Lukisan: Henri Matisse, Festival of Flowers, 1922
“Budaya suatu bangsa ada di dalam hati dan jiwa masyarakatnya”
Mahatma Gandhi
Manusia dan budaya
Secara kodrati selain sebagai makhuk rasional dan makhluk sosial, manusia adalah makhluk berbudaya (cultural being). Sebagai makhluk berbudaya, manusia menciptakan, menuangkan dan menghasilkan budaya dengan akal budi, pikirannya, perasaannya, tingkah laku, perbuatan yang memberikan corak khusus bagi dirinya dan membedakannya dengan makhluk lain. Bahkan perbedaan mendasar yang membedakan antara societas manusia dan sekedar makhluk manusia ditentukan bukan berdasarkan mekanisme biologis melainkan dengan eksistensi budaya (Ruth Benedict). Yang menjadikan manusia sungguh manusia adalah budaya karena ia menemukan identitas dirinya di dalam dan melalui budaya; manusia membudayakan dirinya sendiri secara alami. Tentu saja, karena kodratnya budaya diisi, dibentuk dan ditentukan oleh kehidupannya dengan sendirinya baik disadari maupun tanpa disadari sebagai kiprahnya mengisi dunia dan mewarnai eksistensinya. Jadi, budaya bukan ada ataupun hadir secara tiba-tiba, melainkan budaya ada melalui proses panjang bersamaan dengan berkembangnya peradaban manusia. Tanpa ada budaya, manusia tentu tidak berbeda dengan ciptaan lain. Budaya hanya bisa dibicarakan dalam konteks manusia dan budaya tidak pernah dikaitkan dengan binatang atau tumbuhan. Jadi, budaya adalah cendela untuk mengerti dan menelaah manusia[1] karena budaya adalah manusia itu sendiri.
Karena manusia merupakan entitas yang kompleks dan unpredictable berkat pemikiran, tindakan dan pergulatannya dalam menghadapi tantangan zaman dan alam, usaha untuk mendefinisikan dan mengerti budaya tidak akan ada habisnya. Tidak ada definisi yang tegas yang dapat mencakup pengertian budaya secara sempurna. Budaya mencakup bahasa, sastra, sejarah agama dan antropologi budaya, seni visual dan seni pertunjukkan. Tetapi juga bahwa budaya tidak mungkin dilepaskan dari dimensi lainnya seperti etika, sejarah, antropologi, komunikasi, cultural studies, hukum dan linguistik[2]. Ralph Linton mendefinisikan budaya sebagai keseluruhan cara hidup setiap masyarakat yang tidak hanya mencakup semata-mata cara hidup yang bernilai tinggi dan diinginkan oleh suatu masyarakat[3]. Sementara menurut Marx kebudayaan adalah superstruktur ideologis yang mencerminkan pertentangan kelas. E.B Tyler mengartikan budaya sebagai aspek kehidupan yang mencakup seni, moral pengetahuan, hukum, kepercayaan, tradisi, kemampuan-kemampuan lain yang diperoleh sebagai anggota masyarakat. Pengertian E.B Tyler tentang budaya menarik karena definisinya menunjukkan bahwa budaya menyatu dengan hidup sosial yaitu budaya terbentuk ketika pribadi menjadi anggota masyarakat. Aspek kehidupan seseorang yang diperoleh lewat anggota masyarakat menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk sosial di dalam dan bersama budayanya karena nilai-nilai sosial yang muncul dari kodrat sosial manusia terhubung dengan sistem budaya yang terdiri dari pengetahuan empiris, sistem simbolis dan sistem religius. Struktur-struktur sosial masyarakat yang menata bangunan etika, ekonomi, politik mengungkapan corak budaya mereka. Budaya mewarnai dan membentuk individu entah lewat simbol, teks, percakapan, seni dalam kesatuannya dengan masyarakat. Juga sebaliknya bahwa masyarakat membentuk budaya dalam relasinya dengan individu-individu yang tergabung di dalam masyarakat sebagai kreativitas mereka demi mengisi dan memaknai hidup. Peran budaya yang demikian diobyektifkan dalam norma-normal sosial sekaligus diinternalisasi sehingga menjadi batin, kebiasaan maupun tingkah laku sosial. Lewat tingkah laku sosial budaya tidak mungkin dilepaskan dari etika. Dalam wacana etika, J.W.M Bakker memposisikan budaya sebagai aspek normatif, kaidah etik, pembinaan nilai dan perwujudan cita-cita yang mengarahkan dan membentuk tata hidup, perilaku, suatu kelompok masyarakat. Jadi, pada dasarnya, budaya merupakan terminus yang diberikan kepada suatu standar rangkaian kualitas atau karakter yang dimiliki suatu masyarakat. Maka, budaya mendefinisikan cara hidup, kerangka berpikir, situasi mental, fisik, sosial bahkan peradaban suatu masyarakat. Di sini aspek epistemelogis, aspek sosial, dan aspek filsafat budaya yang terbedah merujuk kepada fakta bahwa budaya sebenarnya merupakan pemaknaan dan penghayatan hidup manusia. Budaya mengungkapkan bentuk spiritual-roh masyarakat sehingga budaya selain sebagai hal hakiki dari manusia menunjukkan suatu unsur yang membedakan masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Yang membedakan orang Inggris, orang China, orang Indonesia adalah budayanya. Budaya adalah kehidupan manusia dengan penghayatan, nilai-nilainya yang termanifestasi di dalam komunikasi, kontak-kontak sosial, institusi, sarana-sarana teknologi yang memberi corak khusus, menyatukan suatu masyarkat sekaligus membedakannya dengan yang lain.
Dari pengertian dan pemahaman budaya yang beragam tersebut, kiranya dapat ditarik elemen-elemen yang menyusun suatu budaya[4]:
- Kehidupan bersama yang direalisasikan di dalam masyarakat
Kehidupan bersama dilandasi dan disadari dengan adanya ikatan bersama yang ditempa misalnya dengan ikatan keluarga, kepentingan ekonomi, masalah keamanan. Tetapi juga ikatan bersama itu bisa dibentuk dengan kesamaan keyakinan, kebiasaan dan nilai. Dari praktis kehidupan bersama yang demikian terbentuklah budaya.
- Simbol-simbol yang menunjukkan identitas kelompok-masyarakat
Budaya tentu dibangun dan ditunjukkan dengan simbol-tanda yang mempresentasikan realitas dan identitas suatu masyarakat. Membangun, menciptakan dan menginterpretasikan tanda-simbol merupakan suatu aktivitas natural di dalam setiap masyarakat karena manusia adalah animal symbolicum. Tidak mengherankan kalau arsitektur yang ada seperti jembatan, bangunan religius, monumen merupakan simbol yang menunjukkan identitas mereka sebagai suatu kelompok dan yang membantu masyarakat hidup bersama secara kohesif. Bendera Perancis di negara bagian Quebeec Canada menunjukkan bahwa Queebec berakar pada budaya Perancis bukan dengan budaya Inggris yang mendominasi budaya Canada.
3. Naratif-naratif tentang identitas dan posisi suatu masyarakat di dunia.
Kebutuhan naratif untuk menunjukkan dan memperkuat identitas merupakan suatu keharusan demi terciptanya suatu budaya. Naratif-naratif bisa bercerita tentang individual atau kelompok dari event-event di masa lampau, tentang kemenangan dan kekalahan yang mencakup teman ataupun musuh. Naratif budaya adalah suatu performance prestasi yang didesain untuk mematri dan memastikan bahwa apa yang dipahami dan diyakini selama ini adalah suatu realitas. Jadi semakin naratif dipatrikan dalam ingatan dan hati masyarakat semakin kokohlah budaya. Naratif budaya memiliki kekuatan tidak hanya untuk mengukuhkan budaya tetapi juga mampu untuk mengakibatkan perubahan budaya. Perubahan budaya melibatkan suatu masyarakat yang menerima naratif berbeda tentang dirinya untuk memeluk realitas sosial yang baru. Naratif budaya dapat menyebabkan perpecahan budaya dan menciptakan kompetisi demi penerimaan publik.
- Persetujuan tentang apa yang baik dan yang buruk
Budaya memuat konsensus bersama tentang apa yang baik dan yang buruk. Dari konsensus bersama tentang apa yang baik dan yang buruk itu, para anggota yang telah bersepakat menghidupi konsensus lalu konsensus diwariskan turun-temurun karena budaya memuat nilai-nilai yang menjadi kaidah dan pedoman yang mengatur tingkah laku dan cara berpikir suatu masyarakat. Pada akhirnya budaya merupakan cara untuk mengukur kesehatan masyarakat secara emosi maupun psikologi karena ketika menyimpang dari konsensus yang selama ini dihidupi menciptakan perpecahan di dalam batin masyarakat tersebut. Lazimnya, orang Asia memberikan apa pun dengan menggunakan tangan kanan karena memberi dengan tangan kiri dianggap kurang sopan dalam budaya Asia.
Tipologi budaya: budaya subyektif dan budaya obyektif
Luasnya cakupan dan beragamnya pengertian budaya mengakibatkan munculnya bermacam-macam terminologi budaya. Misalnya budaya material dan budaya ideologi; budaya alternatif dan budaya universal; budaya sekular dan budaya religius. Keanekaragaman terminologi budaya oleh Battista Mondin disebut tipologi budaya[5]. Tipologi budaya merupakan potret identitas masyarakat karena tipologi budaya memperlihatkan karakter, simbol, filosofi dan pandangan masyarakat setempat. Tipologi budaya tersusun karena adanya dimensi kebudayaan yang terdiri dari tiga hal: yang pertama, artefak yaitu budaya yang tampak; yang kedua, sosiofak yang menyoal gambaran sosial masyarakat; yang ketiga mentifak yang menggambarkan representasi ide. Ketiga dimensi budaya membentuk kesatuan jati diri masyarakat yang darinya tipologi budaya diuraikan dan dijabarkan.
