Dunia Anak: Bermain

 

Lukisan Edouard Léon Cortès, En la Jardin

26fafdd3fb57fefddd56bbb249f05ca8

Kata James L. Hymes, Jr

Dengan bermain selama setengah jam saja, anda akan mengenal dan menemukan banyak hal dari seseorang, daripada melalui percakapan selama setahun

 

Dunia anak lekat dengan bermain. Maka, menurut Dewayani Sofie bermain adalah kebutuhan utama dan pertama setiap anak karena dalam bermain anak bertumbuh dan berkembang baik secara fisik, sosial, emosi, bahasa dan kognitif. Tak mengherankan kalau setiap hari anak selalu bermain dan ingin bermain. Ke sekolah pun anak hanya ingin bermain. Untuk itu, ketika kurikulum mewarnai kegiatan formal di sekolah, anak mengaktualisasikan kebutuhan bermain pada jam-jam istirahat dan lewat canda di kelas (Dewayani Sofie). Ini wajar dan tidak dapat dihindari. Sebenarnya, bermain bagi anak bukan sekedar suatu aktivitas yang hanya membuang-buang waktu tetapi bermain adalah suatu kegiatan yang kaya makna. Kata D.W Winnicot: “Anak-anak belajar ketika mereka bermain. Dan yang terpenting, dalam bermain anak-anak belajar bagaimana untuk belajar”.  

Sayang seribu sayang, banyak orang dewasa beranggapan, bermain adalah kegiatan mengisi waktu luang yang tak lagi menjadi prioritas saat anak memasuki usia sekolah. Daripada melihat anak bermain dan gaduh, orang dewasa cenderung senang melihat anak duduk tenang dan belajar. Ironinya lagi bahwa orang dewasa memainkan peran kunci dalam membantu dan mendampingi anak bermain. Malahan kurikulum sekolah pun memangkas waktu anak untuk bermain (Dewayanie Sofie). Sepanjang hari anak dituntut belajar dan belajar baik oleh sekolah maupun orang tua. Maka, artikel ini hendak menggugah kembali kesadaran orang dewasa terutama orang tua dan guru akan pentingnya aktivitas bermain dalam dunia anak.

 

Arti bermain

Ada banyak pemahaman dan definisi bermain. Gary Landreth mendefinisikan bermain sebagai berikut: bermain adalah suatu kesenangan, aktivitas yang menyenangkan yang mengangkat jiwa dan mencerahkan cara pandang kita terhadap kehidupan. Bermain memperluas ekspresi-diri, pengetahuan-diri, aktualisasi-diri dan keefektivan-diri. Bermain juga mengurangi ketegangan dan kebosanan, mendekatkan kita kepada orang lain dalam cara yang positif, merangsang pemikiran yang kreatif dan exploratif, mengatur emosi dan mendorong ego kita.

Bermain sebenarnya berlanjut dari masa anak sampai menjadi orang dewasa. Hanya saja bentuknya berbeda. Menurut para ahli, mereka yang tidak pernah bermain cenderung untuk mudah stress, depresi dan bosan. Tina Bruce mengatakan “ kita tidak berhenti bermain karena kita telah menua sebaliknya kita menjadi tua karena kita berhenti bermain”.  Menurut Haryatmoko :Permainan adalah suatu bentuk pengambilan jarak terhadap diri yang diwarnai oleh kehidupan serius dan formal. Permainan membantu membuka kemungkinan-kemungkinan baru yang terpenjara oleh pemikiran yang terlalu serius. Permainan membuka kemungkinan subjek untuk berubah yang tidak dimungkinkan oleh visi yang melulu moral.

Bagi anak-anak bermain adalah suatu aktivitas natural yang dilakukan demi pembelajaran, pertumbuhan sekaligus kesenangan. Lebih tepatnya bermain adalah ekpresi bebas yang terwujud dari jiwa seorang anak. Bermain  memberikan jalan awal sekaligus fondasi untuk keberhasilan hidup di kemudian hari. Bermain mengembangkan diri dan menjadi kreatif. Kekreatifan mengantar kepada penemuan diri. Memang penemuan diri adalah lentera untuk menjalani kehidupan dengan lebih berani dan percaya diri.

