Iklan Kecantikan: Penjara Panopticon

Lukisan Andre Kohn

0b1bc602cf323f8d3fa03ce1d62df188

Sekarang pengaruh konsumerisme dan hedonisme semakin menerobos ke segala lini. Orang ditawari dengan aneka produk yang menawan demi kenikmatan. Maka, iklan menjadi semakin gencar dan ramai mengisi ruang-ruang kehidupan bahkan sekarang cenderung menjajah dan melilit. Iklan ibarat menjadi nafas konsumerisme. Iklan yang paling memikat adalah iklan kecantikan. Kiprah iklan kecantikan -juga termasuk iklan yang lain- menimbulkan bahaya laten yang harus disimak dan dilawan karena semakin iklan tak terkritisi, semakin iklan menancapkan pengaruhnya sehingga menjebloskan orang ke dalam penjara dengan sistem panopticon.

 

Iklan dan wanita

Sebagian iklan kecantikan menampilkan wanita sebagai modelnya. Tujuan utamanya, model wanita dalam iklan kecantikan diharapkan mampu membuat produk barang menjadi laku. Dasarnya adalah bahwa ukuran keberhasilan hampir semua iklan produk kecantikan, pakaian, perlengkapan perempuan, selalu didasarkan pada kemampuan pemakainya memikat laki–laki (Haryatmoko, 2010: 129).

Sekarang agar produk semakin laku, iklan kecantikan dengan cerdik dan jeli memasang nuansa erotis bahkan cenderung ke arah pornografi baik secara gerakan, verbal, maupun dengan tubuh. Mengapa sebagian besar iklan “senang” memakai model wanita? Ada tendensi cara pandang bahwa wanita identik dengan keindahan yang merupakan produksi dari gaya. Gaya adalah sebuah pesona topeng yang menggoda untuk memikat pelihatnya, menipu dan merayu mereka yang telah terpesona di dalam keindahan hasil ciptaan gaya. Dan fungsi gaya diperlukan sebagai sarana dan media perlindungan untuk melawan ancaman yang menakutkan yang hadir saat ini sekaligus menjaga image yang dimiliki. Dengan kata lain gaya melindungi dan menyembunyikan isi, arti, dan makna kebenaran dari sesuatu hal (Derrida, 1978: 38). Gaya semakin menguat dan mempesona ketika ditampilkan di dalam iklan. Akibatnya, masyarakat digiring oleh gaya ciptaan iklan untuk mengkonsumsi yang riil melalui antisipasi atau dalam jarak yaitu dalam tanda (Haryatmoko, 2010: 20).

Iklan berusaha menyamakan realitas dengan tanda-tanda. Tanda-tanda yang dibuat di dalam iklan menghasilkan simulasi. Simulasi adalah penampakan yang menyatakan diri sebagai realitas atau semacam tempat bernaungnya kejadian semu (Ibid, 2007: 27). Simulasi iklan bukan lagi cermin atau representasi, tetapi pembangkitan melalui model real tanpa asal-usul atau realitas. Jadi yang berlangsung bukan representasi yang real namun penciptaan yang hiperreal (Ibid, 2010: 23). Penciptaan yang hiperreal semakin menjadi-jadi ketika wanita dengan gayanya terlebih yang erotis dan sensual itu. Dalam pencitraan yang hiperreal, wanita diidentifikasikan dengan suatu produk dan komoditas barang yang dapat dibeli sehingga membeli produk tersebut identik dengan membeli dan memakai wanita tersebut.

Akibatnya, bersamaan dengan ekspekstasi akan lakunya suatu produk, wanita tergerus menjadi komoditas pula. Maka yang terjadi adalah seperti yang dikatakan oleh Mcluhan bahwa medium adalah pesan itu sendiri karena medium iklan kecantikan yaitu wanita telah menjadi pesan itu sendiri. Dengan demikian, lewat banjir iklan yang menggunakan wanita sebagai model, eksistensi wanita dipasung pada suatu produk untuk dikonsumi seperti lukisan wanita yang terpasung karya Maurizio Cattelan.