Salah satu tipologi yang menjadi aspek konstitutif budaya adalah budaya subyektif dan budaya obyektif. Tipologi budaya subyektif dan obyektif membantu kita untuk mendapatkan suatu visi yang lebih luas tentang peran budaya, fungsinya dan proyeknya dalam hidup manusia terkait relasinya dengan sesama, lingkungan dan alam sekitarnya bahkan pergulatannya di zaman yang berlangsung.
Tipologi identik dengan klasifikasi. Klasifikasi ini tidak pernah dimaksudkan sebagai usaha untuk memecah kedua terminologi tersebut sebagai unsur-unsur yang berdiri sendiri. Budaya subyektif dan budaya obyektif tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya baik di dalam tindakan kreatif ataupun di dalam cara yang mana kinerja kedua unsur dihargai nantinya karenanya keduanya saling mengkonstruksikan. Selama ini terminus obyektif dan subyektif seolah-olah bertentangan dan terjadi friksi di antara mereka. Dalam konteks budaya jika budaya obyektif dan subyektif dikontraskan satu sama lainnya arti dan makna budaya akan timpang. Padahal kedua hal tersebut justru membangun tiap pribadi bahkan masyarakat menuju kepada keutuhannya. Budaya subyektif bukanlah ancaman bagi budaya obyektif dan sebaliknya budaya obyektif bukanlah hal yang membahayakan bagi budaya subyektif.
Budaya subyektif
Muncul istilah budaya subyektif dikarenakan tidak adanya ukuran untuk membandingkan, menilai maupun menentukan tinggi rendahnya mutu suatu kebudayaan dalam lintas zaman. Tidak mungkin membandingkan antara budaya abad pertengahan dengan abad modern maupun pra-sejarah; budaya kota Barcelona dengan kota Solo; tari kecak dengan tari balet; makanan risoles Belanda dengan lemper Jawa. Budaya subyektif terdiri corak dan elemen yang merefleksikan perbedaan dan keunikan masing-masing budaya. Budaya subyektif menciptakan pengalaman subyektif sehingga tidak ada dua budaya yang sama persis. Elemen-elemen yang terdapat di dalam budaya subyektif tidak berwujud atau bersifat immaterial.
Maka, tipologi budaya subyektif mengungkapkan keanekaragaman ide, adat dan gaya hidup dalam memaknai dan menghayati kehidupan. Keanekaragaman unsur-unsur itulah yang memperkaya dan membedakan antara budaya yang satu dengan yang lain. Misalnya di dalam bahasa Jawa terdapat adanya tingkatan bahasa sedangkan bahasa orang Dayak itu tidak mengenal adanya perbedaan tingkatan. Rumah adat Jawa disebut dengan Joglo dan rumah adat Dayak disebut rumah Panggung dengan dekorasi, arsitekturnya dan nilai-nilai yang berbeda satu sama lain.
Dalam budaya subyektif, kekayaan dan perbedaan budaya bukan untuk berkompetisi mana yang lebih tinggi maupun menceraikan antara masyarakat yang berbeda budaya. Justru keanekaragaman budaya menciptakan kekuatan kolektif yang membawa berkat bagi peradaban manusia dan semesta. Kekuatan dan esensi budaya subyektif terletak di dalam perbedaannya dan kekayaannya, bukan di dalam kesamaan. Kekayaan dan keunikan budaya yang lahir dari entitas yang beragam dan indah memberikan kesatuan, identitas dan tujuan bagi masyarakat tersebut. Budaya subyektif menyematkan suatu bintang jawaban terhadap perbedaan dan kekayaan budaya yaitu sikap saling menghormati dan saling mengagumi serta saling mengkomunikasikan budaya. Perbedaan dan keunikan budaya justru membangun persatuan dan persaudaraan satu sama lain sekaligus membentuk universalitas.
Ide, adat dan gaya hidup yang menjadi bagian budaya subyektif bersumber dari hidup batin manusia. Batin menjadi daya dorong yang menggerakkan manusia di dalam tindakannya. Sering kita mendengarkan pujian yang terlontarkan bahwa orang atau masyarakat itu sangat berbudaya. Pujian tersebut sebenarnya mengarah kepada hidup batin orang atau masyarakat itu. Artinya, lewat budaya subyektif hidup batiniah seseorang bukanlah sesuatu yang tersembunyi dan tidak dapat diketahui, sebaliknya hidup batin seseorang itu nyata dan real yang terungkap dalam hal lahiriah. Hidup batin yang ditampakkan di dalam bentuk lahiriah disebut budaya subyektif karena di situ ada pemaknaan terhadap realitas berdasarkan subyektivitas. Tidak mengherankan bahwa W. Moock mendefinisikan budaya subyektif sebagai kesempurnaan batin[6]. P.J Zoetmulder menegaskan bahwa faktor batin (rohani) menentukan kekuatan budaya. Faktor batin menjadi sumber keanekaragaman dan kekhasan budaya sekaligus yang mampu menangkal bentuk budaya tertentu yang tidak sesuai dengan budaya yang bersangkutan. Dalam pertemuan budaya yang mana ada nilai baru dan budaya lahiriah baru yang bisa dipaksakan hanyalah budaya lahiriah tetapi tidak mengubah hidup batin yang kuat[7]. Yang menjadi filter dalam perjumpaan dengan budaya baru ialah hidup batin sehingga hidup batin harus diolah dan diperkuat untuk menjaga identitas diri pribadi- kelompok. Hidup batin memberikan kekuatan budaya yang menjadi perekat sosial suatu masyarakat dalam dinamika pergumulan dan perziarahan mereka baik secara internal maupun eksternal. Karena itu, Leininger berkeyakinan bahwa manusia cenderung mempertahankan budayanya setiap saat di manapun ia berada karena pengaruh batin tersebut. Gilin mengafirmasi bahwa yang termasuk unsur-unsur budaya subyektif adalah ide, nilai, dan perasaan[8]yang tercemin lewat batin. Batin mencerminkan pemaknaan manusia atas hidupnya dalam pergulatannya sebagai manusia yang menghidupi dan menjawab tantangan zaman dalam dinamikanya.
Unsur-Unsur Budaya Subyektif
- Nilai
Salah satu elemen konstitutif budaya adalah nilai-nilainya sehingga nilai budaya merupakan suatu unsur yang selalu ditemukan di dalam setiap budaya apa pun. Premisnya adalah bahwa di mana dan kapan pun ada kelompok manusia, di situ pula pasti ada budaya dengan nilai-nilainya. Sesuatu disebut budaya karena ada nilai-nilai[9] yang membentuk dan membangun suatu masyarakat yang menjadi karakter tertentu dan dipegang teguh sekaligus dihayati. Maka, budaya dapat didefinisikan sebagai “totalitas arti dan nilai yang membentuk suatu gaya hidup[10]. Nilai budaya merupakan keinginan individu bahkan tindakan yang lebih diinginkan atau suatu tindakan yang dipertahankan pada suatu waktu tertentu dan melandasi tindakan maupun keputusan. Nilai-nilai budaya yang dianggap penting oleh manusia menyangkut[11] antara lain: moralitas, makna hidup, makna pekerjaan, karya, perbuatan, persepsi manusia tentang waktu; soal hubungan manusia dengan alam sekitarnya; soal hubungan manusia dengan sesama manusia.
Dengan nilai-nilainya, budaya bersifat stabil tetapi juga dinamis karena nilai-nilai budaya tersebut diasimilasikan, diwariskan dan dibagikan dari generasi satu ke generasi lainnya dengan tujuan untuk membentuk dan mengekalkan nilai-nilai tersebut. Tetapi juga dinamis karena nilai budaya bisa berubah karena perkembangan zaman. Nilai-nilai budaya tercermin di dalam apa saja yang menjadi keunikan dan kekhasan setempat misalnya: rumah, kesenian, tulisan, sastra dan religiusitas. Nilai-nilai budaya menetapkan dan membangun adat dan pola pikir bahkan kesadaran setiap orang di dalam suatu budaya tertentu sehingga nilai-nilai berinkarnasi, menjadi sesuatu yang nyata lewat sikap, tindakan masyarakat maupun individu. Melalui kesadaran yang tercipta melalui nilai budaya, setiap orang dapat mengenali secara intuitif nilai positif dan negatif dari suatu realitas[12]. Nilai budaya menjadi kehidupan yang merekatkan dan membentuk identitas suatu masyarakat. Akibatnya terciptalah kesatuan dan konsistensi suatu budaya yang membuat budaya bertahan dari gerusan budaya-budaya baru yang lain. Nilai budaya yang membentuk identitas dapat dilihat misalnya dalam makanan tradisional. Makanan tradisional mencakup tradisi lokal, bahan-bahan lokal dan nilai-nilai budaya yang tertanam di dalam setiap hidangan. Maka, makanan tradisional membentuk identitas bangsa yang beragam dan kaya akan budaya. Makanan tradisional menghubungkan masyarakat dengan akar budayanya karena setiap hidangan menjadi cerminan dari kreativitas dan kearifan lokal[13]. Perayaan kue bulan yang menjadi tradisi bagi orang China dirayakan pada malam hari tanggal 15 bulan 8 menunjukkan momen semesta berlangsungnya bulan purnama. Saat bulan bersinar terang, anggota keluarga keluar rumah, duduk membentuk lingkaran makan kue bulan sambil menikmati terangnya sinar bulan. Tak ada kegiatan khusus selama perayaan, tapi semua orang wajib bergembira selama beberapa jam di malam itu. Merayakan kue bulan menunjukkan bahwa nilai-nilai kekeluargaan dan kesatuan keluarga begitu dipentingkan dalam budaya China. Festival kue bulan mengukir suatu moment untuk merekatkan anggota keluarga baik secara individual dan nasional; bangsa China adalah suatu keluarga besar. Di dalam kue bulan tersebut terdapat cerita tentang mitos, sejarah, kreativitas dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat setempat. Kita bisa mengerti semuanya lewat makanan tradisional kue bulan karena makanan merupakan cermin dari kebudayaan suatu bangsa atau daerah[14]. Pada akhirnya, nilai budaya diukur dari sejauh mana ia berperan dalam hidup masyarakat, seberapa dalam nilai itu dihayati oleh pribadi yang bersangkutan, sebebas apa nilai dikehendaki karena nilai budaya merupakan niat batin. Dengan niat batin setiap budaya itu mengkarakterkan dan menyatukan dirinya sendiri dengan nilai-nilainya.
