Lukisan: Johan Barthold Jongkind, THe Towpath, 1864
Bagian II
V. Kritik terhadap demokrasi
- Suatu mayoritas dapat memaksakan kehendaknya kepada minoritas
Demokrasi menjadi totaliter apabila rakyat atau lebih tepat mayoritas rakyat memutlakkan kehendaknya. Pada prinsipnya tidak ada kehendak pihak manapun di dunia entah minoritas maupun mayoritas yang memiliki hak mutlak agar kehendaknya terlaksana. Segenap kehendak suatu pihak menemukan batasnya pada pihak lain. Suatu mayoritas tidak berhak untuk menetapkan apa saja yang dikehendakinya. Mayoritas harus menghormati hak-hak orang lain yang minoritas[1]. Hilangnya prinsip ini akan menyebabkan demokrasi menjadi totalitarisme[2]. Penyebabnya seperti yang dikatakan CA 46 “akhirnya seperti terbukti juga dari sejarah, demokrasi tanpa prinsip-prinsip dengan mudah berubah menjadi totalitarisme terang-terangan atau terselubung”.
Totalitarisme itu biasanya diawali dengan kepentingan pribadi-kelompok yang menyelusup di dalam retorika-retorika atau kebohongan yang terbungkus dalam janji palsu tetapi manis. Pemegang kepentingan pribadi-kelompok memangku jabatan kekuasaan. Maka di negara yang mana jurang antara yang miskin dan kaya begitu dalam, yang institusi sosial-politik-ekonominya tidak berjalan dengan baik, yang tingkat pendidikannya rendah rentan dimanipulasi dan dikuasai oleh elite politik yang despotik. Setelah mereka duduk di pusat kekuasaan, kepentingan mereka diutamakan dan dipertahankan sedemikan rupa sehingga menetaskan totalitarisme. Mekanisme umumnya mudah dideteksi yaitu kebaikan bersama dipinggirkan lewat penggiringan opini lalu membiarkan masalah-masalah yang ada tetap mengemuka tanpa ada penyelesaian sembari menebarkan propaganda dengan menyalahkan oposisi atau pihak tertentu. Sayangnya, akibat propaganda tersebut minoritas menjadi terdeskriminasi dan semakin tersudutkan perannya secara politik. Tiadanya penghormatan oleh mayoritas kepada minoritas ataupun pemaksaan kehendak kepada minoritas membuktikan bahwa kekuasaan hanyalah legitimasi dan perwujudan kepentingan oligarki. Kepentingan oligarki yang berbaju demokrasi membuktikan juga bahwa demokrasi itu kerap kali kehilangan nilainya ketika berhadapan dengan kelompok minoritas lalu berubah menjadi anarkis. Situasi minoritas yang lemah posisinya dan tak punya daya tawar baik di dalam politik, budaya, dan sosial menjadikan minoritas mangsa bagi mayoritas. Gambarannya persis yang dikatakan oleh Benjamin Franklin: “Demokrasi seperti dua ekor srigala dan seekor domba yang melakukan pemungutan suara untuk menentukan apakah makan siang mereka”.
2. Antitesis demokrasi: mobrokasi
Pengambilan keputusan di dalam pemerintahan demokrasi yang sering terjadi adalah emosi yang kerap kali lebih mendominasi daripada akal budi. Karena itu, Plato secara tegas menolak bentuk pemerintahan demokrasi. Pemerintahan oleh rakyat menciptakan keputusan emosional daripada rasional[3]. Dasar Plato mengatakan hal ini berasal dari suatu peristiwa hukuman mati kepada Sokrates yang dijatuhkan oleh pengadilan Athena. Yang menggerakkan pengadilan untuk membuat keputusan itu bukan akal budinya melainkan emosi, prasangka, asumsi. Ketika emosi menguasai akal budi yang timbul adalah kebodohan. Padahal seharusnya lahirnya suatu keputusan negara harus didasarkan pada hal-hal yang objektif, logis dan fakta-fakta yang telah diverifikasi. Konsekuensinya, keputusan yang dihasilkan membawa malapetaka. Sidang pengadilan Athena yang menjatuhkan hukuman mati kepada Socrates telah menjadi contoh kebodohan dan malapetaka itu. Emosi, prasangka yang lebih mendominasi daripada rasionalitas menyeruak karena demokrasi dengan mudah dikendalikan oleh kerumunan. Kerumunan berarti tidak adanya lagi individu-individu dengan kekhasannya masing-masing karena individu-individu melebur dan menyatu dalam homogenitas kerumunan. Homogenitas kerumunan membentuk massa yang tak memiliki obyektivitas dan rasionalitas. Dalam pembentukan massa yang aktual dan irasional itu, individu menjadi anonim, tak bernama, tak berwajah dan seolah-olah menyatu dalam raga sama dengan mekanisme dan cara pikir yang destruktif. Individu-individu bergabung dan terlebur di bawah payung yang sama sehingga mereka satu berpikir, merasa dan bertindak