Cuci Tangan Pilatus: Sebuah Pengkhianatan Terhadap Kehormatan Manusia

 Lukisan Jean Francois Millet, The Goose Girl, 1886

 

Life is the love of life

        Emmanuel Levinas  

Ponsius Pilatus -wali negeri Yudea- adalah dilema sejarah. Dikatakan dilema sejarah karena peristiwa penyaliban Yesus oleh Pilatus adalah peristiwa lampau yang selalu mendorong kita untuk menimbang dan bertanya apakah tindakannya menyalibkan orang Nazareth itu dan cuci tangannya bisa dibenarkan? Keputusan menyerahkan Yesus kepada orang Yahudi dan cuci tangannya memunculkan beragam jawaban pro dan kontra. Dengan demikian pertanyaan tersebut menjadi sebuah polemik yang menggelitik hati setiap orang yang membaca Matius 27: 23-24. Dan bagi kami cuci tangan Pilatus adalah suatu pengkhianatan terhadap kehormatan manusia. Artikel ini membahas mengapa cuci tangan Pilatus disebut dengan pengkhianatan terhadap kehormatan manusia dan di mana letak kehormatan manusia.

 

Kehormatan manusia

Apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau      mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah      memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat” (Mazmur 8:5)

Mazmur 8 memproklamasikan bahwa kemuliaan Allah memancar dalam diri manusia karena Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya. Gambar dan rupa-Nya menyatakan bahwa Allah berbagi sesuatu dari diri-Nya dengan makhluk ciptaan-Nya sehingga manusia adalah makhluk ciptaan yang tertinggi[1]. Maka, di dalam manusialah Sang Pencipta menemukan kepenuhannya[2]. Puncak kepenuhan Sang Pencipta hadir di dalam wajah manusia karena wajah adalah representasi kehadiran manusia secara sempurna[3]. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa wajah manusia adalah cermin keagungan Tuhan. Wajah yang menjadi cermin keagungan Tuhan tentu manusia yang hidup. Kata St. Ireneus: “Gloria Dei, homo vivens” (kemuliaan Tuhan adalah manusia yang hidup). Kemuliaan Tuhan dalam manusia yang hidup dibuktikan bahwa manusia dikarunia martabat luhur berdasarkan ikatan erat sekali yang menyatukan manusia dengan Penciptanya: pada manusia terpancarkan pantulan Allah sendiri[4].  Jadi hidup manusia adalah suatu rahmat Allah[5].

Hidup yang dirahmatkan Allah tidak bisa dicekal dan dibatasi waktu; hidup merupakan suatu eksistensi yang mentransendensi keterbatasan waktu. Artinya Allah menciptakan manusia untuk keabadian dan dijadikan kekal seperti diri-Nya sendiri[6]. Untuk itu, manusia dipanggil kepada kepenuhan hidup yang jauh melampaui dimensi-dimensi hidupnya di dunia karena hidup manusia terdiri dari partisipasi di dalam kehidupan Allah sendiri. Partisipasi hidup manusia dalam hidup Allah mengungkapkan keluhuran panggilan adikodrati manusia yang mewahyukan keagungan dan nilai tak terhingga dari hidup manusia bahkan pada tahap sementara ini. Maka, manusia adalah makhluk tiada nilainya. Ia debu, rumput, kesia-siaan.  Akan tetapi sekali ia dipungut oleh Allah semesta alam sebagai putera-Nya, ia termasuk keluarga Allah. Menjadi keluarga Allah menunjukkan bahwa manusia melampaui kodratnya: ia yang dapat mati, luput dari kebinasaan; ia yang dapat terputus hidupnya, menjadi kekal; ia yang hidupnya akan lewat saja, hidup untuk selamanya; ia yang manusiawi, menjadi ilahi[7]. Inilah keabadian dan kebakaan manusia bersama dan di dalam Allah.

