Lukisan Pablo Picasso, Mediterranian Landscape, 1953
Hal-hal yang ada bukanlah buram, tak berarti, netral, jahat ataupun keji, tetapi kaya di dalam isi, terbuka, baik dan bersahabat.
Ens & Res: Hubungan dan Perbedaannya
Ens dan res merupakan bagian penting dari metafisika. Terminologi res mengacu segala ens yang telah terdeterminasi secara definitif di dalam realitas (dalam hal ini res berarti esensi atau quidditas) tetapi juga mengacu kepada ens yang dapat diketahui. Ens berasal dari act of being, sementara res menunjukkan isi esensial yang dikonkretkan oleh act of being. Lalu bagaimana hubungan ens dan res? Thomas dalam De Veritatate, q. I art I menyatakan bahwa kita kiranya menambahkan kepada ens suatu cara positif yang umum yang ditemukan di dalam segala ens, yaitu isi esensial. Maka, dari sesuatu yang ditambahkan kepada ens menjadikan ens memiliki isi esensial dan ens dengan isi esensialnya disebut res. Jadi, res itu menunjukkan bahwa ens memiliki suatu isi, content yang partikular, unik. Res adalah determinasi konkret ens; ens memiliki res. Res menunjukkan suatu rumah bagi quidditas sehingga berkat res, ens kiranya merupakan hal yang dapat dipahami. Karena itu, dalam kalimat interogatif melalui res, ens dapat dirumuskan sebagai apa itu?
Menurut Avicenna res adalah esse proprium. Oleh karena esse proprium, ada yang real memiliki suatu natura definitif dan tetap di dalam natura (habet esse ratum et fixum in natura). Berkat esse proprium pula quidditas berbeda dengan esse, akibatnya ens dan res merupakan hal yang berbeda meskipun konsep ens tidak dapat dipisahkan dari res. Ens yang berasal dari esse (act of being) mengaktualkan esse proprium sehingga hal menjadi konkret di dalam eksistensinya. Res atau esensi dapat mengada jika memiliki esse (act of being). Ada adalah realitas esensi (actus essendi)
Res selalu beriringan dengan ens karena res memiliki ens baik secara unik maupun ketika ens berada di dalam intelek. Jadi, konsep ens dan res berarti hal yang sama (omnino idem) tetapi di bawah aspek yang berbeda. Sebagai contoh pohon, pohon dikatakan sebagai ens juga sebagai res tetapi dalam cara sebagai berikut: pohon dikatakan ens jika dilihat dari eksistensinya; res, dilihat dari quidditasnya atau sebagai sesuatu. Res tidak meniadakan makna ens real tetapi justru menyatakannya yaitu esensi, quidditas. Dengan demikian melalui res, ens adalah itu yang menjadi lawan dari ketiadaan.
Res dan Esensi
Res dan esensi adalah satu di dalam setiap aspeknya termasuk struktur intelegibilitasnya; jadi res dan esensi merupakan hal yang sama. Mengapa? Res dan esensi adalah satu bukan di dalam cara aksiden tetapi secara esensial yang berakibat res dan esensi satu di dalam struktur intelegibilitasnya.[1] Seandainya esensi suatu hal dan hal itu sendiri berbeda yang terjadi adalah kemunduran yang tak terbatas; sebab konsekuensinya adalah terdapat dua hal, yang pertama res dan kemudian esensi dari res sehingga memunculkan hal yang ketiga yaitu esensi dari esensi sesuatu hal dan begitu terus sampai kepada infinitas[2].
Terjadinya Konsep Res
Menurut Avicenna terjadinya konsep res adalah sebagai berikut: konsep res terbentuk sesudah (posterior) ens: pada mulanya intelek terpukau dan tertangkap akan ens real sehingga kita mengetahui realitas (ens) dan setelah mengetahui realitas kita membuat pernyataan-pernyataan akan realitas melalui konsep pertama yang paling umum dan paling general. Melalui konsep yang paling umum kita mendapatkan kata kerja “adalah” (to be yang berasal dari kata benda being). Berkat kata kerja to be (adalah) kita menjadi sadar akan pemikiran kita akan hal-hal sehingga kemudian kita membentuk konsep res yaitu objek pemikiran kita. Segala yang ada di semesta ini merupakan objek akal budi manusia, segala yang ada itu memiliki isi dan arti. Oleh sebab itu, kita menggunakan term res untuk menunjukkan ens yang menjadi objek akal budi.