serupa (Gustave Le Bon). Payung yang menudungi kerumunan bisa jadi perasaan senasib ataupun peristiwa tertentu yang semuanya itu bakal melahirkan prasangka, nafsu barbarian, ide-ide yang dangkal lalu bercampur-aduk menjadi kekuatan kerumunan yang menyimpan bahaya laten yang siap meledak. Begitu dipancing dan disulut oleh sesuatu entah itu retorika, tokoh, peristiwa tertentu kerumuman atau massa aktual mengeksekusi idenya dan nafsunya dalam praktis anarkisme. Beringas, brutal agresif, ngawur, menakutkan dan destruksif kiranya menjadi irama dan gerakan pikiran, perasaan, tindakan dan keputusan dari massa aktual itu. Ironinya, kerumunan-massa yang demikian menyatakan dirinya sebagai kehendak rakyat. Bahkan, kerumunan telah dipandang sebagai pelaksanaan demokrasi. Tanpa disadari, perilaku yang dinilai sebagai wujud demokrasi menjelma sebagai keberingasan mobokrasi[4]. Mobokrasi berarti kerumunan mengendalikan pemerintahan dan politik-kekuasaan secara irasional-emosional dengan pola yang destruktif. Mobokrasi menyiratkan begitu kuatnya dominasi kerumunan karena massa bertindak secara kolektif yang memproduksi aksi kekacauan dan kerusuhan baik secara pikiran maupun praktis. Dengan mengatas-namakan demokrasi, kerumununan begitu percaya diri untuk menyuarakan idenya, kehendaknya, hak-haknya walaupun harus mengorbankan hak, ide, kehendak orang lain termasuk minoritas. Bahkan ketika ada pihak yang tidak sejalan dengan kerumunan dan hanya dianggap keliru meskipun belum terverifikasi, pihak tersebut dihakimi, didiskriminasi, dijadikan obyek kekerasan, dirampas segala haknya[5]. Mobokrasi sekarang ini secara implisit berakar pada populisme yaitu upaya-upaya mewujudkan cita demokrasi namun secara korup dan hipokrit sehingga ia merupakan antitesis dari demokrasi. Antitesis itu semakin mengerucut ketika cita-cita demokrasi dijungkirbalikkan, ideologi demokrasi dilucuti dan hukum dijadikan pembenaran untuk tujuan barbariannya lewat konsep dan undang-undang. Jadi, mobokrasi merupakan pengkhianatan terhadap demokrasi atas nama demokrasi; suatu bentuk demokrasi yang terdegradasi.
Fakta sejarah membuktikan bahwa demokrasi mudah tergelincir menjadi mobokrasi. Demokrasi yang tergelincir menjadi mobokrasi jelas suatu anarki. Dan karena mudah tergelincir menjadi mobokrasi maka benar pula apa yang dikatakan oleh John Adam bahwa demokrasi tak pernah berlangsung lama, demokrasi segera menyia-nyiakan dirinya, melelahkan dirinya dan bahkan pada akhirnya membunuh dirinya sendiri. Jadi, apa yang dikatakan Plato bahwa pemerintahan demokrasi adalah pemerintahan yang tidak dapat diprediksi, inkonsisten dan berbahaya memang patut direnungkan.
- Dalam demokrasi segala sesuatu ditentukan dengan pemungutan suara tanpa melihat kualitas pemilihnya
Menurut Lipset demokrasi hanya berjalan dengan baik bila ditopang oleh warga-negara yang berpendidikan yang memadai serta kelas menengah kuat dan independen. Pendidikan yang rendah dan kemiskinan justru menjadi bumerang bagi demokrasi. Dasar pemikiran Lipset adalah: Semakin tinggi pendidikan seseorang akan semakin mungkin ia yakin dalam nilai-nilai demokrasi dan mendukung praktik demokrasi. Faktanya dalam praktik demokrasi tidak penting siapa yang mengeluarkan suaranya. Di sini berlaku: one man one vote. Seorang guru besar dalam ilmu politik disetarakan dengan orang yang buta huruf yang kurang pendidikannya. Dalam demokrasi, yang penting hanyalah mayoritas suara yang dihasilkan dalam proses voting. Bisa jadi mayoritas dibentuk dengan suara orang bodoh yang kurang mengerti dan ikut iseng saja, sedangkan minoritas justru terdiri atas orang ahli dan yang mengerti betul permasalahannya. Dalam keadaan itu pun pelaksanaan demokrasi tetap sah. Dalam sistem demokrasi, mayoritas menang tetapi tanpa melihat dan tidak peduli dengan kualitasnya[6]. Konsekuensinya, keputusan dan kebijakan negara bisa jadi hanya ditentukan oleh opini yang populer. Sayangnya, kebenaran tidak ditentukan dan diputuskan oleh opini yang populer. Opini populer biasanya diwarnai dan ditentukan oleh tingkat pendidikan yang rendah. Keyakinan dan pengetahuan populer mensyaratkan pembentukan masyarakat berdasarkan kehendak mayoritas yang popular yang justru membuahkan ketidakadilan, kejahatan.