- Adat
Elemen konstitutif budaya subyektif adalah adat yang bersumber dari kekayaan budaya suatu wilayah atau bangsa. Adat menjadi bagian ideal dari suatu kebudayaan karena adat memberikan corak khusus bagi budaya subyektif. Adat dapat dimaknai sebagai rangkaian atau kumpulan nilai yang sudah dibatinkan, tradisi dan kebiasaan yang sudah mendarah daging di dalam suatu masyarakat yang kemudian saling mengkristal membentuk budaya. Adat tercermin baik di dalam materi maupun non-materi, misalnya makanan, pakaian, pendidikan, kepercayaan dan sebagainya. Locus aktual adat mengacu kepada tindakan karena perbuatan-perbuatan manusia ditentukan dan dipengaruhi oleh adat-istiadat mereka. Tujuan pengaktualan adat di dalam tindakan adalah demi membangun, mengukuhkan dan menopang apa yang menjadi nilai suatu budaya. Jadi adat dan nilai budaya saling terkait erat. Untuk itu, adat dibentuk, diajarkan, diwariskan sejak usia dini sehingga usaha untuk menciptakan adat sejak dini dapat disebut sebagai pendidikan budaya. Pendidikan budaya menjadi tempat kelahiran adat. Melalui pendidikan budaya, teladan, pkiran dan perbuatan dengan tujuan menamkan nilai-nilai tertentu dilakukan secara berulang, kemudian terpatri menjadi kebiasaan, disposisi batin dan akhirnya diasimilasi oleh pribadi. Pada saat itu pribadi yang bersangkutan dalam waktu yang telah ditetapkan sudah menjadi bagian budaya setempat. Anak-anak Jepang ketika mereka menyeberang jalan dan mobil-mobil berhenti mempersilahkan mereka menyeberang, setelah mereka menyeberang dan di pinggir jalan, setiap anak membungkukkan diri kepada sopir mobil yang sudah sudi berhenti sebagai tanda ungkapan terima kasih. Dengan demikian, menjadi relevan arti budaya yang digagas oleh Leinenger yaitu bahwa budaya adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan dengan belajar, beserta keseluruhan hasil budi dan karyanya serta sebuah rencana untuk melakukan kegiatan tertentu (Leininger, 1991).
Lantas adat menjadi kepatuhan karena telah menjadi disposisi batin dan kerangka berpikir individu-masyarakat. Jelas, ada teladan yang mengajarkan adat-istiadat, norma-norma yang memuluskan adat-istiadat, emulasi yang mempercepat adat-istiadat, kejayaan yang membangkitkan adat-istiadat sehingga di tempat-tempat itulah kekuatan adat-istiadat berada di puncaknya. Contoh adat: di dalam budaya Jawa, yang muda berbicara dengan yang tua dengan menggunakan bahasa krama. Contoh ini mau mengatakan bahwa adanya tingkatan bahasa Jawa itu membangun dan melestarikan apa yang menjadi adat dalam budaya Jawa yaitu budaya Jawa itu amat menekankan penghormatan terhadap yang lebih tua dan kental dengan sopan santun.
Yang membedakan antara adat dan kebudayaan menurut Koentjaraningrat adalah bahwa kebudayaan mempunyai tiga wujud yaitu[15]: wujud ideal; wujud kelakuan; wujud fisik. Maka, adat merupakan perwujudan ideal dari kebudayaan karena dengan adat orang bisa menikmati, mengerti, menggali bahkan menafsirkan nilai-nilai dan jiwa budaya setempat. Adat dapat dibagi lebih khusus dalam empat tingkat[16]:
- Tingkat nilai budaya. Tingkat pertama berisi ide-ide yang mengkonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat. Adanya ide itulah yang menjadi dasar bagi Gilin untuk menyatakan bahwa budaya subyektif itu terdiri dari ide[17].
2. Tingkat norma-norma. Tingkat kedua itu mencakup sistem norma. Norma menjadi suatu kebiasaan dan aturan mengikat sehingga jika norma adat dilanggar, maka individu yang melanggar akan mendapatkan sanksi. Sanksi itu bisa berupa sanksi sosial, sanksi ekonomi ataupun sanksi-sanksi lain. Jadi dalam konteks adat, budaya dapat diartikan sebagai norma bagi anggota kelompok yang dipelajari dan dibagi serta memberi petunjuk dalam berpikir, bertindak dan mengambil keputusan.
3. Tingkat hukum. Tingkat ketiga berisi sistem hukum baik hukum tidak tertulis maupun hukum tertulis. Di sini norma adat semakin mengikat dan mengatur tata perilaku kelompok sehingga berubah menjadi hukum adat. Van Vollenhoven menguraikan bahwa hukum adat mencakup keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan adat dan berlaku sehingga menentukan tingkah laku masyarakat. Dalam konteks ini, jika ada tindakan yang tidak sesuai dengan adat yang berlaku maka ada konsekuensi hukumnya dan konsekuensi hukum lebih kuat dan tegas daripada sanksi karena norma. Hukum adat bisa berbentuk hukum adat tertulis dan hukum adat tidak tertulis. Contoh hukum adat tertulis: piagam-piagam raja (surat pengesahan raja, kepala adat); peraturan persekutuan hukum adat yang tertulis seperti penataran desa, agama desa, awig-awig (peraturan Subang di pulau Bali). Contoh adat istiadat yang tidak tertulis antara lain: upacara Ngaben dalam kebudayaan Bali; acara sesajen dalam masyarakat Jawa; upacara selamatan yang menandai hidup seseorang dalam masyarakat Sunda.
- Tingkat aturan khusus. Tingkat keempat menyoal aturan-aturan khusus yang mengatur aktivitas-aktivitas yang amat jelas dan terbatas ruang lingkupnya dalam kehidupan masyarakat. Misalnya peraturan perkawinan, aturan keagamaan ataupun peraturan tata dagang suatu kelompok dengan kekhasan adatnya[18].
Di dalam adat keagungan suatu kelompok bahkan bangsa dapat dijumpai karena adat merupakan sebuah cara bangsa merayakan setiap momen-momen kehidupan. Adat membentuk gaya hidup dari suatu kelompok sehingga adat tampak di dalam suatu cara suatu kelompok berpikir, merasa, bertindak yang terwujud di dalam visi dan tingkah laku sehari-hari demi menghadapi pelbagai macam persoalan. Gaya hidup ini dinahkodai oleh nilai-nilai budaya sehingga adat merupakan ukuran dan pedoman kelompok baik dalam kerangka pikir, bertindak dan cara hidup. Dalam tataran tertentu adat dapat disempitkan menjadi moralitas dan moralitas suatu bangsa itu terwujud di dalam adat mereka[19].
- Bahasa
Bahasa adalah cetusan budaya dalam struktur bahasa yang meliputi kata, kalimat, tata bahasa, pronunsiasi yang nantinya menghasilkan percakapan maupun tulisan. Di dalam percakapan sehari-hari ataupun karya seni seperti drama, pertunjukkan seni-rupa dan tulisan seperti prasasti, essai, buku, artikel, manuskrip, dokumen, arsip tercermin nilai, cara berpikir, pandangan hidup, batin dari suatu kebudayaan tertentu. Kemudian berkat bahasa dimensi budaya: artefak, sosiofak, mentifak yang menjadi keunikan suatu budaya temanifestasi dengan kata-kata entah itu nantinya berupa simbol, percakapan maupun tulisan sehingga kekayaan budaya kelompok yang bersangkutan dapat dimanfestasikan sekaligus dimengerti oleh masyarakat yang berbudaya lain. Bahasa menunjukkan suatu fungsi dan kapasitas manusia untuk mengekspresikan dan mengkomunikasikan budayanya kepada dirinya dan sesamanya.
Dalam tipologi budaya, bahasa diklasifikasikan sebagai budaya subyektif. Dasarnya, segala bahasa memiliki nilai yang setara dan sebanding yaitu bahwa bahasa memiliki internal struktur yang berbeda yang mencerminkan kebudayaan masing-masing[20].
Berfokus pada strukur bahasa, sebenarnya kebudayaan suatu masyarakat sudah terpatri di dalam bahasa dan strukturnya. Maka, dengan memahami dan berbahasa baik bahasa sendiri maupun bahasa lain kita mencercap batin dan pola pikir budaya tertentu karena bahasa dan strukturnya merupakan cara pandang dan cara memaknai hidup yang dibuat oleh suatu masyarakat tertentu. Misalnya, dalam struktur bahasa Inggris waktu dijelaskan secara rinci sehingga ada waktu lampau, waktu sekarang, waktu yang akan datang. Bahkan di antara ketiga waktu tersebut masih diperinci lagi misalnya waktu lampau sudah yang berakhir, waktu lampu yang sedang berjalan. Kata kerja dalam bahasa Inggris berubah berdasarkan waktunya. Artinya, dari segi struktur bahasa bisa dilihat kebudayaan orang Inggris yaitu bahwa waktu begitu penting bagi mereka. Ketetapan dan kejelasan waktu merupakan budaya mereka. Sementara dalam tata bahasa Indonesia, waktu tidak diperhatikan sehingga kata kerja bahasa Indonesia baik masa lalu, masa sekarang dan masa depan adalah sama. Orang Indonesia dengan struktur bahasanya menunjukkan budayanya yang berbeda dengan orang Inggris. Budaya Indonesia lebih mementingkan fleksibilitas dan keluwesan daripada ketepatan waktu.