Allah adalah sempurna maka hidup manusia adalah suatu desakan menuju kesempurnaan. Desakan itu memiliki arti bahwa hidup yang dianugerahkan Allah kepada manusia masih jauh daripada ketika masih berada di dalam kurun waktu. Hidup merupakan benih keberadaan yang mengatasi batas-batas waktu untuk menuju kesempurnaan[8]. Agar menemukan dan sampai kepada kesempurnaan, dibutuhkanlah suatu sikap dasar definitif dari manusia dalam hidup ini yaitu: manusia harus menghargai membela, dan mencintai kehidupan. Ini prinsip pertama dan utama yang harus dimiliki setiap pribadi untuk sampai dan menjadi sempurna. Bahkan menghormati, membela dan mencintai kehidupan adalah sebuah tugas yang dipercayakan Allah bagi setiap manusia, sebuah panggilan berdasarkan kodratnya sebagai gambar dan rupa Allah[9]. Mencintai dan membela kehidupan menggores sebuah tanggung jawab yang adalah bentuk partisipasi manusia di dalam keagungan Sang Ilahi[10]. Oleh karena itulah, manusia wajib melaksanakan tanggung jawab akan kehidupan yang dipercayakan oleh Allah kepadanya[11].

Seperti halnya seseorang yang dipanggil untuk menjaga taman dunia, manusia memiliki tanggung jawab terhadap lingkungan di mana ia hidup, atas alam yang tercipta yang disediakan oleh Allah. Segala sesuatu di alam tercipta diarahkan kepada manusia dan semuanya dibawahkan kepadanya. “Penuhilah dan taklukkanlah bumi; dan kuasailah… semua makhluk yang hidup”. Semuanya itu diserahkan dan dipercayakan kepada pemeliharaan manusia dengan penuh tanggung jawab. Namun,   tanggung jawab tertinggi manusia adalah bertanggung jawab demi dan untuk sesamanya. Tanggung jawab kepada sesama sebagai tangggung jawab tertinggi bukan berarti melupakan tanggung jawab kepada alam semesta. Definitif, manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang termulia bertanggung jawab atas seluruh kehidupan ini. Evangelium Vitae merumuskan tanggung jawab demi dan untuk sesama dengan mengutip dari Kejadian 4:9 “Apakah aku penjaga adikku?” Ya, setiap orang adalah penjaga saudaranya sejak semula. Mengapa? Karena sejak semula Tuhan mempercayakan kita satu sama lainnya[12] dan kehidupan telah dipercayakan kepada kita manusia untuk dilestarikan dengan kesadaran tanggung jawab dan disempurnakan dalam cinta kasih dan dalam serah diri kita kepada Allah dan kepada saudara-saudara kita[13].

Mempercayakan satu sama lain itu mengandaikan relasi.  Relasi, menurut Martin Bubber, merupakan realitas pertama dan awali dari kehidupan[14]. Buktinya ketika seorang bayi dilahirkan, hal yang pertama dirasakannya bukanlah sebuah objek, tetapi sebuah relasi dengan ibunya. Relasi  memastikan bahwa tanggung jawab demi dan untuk sesama adalah sebuah kewajiban[15]. Meminjam istilah Kant, kewajiban bertanggung jawab demi dan untuk orang lain adalah kategorial imperatif. Maksudnya diriku telah distrukturkan sedemikian rupa untuk bertanggung jawab demi dan untuk orang lain sebelum diriku memiliki kesadaran untuk tanggung jawab tersebut. Dengan demikian, kodrat manusia adalah bertanggung jawab demi dan untuk sesamanya.

Bertanggung jawab demi dan untuk sesama tidak bisa dihindari demi alasan apa pun. Aku tidak bisa menolak tanggung jawabku demi dan untuk sesamaku. Bebannya menjadi bebanku, hidupnya menjadi tanggung jawabku. Tanggung jawabku demi dan untuk dia dimulai semenjak wajahnya menatap wajahku sehingga wajahnya mempresentasikan kewajibanku dan aku selalu diingatkan untuk bertanggung jawab demi dan untuk sesamaku[16]. Mengapa?