Pendidikan amat menentukan kualitas hidup demokrasi bangsa yang menganutnya. Semakin tinggi tingkat pendidikan suatu bangsa, semakin besar peluang demokrasi. Pendidikan berperan penting dalam meluaskan wawasan seseorang dan memungkinkannya memahami akan perlunya toleransi. Dengan pendidikan yang lebih tinggi orang cenderung menyakini nilai nilai demokrasi dan praktik demokrasi. Di negara-negara dengan pendidikan yang tinggi dan banyaknya yang menggengam pendidikan seperti Eropa, Jepang praktik demokrasi jauh lebih baik daripada negara-negara yang tingkat pendidikannya kurang baik dan sedikitnya orang yang bersekolah. Resikonya, negara-negara yang mengklaim dirinya demokrasi tetapi dengan pendidikan yang kurang cenderung tidak mampu menampilkan wajah demokrasi yang sejati bahkan kalaupun demokrasi diagungkan hanyalah sebatas topeng demokrasi. Dengan demikian penghancur atau penyelamat demokrasi tergantung dari tinggi-rendahnya, banyak-tidaknya yang menempuh pendidikan.
- Demokrasi dapat membuang moralitas dan kuatnya korupsi
Demokrasi sekarang ini menjadi ikon bagi banyak bangsa karena di dalam demokrasi nilai-nilai moral dan penghormatan terhadap martabat manusia dijunjung tinggi. Di balik ikon demokrasi, ada bahaya yang mengintai yaitu ketika demokrasi telah menjadi dewa baru yang didambakan dan dipuja tetapi melupakan esensi dan nilai demokrasi. Tujuan demokrasi adalah keadilan sosial dan bukan demokrasi itu sendiri. Dengan mendewakannya, demokrasi telah menjadi tujuan dan bukan lagi sarana untuk keadilan sosial sehingga demokrasi dengan mudah ditumpangi dengan kepentingan-kepentingan, makna dan nilai palsu yang terselubung yang justru mendegradasikan demokrasi. Apalagi sekarang ini demokrasi hanya dimaknai sebatas konsesus bersama tanpa lagi memperhatikan isi universalnya ataupun isi dan maknanya berubah-rubah karena tidak ada tiang fundamentalnya. Akibatnya, demokrasi dapat membuang moralitas karena yang dipentingkan menyoal konsesus bersama dan bukan lagi nilai-nilai yang benar dan obyektif. Seirama dengan persoalan yang melanda demokrasi eforia untuk mewujudkan demokrasi juga begitu tinggi. Terhadap fenomen ini, Lee Kwan Yew menyatakan bahwa kegembiraan demokrasi mengantar kepada sikap dan kelakuan yang kacau balau dan indisipliner dan sikap dan kelakuan yang demikian justru merupakan musuh pembangunan. Gereja melalui Evangelium Vitae art 70 telah mengingatkan bahwa nilai-nilai demokrasi tidak akan otomatis langsung terwujud. Nilai-nilai demokrasi terwujud jika pelaksanaan atau penyesusaian hukum moral yang ada di dalamnya:
“Demokrasi tidak boleh didewakan sampai dijadikan pengganti moralitas atau terapi bagi moralitas. Pada dasarnya demokrasi adalah suatu sistem dan karena sebuah sistem demokrasi adalah sarana bukan suatu tujuan. Nilai moralnya tidak otomatis melainkan tergantung dari kesesuaiannya dengan hukum moral”.