 

Makna bermain

Gabriel Tarde -seorang sosiolog perancis- berpendapat bahwa manusia saling belajar satu sama lain melalui imitasi (peniruan). Proses imitasi terdiri dari tiga hal: 1. prinsip kontak/ relasi yang hangat; 2. prinsip peniruan terhadap superior oleh inferior; 3 prinsip penyisipan. Prinsip kontak (1) dapat dijelaskan sebagai berikut: saat kita berelasi dengan orang lain terutama dengan orang yang dekat maka kita bertemu dengan ide, pemikiran, karakter, kepribadian individu tersebut. Kedekatan dan proses relasi/ kontak yang terus- menerus membentuk imitasi. Prinsip pertama membutuhkan media. Media itu bisa misalnya pertemuan, keterlibatan dalam suatu organisasi, bahkan media cetak/elektronik. Prinsip peniruan (2) terhadap superior oleh inferior mengatakan bahwa manusia memiliki tendesi untuk mengikuti dan meniru model dari individu/ kelompok yang lebih tinggi (baik dalam umur, status, kedudukan). Tujuan peniruan adalah untuk mendapat penghargaan dan pujian dari individu/kelompok yang lebih tinggi. Di dalam prinsip penyisipan (3), relasi biasanya menghasilkan tindakan dan kelakuan baru yang didapat dari individu/ kelompok lain. Tindakan dan kelakuan baru bisa menguatkan ataupun melemahkan kebiasaan/tindakan yang lama. Prinsip penyisipan ini mau menegaskan kekuatan kebaharuan: hal yang baru selalu mengubah dan mengganti kebiasaan yang lama. Ketiga prinsip imitasi ini terjadi, saling mengisi dan saling terkait satu sama lain.

Bermain adalah proses imitasi seperti yang digagas oleh Tarde tersebut. Melalui bermain anak-anak menciptakan kontak/relasi baik dengan teman-teman maupun orang dewasa. Bermain menjadi media imitasi. Tentu pada saat bermain, anak meniru dan meng-copy ide baru, tindakan, kepribadian bahkan peran orang dewasa. Peniruan yang dibuat oleh anak didorong oleh keinginan dipuji dan dihargai. Sebagai contoh: anak-anak perempuan bermain boneka untuk meniru peran seorang ibu. Sedangkan anak-anak laki sering bermain apa yang menjadi profesi dari sang ayah. Dari fakta ini kita mengatakan bahwa bermain merupakan imitasi anak terhadap peran orang dewasa. Dengan meniru peran orang dewasa, terbentuklah citra-diri seorang anak. Citra diri membangun identitas diri. Maka, benarlah apa yang dikatakan Corsaro bahwa bermain tidak hanya merupakan imitasi peran orang dewasa, tetapi suatu media bagi anak untuk meneguhkan identitas dirinya dalam relasi sosial. Bermain memampukan anak untuk berimajinasi dan berempati.

 

Cerita: permainan imaginatif

Kemampuan anak berimajinasi semakin terasah melalui permainan imaginatif. Permainan imaginatif adalah bermain dengan imaginasi dan merasang imaginasi. Permainan imaginatif melibatkan fantasi, simbol dan visualisasi. Sumber  permainan imaginatif tentu adalah cerita. Biasanya waktu malam sebelum tidur, cerita selalu dibacakan atau dikatakan entah orang tua atau pun kakek nekek. Dongeng / cerita melatih dan merangsang anak untuk bermain dengan imaginasi. Saat cerita dibaca dan dikatakan, imaginasi anak hidup dan jalan sehingga tidak heran kalau anak selalu serius dan terpukau dengan cerita. Vayessa, salah satu pujangga India, mengatakan bahwa ketika seseorang mendengarkan cerita dengan penuh perhatian, dia akan lahir kembali dan menjadi manusia baru. Sebab, efek cerita yaitu nilai-nilai cerita masuk dan menelusup ke dalam bawah sadar dan menanamkan, mematri nilai-nilai cerita tersebut dalam relung-relung diri yang terdalam. Efek cerita yang tertanam itu membongkar, mengubah, memperbaharui keberadaan diri sehingga diri menjadi manusia baru.

Maka, bagi Ernesto Robles Valle, narasi (cerita) memiliki kekuatan yang dasyat. Cerita menarik perhatian sekaligus mengajak subyek -baca anak- untuk ikut serta dalam pemaknaan sebuah kisah. Pemaknaan sebuah kisah terjadi karena ternyata, pendengar cerita sekaligus pemain cerita. Lewat cerita kisah pribadi seorang anak disusun karena di dalam cerita yang diajarkan bukan hanya sekedar pengetahuan tetapi juga pemahaman. Jadi, cerita sebetulnya mengasah kemampuan reflektif anak yaitu kemampuan untuk memaknai kehidupan ini. Daya reflektif menggali nilai-nilai peristiwa hidup sehingga hidup lebih bermakna dan berarti.