Wajah menggema di dalam suara hati tiap orang sebagai pantulan yang tidak dapat diredam, yang mencerminkan perjanjian asali Allah Pencipta dengan umat manusia[17]. Menurut Emmanuel Levinas, setiap wajah manusia berseru “jangan membunuhku” tanpa harus dikatakan[18]. Di hadapan wajah, seseorang tidak dapat tidak bereaksi karena ia menggugah perhatian, kesadaran dan permenunganku. Penampakan wajah berbeda dengan pengalaman-pengalaman yang lain. Sebab wajah meyandera aku sebagai yang bertanggung jawab atas situasi sekarang ini yang terjadi di hadapanku. Diriku benar-benar tertawan dalam tanggung jawabku demi dan untuk sesamaku. Menyandera dalam tanggung jawab berarti aku harus berbuat sesuatu atau aku tidak bisa menghindar dengan diam di hadapan wajah.  Wajah menghakimi aku. Artinya wajah selalu menghadirkan momen moral dan pengalaman subyektif bahwa aku tak bisa menghindar dengan tak berbuat apa-apa di hadapan penderitaan orang lain.

Seruan setiap wajah yang demikian hendak membuktikan bahwa manusia itu rapuh dan lemah. Justru karena manusia lemah dan rapuh, maka setiap orang dipanggil untuk bertanggung jawab demi dan untuk sesamanya. Inilah kehebatan, keunggulan dan kecermelangan manusia dibandingkan dengan makhluk lain[19]. Bertanggung jawab demi dan untuk sesama manusia menunjukkan bahwa manusia adalah peduli satu sama lain, manusia saling mengasihi satu sama lain. Bertanggung jawab demi dan untuk sesama adalah jawaban manusia terhadap rahmat kasih Allah yang lebih dahalu mencintai manusia[20]. Jadi kehormatan manusia adalah manusia yang bertanggung jawab demi dan untuk sesamanya bahkan adalah karunia agung sang Pencipta yang diberikan kepada setiap pribadi sehingga pemenuhan manusia terjadi dengan bertanggung jawab kepada sesama lewat pemberian dirinya dan sikap terbuka bagi sesama [21].

 

Cuci tangan Pilatus: penolakan untuk bertanggung jawab demi dan untuk sesamaku

Kata Pilatus kepada mereka: “Jika begitu, apakah yang harus kuperbuat dengan Yesus, yang disebut  Kristus?” Mereka semua berseru: “Ia harus disalibkan!” Katanya: “Tetapi kejahatan apakah yang telah dilakukan-Nya?” Namun mereka makin keras berteriak: “Ia harus disalibkan!” Ketika Pilatus   melihat bahwa segala usaha akan sia-sia, malah sudah mulai timbul kekacauan, ia mengambil air   dan membasuh tangannya di hadapan orang banyak dan berkata: “Aku tidak bersalah terhadap  darah orang ini; itu urusan kamu sendiri!“(Matius 27: 23-24)

Matius menggambarkan suatu posisi yang sulit bagi Pilatus untuk mengambil keputusan. Orang Yahudi menghendaki kematian orang Nazareth. Di sisi lain Pilatus tidak menemukan kesalahan dan kejahatan orang Nazareth itu. Akhirnya ia lebih memilih mengurbankan orang Nazareth itu daripada menyelamatkannya. Kehendak rakyat lebih berharga daripada darah yang tak bersalah. Lantas Pilatus mengklaim bahwa ia tidak bersalah terhadap darah orang ini dengan cuci tangan. Tentu saja tindakan Pilatus tidak bisa dibenarkan bahkan merupakan pengkhianatan terhadap kehormatan manusia. Lalu di mana letak pengkhianatan Pilatus terhadap kehormatan manusia itu?

Sebagai wali negeri, ia memiliki kuasa untuk mencegah kehendak khalayak untuk membunuh orang Nazareth itu. Dia tinggal memerintahkan pasukan untuk membubarkan kawanan massa Yahudi. De facto Pilatus tidak berani bahkan tunduk terhadap kehendak orang banyak yang menginginkan kematian orang Nazareth. Ia takut akan terjadi kekacauan ataupun pemberontakan orang Yahudi. Tetapi justru di sinilah peranan penguasa. Tindakan penguasa tidak dapat didasarkan pada pendapat-pendapat mayoritas yang bersifat emosional, melainkan pada hukum yang obyektif. Penguasa harus memegang kendali bukan dikendalikan. Ia harus menguasai situasi bukan ditentukan situasi. Dan yang paling utama tugas seorang penguasa adalah menegakkan dan membela kebenaran. Alasan pemberontakan dan kekacauan tidak bisa menjadi justifikasinya untuk menyerahkan orang Nazareth kepada orang Yahudi. Dengan demikan tindakan Pilatus, wali negeri Yudea, menyerahkan orang tak bersalah adalah suatu tindakan pengecut. Dia tidak berani membela apa yang menjadi hak orang Nazareth itu[22].