Salah satu cacat cela yang paling berbahaya dari penolakan moralitas dalam sistem demokrasi adalah korupsi. Dikatakan paling berbahaya karena korupsi mengkhianati prinsip moral dan norma-norma keadilan sosial yang menjadi kekhasan demokrasi. Korupsi dapat dimaknai sebagai penyalahgunaan posisi-jabatan pemerintah-publik hanya untuk pemenuhan keuntungan pribadi. Kebebasan yang didengungkan oleh demokrasi tanpa moral dan nilai universal amat berbahaya karena orang bisa melakukan apa saja berdasarkan kepentingannya, nafsunya tanpa melihat orang lain. Benar bahwa jaringan demokrasi melahirkan kebebasan ekonomi dan kebebasan politik tetapi juga ada kontradiksi antara penyesuaian privat (yang disetujui oleh korporasi) dan tujuan sosial (mayoritas keinginan warga negara) kemudian ditambah kepentingan diri yang serakah dari tiap orang sebagai hasil dari kompetisi dalam pasar ekonomi. Dari sinilah rangsangan korupsi menyelinap ke warga negara baik yang pemegang jabatan dan warga negara awam. Dampak korupsi dalam suatu negara begitu dalam. Korupsi memperlemah institusi tetapi juga dari institusi yang bobrok juga menghasilkan orang-orang yang korup. Mereka bekerja bukan karena ide-ide yang cemerlang namun berkomitmen hanya untuk mendahulukan dan mempertahankan kepentingan privat mereka. Institusi terkonsentrasi melayani kepentingan pribadi atau orang-kelompok tertentu bukan publik lagi karena telah dikendalikan oleh orang-orang yang menyogok institusi tersebut. Sementara pengadilan dan polisi menjadi tak berdaya, militer mengamankan bisnisnya sendiri. Korupsi menunda, menghambat dan mendistorsi pembangunan ekonomi karena ongkos administratif dan biaya produksi menjadi semakin mahal.[7] Korupsi menambah insecure pasar sehingga membuat yang kaya makin kaya. Akibatnya korupsi meningkatkan kemiskinan yang menjerumuskan warga negara untuk berbuat kejahatan. Di bidang politik, mandulnya para pemimpin dalam kebijakannya publiknya karena telah tersandera oleh orang-orang yang membiayai mereka untuk memenangkan pertarungan politik[8]. Korupsi menciptakan krisis politik, sosial, ekonomi karena korupsi menegasi segala tujuan sosial yang positif, yang telah ada maupun yang telah terbentuk yaitu sarana-sarananya untuk mencapai nilai yang dicita-citakan (kesejahteraan umum, kepentingan umum). Korupsi merupakan produk ekonomi, budaya, politik. Hasilnya, korupsi menggabungkan ketiga dimensi ini sehingga korupsi tidak bisa dievaluasi hanya berdasarkan satu dimensi.[9]
Maka, korupsi bukan suatu masalah tunggal melainkan suatu masalah yang kompleks dan mengakar dalam berbagai konteks sehingga ketika akar korupsi menjadi masalah yang amat serius implikasinya pun bisa menjadi berbagai bentuk. Tak mengherankan, korupsi melibatkan siapa saja tanpa mengenal latar belakangnya, statusnya seperti pelaku usaha, pejabat pemerintahan, ekonom, politikus, polisi, militer, dosen, dan seterusnya. Korupsi terjadi di mana saja atau di berbagai kalangan misalnya di perusahaan, di institusi publik-swasta, universitas. Korupsi juga bisa beradaptasi atau menyesuaikan konteks dan situasinya bahkan karena sifatnya yang adaptatif korupsi bisa mengubah, menyusupkan dirinya seperti di dalam undang-undang untuk mempermulus kinerjanya maupun secara praktis. Karena itu pula mekanisme, bentuk, praktik ataupun kinerjanya bisa jadi terang-terangan maupun samar- samar.
Melihat mekanismenya, cara kerja dan efeknya, korupsi adalah kejahatan yang luar biasa karena efeknya merambat ke segala lini negara sehingga mengkeroposkan bahkan menghancurkan negara tersebut. Korupsi menyimbolkan degradasi atau kemuduran demokrasi sekaligus anti demokrasi.
VI. Centesimus Annus 46 sebagai cermin dan basis refleksi hidup demokrasi
CA 46 merupakan cermin bagi kehidupan demokrasi baik secara ekonomi, politik, sosial sekaligus referensi apakah demokrasi benar-benar terlaksana di dalam kehidupan suatu bangsa termasuk Indonesia.
Berbagai fenomena, dinamika dan peristiwa negeri ini harus merefleksikan hidup demokrasi di dalam bingkai CA 46 untuk menilai dan mengukur apakah hidup demokrasi Indonesia telah sesuai dengan semangat dan cita-cita demokrasi yang sejati. Kalau mau jujur dengan memakai kacamata CA 46 maka maraknya korupsi, menguatnya intoleransi dan kekerasan berbasis sara yang menggelora, bobrokya institusi pendidikan, sosial, pemerintah, pengabaian kepentingan rakyat yang semakin dalam, semakin tajamnya perbedaan antara yang kaya dan miskin jelas merupakan tanda bahkan fakta kegagalan negara membangun karakter demokrasi. Demokrasi yang dipenuhi seperti yang disebutkan di atas adalah demokrasi basa-basi. Demokrasi yang berhadapan dengan krisis sosial akan meluluhlantahkan hidup demokrasi sendiri sehingga demokrasi yang demikian akan berubah menjadi totalitarisme. Totalitarisme istilah lain dari anarki dan anarki berarti malapetaka dan kekacauan[10]. Berkaca dari sejarah dan fenomen-fenomen yang terjadi di negeri ini kita dapat berseru: Jangan-jangan demokrasi Indonesia hanyalah anarki yang terselubung!
