tertentu efek dapat menjadi sesuatu yang bernilai sebanding bahkan lebih lebih sempurna daripada causa. Substansi material sebagai suatu keseluruhan lebih sempurna daripada causa materialnya. Jadi, di dalam konteks ini causa menjadi kurang sempurna dari efeknya atau efek lebih sempurna dari causa. Fakta ini berlangsung untuk causa parsial. Sebagai contoh terang –benda mati- yang adalah causa untuk penglihatan merupakan suatu aktivitas vital. Oleh sebab itu terang lebih sempurna daripada penglihatan tetapi terang hanyalah causa parsial untuk penglihatan karena causa principal adalah mata yang hidup. Hal ini juga dapat dilihat dalam causa utama dan causa instrumental. Dalam causa instrumental, causa instrumental tidak lebih sempurna daripada efek karena tindakan instrumental disisipkan di dalam causa utama dan ditransposisikan kepada level yang lebih tinggi. Kuas (causa instrumental) pelukis (causa utama) yang melukis suatu lukisan tidak sempurna dari efek yang dihasilkan yaitu lukisan yang indah. Dalam kaitannya dengan causa final prinsip kesempurnaan yang lebih tinggi dapat menjadi terbatas: meskipun melalui naturanya suatu akhir lebih sempurna daripada causanya, tetapi manusia dapat membuat suatu akhir yang lebih rendah dari tujuan tindakan-tindakannya.
- Mungkinlah bahwa satu hal yang sama memiliki banyak causa. Sebagai contoh patung yang causanya adalah perunggu dan seniman: sang seniman adalah causa efisien sementara perunggu adalah causa material. Jugalah mungkin hal yang sama menjadi causa yang oposisi, sebagai contoh kapten kapal adalah causa untuk keselamatan kapal sekaligus tenggelamnya kapal. Yang pertama karena kehadirannya yang terakhir karena ketidakhadirannya. Jugalah mungkin bahwa hal yang sama menjadi sebuah causa dan efek tetapi di dalam cara yang berbeda. Sebagai contoh jalan kaki adalah causa efisien untuk kesehatan, tetapi kesehatan yang adalah causa efisien untuk berjalan kaki merupakan causa final.
Axioma causalitas
Dahlil prinsip causalitas menjabarkan bahwa apa yang berubah pasti disebabkan dan causa utama dari prinsip menjadi haruslah tidak terbagi atau satu. Dahlil ini dapat dijabarkan dengan dahlil yang lain:
- Segala sesuatu yang menjadi pasti memiliki suatu causa. Ada banyak hal yang pada dasarnya tidak mengada secara asli dan kemudian baru mengada, artinya dari ketiadaan baru menjadi ada, maka proses menjadi ada mensyaratkan suatu causa. Prinsip causalitas yang demikian berlaku untuk kesempurnaan segala ada yang memiliki suatu permulaan atau awal di dalam waktu. Mengapa? Tentu saja terdapat substansi yang tidak memiliki kemampuan untuk bertindak atas dirinya sendiri sehingga ketika menjadi sesuatu yang baru atau yang lain terjadi karena menerima suatu pengaruh dari sesuatu yang lain yang memiliki aksi untuk merubahnya. Tembok berwarna putih kemudian menjadi tembok berwarna merah. Hal ini disebabkan adanya kekuatan aktif yang mampu mewarnai tembok putih tersebut sehingga menjadi tembok merah.
- Segala sesuatu yang digerakkan pasti digerakkan oleh sesuatu yang lain. Rumusan ini berasal berasal dari pemikiran Aristoteles yang menunjukkan suatu kenyataan bahwa actus tidak mungkin direduksi kepada potensi dan ketidakmungkinan potensi untuk menjadi actus dengan usahanya sendiri.
- Segala ketergantungan (contingent) mensyaratkan suatu causa. Sesuatu dimaknai sebagai contingent ketika sesuatu tersebut memiliki suatu potensi untuk menjadi binasa. Maka sesuatu yang sifatnya contingent selalu menjadi dan tidak menjadi (tetap). Jika ia menjadi suatu aktualitas pasti ada suatu causa untuk adanya. Jika causa itu sendiri sifatnya contingent tentu harus mencari sesuatu yang menyebabkannya. Tentu saja segala yang contingent pada akhirnya bermuara pada sesuatu ada yang pasti (necessary) yaitu Tuhan[3].