Tidak adanya keberanian membela orang Nazareth sama dengan menolak untuk bertanggung jawab demi dan untuk dia. Pilatus tidak mau mendengarkan wajah orang Nazareth yang berseru “jangan membunuhku”. Seruan jangan membunuh bukan hanya meminta tidak membunuh dalam arti secara fisik, tetapi juga mencakup kewajiban mutlak untuk menghormati, menyayangi dan memajukan, membela hidup setiap sesama terlebih mereka yang tak berdaya.

Memang secara de jure Pilatus tidak menyalibkan orang Nazareth itu. Tetapi dengan menyerahkan orang Nazareth itu, Pilatus telah membunuhnya secara tidak langsung. Itu berarti Pilatus menolak kodratnya sebagai penjaga sesamanya. Kodrat sebagai penjaga sesamanya direpresentasikan melalui wajah orang Nazareth itu. Dan wajah, seperti yang telah dikatakan, selalu menyandera pelihatnya.

Di dalam konstalasi wajah, Pilatus tidak bisa mengelak dari seruan wajah orang Nasareth itu untuk bertanggung jawab demi dan untuknya. Dia tidak pernah bisa terbebas dari wajah orang Nazareth. Cuci tangannya adalah sebuah tindakan pembunuhan. Kata-katanya: Aku tidak bersalah terhadap darah orang ini; itu urusan kamu sendiri!” justru membuktikan bahwa Pilatus bersalah terhadap darah orang Nazareth itu. Maka darah orang Nazareth itu tetap menjadi urusan Pilatus. Malahan ketika seseorang tidak berdaya, kewajiban untuk membela orang yang tidak berdaya justru semakin mengikat dan mendorong Pilatus untuk membela orang Nazareth yang tak berdaya itu. Inilah sebagai dasar justifikasi mengapa Pilatus bersalah dan yang menjadi alasan mengapa Pilatus berkhianat terhadap kehormatan manusia. Sebab tidak seorang pun dapat dikecualikan dan dibebaskan dari tanggung jawab demi dan untuk sesamanya yang direpresentasikan lewat wajah.

Kesalahan dan pengkhianatan Pilatus menolak untuk bertanggung jawab demi dan untuk orang Nazareth tersebut membayangi dirinya. Wajah orang Nazareth yang telah tersalib terbayang di dalam dirinya sehigga tidak mungkin dihapus dari memorinya. Seruan orang Nazareth yang tidak didengarkan olehnya menjadi sebuah pengadilan hati nurani yang merupakan pengadilan yang lebih kejam daripada pengadilan- pengadilan yang ada di muka bumi. Lantas ketika pengadilan hati nurani itu telah menjatuhkan hukuman, penyesalan akan menjadi penderitaan terbesar seorang Pilatus. Penyelasan akan menjadi hantu yang mengantarkan Pilatus kepada ketakutan. Tidak ada ketenangan. Hanya ada rasa bersalah. Darah orang Nazareth itu berteriak kepada Pilatus dari tanah. Itulah upah yang diterima Pilatus[23].

 

Cuci tangan Pilatus sebagai potret buram manusia globalisasi

Era sekarang ini adalah era globlisasi. Globalisasi telah mengubah aspek kehidupan manusia. Era global menuntut kecepatan, efektivitas, efisiensi, produktivitas dan hasil yang instan. Karena tuntutan global ini, tiap pribadi harus memiliki suatu profesionalitas yang memungkinkan memenuhi tuntutan global tersebut. Akibatnya relasi dengan orang lain tak lain adalah relasi utilitas global. Maksudnya orang dengan mudah membangun relasi dengan yang lain berdasarkan tuntutan arus global. Sayangnya juga orang dengan mudah mendepak persahabatan ketika orang lain tidak lagi mampu untuk mendukung dan memenuhi apa yang menjadi kepentingan dan ambisinya dalam pergulatan global. Jadi kehadiran orang lain hanya dapat diterima selama ia mampu menyokong diri di dalam arus global.