Salah satu fungsi bahasa adalah alat untuk mengungkapkan budaya diri. Melalui bahasa seseorang berusaha mengungkapkan apa yang menjadi kehendak dan keinginannya sesuai budayanya. Jelas, bahasa mempresentasikan suatu kehendak yang kuat terhadap sesuatu. Mempresentasikan kehendak melalui bahasa tidak hanya terbatas pada ungkapan kata-kata karena dimensi bahasa itu lebih luas dari bahasa itu sendiri. Misalnya manusia dapat mengungkapkan rasa sakitnya dengan muka yang menggeliat-liat sambil menjerit-jerit, mengeluh dan berteriak-teriak. Bahasa kesakitan ini ditunjukkan dengan ekspresi sama tetapi ucapan jeritan sering berbeda-berbeda seperti wau, hei, ai, dan sebagainya. Seruan ini tidak mengandung susunan gramatis yang jelas. Meskipun susunan kata dan kalimat tidak mengikuti pola kalimat serta tata aturan bahasa tertentu, tetapi seruan-seruan itu mempertegas fungsi bahasa yang menunjuk pada pengungkapan diri dalam situasi kesakitan. Sering situasi kesakitan dan kesedihan itu dipoles dengan kata-kata dan kalimat-kalimat indah dan teratur seperti puisi, nyanyian, ratapan, tari-tarian. Semuanya ini menunjukkan bahwa cara untuk mengungkapkan diri melalui bahasa dapat diperlihatkan baik secara individu (pemikir, penulis, penyair, dan seterusnya) maupun secara kolektif (tari-tarian adat, nyanyian rakyat, dan sebagainya). Dengan demikian, dalam domain bahasa, kata tidak mungkin tidak memiliki arti dan kata mempresentasikan sesuatu di dalam pikiran yang memahami kata tersebut sesuai budayanya karena struktur bahasa sudah mencetuskan budaya. Maka, bahasa membentuk tradisi budaya; bahasa mengatakan suatu kebiasaan budaya yang tak terkatakan, mengeluarkan sesuatu yang tersembunyi di dalam benak pikiran masyarakat. Dengan demikian bahasa mempunyai suatu nilai representatif yang visible[21].
Dalam budaya modern yang didominasi oleh ilmu pengetahuan dan teknik, pengungkapan bahasa itu terjadi melalui bahasa-bahasa ilmiah. Jelas, bahasa menempati posisi yang amat fundamental terkait dengan segala pengetahuan. Alasannya hanya dengan medium bahasalah, segala hal di dunia dapat diketahui, bukan karena bahasa bagian dari dunia melainkan karena bahasa adalah sketsa pertama akan suatu tatanan dalam representasi dunia. Dengan demikian, di dalam bahasa segala hal general dibentuk.[22]
Memang, bahasa bukanlah hasil penemuan (invention) tetapi merupakan kreasi suatu kelompok. Karena itu, bahasa dan strukturnya sudah mengandung kepribadian, pikiran, ide, karakter kelompok itu. Pikiran, ide, kepribadian memang sesuatu yang abstrak. Untuk mengkomunikasikan ide, kepribadian, pikiran perlulah dibuat simbol; bahasa yang dikreasikan tersebut menjadi simbol karena bahasa berakar di dalam hal-hal yang dipersepsikan dan bukan di dalam subyek yang aktif. Kemampuan manusia untuk mengungkapkan diri dalam bahasa dapat dikatakan sebagai kemampuan manusia untuk menciptakan simbol. Karena itu, manusia didefinisikan oleh Erns Cassier sebagai “animal symbolicum”. Tubuh manusia itu sebenarnya juga adalah suatu simbol yang hidup: tubuh mempresentasikan budaya dan maknanya, tubuh adalah hasil pemaknaan budaya; jadi tubuh itu berbahasa sehingga ada yang disebut dengan bahasa tubuh, bahasa isyarat. Tubuh adalah suatu simbol bahasa. Lalu kebudayaan dikaitkan dengan dunia simbol karena budaya diwarnai dengan simbol-simbol sebagai bahasa manusia untuk mengungkapkan sesuatu secara simbolis[23]. Jadi bahasa memproduksi kebudayaan tetapi juga kebudayaan membentuk bahasa. Di mana tidak ada bahasa maka tidak ada societas. Tidak ada societas berarti tidak ada budaya yang bisa dibangun.
Budaya obyektif
Terminologi budaya obyektif lahir karena setiap budaya memiliki universalitas yang bersumber dari manusia. Universalitas menciptakan kesatuan dan konektivitas di antara segala budaya yang ada. Obyektif mengandaikan bahwa budaya-budaya yang ada dan yang pernah ada baik lintas ruang dan waktu dicoba untuk diidentifikasi obyektivitasnya yang didasarkan pada universalitas dan konektivitas. Obyektif menuntut bahwa segala sesuatunya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan hasilnya dapat diverifikasi dengan metode keilmuan. Memang, budaya obyektif menciptakan pengalaman obyektif sehingga setidaknya ada kesamaan entah itu pola, struktur, ilmu pengetahuan di antara aneka budaya yang kiranya dapat disharingkan satu sama lain. Ada suatu pengalaman universal yang tercipta dan hadir di dalam aneka budaya. Jadi, setiap pengalaman budaya subyektif diobyektifikasi atau diidentifikasi dengan menggunakan kriteria intelektual yang dapat dipahami oleh semua secara umum- universal supaya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Obyektif dimaksudkan sebagai kriteria keabsahan dan tolak ukur terhadap aneka budaya.
Supaya dapat menjadi obyektif setidaknya ada tiga langkah agar pengalaman budaya obyektif terwujud: pertama adalah klasifikasi. Tujuan klasifikasi sebenarnya deskripsi. Deskripsi mencoba memetakan realitas dengan mengkelompokkan dan mengindentifikasikan fenomena, gejala, kecenderungan, pola yang selalu mengemuka di dalam tiap budaya supaya dapat dimengerti dan kemudian dijelaskan. Yang kedua adalah penjelasan dan deskripsi karena pendekatan obyektif membutuhkan penjelasan dan deskripsi. Data-data hasil klasifikasi didekati dengan metode ilmiah tertentu supaya dapat dijelaskan dan diuji sehingga tujuan yang mau dicapai dalam penjelasan adalah pemahaman. Menjelaskan suatu fenomena secara ilmiah berarti menentukan skema konseptik atau model abstrak dan menunjukkan bahwa skema itu menjadi bagian dari suatu skema yang lebih luas entah sebagai salah satu dari bagian-bagiannya atau sebagai salah satu dari kasus khusus[24]. Deskripsi melibatkan pendekatan dekomposisi. Logika dekomposisi bekerja memecahkan keutuhan bangunan menjadi bagian-bagian kecil sehingga mudah diobservasi maupun dilihat secara detail. Suatu masalah yang awalnya kompleks menjadi lebih sederhana sehingga memberikan pandangan lebih rinci demi memudahkan analisis. Menganalisis terhadap bagian-bagian tertentu bertujuan menemukan dan membangun relasi kesetaraan maupun ketidaksetaraan di antara bagian-bagian tersebut, bahkan menemukan elemen yang terkecil dan menata perbedaan tersebut berdasarkan derajat yang terkecil. Kinerja analisis mengandalkan perbandingan ukuran dan perbandingan tatanan. Kedua perbandingan memampukan metode obyektif untuk menganalisis berdasarkan perhitungan identitas dan perbedaan karena pengetahuan pasti akan memuat identitas-kesamaan dan diferensiasi-perbedaan. Sasaran deskripi adalah representasi. Deskripsi melibatkan filter dan pembatasan yang tujuannya adalah representasi[25]. Pada saat representasi telah dicapai lewat deskripsi maka penjelasan telah bekerja secara obyektif. Yang ketiga adalah prediksi. Prediksi menyoal pengenalan dan menebak pola secara probabilitas. Maka, pola ditemukan secara probalitas ketika ada kesamaan antara karakterisitik, perilaku, penyebab dan gejala dari masalah yang serupa. Pola-pola itu diidentifikasi dengan tujuan prediksi. Prediksi memungkinkan mengadakan kontrol karena prediksi merupakan skema penjelasan untuk kejadian-kejadian yang akan datang. Dengan demikian kalau prinsip-prinsipnya benar dan syarat-syaratnya dipenuhi maka di masa depan kejadian yang sama akan terjadi sesuai dengan prinsip tersebut[26]. Lalu prediksi memungkinkan untuk aplikasi untuk menciptakan kesimpulan yang jitu. Sebabnya, sesuatu hal bisa menjadi absolut berdasarkan relasinya satu kepada yang lain, tatanan bisa mutlak maupun netral dan berubah-ubah. Prediksi justru berusaha membaca bahkan mengontrol semuanya itu supaya penjelasan, deskripsi dan representasi menjadi jelas, kuat secara epistemelogis sehingga tercipta pengetahuan budaya yang nantinya dapat disharingkan dalam lintas zaman.