Anarki Indonesia berbentuk oligarki dengan topeng demokrasi. Begitu kekuasaan diperoleh, siapa pun -termasuk yang dulunya pengkritik pemerintah dan pencetus demokrasi reformasi- akan berusaha terus tanpa lelah untuk meneguhkan oligarki dengan strategi dan kebijakannya baik di dalam pemerintahannya maupun di partai-partai politik yang mengusungnya. Dalam mekanisme oligarki yang terselubung, syarat dan esensi demokrasi diratakan melulu pada aturan prosedural yang diperlukan namun aturan prosedural hanyalah demi memuluskan kepentingan oligarki. Sudah bisa ditebak bahwa keadilan yang dihasilkan adalah keadilan versi oligarki. Keadilan oligarki menolak keadilan sosial sebagai produk dari bonum commune. Keadilan sosial yang dikosongkan dari referensi yang diperlukan untuk kebaikan bersama dan kebaikan semua warga harus tunduk kepada pelayanan demi dan untuk beberapa orang. Keadilan oligarki adalah keadilan relatif karena hanya adil bagi orang-orang tertentu dan bukan semua warga negara. Dan keadilan sosial yang direduksi menjadi dimensi kelembagaan belaka tidak dapat lagi menawarkan bonum commune. Keadilan prosedural-keadilan relatif hanya berusaha menjawab dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang langsung terasa dan instans tetapi mengabaikan kesejahteraan orang banyak. Dengan cara yang demikian demokrasi menafikan proses dan perjuangan. Obyektivitas diganti dengan subyektivitas yang dilandasi kepentingan diri dan hasrat diri sehingga tidak lagi berpatok pada kepentingan warga negara, realitas obyektif disesuaikan dengan rancangan kepentingan orang-orang yang berkuasa dan pencari keuntungan komersial[11]. Tujuan dan cita-cita demokrasi yaitu keadilan sosial diingkari demi semuanya itu. Sistem antropologis dan etika yang seharusnya mendukung dan memelihara keadilan sebagai sumber kehidupan sosial, politik, ekonomi pudar menghilang.
Memang sistem demokrasi memiliki celah lemah dan celah lemah ini mampu dibaca dengan baik oleh elite-elite lama beserta turunan dan titipannya yang menguasai sumber daya politik-ekonomi, kapital, dan jaringan di pusat pengambilan kebijakan. Celah lemah demokrasi dimanfaatkan oleh mereka demi mempertahankan kenyamanan, fasilitas dan nikmat sosial yang didapat dari kekuasaan. Mereka pun bisa dikatakan sebagai penumpang gelap karena mereka memproduksi dan mematrikan kroni-kroninya di pusat pemerintahan sehingga mereka tetap mengendalikan pemerintahan bahkan membajak sistem pemerintahan baru. Elite-elite lama itu dengan cerdik menggunakan nilai-nilai demokrasi hanya sebagai sarana menutupi kebusukan mereka yang mengeruk kekuasaan demi kepentingan mereka sendiri. Bahkan, sebagian menduduki jabatan penting dan strategis di lembaga politik kenegaraan dengan format baru, sambil berpetuah mengenai demokrasi dan kesejahteraan tetapi hanyalah sebagai tipuan[12]. Mereka ini sebenarnya tepat jika disebut sebagai demagog yang ulung. Demagog lihai dan jeli dalam membaca situasi politik, ekonomi sosial untuk memenangkan pertarungan politik melawan lawan-lawannya dengan memanfaat perasaan dan emosi warga negara untuk kepentingan politiknya dan meneguhkan legitimasinya yang mana warga negara akhirnya memberikan persetujuan tanpa sadar untuk melegalkan kepentingan oligarki. Obsesi penguasa adalah kekuasaan (dipilih kembali) dan mengekalkannya, bukan dalam rangka mengupayakan kesejahteraan bangsa, melainkan sebagai akses ke fasilitas dan nikmat sosial. Mereka pun menjadi narcis yang tampak dalam upaya mewujudkan obsesi kekuasaan. Celakanya, obsesi akan kekuasaan itu didukung sistem representasi demokrasi[13]. Sistem representasi demokrasi rapuh dan lemah yang disebabkan oleh pendelegasian. Model pendelegasian itu menjadi salah satu sebab lemahnya pengawasan terhadap pelaksanaan kekuasaan[14]. Pengawasan lemah karena orang-orang yang ada di dalam posisi pengawasan tersandra dengan tuntutan dan kepentingan partai. Mahar poilitik dan ongkos politik untuk menduduki jabatan kekuasaan begitu mahal. Jadi baik legislatif, yudikatif dan eksekutif saling meruwetkan dirinya dalam upaya melaksanakan kepentingan sendiri atau setidaknya harus mengembalikan biaya dan mahar politik yang telah dikeluarkan oleh partai dan dirinya. Ketika komunitas yang mana orang-orangnya hanya peduli dengan realisasi pribadi dari kepentingan mereka sendiri, meskipun dalam batas-batas yang diberlakukan oleh otoritas publik sebagai garansi kepentingan umum prosedural mengandung resiko yaitu demokrasi mudah terkena dari intimasi yang paling kuat dan tidak lagi memikirkan kebaikan semua orang, tidak mampu lagi membaca hak-hak warga negara dan tujuan demokrasi[15]. Jelas bahwa kekuasaan politik harus bersesuaian dengan konstitusi masyarakat yang otentik. Tanpa persatuan moral yang benar di antara konstitusi dan kekuasaan politik tidaklah mungkin mempromosikan dan melaksanakan baik kebaikan umum maupun keadilan sosial[16].