Sikap semacam ini memunculkan suatu gaya hidup baru yaitu cuekisme. Cuekisme membuat orang-orang zaman sekarang menolak untuk bertanggung jawab atas saudara-saudari mereka. Termasuk gejala-gejala arus itu adalah tiadanya solidaritas terhadap anggota-anggota masyarakat yang paling lemah[24]. Yang paling lemah di sini adalah sesama yang tidak mampu mengaktual diri dan memenuhi tuntutan era global saat ini karena terpinggirkan di dalam budaya, pendidikan, ekonomi bahkan politik. Cuek dan tiadanya solidaritas persis seperti kata Pilatus “Aku tidak bersalah terhadap darah orang ini; itu urusan kamu sendiri”. Akibatnya penderitaan mereka yang lemah hanya menjerit di dalam wajah-wajah. Sebuah jeritan tanpa suara dan tanpa mampu mengatakannya. Lihat saja anak-anak jalanan yang bermain-bermain di terowongan kota sembari menawarkan koran demi sesuap nasi, keterbelakangan yang mengungkung orang-orang yang berada di pedalaman. Itulah secuil contoh penderitaan yang menjerit di dalam wajah tanpa bersuara. Darah Habel berteriak dari wajah-wajah mereka. Padahal penderitaan mereka sebenarnya akibat dari eksploitasi manusia yang satu terhadap yang lain. Eksploitasi manusia yang satu dengan yang lain identik dengan saudara membunuh saudaranya. Membunuh bukan hanya soal menghilangkan nyawa. Membunuh itu juga berarti membiarkan sesama terkapar; tidak berbuat apa bagi mereka yang menderita, miskin, yang terbuang dari masyarakat ataupun berkata dan berbuat itu urusan kamu sendiri. Membunuh juga bukan berarti mendominasi tetapi meniadakan pemahaman atau menolak untuk memahami dan menghindar untuk berbuat sesuatu kepada mereka.  Pembunuhan yang semacam itu tidak disadari bahkan tidak ada sedikitpun rasa bersalah.

Melihat keadaan yang seperti itu, kata EV mengutip Kejadian 4:10: “Apakah yang telah kauperbuat?”: suramnya nilai kehidupan. Suramnya nilai kehidupan ditunjukkan dengan hilangnya hati nurani. Kehilangan hati nurani memastikan suatu fakta yaitu surutnya kesadaran akan Allah dan akan manusia. EV menggambarkan situasi yang demikian dengan percakapan antara Allah dengan Kain: Apakah aku penjaga adikku? “Aku tidak tahu”. Jawaban Kain “Aku tidak tahu” adalah potret buram manusia zaman sekarang ini. Dikatakan buram karena jawaban aku tidak tahu adalah suatu budaya kematian. Budaya kematian dapat diartikan sebagai budaya yang menolak solidaritas dan lebih mengutamakan efisiensi. Kehidupan yang sebenarnya memerlukan penampungan, cinta kasih dan kepedulian yang lebih besar, dianggap sudah tidak ada gunanya atau dipandang sebagai beban yang tidak tertanggung; oleh karena itu ditolak dengan cara tertentu[25]. Inilah yang dimaksud dengan budaya kematian. Dikatakan buram juga karena jawaban aku tidak tahu menunjukkan bahwa ia kehilangan esensi terdalam seorang manusia yaitu cinta. Cinta itu selalu mengarah kepada orang lain, cinta itu melampaui keserakahan. Cinta adalah perhatian dan bertindak untuk dan demi orang lain[26]. Melalui orang lainlah, aku menemukan identitas diriku[27] sehingga menutup diri terhadap orang lain justru menghilangkan identitasku. Dengan demikian manusia yang kehilangan kapasitas untuk mencintai dapat dikatakan bukan manusia lagi karena kekhasan seorang manusia adalah kapasitasnya untuk mencintai dan dicintai. Konsekuensinya gambar dirinya sebagai citra Allah pun menjadi buram.