Budaya obyektif menjangkarkan pada akal budi-intelektualitas sehingga akal budi manusia merupakan aspek hakiki dari kebudayaan. Akal budi ini menjadi titik tolak universalitas yang memproduksi obyektivitas. Kebudayaan tentu merupakan produk dari akal budi manusia karena manusia menggunakan akal budinya untuk memenuhi kebutuhannya baik secara individu maupun kolektif. Tahapan dasarnya yaitu manusia berusaha untuk mengerti alam, bereaksi terhadap alam bahkan manusia berusaha untuk menguasai alam karena desakan dari kodratnya sebagai makhluk berakal budi. Dari tahapan dasar, budaya terus berkembang demi mencari yang terbaik karena aktivitas akal budi tak mungkin berhenti. Menurut P.J. Zoetmulder akal budi manusia tidak melulu mengarah pada hal-hal yang dangkal seperti menebang pohon, membangun rumah, dan sebagainya tetapi mencakup pula aktivitas yang mendalam seperti mengembangkan diri, mencari metode yang terbaik untuk menjawab tantangan hidup. Dari aktivitas dan pergulatan akal budi terhadap tantangan tersebut lahirlah kebudayaan dan budaya selalu berkembang. Kebudayaan hasil akal budi tampak di dalam hasil yang obyektif seperti bangunan, patung, aneka teknik seperti teknik kedokteran, teknik pertanian, teknologi dan sebagainya. Karena itu Gilin menyebutkan bahwa yang menjadi unsur-unsur budaya obyektif ialah aspek utilitas, aspek material dan teknik[27]. W. Moock menyebut budaya obyektif sebagai sache (benda). Budaya obyektif berwujud secara materi sehingga budaya obyektif bisa dikatakan sebagai produk budaya. Jadi, budaya obyektif terkait apa yang dihasilkan oleh suatu budaya tertentu sehingga budaya obyektif dapat dibagikan oleh manusia secara kolektif misalnya agama, seni, sastra yang melalui semuanya itu membangun dan menstransformasi dirinya sebagai seorang individu. Sebagai produk budaya, budaya obyektif itu berkembang dan meluas: pertama, ukuran berkembang sesuai dengan modernisasi; kedua, ada pertumbuhan jumlah komponen ranah budaya yang berlainan; yang ketiga, elemen dunia budaya menjadi semakin berkelindan dalam dunia mandiri yang makin kuat dan bahkan bisa jadi semakin berada di luar kendali aktor[28]. Maka, hati budaya obyektif adalah keterbukaan dan saling belajar kepada budaya yang lain karena di setiap budaya ada pengetahuan, ilmu dan teknologi yang bisa dibagikan demi membangun peradaban yang lebih lebih baik. Keterbukaan dan saling belajar akan budaya lain memperkaya budaya yang ada tanpa harus kehilangan budaya yang asli. Realisasi keterbukaan dan saling belajar mengacu kepada pertukaran budaya. Dalam pertukaran budaya pengalaman budaya hanya bisa disharingkan karena pengalaman bersifat subyektif tetapi maknanya bisa dipelajari bersama. Yang disharingkan kepada satu sama lain adalah pengetahuan, teknik, produk-produk akal budi[29] bukan pengalamannya. Hati universalitas memberi tempat kepada keanekaragaman budaya.
Unsur-unsur budaya Obyektif
- Teknologi
Setiap kelompok sosial membuat teknologi untuk bekerja demi memenuhi kebutuhannya. Substansi teknologi mengacu kepada semangat agar manusia dapat hidup dengan lebih baik, nyaman dan mudah. Misalnya, teknik untuk mencari makanan, teknik komunikasi, teknik bertani, teknis medis kedokteran dan sebagainya. Teknologi mencerminkan kapasitas, kreativitas, tingkat peradaban dan tingkat pengetahuan kelompok tersebut[30]. Lalande telah mendefinisikan teknologi sebagai totalitas cara yang dapat diajarkan dan yang telah dibuat sempurna yang mana cara-cara tersebut ditentukan demi menghasilkan hasil-hasil yang telah ditetapkan dan yang dianggap sempurna[31]. Jelas, bahwa teknologi merupakan sebuah instrumen bagi manusia yang berarti bahwa teknologi dibuat dan diciptakan untuk melayani manusia. Teknologi menurut Martin Heiddeger diresapi dan digerakkan dengan semangat we will master it. We will master it mengungkapkan bahwa manusia hendak menyelidiki, menyingkap realitas-realitas yang masih tersembunyi bagi dirinya supaya segala potensi yang ada menjadi aktualitas. Tidak itu saja, we will master it itu juga memiliki arti bahwa segala realitas dapat diselidiki dan dieksplorasi secara ilmiah, yang mana tujuannnya bukan saja untuk mengerti realitas melainkan juga untuk menguasainya menurut segala aspeknya entah lewat inovasi maupun penemuan. Dahulu bagi manusia menjelajah bulan adalah suatu kemustahilan. Tetapi sekarang dengan gampangnya manusia menjelajah bulan. Jadi teknologi menurut Heiddeger adalah revealing (penyingkapan) akan segala sesuatunya. Dan realisasi revealing selalu memuaskan sekaligus menantang manusia untuk bertindak lebih jauh mengembangkan dan menyempurnakan teknologi yang sekarang dimilikinya. Tantangan yang demikian merangsang persaingan di antara bangsa-bangsa segala zaman untuk mengeksplorasi potensi-potensi yang ada baik potensi alam, potensi diri, potensi masyarakat dan sebagainya. Bangsa-bangsa dengan karakter budayanya masing-masing berlomba-lomba menciptakan, memanfaatkan, mengembangkan teknologi. Penyebabnya menurut Bakker adalah adanya creative vision. Creative berarti kekuasaan konstruktif, tata laksana, sedangkan vision itu menunjukkan sikap batin dalam merealisasikan agar kemanusiaan yang lebih mulia makin merata[32]. Di dalam creative vision, teknologi menghasilkan modal kreasi dalam wadah kebebasan. Berkat creative vision tersebut, teknologi selalu berkembang terus tanpa batas karena realitas yang hendak dimengerti, dieksplorasi seluas segala ada. Dan juga bahwa teknologi merupakan jawaban manusia atas tantangan zaman yang dihadapi. Akal budi sebagai dasar lahirnya teknologi melaju terus tanpa ada batasnya untuk terus mencipta, menemukan, memperbaiki, memperbarui segala yang ada. Itulah mengapa segala kreasi yang unik di dalam teknologi merupakan hadiah bagi masa depan. Karena gerakannya yang demikian, teknologi menghasilkan perkembangan budaya, budaya baru bahkan revolusi budaya. Revolusi budaya adalah perubahan secara menyeluruh suatu budaya dan sosial suatu masyarakat dalam periode yang sangat cepat. Misalnya zaman neolitikum yang mengandalkan pola hidup food gathering digantikan food producing. Kemudian, zaman sekarang ini sudah didominasi dengan digitalilasi di semua lini yang ada.
Teknologi membangun eksteriosasi budaya karena ia mewakili bentuk budaya praktis dan aplikasi dari budaya. Teknologi sebenarnya merupakan pengetrapan dari pengetahuan teoritis dalam usaha manusia untuk hidup secara lebih baik dan mudah. Setiap budaya mengkarakterkan dirinya sendiri melalui serangkaian teknologi yang diciptakan oleh kelompok itu. Pribadi yang menggunakan teknologi tersebut mencerminkan bahwa dia adalah bagian dari suatu kelompok yang memiliki suatu budaya tertentu[33]. Misalnya teknologi mesin buatan Jerman dan China. Mesin Jerman identik dengan ketepatan yang demikian akurat, presisi sempurna karena budaya Jerman mengandalkan soal kedisiplinan sehingga kedisiplinan merambat ke semua lini kehidupan baik dalam kerangka berpikir dan bekerja. Mesin buatan China lebih ekonomis karena ethos budaya China adalah bekerja keras secara massal yang dipengaruhi budaya komunis. Teknologi berjalan berbarengan dengan dan bersama budaya. Namun, tanpa budaya, sesempurna apa pun suatu masyarakat berkat teknologi dan kebebasan yang menyertainya, masyarakat tersebut tetap suatu hutan rimba.
Terhadap perkembangan teknologi, tipologi budaya dapat dirangkai berdasarkan cara pandang generasi terhadap teknologi sebagai salah satu unsur kebudayaan. Ada satu pola yang sama di antara lintas generasi bahwa generasi yang sekarang selalu mengembangkan dan membangun teknologi sehingga sikap generasi yang sekarang berbeda dengan generasi sebelumnya. Generasi yang baru membangun dan mendambakan teknologi sementara generasi yang terdahulu cenderung statis, resistensi terhadap perkembangan teknologi karena generasi yang terdahulu sudah tidak lagi mampu mengimbangi kecepatan perkembangan teknologi yang mutakhir. Teknologi selalu netral tetapi di dalam penggunaannya bisa membawa dampak baik dan negatif baik bagi diri sendiri, orang lain dan perabadaban. Yang menentukan dampak teknologi menjadi baik atau buruk adalah moralitas dan kehendak pribadi.
- Ilmu pengetahuan
Ilmu pengetahuan bertujuan untuk mengkonseptualisasikan fenomen-fenomen alam dalam sebab-sebabnya, lewat urutan causalitas dan mencari asas-asas umum. Seluruh proses ilmu pengetahuan selama tiga ribu tahun terakhir ini berkembang ke arah kepastian. Semenjak zaman abad pencerahan (Aufklarug) yaitu zaman di mana manusia mengagungkan dan mengedepankan akal budinya, pengetahuan berkembang dengan pesatnya. Semboyan Kant “sapere aude”(beranilah mengetahui) dan filsafat Bacon knowledge is power menjadi semacam roh yang menggerakkan manusia untuk menguak misteri-misteri alam yang ada di sekitarnya.
Dalam perkembangan selanjutnya ilmu pengetahuan meliputi science (ilmu eksata) dan humaniora. Science disebut pengetahuan empiris atau pengetahuan eksata dengan dasar hukum logis. Selain ilmu pengetahuan eksata terdapat ilmu pengetahuan lain yaitu ilmu pengetahuan batin yang obyektivikasinya adalah humaniora[34]. Pengetahuan humaniora mencakup filsafat, sejarah, seni. Perbedaan antara pengetahuan humaniora dan science adalah pengetahuan humaniora memprioritaskan aspek kemanusiaan sedangkan pengetahuan ilmiah memprioritaskan sifat keilmiahan[35]. Pengetahuan humaniora itu tidak menggunakan metode verifikasi tetapi metode keabsahan dan ketepatan spekulatif.[36]
Sebenarnya, ilmu pengetahuan yang mencakup science dan humaniora merupakan bagian dari kebudayaan karena ilmu pengetahuan adalah manifestasi kebudayaan sehingga budaya sudah pasti mencakup science dan humaniora. Budaya itu sendiri adalah ilmu pengetahuan karena budaya merupakan hasil karya manusia yang meliputi akal, rasa dan kehendak manusia yang memiliki daya ilmiah dan epistemelogis. Definitif, budaya menetaskan pengetahuan baik pengetahuan empiris maupun pengetahuan praktis. Tetapi sebagai ilmu, budaya dituntut untuk dapat dipahami secara nalar dan dijelaskan secara ilmiah. Maka ilmu budaya harus memenuhi kaidah dan kriteria metode keilmuan supaya menjadi ilmiah dan sejajar dengan ilmu-ilmu lain. Kaidah dan kriteria keilmuan budaya yang dituntut adalah seperti kaidah ilmu yang digagas oleh Melsen[37]:
1. Secara metode ilmu budaya mampu membentuk pemahaman keseluruhan yang bersifat logis dan sesuai methodologi tertentu. Untuk itu, ilmu budaya harus sistematis artinya berbagai data dan keterangan yang tersusun sebagai kumpulan pengetahuan mempunyai hubungan yang saling terkait dan teratur. Keterkaitan dan keteraturan membangun ilmu budaya secara utuh.