 

Kayanya permainan tradisional

 Kehidupan selalu tak lepas dari hidup sosial (hidup bermasyarakat). Hidup sosial membutuhkan kemampuan sosial yang harus dilatih dan dibangun sejak dini. Cara efektif membentuk kemampuan sosial anak adalah lewat permainan yang bercirikan kelompok. Umumnya permainan kelompok terdapat di dalam permainan tradisional karena karakter khas  permainan tradisinal melibatkan banyak subyek. Maka, permainan tradisional disebut juga dengan permainan kelompok/ sosial.

Ada beragam permainan tradisional yang dimiliki bangsa ini. Sebagai contoh petak umpet, gobak sodor, benteng-bentengan, nekeran (kelereng). Di dalam permainan tradisional, anak belajar prinsip-prinsip sosial seperti sharing,  bekerja sama, memberi kesempatan, mengekpresikan dan mengontrol emosi, bagaimana mengatasi konflik, bahkan strategi. Lalu prinsip-prinsip sosial yang diperoleh di dalam permainan tradisional menciptakan dan membangun pertemanan. Terbangunnya pertemanan menunjukkan bahwa anak belajar dan mengerti prinsip-prinsip sosial sehingga hidup sosial berjalan.

Di dalam permainan kelompok, anak secara tak sadar melatih kemampuan berbahasa karena mereka saling mengkomunikasikan ide, maksud, kehendak. Komunikasi menambah kosakata dan memperteguh kelancaran bahasa. Lalu terjadilah penguasaan bahasa. Kognitif anak juga terbangun karena dalam bermain anak menggunakan strategi bagaimana untuk memenangkan pertandingan itu. Permainan tradisional memang kaya akan unsur pedagogis.

Namun, dengan berkembangnya teknologi, permainan tradisional semakin ditinggalkan dan diganti dengan video-game. Permainan video-game jelas lebih menarik, lebih canggih tetapi tentu memiliki bahaya yang harus disimak oleh para pendidik. Salah satu bahayanya adalah anak menjadi tertutup dan matinya kepekaan sosial. Video –game membekap anak di dalam di dunia maya sehingga anak tergiring suatu realitas semu yang tidak memberi tempat untuk sosial. Memang permainan video-game bisa dilakukan bersama. Namun video-game selalu kesannya adalah membiasakan anak untuk individualis, sibuk dengan dirinya sendiri dan asing dengan realitas di sekitarnya. Sudah barang tentu usaha anak  membangun identitas diri secara positif terhambat.

 

Penutup

Seru Dewayani Sofie: “Anak bukanlah tubuh kecil. Anak bukan tumpuan harapan tempat orang dewasa bisa menautkan ambisinya. Sebab, anak mempunyai dunianya sendiri yang minta untuk dipahami dan dihormati“. Dan bermain merupakan ruang dan waktu kegembiraan anak untuk menikmati dunianya sekaligus cara pendampingan yang paling efektif bagi orang tua untuk mengerti, mendidik bahkan mencintai anak. Berikut nasihat bangsa Spanyol:

 

Kepada Para Guru dan Orang Tua

Anak itu adalah seperti butiran yang sangat halus dan mudah dibentuk.

Maka dibutuhkanlah: kasih, pengertian, bantuan dan teladan yang baik.

Apakah anda seorang guru; apakah anda seorang orang tua dan apa pun tanggung jawabmu

akanlah menjadi suatu karya agungmu yang Tuhan harapkan dan minta darimu.

 

 

Daftar Pustaka

 

Dewayani, Sofie, Mengembalikan Subyektivitas Anak. Kompas.

Bala, Robert, Narasi dan Dogmatisasi. Kompas.

Ponce, Octavio, La Biblia Infantil. Mexico: Libería Parroquial de Clavería, 1997.

William, Gwen, Gabriel Tarde and The Imitation of Deviance. Sumber  internet.

Eureka Play and Learning. Sumber internet

Copyright © 2016 ducksophia.com. All Rights Reserved

 

                                                                                  

 

 

Author: Duckjesui

lulus dari universitas ducksophia di kota Bebek. Kwek kwek kwak

One thought on “Dunia Anak: Bermain”

Leave a Reply