Kepentingan politik juga tidak mungkin dilepaskan dari kepentingan ekonomi karena keduanya menentukan roda demokrasi. Karena terlalu berkonsentrasi pada kepentingan dan pembangunan ekonomi, demokrasi cenderung diwarnai dengan tinta mercantilisime sehingga kepentingan pasar menjadi yang hal yang utama daripada kebaikan dan keadilan sosial. Mercantilisime bersatu dengan erat dengan utilitarinisme yang mana segala sesuatunya dinilai berdasarkan dari kesepakatan yanng sifatnya utilitarian dalam semangat yang hanya menguntungkan. Ukurannya hanya profit. Dalam demokrasi merchantilisme politik dikendalikan oleh profit dan uang. Lalu politik oligarki bekerja mengikuti model pasar dan politik pencintraan. Moral para pemegang kekuasaan tereduksi hanya melulu kepada moral politik yang dipahami sebagai konvensi-kesepakatan bersama atau institusi aturan hanya mengelaborasi kepentinganku-kelompokku dan keuntunganku-kelompokku. Politik membenamkan dirinya ke dalam pasar sehingga tujuan politik sama dengan tujuan pasar yaitu menghasilkan profit demi aku sendiri sehingga kemiskinan semakin mengangga karena pemegang kekuasaan tidak lagi mempedulikan kesejahteraan umum ataupun kalau tetap diperhatikan, kesejahteraan masyarakat bukan prioritas utama. Keadaan yang demikian justru meningkatkan masalah sosial dan kejahatan. Ruang publik yang merupakan tempat asal-muasal demokrasi terjajah oleh kepemilikan kapital sehingga menjadi diskriminatif dan identik dengan pasar itu sendiri. Efek demokrasi pasar-merchantilisme menciptakan krisis antara kebenaran dan kebaikan, antara etika publik dan etika personal.
Tentu saja bahwa demokrasi yang disusupi oligarki tak mungkin membawa kepada kesejahteraan. Bagi Amich Alhumami keyakinan demokrasi menjadi jembatan mencapai kesejahteraan bukan lagi mitos, tetapi justru menjadi kutukan. Sudah hampir satu dekade Indonesia berpaling dari otoritarianisme, tetapi demokrasi tak membawa perubahan apa-apa. Masalah yang sama terus berlangsung meskipun otoritanisme telah usai[17]. Dalam arti tertentu, demokrasi Indonesia justru menetaskan dan menyuburkan berbagai macam masalah yang telah ada misalnya: fundamentalisme agama, monopoli pihak pemegang modal, kemiskinan yang semakin mencekram dan tentu saja korupsi yang merajalela. Bahkan kemarahan dan kekerasan yang sering digunakan sebagai cara untuk mengibarkan demokrasi. Ketika HAM dipermainkan dan dilecehkan, hidup demokrasi itu hanya sekedar impian maupun basa-basi. Pada saat itu keadilan tidak dapat lagi menawarkan jiwa etis terhadap demokrasi karena demokrasi telah mengingkari janjinya. Semua itu karena manusia indonesia mungkin belum siap untuk menjadi manusia demokrasi baik secara budaya, mental, pendidikan dan praktik. Para elite politik dan pejabat oligarki itu kiranya tidak mengenali kebaikan dan kebenaran yang mengejewantah di dalam setiap pribadi, tidak mampu lagi membaca hak setiap warga negara ataupun kalau mengenali nafsu banalitas lebih dituruti daripada kebaikan universal semua orang. Kebaikan segala yang ada tak kukenali sehingga aku menjadi acuh tak acuh terhadap orang lain. Yang penting kepentinganku terpenuhi. Ketika kepentingan tak terpenuhi atau terganggu, maka kamu harus kusingkirkan. Kematian moral dan suara hati semakin merambat dan menjalar ke hati orang Indonesia. Gema suara Benito Mussolini kembali nyaring: “Demokrasi itu indah dalam teori; namun dalam prakteknya demokrasi adalah suatu kesesatan dan penyimpangan”.
VII. Penutup
Dukungan gereja terhadap demokrasi secara tegas dan definitif ada di dalam Centesimus Annus 46. Gereja melalui CA 46 melihat bahwa baik kehidupan demokrasi ekonomi, budaya maupun politik sebagai bagian integral perkembangan manusia dan masyarakat[18]. Demokrasi hanya dapat bertumbuh di dalam negara hukum dan yang memiliki pemahaman yang benar tentang pribadi manusia. Pada saat yang sama, gereja juga mengkritisi bahaya demokrasi. Demokrasi yang mengabaikan prinsip-prinsip kemanusiaan dan menendang integritas-moralitas demi kepentingan pribadi-kelompok akan berubah menjadi totalitarisme.