2. Ilmu budaya terbebas dari pretensi kepentingan pribadi atau kelompok dan juga harus tanpa pamrih karena hal itu terkait dengan kevalidtan dan tanggung jawab ilmuwan budaya.
3. Universalitas ilmu budaya mengandalkan analitik. Analitik berarti bahwa ilmu pengetahuan berusaha mengklasifikasikan pokok soalnya ke dalam bagian yang terperinci demi memahami berbagai sifat hubungan dan peranan dari bagian-bagian itu. Bagian-bagian suatu budaya yang digagas dan dieksplorasi oleh ilmu budaya kiranya menjelaskan budaya sebagai keseluruhan (pars pro toto). Sebaliknya gagasan, observasi budaya yang menyeluruh mampu menguraikan bagian-bagian budaya (totem pro parte). Dengan pars pro toto dan totem pro parte, ilmu budaya menghasilkan suatu refleksi yang komprehensif dan koheren.
4. Obyektif artinya ilmu budaya terpimpin oleh obyek dan tidak terdistorsi oleh prasangka-prasangka subyektif.
5. Karena obyektivitasnya, ilmu budaya harus dapat dipertanggungjawabkan dan diverifikasi oleh semua peniliti ilmiah yang bersangkutan, karena itu ilmu budaya bersifat komunikatif.
6. Ilmu budaya bersifat progresif artinya suatu jawaban dapat dikatakan sungguh bersifat ilmiah bila mengandung pertanyaan-pertanyaan baru sehingga menimbulkan problem baru. Justru dengan sifat yang progesif, ilmu budaya mampu menjelaskan dan menguraikan budaya yang selalu berkembang dan berubah sesuai dengan zamannya.
7. Ilmu budaya bersifat kritis artinya tidak ada teori budaya yang bersifat definitif, setiap teori terbuka kepada peninjauan kritis yang memanfaatkan data-data baru. Hal itu disebabkan karena pengetahuan budaya bersifat empiris: pengetahuan budaya diperolah dari pengamatan dan percobaan sementara budaya bukanlah entitas matematik yang pasti karena manusia itu sendiri adalan entitas yang unpredictable.
8. Penetrapan ilmu budaya dapat digunakan demi perwujudan kebertautan antara teori dengan praktik. Ilmu budaya adalah ilmu yg relevan dan aktual untuk memahami manusia yang terkategori di dalam agama, suku, bahasa, situasi sosial, ekonomi, sejarah dan sebagainya.
Maka budaya dan pengetahuan tidak mungkin dipisahkan. Perkembangan ilmu pengetahuan tergantung kepada perkembangan kebudayaan. Tetapi juga perkembangan ilmu pengetahuan mempengaruhi bahkan membentuk kebudayaan. Peranan ilmu pengetahuan terhadap kebudayaan setidaknya ada dua hal: yang pertama, ilmu pengetahuan merupakan sumber budaya yang menentukan perkembangan kebudayaan; yang kedua ilmu pengetahuan adalah sumber budaya yang mengisi pembentukan karakter bangsa karena ilmu pengetahuan menjadi kerangka berpikir, bersikap dan bertindak yang berlandaskan pada budayanya bagi kelompok-bangsa tersebut.
- Agama
Agama sebagai keyakinan hidup rohani batiniah pemeluknya, baik secara perseorangan maupun jemaat adalah jawaban manusia kepada panggilan ilahi dalam eksistensinya di dunia ini. Karena itu, agama tidak dapat dipahami terpisah dari pergulatan dunia yang sedang berlangsung[38]. Agama sebagai sistem objektif yang terdiri dari badan ajaran (fasal-fasal iman) setidaknya memiliki elemen-elemennya yang serupa dengan elemen budaya sebagaimana yang diungkapan oleh John A. Rees[39] sebagai berikut:
- Tuhan dan kekuatan-Nya yang hadir dan dirasakan baik di dalam hidup pribadi maupun hidup kelompok. Dalam budaya, Tuhan dianggap sebagai figur mistik dan simbolis yang berasal dari leluhur tetapi juga sebagai entitas yang personal yang melampaui realitas fisik.
2. Simbol-simbol suci yang mendefinisikan dan memaknai realitas. Simbol-simbol agama menginkorporasikan pribadi-kelompok menjadi bagian dari agama tersebut. Simbol-simbol agama menjadi kekhasan dan identitas kelompok atau masyarakat tersebut. Simbol-simbol suci membuat pribadi-kelompok tersebut lebih percaya diri dalam berinteraksi karena ada kebanggaan dan kecintaan dengan Tuhan lewat simbol-simbol suci tersebut.
3. Naratif-naratif suci yang terkait dengan masa lampau, masa sekarang, dan masa depan. Naratif-naratif ini bertujuan membangun dan memperkuat kebenaran iman yang diyakini dalam menghadapi tantangan kehidupan. Naratif juga mengarahkan para pemeluk agama kepada harapan dan janji iman jika selalu berpegang teguh pada ajaran agama. Dengan naratif, agama menjadi budaya karena keyakinan iman dipatri di dalam sistem sosial, sejarah bahkan politik.
4. Komunitas yang memuji dan bertindak secara bersama-sama. Kebutuhan dari pemeluk agama untuk menjadi bagian dari komunitas agama yang bersangkutan bertujuan untuk mempraktekkan ritual keagamaan dan menguatkan kebenaran naratif suci tersebut.
Keempat bentuk komitmen elemen tersebut merupakan ekspresi dari agama sebagai identitas politik, ekonomi, etika, sosial yang terhubung dengan siapa diri individu-masyarakat dan bagaimana individu-komunitas menjalani hidup.
Melihat keempat elemen tersebut, agama berfungsi menyatukan pribadi dan masyarakat sehingga agama adalah suatu keutuhan sistem kepercayaan dan praktis yang berhubungan dengan hal-hal sakral (Emile Durkheim). Maka, hubungan antara agama dan masyarakat hanya dapat diuji dalam budayanya dan konteks sejarahnya[40] karena agama telah menjadi suatu sistem budaya. Agama sebagai sistem budaya tersusun dari naratif, ritus, simbol iman yang diciptakan oleh manusia sebagai jalan untuk memberikan kehidupan individual dan kolektif makna hidup. Di sini religiusitas menjadi penting. Religiusitas merupakan kunci untuk menguji agama dan insititusinya karena religiusitas adalah pemaknaan dan penghayatan hidup agama secara praktis. Ketika seorang individu mengklaim bahwa dia jemaat suatu agama tertentu klaim tersebut tidak bisa dijadikan patokan hidup agamanya karena agama bisa jadi hanya sebuah lebel dan tempelan. Kemudian ukurannya adalah seberapa jauh religiusitas individu-komunitas tersebut.
Karena religiusitasnya, agama sama dengan suatu budaya karena menyoal penghayatan iman dan pemaknaan hidup yang berkolaborasi dengan arti budaya. Misalnya di negara Muslim orang saling menyapa dengan assalam wailaikum. Di Iran, pengadilan tertinggi negeri tersebut adalah makhamah agama yang berprinsip pada ajaran nilai Syiah. Makhamah agama ini memiliki hak untuk memveto undang-undang parlemen dan mempunyai wewenang untuk mengatur kehidupan masyarakat Iran. Agama sebagai sistem budaya berarti bahwa agama selalu menjadi unsur yang diketemukan di dalam setiap kebudayaan[41] sehingga dapat dikatakan bahwa agama itu menjadi unsur universal dari kebudayaan. Dalam hubungannya dengan agama, budaya adalah seni yang ditinggikan kepada rangkaian religius (Thomas Wolfe).
Maka sebenarnya agama dan budaya adalah hal yang sama karena kepercayaan dan praktis itu sendiri sudah merupakan suatu budaya yang unik. Bagi Simmel agama dan keyakinan budaya saling berkelindan membangun satu sama lainnya. Relasi agama dan budaya bersifat integral dan simbiosis. Artinya selagi agama mempengaruhi kebudayaan, kebudayaan juga dideterminasi oleh agama bahkan agama merupakan lapisan esensial suatu budaya. Ketika budaya diasosiasikan dengan agama, definisi dan fungsi agama yang disodorkan akan tumpang tindik dengan definisi dan fungsi budaya. Agama dan budaya itu saling terkait dan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Intensitas relasi agama dan budaya menyebar ke berbagai lini kehidupan seperti di bidang kesehatan, etika business, tingkah laku organisasi. Misalnya, rumah sakit dengan karakteristik agama tertentu yang pelayanannya mengedepankan nilai agama yang bersangkutan. Pasien pun merasa terhubung dengan keyakinan agamanya sehingga perawatannya dan kesembuhannya lebih mendukung daripada pasien yang sekular. Di bidang etika business, masyarakat yang beragama Buddha tidak berdagang makhluk hidup karena budaya Buddha yang menekankan welas asih kepada semua makhluk. Perbankan dengan sistem syariah membantu perekonomian negara yang berdasarkan nilai-nilai Islam. Contoh–contoh tersebut mau mengatakan bahwa agama menjadi kesaksian yang aktual bila dijiwai oleh budaya yang aktual. Sebaliknya banyak prestasi yang dicapai dalam bidang kebudayaan tak pernah akan terjadi seumpamanya tidak diilhami oleh jiwa agama[42]. Ch. Dawson telah mencoba mengkaitkan hubungan antara budaya dengan agama sebagai berikut[43]:
Alineansi spiritual terhadap pikiran manusia adalah sebuah harga yang harus dibayar oleh setiap peradaban ketika peradaban itu kehilangan fondasi religius dan mengisi dirinya dengan kenikmatan materi. Kita sedang memulai untuk memahami bagaimana vitalitas suatu masyarakat berhubungan dengan agama secara intim dan mendalam. Dorongan agamalah yang menopang kekuatan solid yang mana kekuatan tersebut menyatukan suatu masyarakat dan budaya. Peradaban maju tidaklah menghasilkan agama yang hebat sebagai produk budaya. Sesungguhnya bahwa agama yang kuatlah yang menghasilkan peradaban yang maju. Suatu masyarakat yang kehilangan agamanya cepat atau lambat akan menjadi suatu masyarakat yang pudar pula budayanya.