 

Tugas seorang Kristen: bertanggung jawab demi dan untuk sesamanya

Di tengah budaya maut sekarang ini, panggilan seorang Kristen makin dituntut dengan tegas. Tegas di sini dimaksudkan bahwa seorang Kristen harus bertindak, berbuat menghadapi aneka persoalan yang ada. Zaman ini memanggil setiap orang Kristen untuk siap dalam membantu sesama terlebih yang membutuhkan. Maka dari itu, seorang Kristen tidak bisa bersikap pasif, cuek, cuci tangan ataupun berkata itu urusanmu sendiri di tengah budaya maut. “Kita harus berada di dalam dunia, tetapi jangan dari dunia dan menimba kekuatan kita dari Kristus yang melalui wafat dan kebangkitan-Nya mengalahkan dunia[28]. Aksi, perbuatan dan tindakan seorang Kristen terhadap sesama terlebih terhadap mereka yang terbuang adalah Injil kehidupan. Injil Kehidupan harus dirayakan dalam hidup sehari-hari yang sarat dengan cinta kasih dengan memberikan diri kepada sesama. Memberikan diri kepada sesama  terjadi jika setiap orang Kristen menyadari panggilannya sebagai penjaga saudaranya. Penjaga saudaranya diungkapkan dengan bertanggung jawab demi dan untuk sesamaku. Tanggung jawab yang seperti itu menjadi budaya hidup sebagai counter dari budaya maut. Budaya hidup ditandai dengan kesanggupan untuk kehilangan diri demi dan untuk orang lain[29]. Hidup seorang Kristen yang demikian akan menjadi penerimaan anugerah hidup yang tulus, bertanggung jawab dan madah pujian serta syukur sepenuh hati kepada Allah[30]. Sebab Allah hadir di dalam di dalam wajah tiap orang sehingga memandang dan berbuat demi dan untuk wajah orang berarti memandang dan berbuat demi dan untuk wajah Kristus. Seruan Yesus di dalam Injil Matius 25 31-46: ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku menjadi madah pujian dan suara hati dan roh yang bergema di hati dan hidup setiap orang Kristen untuk bertindak demi dan untuk sesama.

 

Penutup

Kehormatan manusia terletak pada fakta bahwa manusia sebagai penjaga sesamanya yang diwujudkan dengan bertanggung jawab demi dan untuk dia karena Allah telah mempercayakan kita satu kepada yang lain. Lantas berkaca dari kehormatan manusia sebagai penjaga sesamanya, cuci tangan Pilatus atas darah orang Nazareth itu tidak bisa dibenarkan. Justru  ketika seseorang itu tidak berdaya, kewajiban Pilatus untuk bertanggung jawab demi dan untuk sesamanya malah makin tidak terhindarkan. Dalam hal ini tanggung jawab Pilatus adalah membela bahkan menyelamatkan orang Nazareth itu.

Cuci tangan Pilatus mengingatkan kita akan situasi zaman sekarang ini. Zaman sekarang adalah zaman di mana banyak orang dililit oleh kecuekan, egoisme oleh karena tuntutan global. Di sinilah peran seorang Kristen untuk mendobrak budaya maut itu dengan merealisasikan kehormatan manusia sebagai penjaga sesama manusia dengan tindakan real. Tindakan real tersebut akan mengantarkan dirinya untuk merayakan kemuliaan Allah pada tiap manusia, pertanda Allah yang hidup, gambar Kristus.

 Aku  berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku

(Matius 25: 40)

DAFTAR PUSTAKA

Bubber, Martin, I and Thou, trans. Ronald Gregor Smith (Edinburgh: T&T Clark, 1987)

Levinas, Emmanuel, Totality and Infinity (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969)

———————–, Alterity and Transcendence (New York: Columbia University Press, 1999)

———————–, Otherwise Than Being (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1998)

———————–, Ethics and Infinity (Pittsburgh: Duquesne University Press,1985)

Veling, Terry,  In The Name of  Who? Levinas and The Other Side of Theology, Pacifia, Vol 12 (October, 1999)

Dokumen

Paus Yohanes Paulus II, Evangelium Vitae, terj. R. Hardawiryana, S.J. (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1995)

Paus Benediktus  XVI,  Deus Caritas Est,  http// www. vatican. va

[1] E.V. art 34

[2] E.V. art 35

[3] Emmanuel Levinas, Totality and Infinity (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1969)