Ens dapat menjadi objek pemikiran akal budi karena: yang pertama, ens adalah sesuatu (aliquid); yang kedua ens memiliki isi yaitu esensi (quidditas). Maka, res di sini berarti ens real[3]. Ingat ens real itu menyangkut yang aktual dan yang mungkin (ens possibilis). Jadi, res menyatakan hal yang mengada[4].
Transendental Res
Menurut Avicenna res adalah aspek transendental yang pertama dari ens (ada). Thomas Aquinas sejalan dengan Avicenna mengatakan bahwa res est de transcendentibus[5]. Pemahaman res oleh Aquinas dibagi menjadi dalam dua arti: dalam pemahaman ontologis dan dalam pemahaman intelek. Dalam pemahaman ontologis res berarti itu yang mempunyai suatu karakter definitif dan telah dideterminasi (esse ratum et firmum) di dalam natura. Maka dalam konteks ini res berarti sesuatu yang mempunyai natura atau esensi yang definitif secara ontologis. Pemahaman res yang kedua mengacu kepada pengetahuan atau pemahaman. Oleh karena res dapat dikenali dan dipahami lewat esensinya, maka nama res meluas kepada ada yang diketahui secara konseptual sehingga merambah pula kepada negasi dan privasi meskipun negasi dan privasi merupakan ens rationis.
Mengapa res dikatakan atau menjadi bagian dari kenyataan transendental ens (ada)? Res sebagaimana dikatakan adalah determinasi unik dari suatu ens. Jelaslah bahwa segala sesuatunya memiliki sesuatu dan haruslah merupakan sesuatu. Jika ens tidak mempunyai isi dan ens bukanlah res maka yang terjadi adalah tidak terpikirkan, nothingness. Seseorang yang tidak mengatakan res tidak mengatakan apa-apa. Artinya, segala res bukanlah sesuatu yang eksklusif di dalam dan untuk mereka sendiri dan bukan pula ketiadaan seolah-olah res tertutup tanpa pesan; sebaliknya res itu bersifat komunikatif.
Menurut Aristoteles segala sesuatu itu menjadi dan mengada berasal dari res dan res berada di wilayah kategori ens. Karena res berada di kategori ens, akibatnya ens memiliki isi atau ens memiliki esensi; setiap ens memiliki natura unik. Tentu saja res merupakan hal yang mutlak bagi intelegibilitas ens. Laurentius Valla menganggap res sebagai raja transendental. Dalam bahasa kita sehari-hari kita tidak membedakan antara ens dan res. Ens jarang digunakan sementara res mengacu kepada realitas konkret, akibatnya, res telah mengambil tempat atau posisi ens karena res adalah that thing which is. Kenyataan ini cukup wajar jikalau kita mempertimbangkan bahwa konsep res didapatkan atau terjadi dengan cara menambahkan karakter-karakter kepada ens dan karena res merupakan hal yang mengada. Itulah sebabnya pula dalam bahasa sehari-hari, kata hal, thing, res menggantikan ada, ens, being.
[1] Thomas Aquinas, Metaphysics, 1375
[2] Ibid., no,.1376
[3] Karena ens realis terdiri dari ens actualis dan ens possibilis maka Suarez membedakan esensi menjadi esensi actualis dan esensi possibilis.
[4] Res menyatakan hal-hal yang mengada termasuk res naturales. Dalam konteks ini maka Tuhan juga termasuk res. Oleh karena itu jika res hanya dinyatakan sebagai qudditas melulu tampaknya juga tidak terlalu tepat.
[5] Bdk. Thomas Aquinas, I Sententiarum, d. 2, q. 1, a. 5, ad 2: “Dicendum, quod res est de transcendentibus, et ideo se habet communiter ad absoluta et ad relata; et ideo est res essentialis, secundum quam personae non differunt, et est res relativa sive personalis, secundum quam personae distinguuntur”. Juga dalam Summa Theologiae I, q. 39, a. 3, ad 3: “ Nama “hal” adalah satu dari transendental. Oleh karena dari transendental, sejauh mengacu kepada relasi, hal dipredikatkan kepada Tuhan dalam bentuk plural, sedangkan sejauh mengacu kepada substansi, hal dipredikatkan ke dalam bentuk tunggal. Maka, Agustinus mengatakan, di dalam bagian yang dikutip, bahwa Trinitas yang sama adalah suatu hal yang tertinggi”. (Dicendum quod hoc nomen res est de transcendentibus. Unde, secundum quod pertinet ad relationem, pluraliter praedicatur in divinis, secundum vero quod pertinet ad substantiam, singulariter praedicatur. Unde Augustinus dicit ibidem quod eadem trinitas quedam summa rest est).
Copyright © 2017 ducksophia.com. All Rights Reserved