Elemen agama dan elemen budaya yang saling berinteraksi satu sama lain secara konstan membangun ekistensi peradaban. Misalnya peradaban Barat dengan agama Kristen, budaya Jepang dengan Shinto, Thailand dengan agama Buddha, peradaban Timur Tengah dengan Islam. Akhirnya, agama dan budaya adalah bagian dari peradaban dan kemanusiaan itu sendiri.
Budaya: sebuah sintesis budaya subyektif dan budaya obyektif
Hubungan antara budaya subyektif dan obyektif perlu dilihat dan dieksplorasi karena tipologi ini justru saling memperkaya keduanya yang menghasilkan budaya secara utuh. Mekanisme kedua unsur budaya ini ibarat dua kutub yang saling berinteraksi satu sama lain dan tipe relasinya bukan bersifat parallel melainkan korelatif dan saling mensyaratkan, saling mempengaruhi dan saling merasuki. Karena itu, budaya lahiriah yang adalah budaya obyektif menerobos ke dalam hidup batiniah yang merupakan budaya subyektif. Sebaliknya hidup batiniah (budaya subyektif) mencurahkan diri dalam wujud dan dimensi-dimensi budaya lahiriah (budaya obyektif). Budaya obyektif yang ada di dalam bentuk lahiriah hanya dapat ada sejauh digayakan dan difokuskan oleh budaya subyektif yang merupakan jiwa-hidup batiniah itu dan budaya subyektif itu hanya dapat memiliki makna sejauh diwujudkan oleh budaya obyektif.
Budaya obyektif identik dengan nilai imanensi dan budaya subyektif identik dengan nilai transendensi. Aspek imanen itu memperkaya diri pribadi manusia, mengisi dinamika akal dan karsa. Lantas kebenaran, keutamaan-keutamaan sebagai nilai bhakti, cinta kasih yang disebut nilai transendensi itu dibina. Semua tata batin (budaya subyektif) ini diobyektivikasikan dalam ilmu pengetahuan alam, tata adil, karya dan darma bakti[44]. Jadi wujud imanen nilai-nilai batin (budaya subyektif) dilaksanakan di dalam tata lahiriah (budaya obyektif)[45].
Kebudayaan obyektif mencerminkan segi subyektif dan bergantung kepadanya. Bakker memprioritaskan nilai batin tetapi ia tidak memaksudkan bahwa nilai batin itu merupakan nilai yang bersifat segala-galanya. Segi batin tetap membutuhkan hal-hal lahiriah. Hal lahiriah kiranya menjadi kontrol dan ujian apakah nilai-nilai batin itu dibina secara utuh.
Pada dasarnya, baik budaya obyektif sebagai kumpulan pengetahuan maupun budaya subyektif sebagai budaya tingkah laku individu maupun kelompok tidak dapat tinggal dan ada di dalam dirinya sendiri. Artinya, hidup subyektif dapat mencapai kesempurnaan batin hanya melalui sarana-sarana ekstrinsik (obyektif) yaitu bahwa kultivasi individu mensyaratkan budaya obyektif. Sebabnya, budaya yang memiliki aspek obyektif dalam tataran keberhasilan yang dibuat oleh manusia tetaplah merupakan sesuatu hal yang telah memberikan bentuk dan arti bagi dirinya dan sesamanya. Tetapi juga bahwa budaya dalam pengertian obyektif hanya dapat berlangsung dalam hubungannya dengan manusia. Jadi pengertian budaya sebenarnya merupakan sintesis antara budaya subyektif dan budaya obyektif. Sintesis tersebut menjelaskan bahwa budaya subyektif dan budaya obyektif itu merupakan bagian dari suatu budaya yang hidup: seseorang tentu saja tidak dapat mengalami budaya subyektif tanpa kehadiran historis nilai-nilai kultural atau hasil-hasil objektif dari budaya obyektif. Budaya budaya obyektif merupakan bagian pokok yang utama dari tradisi historis di mana kehidupan tradisi tersebut tergantung kepada keberhasilan ataupun kegagalan interaksi antara budaya subyektif dan budaya obyektif[46]. Interaksi budaya obyektif dan subyektif yang demikian intens mempengaruhi keutuhan manusia baik secara psikologis, jasmani, cara berpikir sehingga kemampuan setiap manusia dikuatkan atau dilemahkan oleh budaya (bdk John Abbot). Hubungan budaya obyektif dan subyektif yang demikian intens memastikan bahwa pada akhirnya semua orang akan kembali ke budaya mereka yang asli.
Proyek Budaya
Definisi projek berarti ada sesuatu yang mau dicapai dengan syarat dan tujuan tertentu pada akhirnya. Maka projek budaya adalah memahami diri lebih baik secara individu maupun kolektif. Untuk itu, projek budaya membutuhkan hermeneutika budaya. Hermeneutika adalah teori penafsiran sehingga hermeneutika budaya mengacu kepada penafsiran simbol dan makna budaya dari perspektif pelaku kebudayaan. Mengapa budaya membutuhkan hermeneutika? Menafsirkan makna budaya tidak hanya syarat fundamental bagi kondisi manusia tetapi juga sebagai suatu karya secara otonom. Karya otonom itu terbentuk karena manusia menciptakan makna baik secara tindakan, pikiran, diskursus dan visi baik disadari maupun tidak disadari sehingga artikulasi makna-makna budaya merupakan hal yang natural dan elemental bagi kondisi manusia. Justru kenyataan ini menjadi kepentingan hermeneutika budaya. Memang tindakan manusia berkaitan dengan makna sehingga tindakan manusia dan hasilnya tidak melulu mengacu kepada model tetapi juga kepada simbol yang berperan besar di dalam pemaknaan tindakan melalui wadah dan horizon budaya. Sebabnya kebudayaan adalah anyaman model dan makna-makna. Sayangnya, manusia adalah binatang yang terperangkap oleh jaring-jaring makna yang ia tenun sendiri dari makna-makna itu[47]. Sebenarnya, budaya adalah jaring-jaring makna itu sendiri sehingga jaring-jaring makna terdeposito di dalam simbol-simbol kultural sementara manusia merupakan subyek yang hidup di dalam simbol dan makna kultural tersebut. Maka, tujuan hermeneutika adalah menafsirkankanya demi mengambil makna budaya yang terlekat pada jaring-jaring tersebut. Diri yang melekat di dalam jaring-jaring tersebut jelas tidak dapat bergerak. Tentu saja bahwa hermeneutika menjadi kebutuhan karena hermenutika melepaskan manusia dari jaringan makna itu sehingga di dalam kebebasan tercipta diri yang sejati.
Yang dibuat oleh hermeneutika budaya supaya dapat melepaskan dari jaring-jaring makna adalah pengambilan jarak terhadap budaya baik lewat kritik ideologi budaya dan dekonstruksi. Kritik ideologi budaya dan dekonstruksi adalah proses menganalisis tindakan artikulasi diri sendiri untuk memahami diri kita dengan lebih baik. Diri adalah kondisi konstitutif dasar bagi manusia sehingga dengan kritik ideologi budaya dan dekonstruksi diri tidak mengalami distorsi entah karena makna, kerangka berpikir dan tindakan yang dipegang teguh sebagai akibat dari inkorporasi dan pengalaman budaya yang terlalu lengket. Bahkan justru kritik ideologi budaya dan dekonstruksi melepas diri dari kelengketan budaya yang selama ini mencekik. Dengan kebebasan yang didapat, hermeneutika menciptakan suatu kemungkinan untuk pemahaman lain akan realitas budaya, perubahan perspektif, membentuk sikap yang berbeda dan baru terhadap kehidupan dan semesta. Hal itu mungkin karena sikap pribadi telah mengambil jarak terhadap budayanya sehingga dengan jarak itu ia semakin mampu berbudaya dengan baik dan benar karena dengan jarak yang tercipta ia dimurnikan dari irasionalitas budayanya dan membuat dirinya semakin mencintai budayanya karena sekarang ia ditunjukkan akan kebenaran dan keindahan yang sejati lewat budayanya. Dengan adanya jarak terhadap budayanya, seseorang menafsirkan dirinya sendiri dalam kondisi yang demikian sehingga penafsirannya akan tampak kepada dirinya secara apa adanya dan otentik. Ketika ia mampu lepas dari jaring-jaring makna buatannya sendiri pada saat itu pula ia merayakan kehidupan karena yang tersisa dari dirinya hanyalah yang apa adanya dan keotentikannya tanpa ada embel-embel kepalsuan maupun asal berbudaya tanpa memahami makna dan tujuannya. Kepalsuan biasanya terjadi karena adanya manipulasi dan penyesatan yang dibuat oleh budaya. Maka dekonstruksi membantu untuk melihat apa yang disembunyikan atau dipinggirkan oleh tradisi budaya dengan menyusun kembali budaya melalui unsur-unsur yang ditindas. Pada saat itu dekonstruksi menyebabkan kemungkinan baru bahkan perubahan melalui penyingkapan makna-makna budaya yang selama ini didiamkan atau dipinggirkan oleh otoritas maupun tradisi ( Haryatmoko).
Jelas projek budaya dengan hermeneutika mengajak setiap pribadi untuk mengambil bagian dalam perayaan kehidupan. Dengan demikian, merayakan kehidupan dan praktik hermeneutika dapat saling berinteraksi dan menguatkan satu sama lain sehingga hermeneutika sebagai interpretasi kehidupan dan kehidupan interpretasi hermeneutika melengkapi misi dan tugasnya masing-masing.