- Jika sesuatu memiliki suatu kesempurnaan yang tidak berasal dari esensinya, maka kesempurnaan tersebut pastilah berasal dari suatu causa external. Itu yang adalah sebagai causa kesempurnaan maka kesempurnaannya lebih tinggi daripada masing-masing hal yang melaluinya masing-masing hal mendapatkan kesempurnaan. Penyebab kesempurnaan adalah kesempurnaan itu sendiri dan hal-hal lain menerima kesempurnaan yang tidak dimiliki oleh diri mereka sendiri. Jadi, dalam konteks ini causalitas bisa dimaknai sebagai tendensi ada untuk mengkomunikasikan kesempurnaannya kepada ada yang lain. Rumusan yang keempat ini berkaitan dengan esse dan esensi dari sesuatu hal. Kesempurnaan yang dimiliki oleh suatu hal tidak dimiliki oleh karena esensinya tetapi oleh karena causa external. Misalnya, pengetahuan manusia walaupun merupakan kodrat manusia tetapi juga berasal dari causa external yang lain yaitu guru ataupun buku yang dibaca. Esse sebagai sebagai kesempurnaan tidak berasal dari esensi tetapi berasal dari causa ekstrinsik dan esse jelas berbeda dengan esensi. Esse tidak berasal dari esensi karena esensi adalah prinsip diferensiasi di antara individual, esensi adalah itu yang menjadikan sesuatu sebagaimana adanya sekaligus menjadi berbeda di antara individu yang lain. Sementara esse adalah prinsip unitas di antara segala hal karena segala yang ada memiliki esse, segala yang ada berpartisipasi di dalam esse, apa pun esensi segala hal yang mereka miliki pasti memiliki esse. Maka dahlil ini juga menyatakan bahwa itu yang memiliki esse secara partisipasi disebabkan oleh itu yang esse-nya adalah Maksudnya, segala yang ada memiliki causa extrinsik yang mana causa extrinsik memiliki esse dengan cara esensi. Causa extrinsik tersebut adalah Tuhan karena karena esensi-Nya adalah esse-Nya.
Causa, prinsip, kondisi dan kesempatan: perbedaannya
Causa haruslah dibedakan dengan prinsip (asas), kondisi dan kesempatan yang merupakan realitas-realitas yang serupa dengan causa. Pada dasarnya causa adalah itu yang mengalir (mempengaruhi) menuju kepada yang lain (efek). Berikut perbedaan causa dengan prinsip, kondisi dan kesempatan:
- Prinsip (asas)
adalah itu yang darinya hal-hal lain muncul melalui cara apa pun. Maka, prinsip dan causa adalah hal yang sama di dalam subjek tetapi berbeda makna; sebab terminologi prinsip menyatakan suatu keteraturan (order) atau permulaan dan kelanjutan, sedangkan causa menyatakan pengaruh suatu hal pada ada karena disebabkan. Konskuensinya, setiap causa pastilah prinsip atau asas, tetapi tidak semua prinsip adalah causa. Mata air adalah prinsip atau sumber dari sungai tetapi mata air bukanlah causa sungai. Titik adalah awal dari garis dan bukan causa garis. Causa menyatakan suatu asas (prinsip) yang sungguh mempengaruhi terjadinya ada sesuatu atau keberadaan ada sesuatu; jadi causa merupakan suatu asas yang melibatkan suatu ketergantungan efek pada asal-muasalnya. Misalnya segala sesuatu yang mempengaruhi kursi dalam proses terjadinya dan adanya: materialnya, bentuknya yang dipilih, tujuannya yang dibentuk dan tukang kayu yang membuatnya. Sementara prinsip belum tentu melibatkan pengaruh ataupun efek kepada sesuatu hal sebagaimana contoh di atas.
- Kesempatan
Sebuah situasi yang membantu aktualisasi suatu causa tetapi situasi tersebut bukanlah causa itu sendiri. Jadi kesempatan ibarat situasi yang menguntungkan dan sifatnya membantu meskipun bukan suatu keharusan untuk terjadinya causalitas. Hari yang cerah merupakan suatu kesempatan yang baik untuk berjalan-jalan tetapi hari yang cerah bukanlah causa ataupun syarat mutlak untuk tindakan (aksi) berjalan-jalan[4].
- Kondisi
Suatu persyaratan atau keharusan disposisi untuk memastikan terjadinya causalitas. Dalam konteks ini, kondisi merupakan suatu bantuan yang memungkinkan atau menghalangi tindakan- aksi causalitas. Kondisi yang demikian tidaklah disokong dengan causalitas. Kondisi yang lembab cocok untuk pertumbuhan jamur sehingga kelembaban tidak bisa dikatakan sebagai causa untuk jamur. Kondisi mencakup kondisi yang mutlak (sine qua non) dan kondisi yang cocok atau sifatya menguntungkan tetapi tidak mutlak. Contohnya, SIM merupakan kondisi mutlak agar orang boleh mengemudi di jalanan. Contoh kondisi yang cocok tetapi tidak mutlak: bulan purnama yang bersinar terang yang membantu nelayan mendapatkan ikan di laut; dalam dunia sepak bola, bermain di kandang merupakan kondisi yang menguntungkan untuk meraih kemenangan.