Meskipun gereja mendukung demokrasi, ia tidak mengidentikkan dirinya dengan ajaran demokrasi. Memang ada kesamaan prinsip demokrasi dengan ajaran gereja. Namun itu bukan berarti bahwa gereja itu demokrasi dan demokrasi itu gereja. Sumbangan gereja terhadap tata politik terletak di dalam visinya tentang martabat manusia dan dorongan kepada para murid Kristus untuk terlibat di dalam politik sesuai kebenaran Injil.
Usaha untuk mewujudkan nilai-nilai demokrasi bukanlah suatu usaha yang langsung jadi. Artinya hidup demokrasi tidak pernah akan dapat diaktualisasikan satu kali dan selamanya. Hidup demokrasi haruslah terus-menerus ditingkatkan, diperjuangkan dan diperbaharui dengan kebersamaan serta persatuan seluruh warga negara. Demokrasi tidak akan terbangun jika tidak ada partisipasi warga negara, upaya mewujudkan kesejahteraan umum, kebebasan dan kesempatan yang sama bagi setiap orang. Untuk semuanya itu, menurut Benediktus XVI demokrasi akan mencapai kepenuhan aktualisasinya ketika setiap orang dan setiap warga negara mempunyai akses kepada kebaikan pertama.
Memang, bentuk pemerintahan demokrasi memiliki banyak kekurangan. Ada banyak kritik dan celah lemah terhadap sistem demokrasi. Sir Winston Churchil, dalam membela demokrasi, mengatakan: “Demokrasi bukanlah bentuk pemerintahan yang paling sempurna. Tetapi bentuk pemerintahan yang lain tidaklah sebaik demokrasi”. CA 46 tetap selalu menjadi cermin bagi setiap bangsa dalam usahanya mewujudkan dan membangun hidup demokrasi.
Dalam membangun hidup demokrasi, pemegang kekuasaan baik di tingkat legislatif, yudikatif, eksekutif perlu mendengarkan seruan Aristoteles yaitu agar lebih mengutamakan persahabatan daripada keadilan karena ketika orang bersahabat tidak ada lagi keadilan tetapi ketika orang berusaha menciptakan keadilan, dia membutuhkan persahabatan. Artinya persahabatan sudah pasti menyertakan keadilan sebaliknya keadilan belum tentu menyertakan persahabatan. Persahabatan adalah kenyataan yang paling lengkap dan paling sempurna dalam menghasilkan keadilan karena persahabatan membawa kasih. Tidak ada satupun orang yang tidak mengasihi diri sendiri sehingga rumusannya seperti terang sabda Yesus sendiri kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri. Persahabatan adalah mengasihi sesamamu seperti dirimu sendiri sehingga keadilan otomatis terbentuk ketika orang mengasihi sesama seperti dirinya sendiri.
Dalam semangat kasih itu, gereja melalui CA tidak pernah berhenti untuk mengingatkan akan kasih yang melengkapi dan melandasi praktik keadilan sosial. Kasih yang memuat belas kasihan dan pengampunan yang menjelma dalam hidup sosial sama dengan mengaktualkan keadilan dengan cara terbaiknya tetapi tanpa menganeksasi kebutuhan obyektif. Kasih dan pengampunan memberikan keadilan manusia yang paling autentik, membantu keadilan di muka bumi melampaui dirinya sendiri agar sedekat mungkin dengan keadilan ilahi dengan memberikan setiap orang haknya dengan mengacu tidak hanya kepada perbuatan seseorang tetapi juga dirinya seutuhnya dan juga meminta kontribusinya untuk mewujudkan kebaikan orang lain dan kebaikan bersama. Kasih yang adil mendorong agar semua perbedaan dihapuskan ketika perbedaan menyebabkan diskriminasi yang tidak adil antara orang-orang sekaligus yang mencengkeram standar hidup mereka. Di dalam kasih setiap pribadi dihargai dan diperkuat karena setiap pribadi adalah manifestasi dari kekayaan adanya setiap orang[19]. Karena kasih, demokrasi pun menjadi demokrasi yang otentik yaitu demokrasi yang terbuka kepada nilai-nilai kebaikan, kebenaran dan keadilan, yang bertanggung jawab kepada kehidupan segala sesuatunya sekaligus memperjuangkannya sesuai dengan harkat dan martabat manusia. Tulis Charles W. Pickering: “Demokrasi yang sehat membutuhkan masyarakat yang baik; demokrasi yang baik mensyaratkan kita semua sebagai orang yang tulus, orang yang murah hati, orang yang toleran dan orang yang mulia”.