[4] E.V. art 34

[5] Bdk. E.V. art 35

[6] Bdk. Kebijaksanaan 2: 23

[7] Bdk. E.V. art 80

[8] E.V. 34

[9] E.V. art 42

[10] E.V.art 43

[11] E.V. art 52

[12] E.V. art. 19

[13] E.V. art 2

[14] Martin Bubber, I and Thou, trans. Ronald Gregor Smith (Edinburgh: T&T Clark, 1987), hal 33

[15] Emmanuel Levinas, Alterity and Transcendence (New York: Columbia University Press, 1999), hal 33

[16] Idem, Otherwise Than Being (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1998), hal 154

[17] Bdk. E.V. art 77

[18] Idem, Ethics and Infinity (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1985), hal 87

[19] Idem, Otherwise Than Being, (Pittsburgh: Duquesne University Press, 1998), hal 117

[20] Deus Caritas Est art 1

[21] Bdk. E.V. art 19

[22] Tokoh kitab suci sebagai invers dari tindakan cuci tangan pilatus adalah Lot. Lot membuktikan kehormatan manusia adalah bertanggung jawab demi dan untuk sesamanya. Hal itu tampak ketika Lot membela dan melindungi sungguh-sungguh kedua tamu yang hendak dipakai oleh orang Sodom. Demi melindungi kedua orang tamu itu,  Lot tidak segan untuk mengorbankan kedua putrinya sebagai ganti kedua tamu tersebut. “Kamu tahu, aku mempunyai dua orang anak perempuan yang belum pernah dijamah laki-laki, baiklah mereka kubawa ke luar kepadamu; perbuatlah kepada mereka seperti yang kamu pandang baik; hanya jangan kamu apa-apakan orang-orang ini, sebab mereka memang datang untuk berlindung di dalam rumahku” (Kej 19:8). Jadi tindakan Lot adalah suatu tindakan yang merespon mereka yang tidak berdaya, sebuah aksi menyambut mereka yang membutuhkan, sebuah pembuktian bahwa manusia adalah penjaga sesamanya dengan bertanggung jawab demi dan untuk sesamanya. Dan inilah kehormatan manusia.

[23] Pilatus sendiri setelah peristiwa penyaliban Yesus, dipanggil oleh Kaisar Tiberius. Ada dua versi apokrip yang menceritakan nasib Pilatus. Menurut kedua kitab apokrip Pilatus dihukum mati oleh Tiberius. Versi yang pertama Pilatus dihukum mati karena telah menyerahkan Yesus kepada orang Yahudi. Setelah kematian Yesus, Pilatus mengirim surat untuk melaporkan segala peristiwa yang telah terjadi kepada Kaisar. Dalam surat itu, Pilatus mengakui ada banyak peristiwa aneh yang terjadi setelah kematian Yesus. Misalnya ada gempa bumi, kehancuran sinagoga dan hanya satu yang tersisa, banyak orang Yahudi yang hilang. Membaca laporan Pilatus, Kaisar memanggil Pilatus untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Kaisar mempersalahkan Pilatus karena ia menyerahkan Yesus kepada orang Yahudi. Padahal ia tahu bahwa Yesus adalah orang benar. Maka dari itu Kaisar menghukum mati Pilatus. Versi yang kedua, kaisar Tiberius sakit dan ia mendengar bahwa ada seorang Nazareth yang dapat menyembuhkan penyakit bahkan membangkitkan orang mati. Ternyata seorang Nazareth itu telah dihukum mati oleh Pilatus. Kaisar marah dan akhirnya memerintahkan delegatusnya untuk memenggal kepala Pilatus. The death of Pontius Pilate dalam The acts of Pilate

[24] Bdk. E.V. art 8

[25] E.V. art 12

[26] Deus Caritas Est art 6

[27] Terry Veling, In The Name of Who? Levinas and The Other Side of Theology, Pacifia, Vol 12 (October, 1999) hal 288

[28] E.V. art 82

[29] Deus Caritas Est art 30

[30] E.V. art 86

Copyright © 2018 ducksophia.com. All Rights Reserved

Author: Duckjesui

lulus dari universitas ducksophia di kota Bebek. Kwek kwek kwak

Leave a Reply to Anonymous Cancel reply