Penjara ilusi yang narcistik

Pemasungan wanita pada suatu produk mengatakan bahwa wanita terhukum dalam ilusi. Jeruji pasungan terbuat dari visualisasi gambar iklan. Visualisasi wanita yang dipresentasikan kepada pemirsa lewat iklan itu adalah sebuah penjara panopticon. Dalam penjara dengan sistem panopticon berarti seorang yang terhukum terlihat oleh siapa saja tetapi ia sendiri tidak melihat dan merasakan bahwa dirinya terhukum (Michael Foucault, 1991: 200). Dia menjadi objek dan sasaran tindakan yang perannya ditentukan untuk diubah, ditranformasi sementara subyek tak pernah merasa tahu. Konsekuensinya wanita berada dalam surveillance (penjagaan) image sosial. Artinya lewat penjagaan image sosial, publik mengamat-amati sekaligus meneropong wanita sebagai yang terhukum. Hebatnya, model pengawasan ini merupakan teknik efektif yang menjangkau kehidupan paling intim tanpa diketahui subyek tertentu. Berkat halusnya bentuk pengawasan sistem panopticon, atau bahkan pengawasan yang dibatinkan di dalam penjagaan image sosial justru mengubah pengawasan dan hukuman menjadi motivasi diri; orang tidak lagi merasakan berada di bawah keterkungkungan tetapi malah menjadi semangat (Gilles Lipovetsky). Wanita semakin didorong untuk memenuhi hasrat diri atau penghargaan diri demi memenuhi dan melaksanakan tuntutan penjagaan image sosial. Terlebih, wanita menyatu dan merasa nyaman dalam logika panopticon tersebut. Jelas, penjagaan image sosial menempatkan wanita berada dalam jeruji penjara komersial: terhukum dalam image sosial yang mengurung peran wanita hanya sebagai kegunaan dan bahkan menjadi produk itu sendiri sehingga tubuhnya terhukum.

Buktinya, sekarang ini banyak wanita menginginkan agar tubuhnya haruslah seperti yang diiklankan. Jika tanpa yang dicitrakan dalam iklan maka aku tidak akan mendapat tempat dan dihargai. Tubuhku harus sesempurna mungkin dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tentu ini adalah sebuah narcistik. Narcistiknya dapat dilihatnya dengan menjamurnya tempat-tempat perawatan kecantikan dan di mana para wanita rela menghamburkan uang demi perawatan tubuh untuk memenuhi tuntutan sosial image yang dipropagandakan sekaligus yang dituntutkan oleh iklan. Justru di balik di jeruji komersial, wanita malah sibuk dan bersaing satu sama lain soal kecantikan, keseksian tubuhnya dan sensualitasnya dalam imajinasi, angan-angan dan harapan demi publik. Tubuh anda haruslah sempurna, anda tampak cantik jika anda memakai produk Aigner. Bentuk model menjadi sambungan bagi rayuan dan narcisisme. Model diproduksi oleh media massa dan dibuat dengan tanda yang dapat dibaca dengan mudah. Monica Belluci mengingatkan akan keseksian tubuhnya, tubuhnya yang tetap awet muda, dan keindahan rambutnya. Maka yang ingin seperti dia harus mengenakan pakaian dan aksesorisnya yang dipakainya (Haryatmoko, 2010: 283). Di sini nampaklah bahwa kehebatan iklan terletak pada kemampuannya membuat orang bisa berharap ibarat seorang nabi yang mengkumandangkan kenabiannya supaya khalayak mengikuti ajakan dan ramalan sang nabi (bdk. Ibid, 2007: 97).

Ujungnya adalah bahwa representasi wanita dalam iklan menciptakan pendisiplinan image. Pendisiplinan di sini menyiratkan suatu latihan yang disertai dengan observasi yang permanen: suatu harapan akan image dan tubuh baru yang diciptakan, dibentuk dari tingkah laku sehari-hari sang tahanan; suatu latihan yang diorganisasikan sebagai suatu instrumen penilaian yang kekal (Michael Foucault, 1991: 294). Maka, disiplin juga merupakan suatu teknik untuk memastikan keteraturan multiplisitas makna menjadi satu makna tunggal. Sebab disiplin itu menetapkan, meregulasi pergerakan, menjernihkan kebingungan, membangun distribusi yang terhitung, meningkatkan utilitas yang partikular dan homogen (Ibid: 219). Dalam konteks iklan, disiplin adalah suatu teknik kesatuan yang dengannya tubuh tereduksi menjadi kekuatan “politis” tertentu: memikat, melilit dan menjebak hasrat dalam imajinasi dan obsesi.