Dengan merayakan kehidupan berarti budaya memperbaiki cacat jiwa dan menciptakan kesempurnaan diri dengan cara memberikan arah yang bermakna terhadap dorongan-dorongan menuju kepada bentuk tingkah laku dan kerangka berpikir yang benar dan juga memimpin proses kehidupan kepada fase-fase perkembangan yang lebih tinggi dan lebih utuh. Dalam hermeneutika budaya adalah jalan yang membimbing yang mulanya dari kesatuan yang tertutup menuju kepada kesatuan yang terbuka melalui multiplisitas yang terbuka. Melalui operasi dan kinerja budaya, singularitas tersebar, potensi-potensi alami menjadi aktualitas, dorongan-dorongan justru bermanifestasi menjadi jalan[48]. Projek budaya juga seperti yang diungkapkan oleh Simmel bahwa budaya merupakan jalan sekaligus tujuan, bentuk obyektifnya adalah kedua pos stasiun tersebut (jalan budaya dan tujuan budaya) yang mana batin-jiwa harus melaluinya dan material dari kualitas yang istimewa itu diperoleh dengan budaya subyektif selama perziarahannya yang berlangsung di dalam kedua stasiun tersebut. Kualitas unik dari kultivasi yang semacam itu membangun harmoni antara aktivitas bebas manusia dan produk-produknya, antara roh subyektif dan obyektif dari nilai-nilai budaya[49].
Hanya budaya yang dapat menyembuhkan friksi pengalaman yang terbentuk antara hidup dan sistem budaya. Hanya di dalam nilai-nilai budaya jiwa-roh menemukan versi terbaiknya termasuk juga pemahaman diri. Hanya di dalam ranah budaya yang tak teralienansi, pengalaman budaya menjadi mungkin. Sebagai hasilnya, tidak hanya budaya secara internal dihargai tetapi juga menggandeng kehidupan itu sendiri sebagai pemenuhan yang kreatif dan mendapatkan produk budaya sebagai tujuan utamanya.[50]
Budaya menyatukan subyek dan obyek dengan menginkorporasikan fenomena obyektif dalam perkembangan subyek sebagai sarana menuju pertumbuhan personal tetapi tanpa merusak fenomena obyektif tersebut. Dalam cara ini roh mencapai kesempurnaan baik di dalam subyek dan obyek yang memampukan keduanya untuk menstransendensi materi mereka dan berturut-turut menjadi melebihi dari kehidupan dan melebihi daripada konstruksi.
Projek budaya menciptakan manusia yang berbudaya dengan pengalaman hermeneutik. Siapakah dia? Manusia yang berbudaya dan berpengalaman hermeneutik adalah seseorang yang secara permanen mencari suatu pengalaman hermeneutika baru dan horison budaya yang berbeda-asing dengan tujuan untuk mengintegrasikan semuanya itu dalam suatu konteks dan latar belakang yang unik demi merayakan kehidupan. Manusia yang demikian berkehendak mendengarkan orang lain karena adanya hasrat untuk orang lain dalam dan bersama budayanya. Hanya dengan komunikasi dan membuka diri terhadap keberlainan dari orang lain itu, segala prasangka seseorang yang disebabkan oleh budayanya secara perlahan-lahan terkikis dan dia yang diajak berkomunikasi pun tercerahkan dan tercabut dari karakternya yang terdistorsi oleh budayanya. Pada saat memahami diri sendiri dengan lebih baik sebagai proyek budaya menemukan aktualitasnya. Dengan memahami diri lebih baik otomatis memahami dunia pun menjadi lebih baik sehingga ada perubahan yang membuat kehidupan maupun dunia lebih baik.
Daftar Pustaka
Baker SJ, J.W.M., Bakker, Filsafat Kebudayaan, Kanisius, Yogyakarta, 1984,
Cassier, Ernst., An Essay on Man, Bantam Books, 1969
Dawson, Christopher., Progress and Religion: An Historical Inquiry, Sheed and Ward, London,1929
Foucault, Michael., The Order of Things, Vintage Books, New York
Geertz, Clifford., The Interpretation of Culture, Hutchinson, United Kingdom
Gilin., Cultural Sociology, New York, 1948
Koentjaraningrat., Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Gramedia, 1985
Lambropoulos, Vasillis., On the Notion of Tragedy of Culture, Franz Steiner Verlag, Stuggart, 2001
Linton, Ralph., The Cultural Background of Personality, Apleton-Century-Crofts, New York, 1945
Mondin, Batista., Philosophical Anthropology, Urbaniana University Press, Roma, 1985
Reksosusilo., Filsafat Kebudayaan
Ritzer and J.Douglas., Teori Sosiologi Modern, Kencana, Jakarta, 2004
Taylor, R.B., Elementi di Antropologia Culturale, Il Mulino, Bologna,
Van Melsen, A.G.M., Ilmu Pengetahuan Dan Tanggung Jawab, Gramedia, Jakarta, 1985
Sacramentum Mundi
Artikel dan Majalah
Haryatmoko, Ilmu Budaya dan Metodologinya Bagaimana Ilmu Budaya Menghadapi Perubahan Episteme? Adabiyyāt, Vol XI. No.2, Desember 2012
John A. Rees, Religion and Culture, International Relation, January 2017
Rudy Harjanto, Makanan Adalah Cermin dari Kebudayaan Daerah, Kompas, 15 Agustus 2023
[1] Battista Mondin, Philosophical Antrophology, Urbaniana University Press, Roma, 1985 , hal 145
[2] Haryatmoko, Ilmu Budaya dan Metodologinya Bagaimana Ilmu Budaya Menghadapi Perubahan Episteme? Adabiyyāt, Vol XI. No.2, Desember 2012, hal 344
[3] Ralph Linton, The Cultural Background of Personality, Apleton-Century-Crofts, New York, 1945, hal 30
[4][4] John A. Rees, Religion and Culture, International Relation, December 2017, hal 4-5
[5] Battista Mondin, op.cit., hal 164-167
[6] Dikutip dari W.Moock, Aufbau der Kulturen, Wina 1947 dalam J.W.M. Bakker S.J, Filsafat Kebudayaan, Kanisius, Yogyakarta, 1984, hal 24
[7] Reksosusilo, Filsafat Kebudayaan, hal 9
[8] J.W.M Bakker, op.cit., hal 24
[9] Nilai adalah sekumpulan ide yang bermakna dan penting yang disharingkan; sesuatu yang dianggap penting lalu diinternalisasi, dihidupi dan dibatinkan dalam diri pribadi-kelompok J. Ross Eshleman & Barbara G. Cashion, Sociology, Little Brown Company, 1985, hal 26
[10] R.B. Taylor, Elementi di Antropologia Culturale, Il Mulino, Bologna, 192, hal 32
[11] Reksosusilo, op.cit., hal 4
[12] Battista Mondin, op.cit., hal 160
[13] Rudy Harjanto, Makanan Adalah Cermin dari Kebudayaan Daerah, Kompas, 15 Agustus 2023
[14] Ibid.
[15] Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Gramedia, 1985, hal 10-11
[16] Ibid
[17] Koentjaraningrat,op.cit., hal 6
[18] Ibid., hal 11-12
[19] Battista Mondin, op.cit., hal 155
[20] Michael Foucult, The Order of Things, Vintage Books, New York, hal 285
[21] Ibid., hal 283
[22] Ibid., hal 296
[23] Bdk. Ernst Cassier, An Essay on Man, Bantam Books, 1969, hal 27-28
[24] Haryatmoko, op.cit, hal 349-350
[25] Michael Foucault, op.cit, hal 136
[26] Ibid.
[27] Gilin, Cultural Sociology, New York, 1948
[28] Ritzer and J, Douglas, Teori Sosiologi Modern, Kencana, Jakarta, 2004, hal 187
[29] Menurut Kluckhohn terdapat tujuh unsur dalam kebudayaan universal yaitu sistem religi dan upacara keagamaan, sistem organisasi masyarakat, sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian hidup, sistem teknologi dan peralatan, bahasa dan kesenian.
[30] Battista Mondin, op.cit., hal 58
[31] A. Lalande, Dizionario Critico della Filosofia, Milan, 1971, hal 909-911 dalam Battista Mondin, op.cit., hal 157. Bdk Reksosusilo, Filsafat Budaya, hal 12 yang mengatakan bahwa teknologi adalah penerapan pengetahuan alam untuk menemukan cara dan alat untuk mempermudah hidup manusia sampai manusia dapat menguasai alam dan dirinya.
[32] J.W.M Bakker, op.cit., hal 40
[33] Lihat Battista Mondin, op.cit., hal 160
[34] Reksosusilo, op.cit., hal 12
[35] Battista Mondin, op.cit., hal 166
[36] Reksosusilo, op.cit., hal 12
[37] A.G.M Van Melsen, Ilmu Pengetahuan Dan Tanggung Jawab, Gramedia, Jakarta, 1985
[38] Sebelum revolusi Perancis, setiap masyarakat itu memiliki agama. Budaya agama itu begitu kental dan lekat dengan masyarakat sebelum munculnya sekularisme yang dimulai sesudah revolusi Perancis. Battista Mondin, op.cit., hal 168
[39] John A. Rees, op.cit, hal 1-4
[40] Terkait hubungan agama dan masyarakat, Weber mengungkapkan bahwa hubungan agama dengan masyarakat sifatnya kontingen. Kemudian hubungan agama dan masyarakat secara perlahan-lahan terkikis.
[41] Marina Harisson (ed), op.cit., hal 438
[42] J.W.M. Bakker, op.cit., hal 48
[43] Christopher Dawson, Progress and Religion: An Historical Inquiry, Sheed and Ward, London, 1929, hal 919
[44] Reksosusilo, op.cit., hal 12
[45] J.W.M Bakker, op.cit., hal 39
[46] Sacramentum Mundi
[47] Clifford Geertz, The interpretation of Culture, Hutchinson, United Kingdom, 1975, hal 5
[48] Vassilis Lambropoulos, On the Notion of Tragedy of Culture, Franz Steiner Verlag, Stuggart, 2001, hal 234
[49] Ibid
[50] Ibid, hal 238
Copyright ©2023 ducksophia.com. All Rights Reserved