Causalitas dan waktu
Realitas causalitas tentu menyatakan waktu causalitas. Maka, dalam waktu kita mengetahui rentetan dan suksesi causa-causa yang terjadi. Ada causa yang terjadi lebih dahulu (prius), ada causa yang terjadi kemudian (posterius). Tentu saja bahwa setiap causa, causa per se pada dasarnya lebih dahulu dari causa selanjutnya. Konsekuensinya, urutan waktu terjadinya sesuatu hal dapat diketahui. Suatu hal dikatakan lebih dahulu (prius) atau kemudian (posterius) berdasarkan causa dan efeknya.
Mekanisme waktu causalitas mencakup ranah generasi-waktu dan ranah substansi-kelengkapan (kesempurnaan). Jadi, kita mengatakan bahwa sesuatu hal lebih dahulu dari yang lain berdasarkan koridor generasi-waktu dan substansi-kelengkapan. Mekanisme natura berlangsung dari yang tidak sempurna menuju yang sempurna dan yang tidak lengkap menuju lengkap sehingga dari sudut generasi- waktu yang tidak sempurna lebih dahulu (prius) dari yang sempurna, tetapi dari sudut pandang substansi yang sempurna lebih dahulu daripada yang tidak sempurna. Contohnya, kita mengatakan bahwa orang dewasa lebih dahulu daripada anak-anak menurut substansi-kelengkapan, tetapi anak-anak lebih dahulu daripada orang dewasa dalam koridor generasi-waktu. Meskipun dalam hal-hal generatif, yang tidak sempurna lebih dahulu daripada yang sempurna dan potensi daripada actus pada saat kita mempertimbangkan di dalam hal yang satu dan sama tersebut, tetapi actus dan kesempurnaan haruslah lebih dahulu (prior) karena itu yang ada di dalam aktualitas mengaktualkan potensi atau yang menjadikan potensi menjadi actus dan adalah kesempurnaan itulah yang menyempurnakan yang tidak sempurna[5].
Keempat causa dapat dikatakan di dalam banyak cara. Banyak cara itu mau mengatakan adanya suksesi waktu. Satu causa lebih dahulu dari yang lain dan causa yang lain sesudahnya; misalnya ilmu medis dan dokter adalah causa kesehatan, tetapi ilmu medis merupakan causa yang lebih dahulu sementara dokter adalah causa sesudahnya. Jadi ada suksesi causa dan suksesi causa mengantar kita untuk bertanya akan apa yang menjadi causa yang pertama. Sebagai contoh, mengapa anak ini pintar, kita akan menjawab karena guru telah mengajari dia, demikian juga bahwa mengapa guru mengajarinya? Kita akan menjawab karena ilmu pendidikan yang dimiliki oleh sang guru
[1] Menurut Merleu-Ponty konsep causalitas berasal dari pengalaman manusia yang terbentuk dari relasi manusia dengan dunia (Phenomenologie de la perception, p.331).
[2] Thomas Aquinas Summa Theologiae I q. 12. a. 1 c: “inest… enim hominim naturale desiderium cognoscendi causam, cum intuetur effectum et ex hoc admiratio in hominibus consurgit”.
[3] Ketergantungan ada kepada Tuhan menyinggung pengertian takdir. Takdir adalah suatu realitas dalam referensi kepada preordination ilahi atau suatu disposisi tertentu yang dianugerahkan kepada ada-ada contingent yang mana Tuhan melaksanakan tujuan penyelenggaran ilahi-Nya. Kaum Stoic menyangkal penyelenggaran ilahi sehingga bagi mereka takdir hanya merupakan causa-causa determinatif yang menghasilkan efek-efek secara niscaya. Para filsuf lain menilai takdir sebagai suatu keniscayaan yang di atas segalanya bahkan lebih superior daripada Tuhan sehingga tidak mungkin ada modifikasi. Dalam dua pengertian tersebut, takdir merupakan suatu absurditas. Tetapi jika takdir dimengerti sebagai predisposisi ada-ada kontingen yang diberikan Tuhan supaya ada-ada ciptaan melaksanakan kehendak-Nya maka takdir adalah realitas. Selebihnya, di dalam bingkai yang demikian predisposisi ada-ada kontingen bukanlah takdir tetapi penyelenggaran ilahi.
[4] Keberuntungan dan kesempatan secara aksiden adalah causa efisien, yaitu mereka memproduksi suatu efek yang melampaui tatanan dan intensi dari agen. Perbedaan keduanya adalah sebagai berikut: keberuntungan merupakan suatu yang unik dan dipredikatkan dari causa-causa bebas, sememtera kesempatan sifatnya umum dan didasarkan causa-causa natural. Keberuntungan kiranya diafirmasi oleh malaikat karena beberapa hal kiranya terjadi melampaui intense, tetapi bukan dari Tuhan. Sebab Tuhan sebagai causa universal mengarahkan segala causa particular sehingga tidak adak efek yang dapat mentransendensi tatatan efisiensi-Nya maupun tidak ada satu pun causa sekunder yang dapat menghalangi aksi-Nya.
[5] Thomas Aquinas, De Principiis Naturae, no. 31
Copyright © 2017 ducksophia.com. All Rights Reserved