Lalu siapa penjaganya atau sipirnya? Tentu saja pemirsa yang menonton. Sebagai sipir, pemirsa mengamat-amati dan menjaga wanita dengan kekuatan hasrat dan image sehingga mengirim dan menempatkan wanita kembali kepada penjara. Sipir dan tahanan membentuk mekanisme ganda.; mereka bersama-sama membentuk isolasi hasrat dan image maupun tubuh di dalam ranah visualisasi (Ibid: 282). Dengan adanya mekanisme penjara panopticon, maka menunjukkan bahwa dalam iklan, setiap gambar dan setiap berita memerintah dan memaksa persetujuan artinya dengan membaca pesan, akan mengikuti secara otomatis pendisplinan image yang telah ditangkap oleh pemirsa. Hebatnya lagi, iklan menciptakan peristiwa semu menjadi kejadian riil melalui kepatuhan konsumen  terhadap apa yang dikatakan iklan tanpa ada unsur untuk mengkritisi (Haryatmoko, 2010: 284). Dalam kepatuhan ideologi baru hasil pendisiplinan image, si sipir sibuk menjaga sekaligus menikmati sementara si tahanan sibuk bergaya dalam kenikmatan. Persuasi iklan pun berhasil menarik pemirsa karena yang dimainkan adalah disposisi baru yang berasal dari pendisiplinan image, kemudian segera menjadi aktualisasi atau konkretisasi. Aktualisasi pendisiplinan image itu berjalan mulus karena telah menjadi hasrat yang kompulsif, tinggal merangsang atau merayu lalu jadilah kenyataan sehingga tujuan tercapai: produk menjadi laku.

Menguatnya kekerasan terhadap wanita

Iklan kecantikan membuat tubuh perempuan dieksploitasi dalam seterotipisasi yang mengusung daya tarik seksual dengan penekanan pada bagian-bagian sensual perempuan seperti payudara, paha ataupun tubuh sensual yang utuh (Ikwan Setiawan, 2008). Semua bagian tubuh wanita pun dikomersialkan meskipun dengan alasan kesehatan. Biasanya gambar iklan wanita yang menekankan bagian sensual ditampilkan dan dikemas begitu menggoda. Iklan kecantikan adalah ajang pertunjukan kemolekan tubuh wanita; iklan kecantikan merupakan perpanjangan lingkup privat tubuh wanita. (bdk. S. Charles, 2004: 28). Tentu representasi dan repetisi iklan memiliki tujuan memainkan dan menanamkan pesan untuk bawah sadar dan image pemirsa.

Bawah sadar dan image pemirsa dikondisikan dan dipatrikan pada bagian–bagian sensual tubuh wanita  karena gambar di dalam iklan berasumsi sebagai keterlibatan langsung. Gambar di televisi atau di papan reklame bagaikan sebuah jendela yang memperlihatkan kenikmatan wanita. Orang tercabut dari realitas  bahkan diarahkan ke fantasi akan kenikmatan wanita. Jadi, gambar mengantisipasi kenikmatan (J. Baudrillard) karena gambar iklan sudah menampilkan semua, maka tidak perlu lagi menebak atau menafsirkan. Tidak ada proses mengolah, mengendapkan apalagi pemikiran kritis. Yang diminta hanya menelan, mengkonsumsi sehingga hasrat seks terangsang (Haryatmoko, 2010: 139). Dengan menggebu-gebunya iklan kecantikan yang bernuansa erotisme dan pornografi seolah-olah menempatkan pemirsa selalu di dalam ketegangan nafsu dan mencitrakan peran wanita sebagai pemuas hasrat. Bisa dikatakan iklan sebagai budaya mahakarya globalisasi menggiring publik untuk selalu mencari dan mengidamkan sex: wanita hanya sebagai pemuas sex. Iklan mendegradasikan martabat wanita. Maka, iklan juga mengubah cara pandang pria terhadap wanita maupun wanita terhadap pria: adanya dan eksistensi wanita hanya sebatas demi kepuasan seksual; wanita bukan lagi sebagai ada untuk dicintai, dihormati sebagai manusia yang utuh. Sebaliknya, wanita pun secara tak sadar menerima cara pandang pria. Jika dalam hubungan kita, tidak ada aktivitas seksual, berarti kamu (pria) bukan apa-apa. Dengan demikian, iklan pun mengubah pemaknaan relasi karena relasi atau hubungan antara pria dan wanita yang terjadi sekarang ini adalah dominasi yang bersumber oleh tekanan hasrat seksual tetapi dominasi diterima sebagai suatu yang wajar dan sah.