Daftar Pustaka
Buku
Bertens Kees, Etika Perspektif, Yogyakarta: Kanisius 2001
Comby, Jean et al, How to Read Church History, London: SCM Press,1989
Door, Donald, Option for the Poor, London: Gill and Macmillan, 1983
Dowley, Tim et al (eds), The History of Christianity, Sutherland: Lion Publishing, 1997
Girling, John, Corruption, Capitalism, and Democracy, London: Routledge, 1997
Hamilton, Edith et al (eds), The Collected Dialogue of Plato, New Jersey: Princenton University Press, 1989
Haring, Bernard, Free and Fatihfull in Christ, Vol III, London: St. Paul Publications, 1981
Johnston, Michael, Syndromes of Corruption: Wealth, Power, and Democracy, New York: Cambridge University, 2005
Kagan, Donald, Pericles of Athens and the Birth of Democracy, New York: Touchstone, 1991
Lipset, Seymour Martin, Political Man Basis Sosial Tentang Politik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007
Massaro SJ, Thomas, Living Justice, Wisconsin: Sheed Ward, 2000
Robert, Brad (ed), The New Democracies, Cambridge: MIT Press, 1990
Rodger, Charles, Christian Social Witness and Teaching, Vol II, Herefordshire: Gracewing, 1998
Sirico, Robert A, The Social Agenda of the Caholic Church, London: Burn & Oates, 2000
Suseno, Frans Magnis, Etika Politik, Jakarta: Gramedia, 2003
Wite, Thomas I, Discovering Philosophy, New Jersey: Prentice Hall, 1991
Ensiklopedi
Mcdonald, William J et al (eds), New Catholic Encyclopedia Vol I & IV, Washington: The Catholic University of America, 1967
Sills, David L, International Encyclopedia of the Social Sciences Vol I, London: The Macmillan Company and Free Press, 1968
Ensiklik dan Dokumen Gereja
John XXIII, Pacem in Terris, April 11, 1963
John Paul II, Address at The Third General Assemble of the United Nations Organization, October 5, 1995
……………, World Day of Peace Message, January I, 1981
……………, Gaudium et Spes, December 7, 1965
……………, Evangelium Vitae, March 25, 1995
……………, Christifideles Laici, December 30, 1998
……………, Peranserta Umat Katolik di Dalam Kehidupan Politik
Artikel
Amich Alhumami, “Mitos Demokrasi Untuk Kesejahteraan”, Kompas, 27 Desember 2007
Hasanuddin Wahid, “Demokrasi AS Yang Kebablasan”, Kompas, 13 Januari 2021
Haryatmoko, “Demokrasi Dikoreksi”, Kompas, 23 April 2008
Mario Tosso, “Democrazia E Giustizia Sociale”, Studium 102 (3). 2006, hal 387-408
[1] Frans Magnis Suseno, op.cit., hal 293-294
[2] Bdk Rodger Charles, Christian Social Witness and Teaching, Vol I (Gracewing, Hirefordshire, 1998) hal 404
[3] Thomas I White, op.cit., hal 285-286
[4] Triyono Lukmantoro, Anarkisme Politik Kerumunan, Kompas 6 Februari 2009
[5] Ibid.
[6] Kees Bartens, Etika Perspektif, (Yogyakarta: Kanisius, 2001) hal 30-31
[7] Michael Johnston, Syndromes of Corruption: Wealth, Power, and Democracy (New York: Cambridge University, 2005) hal 1
[8] Ibid., hal 13
[9] John Girling, Corruption, Capitalism, and Democracy (London: Routledge, 1997) hal VII
[10] Rusia di bawah kepepimpinan Joseph Stalin telah menjadi ingatan sejarah betapa kejamnya anarki tersebut. Tak ketinggalan pula Rumania dan Chili melalui Nicolae Ceausescu dan Pinochet masing-masing membawa negerinya ke lembah hitam kehidupan.
[11] Hasanuddin Wahid, “Demokrasi AS Yang Kebablasan”, Kompas, 13 Januari 2021
[12] Amich Alhumami, “Mitos Demokrasi Untuk Kesejahteraan”, Kompas, 27 Desember 2007
[13] Haryatmoko, “Demokrasi Dikoreksi”, Kompas, 23 April 2008
[14] Ibid.
[15] Mario Tosso, op.cit, hal 404
[16] Ibid., 405
[17] Sebut saja peristiwa Aceh, Ambon, Poso, Tanjung Priok, peristiwa 27 Juli, kasus Sang Timur di Ciledug, penutupan tempat ibadat di Jawa Barat dan kasus Bojong. Peristiwa-peristiwa yang baru disebutkan di atas adalah bukti konkret kekerasan di Indonesia.
[18] Bdk Bernard Haring, op.cit., hal 37
[19] Mario Tosso, op.cit., hal 403
Copyright © 2022 ducksophia.com. All Rights Reserved
Mari kita mewujudkan bersama demokasih