Sudah barang tentu akibatnya adalah merajalelanya pelecehan dan kekerasan seksual kepada perempuan. Pelecehan dan kekerasan seksual bisa di dalam bentuk fisik, verbal, linguistik, psikologis, afeksi, paradigma. Wanita kembali menjadi korban, tak berdaya dan terpinggirkan. Namun kadang realitas ini sebagai sesuatu yang diterima, disenangi, dinikmati dan disahkan oleh wanita ketika kekerasan itu terbungkus di dalam persetujuan yang diafirmasi oleh wanita. Dengan memperlihatkan tubuhnya sebagai bagian dari komersial walaupun atas persetujuan dirinya sendiri dan bagian dari mode atau melakukan aktivitas seksual bebas dan tanpa mengindahkan norma-norma seksual, tetap merupakan kekerasan seksual bagi wanita karena being wanita selalu menerima, selalu yang lebih menanggung resiko dan konsekuensinya, selalu yang berkorban.

 

Kosongnya nilai otentik seksualitas manusia

Ternyata di balik merajalelanya kekerasan seksual kepada wanita, terdapat satu makna lain yang melekat ibarat sisi mata uang yang lain yaitu masyarakat mendambakan sex dan mengganggap sex sebagai satu-satunya tujuan. Oleh iklan, seksualitas manusia distrukturisasi dalam publik sebatas sebagai komersial dan kenikmatan. Dampaknya bahwa seksual sebagai bagian dari yang ilahi semakin digrogoti dan terpinggirkan. Iklan dalam media massa melucuti nilai-nilai seksual menjadi sebuah mekanisme pasar dan konsumeristik melulu tanpa ada maknanya. Pemirsa dan generasi muda tergiring untuk hanya memahami sex sebatas sebagai naluri dasariah. Dengan demikian, seksualitas manusia kehilangan misteri, keindahan dan kesakralannya.

Strukturisasi sex dan pelucutan nilai seksual manusia menghasilkan justifikasi tindakan seksual apa pun yang melanggar etika dan norma seksual. Asalkan ada persetujuan dari kedua belah pihak, tindakan seksual dilakukan tanpa melihat dimensi-dimensi yang lain ataupun resiko-resiko yang terjadi dipaksakan kepada pihak-pihak yang dirugikan. Ketika orang melanggar etika, moral dan norma sosial seksual muncullah suatu pembelaan diri publik yang mengatakan bahwa semua orang melakukan semuanya itu.Terjadilah concubinat universal bahwa di segala tempat tanpa memandang soal etnik, budaya, suku ada kesepakatan dan legitimasi yang sama demi tindakan seksual yang bebas. Iklan mengglobalkan strukturisasi sex. Strukturisasi sex memasung orang untuk memuja, mengagungkan dan menyembah sex. Orang lebih suka tinggal bersama tanpa ikatan, aborsi yang makin menjadi-jadi, menguatnya perkawinan yang sejenis, maraknya nudisme, ramainya perselingkuhan dan penceraian. Masyarakat yang demikian adalah masyarakat yang sakit.

Tentu pelucutan nilai seksual jelas merugikan dan mengosongkan nilai kehidupan manusia sehingga manusia terpecah di dalam dirinya sendiri karena tubuh-jiwa-maknanya membentuk suatu totalitas; dimensi seksualitas tidak terpisahkan dari kemanusiaan. Terpecahnya manusia di dalam diri sendiri menunjukkan bahwa telah terjadi depersonalisasi. Keunikan manusia sebagai ciptaan yang memiliki sense of responsibility memudar; manusia menjadi gamang ketika harus berkomitmen.

Sebenarnya, yang dilucuti dan dilecehkan adalah civilisasi manusia sendiri karena seksualitas adalah sumber kehidupan dan dasar kehidupan manusia. Hilangnya cinta, hancurnya keluarga, menguatnya kekerasan adalah tanda sekaligus realitas remuknya civilasi manusia. Pemujaan dan penyembahan sex yang kian tinggi dengan nilai yang kosong dan tanpa moral seolah-olah manusia kembali kepada peradaban primitif. Manusia ingin kembali untuk menjadi binatang; manusia menghendaki nafsu menggantikan rasionalitas: dehumanisasi. Lantas semuanya menjadi terhukum dalam sistem penjara panopticon. Kehidupan pun menjadi suram dan amburadul karena semakin manusia hidup dalam kenikmatan, semakin banyak dalih dan pembenaran, tetapi juga semakin mencekam kegelisahan dan kekosongan yang menyertainya (Gilles Lipovetsky) dan hanya demi mementingkan kenikmatan sex, manusia mengeliminasi sesamanya.           

Copyright © 2016 ducksophia.com. All Rights Reserved

Author: Duckjesui

lulus dari universitas ducksophia di kota Bebek. Kwek kwek kwak

Leave a Reply